BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. menyalurkan dana dari masyarakat secara efektif dan efisien. Salah satu

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

PENGIKATAN PERJANJIAN DAN AGUNAN KREDIT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi termasuk sektor keuangan dan perbankan harus segera

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB V PEMBAHASAN. Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tulungagung. sebagai barang yang digunakan untuk menjamin jumlah nilai pembiayaan

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

Pembebanan Jaminan Fidusia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 168, (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889)

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

BAB II SEGI HUKUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

Imma Indra Dewi Windajani

BAB I PENDAHULUAN. atas tanah berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBUK INDONESIA

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

UNDANG-UNDANG FIDUSIA NO. 42 TAHUN 1999 MEMBAWA PERUBAHAN DALAM PRANATA JAMINAN RABIATUL SYAHRIAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN FIDUSIA. Kebutuhan akan adanya lembaga jaminan, telah muncul sejak zaman romawi.

PENDAHULUAN. Tanah merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat di. Indonesia. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah dipengaruhi oleh jumlah

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari, manusia sangat tergantung kepada tanah

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pinjam meminjam merupakan salah satu bagian dari perjanjian pada

AKIBAT PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA DAN KEKUATAN HUKUM SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA YANG DITERBITKAN OLEH KANTOR PENDAFTARAN FIDUSIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITUR DAN DEBITUR. Dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya, maka berbagai macam upaya perlu dilakukan oleh pemerintah. lembaga keuangan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN, PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM, HUKUM JAMINAN DAN HAK TANGGUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, kegiatan ini memegang peranan penting bagi kehidupan bank. umum di Indonesia khususnya dan di negara lain pada umumnya.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT PADA UMUMNYA. A. Pengertian Bank, Kredit dan Perjanjian Kredit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Secara umum, bank adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB II TINJAUAN MENGENAI PENGATURAN PENGEMBALIAN PIUTANG DENGAN JAMINAN FIDUSIA. A. Ketentuan Hukum Jaminan menurut KUHPerdata dan KUH Dagang

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya peningkatan pendapatan perkapita masyarakat dan. meningkatnya kemajuan tersebut, maka semakin di perlukan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

MAKALAH HUKUM PERIKATAN MENGENAI ANALISIS SENGKETA JAMINAN FIDUSIA BAB I PENDAHULUAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SUKINO Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Riau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BENTUK-BENTUK JAMINAN MENURUT HUKUM INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

EKSEKUSI BARANG JAMINAN FIDUSIA DAN HAMBATANNYA DALAM PRAKTEK

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PT. ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE KOTA JAYAPURA

BAB I PENDAHULUAN. lain sehingga muncul hubungan utang piutang. Suatu utang piutang merupakan

TANGGUNG JAWAB PENANGGUNG DALAM PERJANJIAN KREDIT NURMAN HIDAYAT / D

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

ASPEK HUKUM PERSONAL GUARANTY. Atik Indriyani*) Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

BAB 3 PARATE EKSEKUSI DALAM KAITANNYA DENGAN JANJI EKSEKUTORIAL DALAM HAK TANGGUNGAN, PERMASALAHAN YANG ADA SERTA PEMBAHASANNYA

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Perbankan merupakan lembaga yang bergerak di bidang

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. usaha dan pemenuhan kebutuhan taraf hidup. Maka dari itu anggota masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. nasabah merupakan kegiatan utama bagi perbankan selain usaha jasa-jasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan di bidang ekonomi merupakan bagian dari

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang di Indonesia juga. Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang

Transkripsi:

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam Meminjam Di Kabupaten Sleman Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan mewajibkan pihak lain untuk menunaikan prestasi. Suatu perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang telah sepakat atas setiap hal-hal yang disetujui di dalam perjanjian yang dibuat mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak yang melakukan perjanjian. Perjanjian yang lahir bukan karena undang-undang melainkan karena perjanjian sudah semestinya menjadi fokus para pihak baik kreditur ataupun kreditur untuk mentaati semua ketentuan yang telah disepakati di dalam perjanjian yang dibuat. Perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan akta autentik dan akta di bawah tangan (onderhands). Akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna karena dibuat oleh pejabat umum yang berkuasa untuk itu. Sedangkan akta di bawah tangan (onderhands) adalah salah satu bukti tertulis yang dibuat dan ditandatangai oleh pihak yang melakukan perjanjian tanpa dibantu oleh pejabat umum yang berwenang dalam pembuatan akta. Akta di bawah tangan mempunyai 92

