BAB I PENDAHULUAN. (Human Immunodeficiency Virus). Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat 9 juta

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Dasar Determinasi Pasien TB

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Dasar Determinasi Kasus TB. EPPIT 12 Departemen Mikrobiologi FK USU

Penyebab Tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular langsung, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

ABSTRAK EFEK SAMPING PENGOBATAN TUBERKULOSIS DENGAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS KATAGORI 1 PADA FASE INTENSIF

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

Dasar Determinasi Kasus TB

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya (Depkes RI, 2011). Manusia adalah satu-satunya tempat untuk. termasuk bakteri aerob obligat (Todar, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FKUI-RS Persahabatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) secara teratur dievaluasi dan

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

UNTUK PENGOBATAN TUBERKULOSIS DI UNIT PELAYANAN KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kadang-kadang juga berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru. 3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,

7 UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. setelah Human Immunodefisiency Virus (HIV). World Health. penyakit TB pada tahun 1993 (WHO, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang bersifat

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN BALAI BESAR KESEHATAN PARU X TAHUN 2011

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium. mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS DAN KEPATUHAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang sampai saat ini

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah global utama dan bertanggung jawab terhadap buruknya kesehatan jutaan orang di dunia. Penyakit TB menempati peringkat kedua penyebab kematian terbesar diantara penyakit menular lainnya setelah HIV (Human Immunodeficiency Virus). Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat 9 juta kasus TB baru dan 1,5 juta kematian akibat TB dengan 1,1 juta orang diantaranya merupakan HIV negatif dan 0,4 juta orang lainnya pengidap HIV-positif. Di antara kasus kematian tersebut diperkirakan 210.000 merupakan kasus Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR TB) (WHO, 2014). Menurut Global Tuberculosis Report 2014 yang diterbitkan oleh WHO, sebanyak 56% dari keseluruhan kasus TB di dunia per tahun 2013 terjadi di wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Di Indonesia, insidensi TB sejak tahun 1990 mengalami penurunan dari 343 kasus menjadi 185 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan kasus prevalensi menurun dari 442 kasus menjadi 297 kasus per 100.000 penduduk di tahun 2012 (Depkes RI, 2012). Penurunan angka prevalensi dan insidensi penyakit TB di Indonesia masih menggambarkan jumlah penderita yang tergolong tinggi menilik bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-4 terbanyak untuk penderita TB setelah China, India dan Afrika Selatan. Hal tersebut menyiratkan bahwa perlu adanya evaluasi dan pengendalian secara 1

2 komprehensif yang menjadi tantangan semua pihak agar kasus prevalensi, insidensi bahkan mortalitas dapat terus ditekan. Tingginya jumlah penderita TB hingga saat ini dapat dikorelasikan dengan regimen pengobatan yang kompleks, dimana waktu terapi yang lama menjadi permasalahan utama bagi pasien. Selain itu, kurangnya informasi dan penjelasan yang tidak berkelanjutan mengenai pengobatan juga menjadi kendala pasien untuk dapat menjalankan regimen terapinya. Ketiga hal tersebut akan berpengaruh terhadap kepatuhan pasien (Depkes RI 2012). Meskipun TB dapat disembuhkan dengan pengobatan menggunakan beberapa antibiotik poten selama kurang lebih 6 bulan, namun beberapa pasien gagal untuk menyelesaikan pengobatannya karena mengalami efek samping yang tidak menyenangkan. Selain itu, pasien seringkali merasa kondisi tubuhnya telah membaik tidak lama setelah pengobatan dimulai sehingga mereka memutuskan untuk berhenti minum obat sebelum bakteri yang menginfeksi tereliminasi. Rendahnya kepatuhan terhadap pengobatan mengakibatkan pasien terinfeksi TB lebih lama dan meningkatkan risiko kekambuhan bahkan kematian. Kepatuhan yang rendah juga berkontribusi dalam terjadinya kasus resistensi obat atau disebut MDR-TB (Munro et al., 2007). Guna menciptakan kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatannya, diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan tenaga kesehatan. Selain itu penyedia layanan kesehatan dan keluarga maupun lingkungan masyarakat di sekitar pasien juga mempunyai peran yang penting dalam upaya meningkatkan kepatuhan pasien. Menurut Case Management Adherence Guidelines (CMAG) 2006, terdapat 4 faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalankan

