Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

dokumen-dokumen yang mirip
MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU DAN

Saudara-saudara yang saya hormati,

Laporan Investigatif Eyes on the Forest Desember 2015

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

1 TAHUN PELAKSANAAN INPRES 10/2011: Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam

PROGRAM KEHUTANAN UNTUK MITIGASI PERUBAHAN IKLIM & PENGUKURAN, PELAPORAN SERTA VERIFIKASINYA (MRV) Tindak Lanjut COP 15

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERKEMBANGAN LOI RI-NORWAY DINAS KEHUTANAN PROVINSI RIAU

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

ISU ISU STRATEGIS KEHUTANAN. Oleh : Ir. Masyhud, MM (Kepala Pusat Humas Kemhut) Pada Orientasi Jurnalistik Kehutanan Jakarta, 14 Juni 2011

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

INTEGRASI RENCANA AKSI NASIONAL PENURUNAN EMISI GRK KE DALAM PEMBANGUNAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 53/Menhut-II/2008 TENTANG OPTIMALISASI PERUNTUKAN AREAL HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI (HPK)

BRIEFING PAPER Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia & Iklim Global

I PENDAHULUAN Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

Laporan Investigasi Jikalahari KEPALA BRG DIHADANG, PT RAPP LANJUT MERUSAK HUTAN ALAM DAN GAMBUT

PAPER KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN

sumber pembangunan ekonomi dan sumber kehidupan masyarakat, tetapi juga sebagai pemelihara lingkungan global.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

West Kalimantan Community Carbon Pools

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu

I.PENDAHULUAN Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) yang sedang berjalan,

Rehabilitasi dan Pengelolaan Lahan Gambut Bekelanjutan

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 65/Menhut-II/2009 TENTANG STANDARD BIAYA PRODUKSI PEMANFAATAN KAYU PADA IZIN PEMANFAATAN

HUTAN HUJAN DAN LAHAN GAMBUT INDONESIA PENTING BAGI IKLIM, SATWA LIAR DAN MASYARAKAT HUTAN

Resiko Korupsi dalam REDD+ Oleh: Team Expert

NOTA DINAS Nomor: ND. /II-PHM/2012

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

PIPIB untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi Karbon

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Pemerintah Republik Indonesia (Indonesia) dan Pemerintah Kerajaan Norwegia (Norwegia), (yang selanjutnya disebut sebagai "Para Peserta")

Pmencerminkan kepatuhan terhadap prinsipprinsip

MAKSUD DAN TUJUAN. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim secara internasional, khususnya terkait REDD+

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN HUTAN PRODUKSI YANG DAPAT DIKONVERSI

Kesiapan dan Tantangan Pengembangan Sistem MRV dan RAD/REL Provinsi Sumbar

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

Analisis Kebijakan Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan?

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

2012, No Mengingat dengan peruntukan dan fungsi kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebag

Investasi Bisa di Hutan Rusak

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

Upaya Pemulihan Hutan Indonesia dari praktek kelola yang amburadul Oleh : Deddy Ratih

MEMBUAT HUTAN MASYARAKAT DI INDONESIA

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN

Governors Climate & Forests Task Force. Provinsi Kalimantan Tengah Central Kalimantan Province Indonesia

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.62/Menhut-II/2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS: Tinjauan Aspek Kesesuaian Lahan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

LESTARI PAPER NO. 03 PERAN HPH DALAM MENJAGA KEBERLANJUTAN HUTAN ALAM. Nana Suparna

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

3. METODOLOGI PENELITIAN

REDD+: Selayang Pandang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENTINGNYA REFORMASI PENGUASAAN HUTAN DAN LAHAN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN AGENDA PEMBANGUNAN YANG PEKA TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

PR MENTERI LKH: TUTUP CELAH KORUPSI MELALUI REVISI REGULASI SEKTOR KEHUTANAN

Moratorium gambut diabaikan, dua kebun sawit grup Panca Eka menebangi hutan alam di Semenanjung Kampar, Riau

APP melaporkan perkembangan implementasi pengelolaan lahan gambut

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA)

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN. Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan,

Isi Paparan. REL Tanah Papua Tahun dari Sektor Kehutanan 6/22/ Roadmap Implementasi REDD+ di Tanah Papua 4.