kekuatan pembuktian yang sempurna halnya akta autentik sepanjang tanda tangan dan isi diakui oleh para pihak. Perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata menjelaskan bahwa pinjam meminjam yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan perjanjian adalah menentukan pihak pertama untuk menyerahkan barang dan pihak kedua akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah, waktu dan keadaan yang sama, yang diartikan bahwa para pihak dalam perjanjian harus saling melakukan prestasi yang telah diperjanjikan. Apabila di kemudian hari terjadi wanprestasi maka akan dilakukan upaya hukum menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Seperti halnya dalam perjanjian pinjam meminjam sebagai perjanjian pokok yang mengakibatkan munculnya hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat di dalam suatu perjanjian. Perjanjian pinjam meminjam sebagai perjanjian pokok, melahirkan perjanjian tambahan (assesoir) sebagai antisipasi adanya kerugian apabila terjadi wanprestasi dari salah satu pihak, maka lahirlah sebuah perjanjian jaminan. Pada pengaturan hukum jaminan, terdapat dua macam jenis jaminan yaitu jaminan umum dan jaminan khusus. Dasar hukum jaminan umum adalah Pasal 1131 Kuh Perdata yaitu, Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Dengan demikian, apabila seorang debitur dalam keadaan wanprestasi, maka lewat kewajiban jaminan umum ini kreditur dapat minta pengadilan untuk menyita dan 93

melelang seluruh harta debitur kecuali jika atas harta tersebut ada hak-hak lain yang bersifat preferensial. Sebenarnya ketentuan ini sudah merupakan suatu jaminan terhadap pembayaran utang-utang debitur, tanpa diperjanjikandan tanpa menunjuk benda khusus dari si debitur. Sedangkan jaminan khusus adalah setiap jaminan utang yang bersifat kontraktual, yakni yang terbit dari perjanjian tertentu (berarti tidak timbul dengan sendirinya). Ada yang khusus ditujukan terhadap barang-barang tertentu contohnya gadai, hipotek, cessie asuransi, cessie tagihan, atau hak retensi, ataupun yang tidak ditujukan terhadap barang tertentu, seperti garansi pribadi, garansi perusahaan, atau akta pengakuan utang murni. Ditinjau dari perjanjian pinjam meminjam di Sleman ini dengan menggunakan akta di bawah tangan (onderhands) yang dibuat oleh para pihak tanpa dibantu oleh pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Notaris atau PPAT dinyatakan telah memenuhi semua persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat perjanjian. Penggunaan jaminan yang digunakan dalam perjanjian ini adalah berupa sertifikat tanah. Adapun sertifikat tanah menurut ketentuan yang tercantum dalam UUHT dapat dijadikan sebagai jaminan dalam suatu perjanjian pinjam meminjam yaitu prosesnya adalah melalui Notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dengan menggunakan akta autentik karena yang dijaminkan adalah berupa tanah. Perjanjian pembebanan jaminan ini dilakukan dalam bentuk tertulis yang biasanya dilakukan dalam dunia perbankan, lembaga keuangan nonbank maupun lembaga pegadaian. Perjanjian pembebanan ini dapat dilakukan dalam 94

bentuk akta di bawah tangan dan atau akta autentik, biasanya perjanjian pembebanan jaminan dengan menggunakan akta di bawah tangan dilakukan pada lembaga pegadaian, sedangkan perjanjian pembebanan yang menggunakan akta autentik dilakukan di muka dan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Perjanjian pembebanan dengan menggunakan akta autentik dapat dilakukan pembebanan pada jaminan atas hak tanggungan, jaminan fidusia, dan jaminan hipotek atas kapal laut atau pesawat udara. Oleh karena itu jaminan yang melekatkan hak tanggungan pada sebidang tanah perjanjian pembebanannya harus dibuat dihapadan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Perjanjian jaminan terletak di belakang perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pinjam meminjam. Perjanjan pokok harus ada terlebih dahulu karena perjanjian jaminan bersifat accessior yang menggantung kepada perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pinjam meminjam. Sifat assesoir dari perjanjian jaminan tampak ketika perjanjian pokok selsesai, maka berakibat perjanjian jaminan juga ikut selsesai, begitupun sebaliknya apabila perjanjian pokok sah maka perjanjian assesoir juga sah. Pada prakteknya dalam perjanjian pinjam meminjam di Sleman yang adalah perjanjian pinjam meminjam dengan menggunakan sertifikat tanah sebagai jaminan di Kabupaten Sleman ini tidak menggunakan akta autentik yang dibuat di hadapan Notaris atau PPAT. Yang seharusnya jaminan atas tanah harus dilekati oleh Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sehingga jaminan ini bukanlah termasuk dalam jaminan Hak 95