3 pengobatannya, yaitu faktor terkait pengobatan, faktor terkait pasien, faktor terkait tenaga medis, dan faktor terkait sistem penyedia layanan kesehatan. Apabila keempat faktor tersebut secara sinergis mendukung kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatannya, maka target terapi berupa kesembuhan dapat tercapai. Fokus pada penelitian ini adalah untuk mengetahui kepatuhan dan faktor pendukung kepatuhan pada pengobatan pasien TB paru dewasa. Lokasi penelitian adalah 5 Puskesmas yang terletak di Kota Yogyakarta yaitu Puskesmas Umbulharjo I, Puskesmas Mergangsan, Puskesmas Jetis, Puskesmas Gedongtengen, dan Puskesmas Tegalrejo. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan hasil survei penemuan pasien TB di seluruh wilayah Kota Yogyakarta oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2013 dan adanya apoteker yang bertugas. Hasil survei menyatakan penemuan kasus TB terbanyak sepanjang tahun terdapat pada kelima Puskesmas tersebut dengan rincian sebagai berikut : Puskesmas Umbulharjo I sebanyak 24 pasien, Puskesmas Mergangsan sebanyak 18 pasien, Puskesmas Jetis sebanyak 19 pasien, Puskesmas Gedongtengen sebanyak 22 pasien, dan Puskesmas Tegalrejo sebanyak 18 pasien. Kelima Puskesmas tersebut memiliki apoteker penanggung jawab dalam pengelolaan instalasi farmasi. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan informasi terkait peningkatan kualitas pelayanan pengobatan TB kaitannya dengan upaya meningkatkan kepatuhan pasien. Dengan demikiian morbiditas dan mortalitas akibat penyakit TB serta kejadian resistensi terhadap obat antituberkulosis dapat ditekan.

4 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disajikan dalam latar belakang, permasalahan yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah : 1. Bagaimana pola pengobatan tuberkulosis pada pasien TB paru dewasa di Puskesmas Kota Yogyakarta? 2. Bagaimana gambaran tingkat kepatuhan pasien TB paru dewasa dalam menjalankan pengobatan di Puskesmas Kota Yogyakarta? 3. Apakah faktor pendukung terhadap kepatuhan pasien TB paru dewasa dalam menjalankan pengobatan di Puskesmas Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola pengobatan tuberkulosis pada pasien TB paru dewasa di Puskesmas Kota Yogyakarta. 2. Mengetahui tingkat kepatuhan pasien TB paru dewasa dalam menjalankan pengobatan di Puskesmas Kota Yogyakarta. 3. Mengetahui faktor pendukung terhadap kepatuhan pasien TB paru dewasa dalam menjalankan pengobatan di Puskesmas Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Memberikan gambaran tingkat kepatuhan dan faktor pendukung terhadap kepatuhan dalam menjalankan pengobatan pada pasien TB paru dewasa di Puskesmas Kota Yogyakarta.

5 2. Praktis a. Bagi Peneliti 1) Menambah pengetahuan peneliti tentang penyakit TB dan pola pengobatannya pada pada pasien TB paru dewasa di Puskesmas Yogyakarta. 2) Memberikan wawasan tentang tingkat kepatuhan pasien beserta dengan faktor pendukung terhadap kepatuhan pasien TB paru dewasa dalam menjalankan pengobatannya di Puskesmas Yogyakarta. 3) Mampu menjadi bahan referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya. b. Bagi Puskesmas 1) Sebagai bahan evaluasi terhadap pengobatan tuberkulosis di Puskesmas Kota Yogyakarta. 2) Memberikan gambaran kepatuhan pasien terhadap pengobatan tuberkulosis pada pasien TB paru dewasa sehingga dapat digunakan sebagai referensi atau acuan sumber informasi dalam membantu proses terapi pasien. 3) Sebagai masukan untuk melakukan pengambilan keputusan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan terutama dalam meningkatkan kepatuhan pasien tuberkulosis di Puskesmas Kota Yogyakarta.

6 E. Tinjauan Pustaka 1. Tuberkulosis (TB) a. Definisi TB Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Biasanya penyakit ini menyerang paru-paru atau disebut TB paru, namun dapat pula menyerang organ lain yang biasa disebut dengan TB ekstrapulmonar seperti ginjal, tulang belakang, dan otak (WHO, 2013). Penyakit TB menyebar melalui droplet di udara ketika penderita TB paru mengeliminasi bakteri, misalnya melalui mekanisme batuk, bersin, dan meludah (WHO, 2014; CDC, 2012; Depkes RI, 2011; Punnoose et al., 2013;). Apabila tidak ditangani dengan tepat, penyakit TB dapat berakibat fatal (CDC, 2012). b. Patogenesis TB Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain : M. tuberculosis, M. africanum, M.bovis, M.leprae, dan sebagainya yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Sifat kuman TB secara umum antara lain adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2014) : 1) Berbentuk batang dengan panjang 1 10 mikron, lebar 0,2 0,6 mikron. 2) Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen. 3) Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.