Transkripsi:

www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009

DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1: Konversi hutan alam di luar kawasan hutan... 2 Kasus 2: Konversi hutan alam di kawasan hutan yang dicadangkan untuk dikonversi... 3 Kasus 3: Deforestasi dari aktivitas HPH... 5 Kasus 4: Deforestasi dari aktivitas HTI...6 Rekomendasi... 7

Pengantar Target penurunan emisi yang telah disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebesar 26% hingga 2020 pada Pertemuan Iklim di Kopenhagen 17 Desember 2009 lalu--bahkan tingkat penurunannya bisa mencapai 41% jika ada bantuan internasional perlu memperhatikan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota serta peta penunjukan kawasan hutan yang telah disahkan oleh Menteri Kehutanan. Terhadap target penurunan emisi 26% tersebut, perlu digarisbawahi bahwa Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan sebesar 51,2% karena dari target 26% penurunan emisi tersebut, 13,3% di antaranya adalah ditargetkan dari sektor kehutanan. Tidak hanya itu, sektor kehutanan juga terikut dalam target penurunan emisi dari pemanfaatan lahan gambut karena luasan lahan gambut yang berada di dalam kawasan hutan cukup signifikan. Target penurunan emisi dari lahan gambut ditargetkan sebesar 9,5%--atau sebesar 36,5% dari target penurunan emisi sebesar 26%. Artinya, jika penurunan emisi dari sektor kehutanan ditambahkan dengan target penurunan emisi dari pemanfaatan lahan gambut, maka kedua komponen tersebut menyumbang penurunan emisi sebesar 87,7% dari target penurunan emisi 26%. Pertanyaan yang mendasar dari target penurunan emisi dari sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan gambut ini adalah sejauh mana komitmen Pemerintah Indonesia mengkonkritkan target tersebut hingga 2020. Laporan ini bertujuan untuk menunjukkan beberapa kasus penting yang perlu mendapat perhatian khusus dalam hal pencapaian target penurunan emisi Indonesia dari sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan gambut dengan mengacu pada peta penunjukan kawasan hutan yang merupakan basis data utama kawasan hutan dan kawasan bukan hutan. Di samping itu, laporan ini juga bermaksud untuk mengeksplorasi sejauhmana komitmen dan target Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi, baik dalam konteks sebagai komitmen politik maupun dalam upaya untuk mendapatkan insentif berupa kompensasi keuangan melalui mekanisme REDD-PLUS yang merupakan mekanisme kompensasi keuangan terhadap inisiatif penurunan deforestasi dan degradasi yang memberikan manfaat terhadap biodiversitas, jasa-jasa ekosistem, dan masyarakat lokal, yang aksinya melibatkan para pihak. 1