Tanggungan, akan tetapi perjanjian pinjam meminjam di Sleman yang terjadi adalah perjanjian dengan menggunakan akta di bawah tangan yang ketentuan ini juga tidak dilarang di dalam peraturan perundang-undangan. Syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang tidak dilarang, sudah terpenuhi dalam perjanjian yang terjadi di kabupaten sleman, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian itu sah menurut pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : 1. Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri Di sini para pihak yaitu debitur dar kreditur telah sepakat untuk melakukan perjanjian pinjam meminjam uang, yaitu debitur meminjam uang kepada kreditur pada tahun 2008 sejumlah tiga puluh tiga juta rupiah. Debitur menyerahkan dua sertifikat tanah sebagai jaminan kepada kreditur melalui akta di bawah tangan, kemudian kreditur menerima dua sertifikat tanah tersebut. 2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan dalam perjanjian ini sudah terpenuhi yaitu kedua belah pihak berumur diatas dua puluh satu tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 330 KUH Perdata mengenani kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. 3. Suatu pokok tertentu dalam perjanjian ini adalah perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan sertfikat tanah. 4. Suatu sebab yang tidak terlarang yaitu perikatan yang bersumber dari perjanjian yang berebentuk perjanjian pinjam meminjam uang. 96

Syarat sahnya perjanjian diatas angka 1 dan 2 menjelaskan mengenai syarat subjektif perjanjian yaitu berdasarkan para pihak yang melakukan perjanjian yakni adanya kesepakatan dan adanya kecakapan. Apabila dalam syarat subjektif ada satu unsur yang tidak terpenuhi seperti kecakapan maka salah satu pihak dapat meminta agar perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat memintakan pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Maka perjanjian akan tetap mengikat kedua belah pihak apabila tidak dilakukan pembatalan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak memintakan pembatalan tersebut. Sedangkan angka 3 dan 4 yang tersebut diatas adalah syarat objektif yang apabila syarat tersebut tidak terpenuhi makan perjanjian akan batal demi hukum yang artinya bahwa perjanjian dianggap tidak pernah terjadi. Analisis terhadap kasus yang terjadi di Sleman dapat disimpulkan bahwa perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pinjam meminjamnya dinyakatakan sudah sah menurut ketentuan dan syarat hukum perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kemudian Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan menurut Pasal 4 Undang-undang pokok Agraria, salah satunya adalah Hak Milik. Sesuai dengan penjelasan ketentuan pasal 4 maka dapat dicatat bahwa hak itu pertama wajib didaftar dalam daftar umum, dalam hal ini pada kantor pertanahan dan bukan pada kantor lain seperti adanya akta camat ataupun akta kepala desa dan sebagainya dan kepada pihak piutang diberikan suatu kedudukan khusus sebagai kedudukan didahulukan (preferen) artinya didahulukan dari lain-lain kreditur konkuren. Kesemuanya itu tercatat bahwa 97

atas bidang tanah tersebut sebagai hak tanggungan pada suatu utang. Gunanya pendaftaran tersebut adalah sebagai ketentuan asas publisitas artinya setiap orang dapat melihat bahwa asas sebidang tanah tersebut terikat suatu hak tanggungan untuk sejumlah tertentu. Perjanjian yang terjadi di Kabupaten Sleman ini dapat dikatakan tidak sah menurut ketentuan di dalam UUHT karena seharusnya pembuatan jaminan atas perjanjian pinjam meminjam yang melekatkan hak tanggungan pada suatu bidang tanah harus dibuat di hadapan Notaris yaitu dengan membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) sesuai tata cara dan peraturan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 13 Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 bahwa pada perjanjian pinjam meminjam yang menggunakan sertifikat hak atas tanah sebagai jaminan yang diberikan sebagai penjamin atas pelunasan utangnya, maka harus dengan memberikan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian disebut APHT melalui pendaftaran di Kantor Pertanahan. Kemudian sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungann sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang di dalamnya memuat irah-irah DEMI KEADILAN BERDASRKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, adapun maksud dari irah-irah tersebut menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah agar Sertifikat Hak Tanggungan yang diterbitkan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Melihat dari kasus yang terjadi di Kabupaten Sleman, karena dalam perjanjian pinjam meminjam menggunakan jaminan sertifikat hak atas tanah yang dilakukan tidak melalui pendaftaran melalui Kantor 98