7 4) Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan di bawah mikroskop. 5) Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama pada suhu antara 4 o C sampai dengan minus 70 o C. 6) Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet. 7) Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet menyebabkan sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. 8) Dalam dahak pada suhu antara 30 37 o C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu. 9) Kuman dapat bersifat dormant ( tidur /tidak berkembang). Infeksi primer TB paru dimulai oleh implantasi alveolar dari organisme (Mycobacterium tuberculosis) dalam droplet berukuran cukup kecil yaitu 1-5 mm. Ukuran yang kecil berguna untuk menghindari silia sel epitel dari saluran pernapasan bagian atas sehingga organisme dapat mencapai permukaan alveolar. Organisme kemudian dapat berkembang biak setelah menempel pada permukaan alveoli. Peristiwa tersebut memicu datangnya makrofag di paru paru untuk mencerna dan mengeliminasi organisme. Makrofag akan diaktivasi oleh sel limfosit CD4 melalui sekresi interferon gamma. Sejumlah besar makrofag yang teraktivasi mengelilingi kaseosa padat dari daerah nekrotik sebagai bagian dari imunitas yang dimediasi oleh sel. Apabila seseorang memiliki kekebalan tubuh yang baik, bakteri yang akan menginfeksi dapat dieliminasi oleh sel sel

8 makrofag. Namun sebaliknya, bakteri dapat berkembang biak dan memperbanyak diri ketika seseorang tidak memiliki kekebalan tubuh yang cukup baik. Sel sel makrofag akhirnya pecah dan bakteri akan melepaskan banyak basil (Dipiro et al., 2009). Menurut buku Core Curriculum on Tuberculosis yang diterbitkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2013, infeksi terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuklei yang mengandung basil tuberkulosis sehingga mencapai alveoli paru paru. Basil tuberkulum ini tertelan oleh makrofag alveolar dan mayoritas basil tersebut hancur atau terhambat. Namun, sejumlah kecil dapat berkembang biak secara intraseluler dan dilepaskan ketika makrofag mati. Apabila dapat bertahan hidup, basil tersebut dapat menyebar melalui saluran limfatik atau melalui aliran darah ke jaringan yang lebih jauh dan organ tubuh yang lain (termasuk area tubuh di mana penyakit TB paling mungkin untuk berkembang adalah kelenjar getah bening, paru paru, ginjal, otak, dan tulang). c. Klasifikasi TB Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien bermanfaat dan bertujuan untuk menentukan paduan pengobatan yang sesuai, registrasi kasus secara benar, standardisasi proses dan pengumpulan data, menentukan prioritas pengobatan TB, analisis kohort hasil pengobatan, dan memonitor kemajuan dan mengevaluasi efektivitas program secara

9 akurat baik pada tingkat kabupaten, provinsi, nasional, regional maupun dunia (Depkes RI, 2011). Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB berdasarkan Pedoman Pengendalian Tuberkulosis yang dikeluarkan oleh Depkes RI tahun 2011 memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi 4 hal, yaitu berdasarkan lokasi atau organ tubuh yang sakit, bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis), riwayat pengobatan TB sebelumnya, dan status HIV pasien. 1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena: a) Tuberkulosis paru, adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. b) Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain lain. Pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu diklasifikasikan sebagai TB paru. 2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadaan ini terutama ditujukan untuk TB paru sebagai berikut : a) Tuberkulosis paru BTA positif. Pasien termasuk dalam kategori ini apabila :

10 (1) Sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) hasilnya BTA positif. (2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. (3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. (4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. b) Tuberkulosis paru BTA negatif Pasien dikategorikan ke dalam kasus tuberkulosis patu BTA negatif apabila tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi : (1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. (2) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis. (3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif. (4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

11 3) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya : a) Kasus baru, adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (4 minggu). Hasil pemeriksaan BTA dapat positif atau negatif. b) Kasus yang sebelumnya diobati : (1) Kasus kambuh (relaps), adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, namun ketika dilakukan diagnosis kembali, hasilnya menunjukkan BTA positif (apusan atau kultur). (2) Kasus setelah putus berobat (default), adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat selama 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. (3) Kasus setelah gagal (failure), adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. c) Kasus pindahan (transfer In), adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. d) Kasus lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, seperti : tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya, dan kembali diobati dengan hasil BTA negatif.

12 Tuberkulosis paru BTA negatif dan tuberkulosis ekstraparu, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default, maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik. Tuberkulosis dapat pula diklasifikasikan sebagai berikut (Punnoose et al., 2013) : 1) Tuberkulosis aktif, menggambarkan infeksi yang sedang berlangsung dimana seseorang mengalami gejala dan memiliki hasil positif (abnormal) pada tes TB. 2) Tuberkulosis laten, terjadi ketika seseorang tanpa gejala memiliki hasil positif TB pada tes kulit atau tes darah. Hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut telah terinfeksi TB di masa lalu namun bakteri dalam keadaan dormant atau tidak aktif. 3) Multidrug Resistant TB (MDR TB), adalah bentuk TB aktif yang disebabkan oleh bakteri yang tidak merespon obat yang paling umum digunakan untuk mengobati TB. d. Gejala gejala klinis Berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia tahun 2011, gejala klinis yang menandakan infeksi TB adalah sebagai berikut : 1) Gejala utama. Batuk berdahak selama 2 3 minggu atau lebih.