Kasus 1: Konversi hutan alam di luar kawasan hutan Berdasarkan data Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia (Departemen Kehutanan, 2008), terdapat sebaran dan luasan Areal Penggunaan Lain (APL) yang merupakan areal yang telah dikeluarkan dari kawasan hutan untuk selanjutnya dialokasikan bagi pembangunan di luar sektor kehutanan. Yang patut diperhatikan di sini adalah masih terdapatnya tegakan hutan seluas 7,08 juta hektar di kawasan APL tersebut, masing-masing 1,05 juta hektar masih berupa hutan primer dan 6,03 juta hektar berupa hutan sekunder. Hutan primer di kawasan APL terkonsentrasi di dua pulau, yakni Pulau Kalimantan (33,64%) dan Papua (32,92%). Sedangkan kawasan APL yang bertegakan hutan sekunder terkonsentrasi di Pulau Kalimantan (40,76%) dan Sumatera (22,94%). Tabel 1: Sebaran Areal Bertegakan Hutan di Kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) Pulau Penutupan Lahan Total % Hutan Primer % Hutan Sekunder % Sumatera 52.800 5,03 1.384.400 22,94 1.437.200 20,29 Jawa 39.900 3,80 78.000 1,29 117.900 1,66 Kalimantan 353.400 33,64 2.459.600 40,76 2.813.000 39,71 Sulawesi 146.200 13,92 791.600 13,12 937.800 13,24 Bali & NT 96.400 9,18 888.800 14,73 985.200 13,91 Maluku 16.000 1,52 160.700 2,66 176.700 2,49 Papua 345.900 32,92 270.900 4,49 616.800 8,71 Total 1.050.600 100,00 6.034.000 100,00 7.084.600 100,00 Sumber: Diolah dari Data Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia (Departemen Kehutanan, 2008) Mengingat masalah penurunan emisi tidak terkait dengan apakah areal hutan yang dideforestasi itu berada di dalam atau di luar kawasan hutan karena tetap mengeluarkan emisi ketika terjadi deforestasi maka walaupun kawasan APL adalah bukan merupakan kawasan hutan, namun deforestasi yang terjadi terhadap 7,08 juta hektar tetap akan mengeluarkan emisi dan tetap dihitung emisi dari deforestasi hutan. Padahal, kawasan APL tersebut telah dialokasikan untuk dikonversi sebagai areal pembangunan di luar sektor kehutanan secara legal, baik berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota maupun mengacu pada peta penunjukan kawasan hutan Departemen Kehutanan. Komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 26%--yang mayoritasnya bersumber dari hutan tentu perlu merespon persoalan tegakan hutan di luar kawasan hutan (APL) tersebut. Pertanyaan yang perlu direspon oleh Pemerintah Indonesia setidaknya menyangkut empat hal berikut: 2

1) Apakah areal hutan primer dan sekunder seluas 7,08 juta hektar yang telah dialokasikan menjadi areal pembangunan di luar sektor kehutanan tersebut tetap diteruskan (dapat dikonversi) seperti yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang di daerah-daerah dan peta penunjukan kawasan hutan Departemen Kehutanan (business as usual)? 2) Apakah Pemerintah Indonesia akan membatalkan rencana konversi areal hutan seluas 7,08 juta hektar tersebut melalui revisi tata ruang di daerah-daerah dan mengembalikannya kembali ke dalam kawasan hutan tetap melalui peta penunjukan kawasan hutan Departemen Kehutanan? 3) Berapa persen dari areal APL berhutan yang tetap dikonversi sesuai dengan rencana tata ruang di daerah-daerah dan peta penunjukan kawasan hutan Departemen Kehutanan? 4) Atau, berapa persen dari areal APL berhutan seluas 7,08 juta hektar tersebut yang akan direncanakan untuk dikonversi, akan dibatalkan dengan menggunakan mekanisme kompensasi keuangan melalui REDD-PLUS? Terhadap keempat pertanyaan tersebut di atas, Pemerintah Indonesia perlu memperjelas keputusan politiknya secara transparan terhadap kebijakannya dalam memperlakukan areal seluas 7,08 juta hektar tersebut. Ini sesuai dengan pidato Presiden Yudhoyono di Kopenhagen yang menyebutkan betapa pentingnya transparansi, sehingga tak ada alasan untuk menghindari transparansi dalam hal penurunan emisi. Kasus 2: Konversi hutan alam di kawasan hutan yang dicadangkan untuk dikonversi Tantangan yang tak kalah krusialnya dalam hal mencapai target penurunan emisi dari sektor kehutanan adalah masih luasnya areal bertegakan hutan di kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK). Kawasan HPK adalah bukan kawasan hutan tetap, yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman, pertanian, dan perkebunan. Tabel 2: Sebaran Areal Bertegakan Hutan di Kawasan Hutan Produksi Dapat Dikonversi (HPK) Pulau Penutupan Lahan Total % Hutan Primer % Hutan Sekunder % Sumatera 48.300 0,95 851.100 14,83 899.400 8,30 Jawa - - - - - - Kalimantan 32.300 0,63 1.761.800 30,70 1.794.100 16,57 Sulawesi 43.400 0,85 240.200 4,19 283.600 2,62 Bali & NT 3.000 0,06 11.700 0,20 14.700 0,14 Maluku 234.700 4,61 911.500 15,88 1.146.200 10,58 Papua 4.729.500 92,90 1.962.300 34,19 6.691.800 61,79 Total 5.091.200 100,00 5.738.600 100,00 10.829.800 100,00 Sumber: Diolah dari Data Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia (Departemen Kehutanan, 2008) 3