Pertanahan dengan menggunganakan Sertifikat Hak Tanggungan dan tidak juga membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan yang adalah kewenangan dari Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1 ayat 4 dan ayat 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah yang kemudian disebut UUHT, maka bentuk jaminan dalam perjanjian pinjam meminjam ini adalah tidak memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 14 UUHT, karena tidak mengandung irah-irah yang disebutkan pada Pasal 14 ayat (2) UUHT, maka jaminan yang digunakan dalam perjanjian pinjam meinjam di Kabupaten Sleman ini tidak termasuk ke dalam jaminan hak tanggungan yang memiliki kekuatan eksekutorial. Pada perjanjian pinjam meminjam dengan menggunakan jaminan sertifikat tanah yang terjadi di Sleman, jaminan sertifikat tersebut adalah sah dan boleh dijadikan sebagai jaminan atas utang debitur sebagai antisipasi kerugian apabila terjadi wanprestasi oleh debitur. Akan tetapi jaminan tersebut tidak masuk dalam kualifikasi jaminan di dalam UUHT yaitu jaminan Hak Tanggungan yang termasuk ke dalam jaminan khusus. Oleh karena itu jika jaminan ini dilihat dari ketentuan yang tercantum ke dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, Pasal 1131 KUH Perdata menyebutkan bahwa, Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Dan Pasal 1132 KUH Perdata yaitu, Barang-barang 99

itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila diantara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Maka jaminan ini termasuk ke dalam jaminan yang tertera dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Berdasarkan analisis tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian pinjam meminjam di Sleman sebagai perjanjian pokok adalah sah menurut ketentuan hukum sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Sedangkan perjanjian tambahan yang muncul dari perjanjian pinjam meminjam tersebut adalah perjanjian jaminan sertifikat tanah adalah sah sebagai jaminan kebendaan. Kemudian bentuk jaminan yang digunakan pada perjanjian pinjam meminjam di Sleman yang menggunakan akta di bawah tangan bukanlah termasuk dalam jaminan yang dilekatkan dengan Hak Tanggungan sesuai dengan Undang-undang Hak Tanggungan No 4 Tahun 1996, karena dalam penggunaan sertifikat tanah sebagai jaminan atas pelunasan perjanjian pinjam meminjam, para pihak memilih untuk tidak membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam penggunaan jaminan sertifikat tanah dalam perjanjian pinjam meminjam yang dilakukan, sehingga jaminan sertifikat tanah yang digunakan sebagai jaminan dapat dikategorikan sebagai jaminan umum yang tercantum di dalam ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. 100

B. Akibat hukum terhadap jaminan sertifikat tanah dalam perjanjian pinjam meminjam di Kabupaten Sleman. 1. Posisi kasus Di Desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman pada tahun 2008, terjadi perjanjian pinjam meminjam antara debitur (sebut saja A) dengan kreditur (sebut saja B) dengan menggunakan jaminan sertifikat tanah dengan akta di bawah tangan. Beberapa tahun kemudian debitur melakukan wanprestasi, karena dianggap tidak memiliki iktikad baik untuk melunasi semua utangnya. Kresitur sudah melayangkan berkali-kali teguran kepada debitur untuk melunasi utangnya, akan tetapi debitur tidak menghiraukan teguran yang dilayangkan kreditur sampai kreditur mengguggat debitur ke Pengadilan Negeri Sleman. 2. Pembahasan Kasus Terdapat beberapa prinsip yuridis yang berlaku atas suatu jaminan utang, salah satunya adalah prinsip formalisme. Dalam konteks ini terdapat beberapa tindakan formalistis yang diharuskan oleh perundnag-undangan untuk dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam suatu jaminan utang. Prinsip formalisme tersebut terlihat dalam hal-hal sebagai berikut 137 : 137. Loc.cit, Munir Fuady, Hlm. 28. 101

a. Keharusan Pembuatan Akta. Umunya (walaupun tidak semuanya), suatu jaminan utang disyaratkan oleh perundang-undangan untuk dibuat dengan akta tertentu. Misalnya, hak tanggungan atas tanah dibuat dengan akta PPAT (Pasal 10 ayat (2) Undang-undang hak tanggungan No. 4 Tahun 1996, surat kuasa memasang hak tanggungan atas tanah dibuat dengan akta notaris atau PPAT (Pasal 15 Undang-undang hak tanggungan No. 4 Tahun 1996 138. b. Keharusan pencatatan. Umunya (walaupun tidak semuanya), hak jaminan utang diharuskan untuk didaftarkan 139. c. Pelaksanaan di depan pejabat tertentu. Peraturan perundangundangan mensyaratkan terhadap beberapa jenis hak tanggungan agar diikat, dicatat, atau dieksekusi di depan pejabat tertentu yang berbeda-beda menurut jenis hak jaminan dan jenis objek hak jaminan tersebut. Di antara pejabat yang terlibat dalam fungsi ini adalah PPAT, syahbandar, Kantor Pertanahan Nasional, pengadilan, kantor lelang, BUN/PUPLN 140. d. Penggunaan instrumen tertentu. Untuk beberapa kegiatan dalam proses berlangsungnya suatu hak jaminan, dipersyaratkan juga untuk secara formal menggunakan instrumen-instrumen tertentu sesuai dengan jenis dan tahap 138. Op.cit, Munir Fuady, Hlm. 28. 139. Ibid. 140. Ibid. 102