13 2) Gejala tambahan. Batuk sebagai gejala utama dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari satu bulan. Pada saat diagnosis, orang dengan TB biasanya memiliki berbagai gejala seperti demam ringan, batuk terus-menerus dengan sputum (dahak), berkeringat di malam hari, dan penurunan berat badan yang tidak disengaja (Punnoose., 2013). Tanda dan gejala yang umumnya diderita oleh pasien TB adalah berat badan menurun, mudah lelah, batuk terus menerus, demam, dan berkeringat di malam hari (Dipiro et al., 2009). e. Diagnosis TB Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Selain itu, tidak dibenarkan melakukan diagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks karena tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2011).

14 Gambar 1. Alur diagnosis TB paru (Depkes RI, 2011) Diagnosis TB paru meliputi : 1) Pemeriksaan dahak mikroskopis Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang

15 dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) : S (Sewaktu) : dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi) : dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes. S (Sewaktu) : dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. 2) Pemeriksaan biakan Pemeriksaan biakan dan identifikasi Mycobacterium tuberkulosis pada pengendalian TB adalah untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal pasien TB ekstraparu, pasien TB anak, dan pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif. Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan. 3) Uji kepekaan obat TB Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT. Untuk

16 menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan mutu/ Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien kebal obat. f. Cara Penularan TB Bakteri Mycobacterium tuberculosis dibawa dalam partikel udara yang disebut droplet nuklei dengan diameter berukuran 1 hingga 5 mikron. Droplet nuklei menular dihasilkan ketika seorang pasien TB batuk, bersin, atau berteriak. Partikel kecil tersebut dapat tetap bertahan di udara selama beberapa jam sehingga memungkinan bakteri untuk ditransmisikan kepada orang lain. Proses tersebut tergantung dari kondisi lingkungan di sekitar, apabila kondisi lingkungan mendukung untuk terjadinya transmisi, maka bakteri dapat dengan mudah menular. Penularan terjadi ketika seseorang menghirup droplet nuklei yang mengandung Mycobacterium tuberclosis dan droplet melintasi mulut atau hidung, saluran pernapasan bagian atas, dan bronkus untuk mencapai alveoli paru paru. Adapun faktor yang mempengaruhi kemungkinan transmisi Mycobacterium tuberculosis yaitu kekebalan tubuh dari individu yang terpapar, jumlah basil tuberkulum yang dieliminasi melalui mekanisme batuk atau bersin oleh pasien TB, faktor lingkungan yang mempengaruhi konsentrasi dari organisme bakteri, dan jarak, frekuensi serta durasi

17 paparan. Semakin lama durasi paparan, maka semakin tinggi risiko penularan. Begitu pula dengan semakin tingginya frekuensi paparan dan jarak paparan yang semakin dekat dapat meningkatkan transmisi (CDC, 2013). Tabel I. Faktor lingkungan pemacu transmisi M. tuberculosis (CDC, 2013) Faktor Deskripsi Konsentrasi Semakin banyak droplet nuklei di udara, semakin besar droplet nuklei kemungkinan Mycobacterium tuberculosis ditransmisikan. Ruangan Ventilasi Sirkulasi udara Penanganan spesimen Tekanan udara Paparan kecil, ruang tertutup Ventilasi udara yang tidak memadai berakibat kurangnya pengenceran dan penghancuran droplet nuklei. Resirkulasi udara yang terkontaminasi droplet nuklei. Prosedur penanganan spesimen yang tidak tepat dapat menghasilkan penularan droplet nuklei, Tekanan udara positif di dalam ruang pasien TB dapat menyebabkan Mycobacterium tuberculosis mengalir ke ruangan lainnya. Dalam buku Core Curriculum On Tuberculosis tahun 2013 juga menyebutkan faktor lingkungan dapat meningkatkan kemungkinan bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat ditularkan. Faktor faktor tersebut telah dijelaskan dalam tabel I. 2. Pengobatan Tuberkulosis a. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dibuat oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia digunakan sebagai panduan dalam pelaksanaan program pengendalian TB di Indonesia (Depkes RI, 2011). Sasaran pengguna buku pedoman ini terutama ditujukan kepada petugas dan manajer yang bertanggung jawab dalam manajemen program TB yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program TB