Mengacu pada data Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia (Departemen Kehutanan, 2008), luas kawasan HPK yang masih berupa hutan primer dan sekunder mencapai 10,83 juta hektar, masing-masing 5,09 juta hektar adalah hutan primer dan 5,74 juta hektar adalah hutan sekunder. Dari 5,09 juta hektar hutan primer di kawasan HPK, 92,90% berada di Pulau Papua. Sedangkan sebaran hutan sekunder yang terdapat di kawasan HPK, 34,19% terdapat di Pulau Papua dan 30,70% di Pulau Kalimantan. Kawasan HPK merupakan kawasan prioritas yang bisa dilepas untuk dialokasikan menjadi areal pembangunan di luar kehutanan. Walaupun Pemerintah Indonesia memprioritaskan pelepasan kawasan HPK yang tak berhutan untuk dikeluarkan dari kawasan hutan, namun tidak semua kabupaten/kota memiliki kawasan HPK yang tak berhutan. Artinya, akan ada usulan-usulan pelepasan kawasan HPK berhutan. Saat ini saja, usulan-usulan pelepasan kawasan dari provinsi dan kabupaten/kota tidak terbatas pada kawasan HPK saja, namun juga sudah meliputi kawasan hutan tetap seperti kawasan lindung dan hutan produksi. Kondisi ini disebabkan karena tidak semua provinsi dan kabupaten/kota memiliki kawasan HPK dan APL, sementara kebutuhan lahan meningkat. Kondisi ini merupakan tantangan tersendiri yang juga perlu direspon secara serius dalam konteks target penurunan emisi. Terkait dengan penurunan target emisi dari sektor kehutanan, maka Pemerintah Indonesia tentu harus mengambil kebijakan yang jelas dan tegas terhadap areal pencadangan yang berasal dari kawasan HPK berhutan tersebut. Pertanyaan mendasar yang perlu dikemukakan di sini adalah: 1) Apakah Pemerintah Indonesia tetap mencadangkan kawasan HPK berhutan seluas 10,83 juta hektar yang secara ruang telah dicadangkan untuk menjadi areal pembangunan di luar sektor kehutanan (business as usual)? 2) Apakah Pemerintah Indonesia akan membatalkan pencadangan areal HPK berhutan seluas 10,83 juta hektar tersebut, dan kemudian memasukkan kembali areal HPK berhutan tersebut menjadi kawasan hutan tetap? 3) Berapa persen dari areal HPK berhutan yang tetap direncanakan akan dilepas untuk dikonversi bagi kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan? 4) Atau, berapa persen dari areal HPK berhutan seluas 10,83 juta hektar yang direncanakan untuk dikonversi, akan dibatalkan dengan menggunakan mekanisme kompensasi keuangan melalui REDD-PLUS? Terhadap keempat pertanyaan tersebut, kembali perlu ditegaskan bahwa Pemerintah Indonesia perlu mengambil kebijakan yang jelas dan konkrit mengingat target penurunan emisi 2020 sangat tergantung, di antaranya, pada rencana pencadangan areal HPK berhutan untuk dikonversi menjadi areal pembangunan di luar sektor kehutanan. 4

Kasus 3: Deforestasi dari aktivitas HPH Studi Greenomics Indonesia (Desember 2009) menunjukkan, mengacu pada rencana bisnis HPH yang beroperasi di Indonesia, sedikitnya terdapat 110 perusahaan HPH yang beroperasi pada areal konsesi seluas 8,14 juta hektar. areal yang akan ditebang hingga 2018 sedikitnya mencapai 1,54 juta hektar dengan volume kayu hasil tebangan sedikitnya 59,45 juta meter kubik dengan nilai kayu sebesar Rp 65,96 triliun. Tabel 3: Sebaran Pemanfaatan Hutan oleh HPH Berdasarkan Rencana Bisnis 110 HPH Pulau Jumlah (unit) Rencana Penebangan HPH Areal Izin Tutupan Hutan Primer Tutupan Hutan Bekas Tebangan Volume (m3) Sumatera 6 335.574 68.102 170.462 80.098 6.109.992 Kalimantan 73 5.073.901 1.264.677 2.870.318 915.179 37.702.748 Papua 12 1.726.460 1.247.142 384.827 315.901 8.120.897 Maluku 14 726.249 216.888 352.536 135.672 5.477.824 Sulawesi 5 275.390 134.661 107.881 97.657 2.039.114 Total 110 8.137.574 2.931.470 3.886.024 1.544.507 59.450.574 Sumber: Studi Greenomics Indonesia (Desember 2009) berdasarkan rencana bisnis HPH (2008-2018) Jika mengacu pada target penurunan emisi dari sektor kehutanan, berarti hingga 2018 saja, terdapat 1,54 juta hektar akan ditebang (deforested), yang tentu saja menyumbang emisi ke atmosfir cukup signifikan. Pertanyaan yang relevan untuk diajukan di sini adalah: 1) Apakah Pemerintah Indonesia akan terus melanjutkan aktivitas HPH berdasarkan rencana bisnis yang telah disetujui dan disahkan oleh Departemen Kehutanan (business as usual), yang akan berakibat pada terjadinya deforestasi sedikitnya seluas 1,54 juta hektar hingga 2018? 2) Apakah Pemerintah Indonesia berencana membatalkan rencana bisnis perusahaanperusahaan HPH tersebut, kemudian menawarkan kompensasi REDD-PLUS, sehingga terjadi moratorium HPH? 3) Jika diambil kebijakan moratorium HPH melalui kompensasi REDD-PLUS, bagaimana langkah-langkah Pemerintah Indonesia dalam mengantisipasi pemenuhan kebutuhan bahan baku industri kayu dan kebutuhan domestik masyarakat, serta ekses-ekses lainnya seperti semakin meningkatnya aktivitas pembalakan liar dan masalah ketenagakerjaan serta persoalan multiplier effect? 4) Atau, berapa persen dari areal 1,54 juta hektar yang akan ditebang tersebut, direncanakan untuk ditunda dengan memberikan kompensasi keuangan melalui mekanisme REDD- PLUS? 5