18 pada tingkat pusat, propinsi, kabupaten/kota dan pada tingkat pelayanan kesehatan. Buku tersebut juga dapat digunakan bagi mereka yang bekerja pada institusi pemerintah dan swasta maupun lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam penanggulangan TB (Depkes RI, 2007). b. Prinsip Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Depkes RI, 2011). Menurut Blumberg, tujuan dari pengobatan tuberkulosis adalah (1) untuk menyembuhkan individu pasien, dan (2) untuk meminimalkan transmisi Mycobacterium tuberculosis kepada orang lain. Pengobatan yang efektif dilakukan dengan mencegah penularan dari infeksi TB dan mencegah berkembangnya kasus resistensi obat. Selain itu, penting untuk mengembalikan kondisi kesehatan pasien seperti sedia kala sebelum terinfeksi TB. Intervensi utama untuk mencegah penyebaran TB di masyarakat adalah deteksi dini pasien dengan TB dan penyediaan pengobatan yang efektif untuk memastikan obat selalu tersedia secara cepat dan berkelanjutan. Hal tersebut dilakukan karena pengobatan TB tidak hanya merupakan masalah kesehatan individu seperti pada kasus pengobatan hipertensi atau asma, namun merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dengan demikian, semua penyedia layanan kesehatan, publik dan swasta yang melakukan pengobatan TB harus memiliki pengetahuan

19 untuk meresepkan regimen pengobatan yang dianjurkan, menilai kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan mengatasi ketidakpatuhan pasien untuk memastikan bahwa pengobatan telah selesai (WHO, 2014). Keberhasilan terapi selain berguna untuk pasien juga untuk lingkungan dimana si pasien berada. Maka dari itu, pembuat resep memiliki tugas untuk membawa fungsi kesehatan masyarakat dengan bertanggung jawab tidak hanya memberikan regimen terapi yang tepat namun juga memastikan keberhasilan terapi (Blumberg et al., 2003). c. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) merupakan kombinasi dari beberapa antibiotik. Kombinasi antibiotik ersebut dikelompokkan menjadi beberapa golongan. jenis : Berikut adalah pengelompokan OAT berdasarkan golongan dan Tabel II. Pengelompokan OAT (Depkes RI, 2012) Golongan dan Jenis Obat Golongan 1 Obat Lini Pertama Golongan 2 Obat suntik/suntikan Lini Kedua Golongan 3 Golongan Fluoroquinolone Golongan 4 Obat Bakteriostatik Lini Kedua Golongan 5 Obat yang Belum Terbukti Efikasinya dan Tidak Direkomendasikan oleh WHO Isoniazid (H) Ethambutol (E) Kanamycin (Km) Ofloxacin (Ofx) Levofloxacin (Lfx) Ethionamide (Eto) Prothionamide (Pto) Cycloserine (Cs) Clofazimine (Cfz) Linezolid (Lzd) Amoxilin Clavulanate (Amx Clv) Pyrazinamide (Z) Rifampicin (R) Streptomycin (S) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm) Moxifloxacin (Mfx) Para amino salisilat (PAS) Terizidone (Trd) Thioacetazone (Thz) Clarithromycin (Clr) Imipenem (Ipm)

20 Jenis OAT yang digunakan pada pengobatan tuberkulosis adalah obat primer yang merupakan OAT golongan pertama (lini pertama) dan obat sekunder terdiri dari OAT golongan 2, 3, 4 dan 5. Obat obatan tersebut merupakan rekomendasi berdasarkan pedoman dari WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease). Tabel III. Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama (Depkes RI, 2012) Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Jenis OAT Sifat Harian 3 x seminggu 5 10 Isoniazid (H) Bakterisid (4 6 ) (8 12) Rifampicin (R) Pyrazinamide (Z) Streptomycin (S) Ethambutol (E) Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakteriostatik 10 (8 12) 25 (20 30) 15 (12 18) 15 (15 20) 10 (8 12) 35 (30 40) 15 (12 18) 30 (20 35) d. Tahap Pengobatan TB Berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang dikeluarkan oleh Depkes RI, tahun 2011, pengobatan TB dilakukan dengan prinsip prinsip sebagai berikut : 1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Penggunaan OAT tunggal (monoterapi) tidak dianjurkan. Pemakaian OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

21 2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO) 3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan : a) Tahap Awal (Intensif). Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Apabila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menularkan TB dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan, dan dapat melanjutkan pengobatan ke tahap berikutnya. b) Tahap Lanjutan Fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Pada tahap ini, pasien mendapat jenis obat yang lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Hal ini dikarenakan sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