Dalam hal Pemerintah Indonesia tetap menjalankan rencana bisnis HPH seperti yang telah disetujui dan disahkan oleh Departemen Kehutanan Pemerintah Indonesia tentu harus mengestimasi tingkat emisi yang akan dikeluarkan dari aktivitas HPH tersebut agar sumber emisi dari sektor kehutanan dapat secara transparan terinformasikan kepada publik luas. Ini sesuai dengan pidato Presiden di Kopenhagen bahwa Indonesia akan terbuka soal rencana dan kemajuan dalam hal penurunan target emisi. Kasus 4: Deforestasi dari aktivitas HTI Pembangunan HTI melibatkan proses penyiapan lahan melalui aktivitas pembersihan lahan (land-clearing) hutan alam yang menurut Departemen Kehutanan telah melalui proses pemilahan (deliniasi); yakni memilah areal hutan produksi alam yang masih produktif dan yang berfungsi sebagai kawasan lindung, dan areal hutan produksi alam nonproduktif. Aktivitas pembersihan lahan yang diizinkan oleh Departemen Kehutanan adalah areal yang menurut penilaian Departemen Kehutanan adalah hutan produksi alam nonproduktif. Studi Greenomics Indonesia (Desember 2009) menunjukkan, dari 77 rencana bisnis perusahaan HTI yang melibatkan areal konsesi seluas 3,53 juta hektar di antaranya 1,09 juta hektar sudah berupa tutupan hutan tanaman terdapat 299.002 hektar hutan produksi alam yang dinilai oleh Departemen Kehutanan dalam kondisi nonproduktif, yang kemudian diperbolehkan untuk dikonversi (di antaranya sedang berlangsung) dalam rangka penyiapan lahan untuk pembangunan HTI hingga 2018. Dari hasil konversi tersebut, diperkirakan sesuai rencana bisnis HTI (2008-2018) diperoleh kayu hasil konversi sebesar 20,23 juta meter kubik dengan nilai Rp 9,28 triliun. Tabel 4: Sebaran Pemanfaatan Hutan oleh HTI Berdasarkan Rencana Bisnis 77 HTI Pulau Jumlah (unit) Areal Izin Konversi Hutan Alam untuk Penyiapan Areal HTI Tutupan Hutan Tanaman Tutupan Hutan Bekas Tebangan Hutan Primer Areal Bekas Tebangan Volume Kayu Hasil Konversi (m3) Sumatera 50 2.127.217 819.668 570.777-205.943 15.629.254 Kalimantan 27 1.402.823 272.777 189.382 13.270 93.059 4.605.570 Total 77 3.530.040 1.092.445 760.159 13.270 299.002 20.234.824 Sumber: Studi Greenomics Indonesia (Desember 2009) berdasarkan rencana bisnis HTI (2008-2018) Terkait dengan target penurunan emisi, pertanyaan wajar yang dapat dikemukakan di sini dalam konteks sumbangan emisi dari proses konversi yang disebabkan oleh penyiapan lahan HTI adalah: 6

1) Apakah proses konversi hutan produksi alam di areal konsesi HTI sedikitnya seluas 299.002 hektar hingga 2018 tersebut, tetap terus dapat dilanjutkan (business as usual) atau dibatalkan oleh Departemen Kehutanan? 2) Jika Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan moratorium konversi hutan produksi alam dalam penyiapan lahan pembangunan HTI (termasuk moratorium konversi hutan produksi alam nonproduktif), bagaimana langkah-langkah kebijakan konkrit yang akan diambil? Dalam kondisi di mana Pemerintah Indonesia tidak mempermasalahkan proses konversi hutan produksi alam nonproduktif dalam penyiapan lahan untuk pembangunan HTI, tentu Pemerintah Indonesia perlu memperhitungkan emisi yang dikeluarkan akibat proses konversi hutan produksi alam nonproduktif dalam pembangunan HTI sebagai bagian dari upaya membuka transparansi seperti janji dalam pidato Presiden Yudhoyono di Kopenhagen. Rekomendasi 1) Pemerintah Indonesia perlu menghitung kembali secara akurat terhadap target penurunan emisi yang bersumber dari sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan gambut, mengingat kedua komponen tersebut akan menjadi target penurunan emisi secara signifikan, yakni sebesar 22,8% dari target 26% pada tahun 2020. Perhitungan secara akurat tersebut setidaknya meliputi proyeksi emisi dari: a. Rencana konversi areal bertegakan hutan di luar kawasan hutan (APL) seluas 7,08 juta hektar yang secara ruang telah dialokasikan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan. b. Rencana konversi kawasan hutan tidak tetap (HPK) seluas 10,83 juta hektar yang telah dicadangkan untuk dikeluarkan dari status kawasan hutan untuk menjadi areal pembangunan di luar sektor kehutanan. c. Rencana deforestasi hutan produksi dari aktivitas HPH sedikitnya seluas 1,54 juta hektar hingga 2018. d. Rencana konversi dari penyiapan lahan HTI hingga 2018, sedikitnya seluas 299.002 hektar (di antaranya sedang berlangsung). 2) Pemerintah Indonesia perlu mengeluarkan cetak biru rencana penurunan emisi dari sektor kehutanan dan pemanfaatan lahan gambut dengan basis MRV (Measurable, Reportable, and Verifiable). Basis ini mengikuti komitmen Presiden Yudhoyono seperti yang telah disampaikan pada Pertemuan Iklim di Kopenhagen. 7