22 e. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan OAT di Indonesia disediakan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) dan paket kombipak. Paket OAT KDT merupakan tablet yang terdiri dari kombinasi antara 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket kombipak adalah obat lepas yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT (Depkes RI, 2011). Tujuan dari disediakannya OAT dalam bentuk paket adalah untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. Adapun keuntungan menggunakan KDT dalam pengobatan TB adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2011) : 1) Dosis dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektivitas obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan risiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. 3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

23 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia, Depkes RI tahun 2011 terbagi menjadi 2 kategori, yaitu : 1) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 Paduan OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E). Regimen tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE) pada tahap intensif, sedangkan Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) diberikan setiap 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4(HR)3) pada tahap lanjutan. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : a) Pasien baru TB paru BTA positif b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif c) Pasien TB ekstra paru Tabel IV. Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 1 (Depkes RI, 2011) Berat Badan (kg) Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 30 37 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT 38 54 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT 55 70 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT 71 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT Tahap Pengobatan Tabel V. Dosis untuk paduan OAT Kombipak kategori 1 (Depkes RI, 2011) Dosis per hari/kali Tablet Lama Kaplet Tablet Tablet Isoniazid Pengobatan Rifampisin Pirazinamid Etambutol @300 @450 mg @500 mg @250 mg mg Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56 Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48 Jumlah hari menelan obat

24 2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 Paduan OAT diberikan dengan regimen pengobatan sebagai berikut: a) Fase intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) dan suntikan Streptomisin setiap hari. Setelah itu dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) setiap hari. b) Fase lanjutan dilakukan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan obat. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default). Tabel VI. Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 2 (Depkes RI, 2011) Berat Badan (kg) Tahap intensif tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) + S Tahap lanjutan 3 x seminggu selama 16 minggu RH (150/150) + E (275) Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 30 37 38 54 55-70 71 2 tab 4 KDT + 500 mg Streptomisin injeksi 3 tab 4 KDT + 750 mg Streptomisin injeksi 4 tab 4 KDT + 1000 mg Streptomisin injeksi 5 tab 4 KDT + 1000 mg Streptomisin injeksi 2 tab 4 KDT 3 tab 4 KDT 4 tab 4 KDT 5 tab 4 KDT 2 tab 2 KDT + 2 tab Etambutol 3 tab 2 KDT + 3 tab Etambutol 4 tab 2 KDT + 4 tab Etambutol 5 tab 2 KDT + 5 tab Etambutol

25 Catatan : Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan. Tabel VII. Dosis untuk paduan OAT Kombipak kategori 2 (Depkes RI, 2011) Tahap Pengobatan Intensif (dosis harian) Lanjutan (dosis 3x seminggu) Lama Pengobatan 2 bulan 1 bulan Tablet H @300 mg 1 1 Kaplet R @450 mg 1 1 Tablet Z @500 mg 3 3 Tablet @250 mg 3 3 E Tablet @400 mg - - S Injeksi 0,75 g - Jumlah hari/ kali menelan obat 4 bulan 2 1 - - 2-60 56 28 3) Kategori Sisipan : (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama 1 bulan (28 hari). Tabel VIII. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk sisipan (Depkes RI, 2011) Tahap intensif tiap hari selama 28 hari RHZE Berat Badan (kg) (150/75/400/275) 30 37 2 tablet 4 KDT 38 54 3 tablet 4 KDT 55-70 4 tablet 4 KDT 71 5 tablet 4 KDT Tabel IX. Dosis untuk paduan OAT kombipak untuk sisipan (Depkes RI, 2011) Tahap Pengobatan Tahap Intensif (dosis harian) Lama Pengobatan Tablet Isoniazid @300 mg Kaplet Rifampisin @450 mg Tablet Pirazinamid @500 mg Tablet Etambutol @250 mg Jumlah hari/kali menelan obat 1 bulan 1 1 3 3 28 Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut

26 jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Selain itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua. f. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Berikut adalah tabel tindak lanjut hasil pemeriksaan dahak ulang sebagai pemantauan dan hasil pengobatan : Tabel X. Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak (Depkes RI, 2011) Tipe Pasien TB Tahap Pengobatan Hasil Pemeriksaan Dahak Tindak Lanjut Pasien baru dengan pengobatan kategori 1 Pasien baru BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2 Akhir tahap Negatif Tahap lanjutan dimulai intensif Positif Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, maka tahap lanjutan tetap diberikan dan jika memungkinkan, dilakukan biakan, tes resistensi, atau rujuk ke layanan TB - MDR Pada bulan ke 5 Negatif Pengobatan dilanjutkan pengobatan Positif Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, dilakukan biakan, tes resistensi, atau rujuk ke layanan TB MDR Akhir pengobatan Negatif Pengobatan dilanjutkan (AP) Positif Pengobatan diganti dengan OAT Kategori 2 mulai dari awal. Jika memungkinkan, dilakukan biakan, tes resistensi, atau rujuk ke layanan TB MDR Akhir tahap intesif Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan Positif Beri sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan pengobatan tahap lanjutan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan tetap diberikan dan jika memungkinkan, dilakukan biakan, tes resistensi, atau rujuk ke layanan TB - MDR Pada bulan ke- 5 Negatif Pengobatan diselesaikan pengobatan Positif Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB MDR Akhir Pengobatan Negatif Pengobatan diselesaikan (AP) Positif Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB MDR. Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB - MDR

27 Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan tersebut lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Kemajuan pengobatan dipantau dengan dilakukannya pemeriksaan spesimen sebanyak 2 kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif apabila kedua spesimen tersebut negatif. Apabila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel X. Berdasarkan Program Pengendalian Tuberkulosis Nasional tahun 2011, hasil pengobatan pasien TB BTA positif adalah sebagai berikut : 1) Sembuh, apabila pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow up) hasilnya negatif pada AP (Akhir Pengobatan) dan pada satu pemeriksaan sebelumnya. 2) Pengobatan lengkap, adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

28 3) Meninggal, adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. 4) Putus berobat (default), adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 5) Gagal, adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 6) Pindah (Transfer Out), adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. 7) Keberhasilan pengobatan (Treatment Success) merupakan jumlah pasien yang sembuh dan pengobatan lengkap. Kategori ini digunakan pada pasien dengan BTA(+) atau biakan positif. 3. Kepatuhan Pasien Kepatuhan (adherence) adalah perilaku patuh terhadap pengobatan yang membutuhkan kesediaan dari pasien dan membentuk sebuah aturan yang telah disepakati antara penyedia layanan kesehatan dengan pasien berdasarkan prinsip bahwa pasien harus menjadi mitra aktif dari tenaga kesehatan profesional dalam perawatan diri mereka sendiri. Selain itu, untuk menciptakan praktek klinis yang efektif harus terjadi komunikasi yang baik antara pasien dengan tenaga kesehatan. Sedangkan kesesuaian (compliance) lebih kepada kepatuhan terhadap hal yang telah disampaikan penyedia layanan kesehatan

29 secara sepihak tanpa persetujuan pasien (WHO, 2003). Namun ada beberapa literatur yang menyebutkan bahwa adherence dan compliance adalah kata lain dengan makna yang sama (McDonald, et al., 2002). Menurut Case Management Adherence Guidlines (CMAG) 2006, compliance, adherence, dan persistence merupakan istilah yang sering digunakan dalam literatur untuk menggambarkan perilaku meminum obat. Compliance menunjukkan pendekatan pasif dimana pasien mengikuti saran dan arahan dari penyedia layanan kesehatan. Compliance menyiratkan sudut pandang pasien yang seringkali dengan sedikit pemahaman mengikuti saran dari dokter atau penyedia layanan kesehatan lainnya. Seorang pasien yang secara sengaja maupun tidak sengaja menolak untuk mengikuti saran penyedia layanan kesehatan dianggap tidak patuh. Adherence merupakan istilah yang digunakan untuk mengukur perilaku meminum obat. Istilah tersebut mirip dengan istilah compliance yaitu menunjukkan seberapa baik pasien melaksanakan regimen pengobatannya. Perbedaan antara adherence dengan compliance adalah adherence menyiratkan keputusan bersama antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Adherence menyiratkan hubungan di mana pasien dan penyedia layanan kesehatan sepakat untuk menjalankan pilihan pengobatan yang tepat bagi pasien. Kelompok kerja WHO untuk terapi jangka panjang mendefinisikan adherence merupakan suatu batasan sejauh mana tingkat kepatuhan seseorang meminum obat, mengikuti diet dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup, sesuai dengan rekomendasi dari penyedia layanan kesehatan (WHO, 2003).

30 Melalui istilah adherence, disepakati bahwa regimen terapi untuk pasien tidak serta merta hanya mengikuti saran dari dokter. Dengan demikian mendorong pasien untuk bertanggung jawab dalam menjalankan terapinya. Hal ini merupakan faktor penting yang mendorong keberhasilan pengobatan (Case Management Society of America, 2006). 4. Kepatuhan Pasien terhadap Pengobatan TB Kepatuhan dalam kontrol penyakit TB didefinisikan sebagai sejauh mana kesesuaian antara riwayat pasien dalam minum obat dengan pengobatan yang diresepkan (WHO, 2003). Kepatuhan terhadap pengobatan TB adalah faktor penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Hasil yang sukses dari pengobatan diasumsikan sebagai kombinasi dari regimen obat yang tepat didukung dengan kepatuhan pasien meminum obat. Oleh sebab itu, pendekatan dari perawatan TB didasarkan oleh kebutuhan pasien dan hubungan yang baik antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Pendekatan yang dijelaskan dalam International Standards for Tuberculosis Care edisi ketiga dirancang untuk mendorong dan memfasilitasi kemitraan positif antara penyedia layanan kesehatan dengan pasien untuk bersama sama meningkatkan kepatuhan (WHO, 2013). 5. Faktor Pendukung Kepatuhan Pasien Mencapai kepatuhan pasien merupakan hal yang tidak mudah bagi pasien maupun penyedia layanan kesehatan. Regimen OAT yang terdiri dari

31 beberapa obat dan diberikan selama minimal 6 bulan memungkinkan pasien mencapai kejenuhan untuk minum obat. Akibatnya pasien menjadi mangkir dari pengobatan dan tidak rutin mengambil obat, terutama apabila merasa kondisinya sudah membaik (WHO, 2014). Kepatuhan pasien dapat dicapai apabila terjadi kerjasama yang baik antara pasien dengan tenaga kesehatan. Selain itu penyedia layanan kesehatan dan masyarakat juga mempunyai peran yang penting dalam upaya pengendalian TB. Menurut Case Management Adherence Guidlines (CMAG) 2006, terdapat 4 faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan. Faktor tersebut adalah sebagai berikut : a. Faktor terkait pengobatan, terdiri dari : jumlah dosis obat harian, jumlah obat yang diminum bersamaan, efek samping obat, dan lamanya waktu terapi. b. Faktor terkait pasien, terdiri dari : jenis penyakit yang diderita (penyakit kejiwaan cenderung menyebabkan sulit tercapainya kepatuhan), kondisi ekonomi pasien, dukungan sosial, kondisi lingkungan tempat tinggal, kepadatan kegiatan sehari-hari, keterbatasan fisik, barrier bahasa antara pasien dengan tenaga medis, persepsi sehat dan sakit, persepsi keparahan penyakit, keyakinan terhadap manfaat pengobatan, kepercayaan diri untuk menyelesaikan terapi, dan kemauan untuk mengubah gaya hidup tidak. c. Faktor terkait tenaga medis, terdiri dari : hubungan yang baik antara tenaga medis dengan pasien, keterampilan komunikasi, keyakinan terhadap kesehatan antara tenaga medis dengan pasien, dan pemberian motivasi.

32 d. Faktor terkait sistem penyedia layanan kesehatan, terdiri dari : asuransi kesehatan, biaya pengobatan, dan kemudahan terhadap akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Peran tenaga kesehatan dan programmer TB dalam pengobatan TB adalah memastikan bahwa pasien meminum OAT secara tertib dan rutin. Programmer TB harus membangun dan memelihara sistem yang memaksimalkan akses pasien untuk perawatan, dan melatih serta mengawasi petugas kesehatan lain untuk memberikan perawatan TB yang berpusat pada pasien. Faktor faktor seperti halnya regimen obat (harian atau berselang), formulasi obat (kombinasi dosis tetap atau kombipak), serta keadaan dan karakteristik pasien harus dipertimbangkan dalam mengatur pengawasan terhadap pengobatan pasien. Dalam mendukung kepatuhan pasien, programmer TB harus melibatkan penyedia layanan kesehatan yang lain dan masyarakat. F. Landasan Teori Kepatuhan terhadap pengobatan TB merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Hasil yang sukses dari pengobatan diasumsikan sebagai kombinasi dari regimen obat yang tepat didukung dengan kepatuhan pasien meminum obat dan supervisi dari tenaga medis (WHO, 2013). Faktor yang berpengaruh mendukung kepatuhan pasien menurut Case Management Adherence Guidelines (CMAG) 2006 terdiri dari faktor terkait pengobatan, faktor terkait individu pasien, faktor terkait tenaga medis yang

33 terlibat dalam pengobatan TB, dan faktor sistem penyedia layanan kesehatan. Pustaka tersebut menjadi acuan pada penelitian ini dalam mengidentifikasi tingkat kepatuhan pasien TB paru dewasa di Puskesmas Kota Yogyakarta beserta faktor faktor pendukung kepatuhan. G. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran kepatuhan dan faktor pendukung kepatuhan dalam menjalani pengobatan pada pasien TB paru dewasa di Puskesmas Kota Yogyakarta selama periode penelitian yang dilakukan pada bulan September hingga Desember 2014. H. Kerangka Konsep Penelitian Terapi OAT Kepatuhan Pasien Outcome Terapi Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien : 1. Faktor terkait pengobatan (jenis KDT, efek samping) 2. Faktor terkait pasien (jarak rumah menuju Puskesmas, Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian dukungan PMO) 3. Faktor terkait tenaga medis (peran dan sikap perawat TB) 4. Faktor terkait sistem penyedia layanan kesehatan (jadwal khusus pengobatan TB, waktu tunggu pasien)