berlangsungnya hak jaminan tersebut. Misalnya, parate eksekusi untuk hak tanggungan atas tanah dapat dilakukan, tetapi harus dengan menggunakan instrumen tertentu seperti melalui kantor lelang atau melalui dua surat kabar, radio, televisi, dan sebagainya 141. e. Penggunaan kata-kata tertentu. Dalam hal-hal tertentu, bahkan kata-kata yang dipergunakan dalam akta-akta tertentu yang bersangkutan dengan jaminan utang diharuskan sedemikian rupa agar terkesan sangat formal. Contohnya irah-irah sertifikat hak tanggungan atas tanah atau atas hak hipotek harus berupa kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yng Maha Esa, dan kalimat ini harus persis demikian tidak boleh lebih tidak boleh kurang 142. Perjanjian pinjam meminjam sebagai perjanjian pokok yang menjadi penyebab lahirnya perjanjian tambahan (assesoir) yaitu perjanjian jaminan dalam praktiknya harus tetap mengikuti ketentuan yang terdapat di dalam undangundang antara lain mengenai syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata yaitu, adanya kesepakatan, adanya kecakapan, adanya suatu pokok tertentu, dan adanya suatu sebab yang tidak dilarang. Lahirnya perjanjian yang bersifat assesoir yaitu perjanjian jaminan tidak luput dari perjanjian 141. Op.cit, Munir Fuady, Hlm. 29. 142. Op.cit, Munir Fuady, Hlm. 29. 103

pokoknya yaitu perjanjian pinjam meminjam atau pinjam meminjam. Maka ketika suatu perjanjian pokoknya berakhir maka berakhir pula perjanjian tambahannya begitupun sebaliknya apabila perjanjian pokoknya sah maka perjanjian tambahannya juga sah. Prinsip assesoir dari jaminan utang memiliki konsekuensi yuridis antara lain 143 : 1. Tidak ada perjanjian utang jika karena sebab apapun perjanjian kreditnya tidak eksis baik karena kebatalan,pembatalan, ataupun putusnya perjanjian. Sebaliknya, eksistensi perjanjian kredit tidak terpengaruh dengan valid atau tidaknya perjanjian jaminan kredit. 2. Tidak mungkin ada jaminan kredit atas kredit yang belum ada. Undang-undang Hak Tanggungan No 4 Tahun 1996 dengan tegas menyatakan bahwa hak tanggungan dapat diberikan baik atas utang yang telah ada ataupun yang belum ada, tetapi jika telah diperjanjikan dengan jumlah utang tertentu setidaktidaknya pada saat eksekusi jaminan utang tersebut. Pada umumnya pengikatan jaminan utang dibenarkan jika dibuat hanya di bawah tangan, kecuali untuk jenis-jenis jaminan tertentu. Bahkan, jaminan sebagaimana dengan 143. Op.cit, Munir Fuady, Hlm. 20. 104

perjanjian lainnya, umumnya tidak dilarang untuk dibuat secara lisan. Hanya saja, untuk menjaga kepastian hukum dan agar memiliki kekuatan pembuktian, pengikatan jaminan kecilkecilan seperti gadai atas benda bergerak yang tidak terlalu besar jumlahnya seringkali dalam praktik pengikatan gadainya hanya dengan men yerahkan barang gadai oleh si pemberi gadai kepada si penerima gadai, tanpa adanya perjanjian tertulis apapun 144. Penggunaan prisnsip formalisme dalam suatu jaminan utang merupakan keharusan formalistis yang terkandung dalam suatu akta jaminan agar akta yang digunakan sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dan memiliki kekuatan eksekutorial. Pada umumnya prinsip formalitas terkandung di dalam akta-akta autentik walaupun dalam peraturan perundang-undangan tidak dilarang mengenai penggunaan akta di bawah tangan sebagai alas jaminan utang tertentu. Ada beberapa jenis jaminan yang tidak dibenarkan untuk dilakukan di bawah tangan, apalagi dengan cara lisan. Misalnya, hak tanggungan atas tanah yang aktanya harus dibuat di depan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai ketentuan-ketentuan hukum tentang pertanahan. Setelah kantor pertanahan telah menerbitkan sertifikat hak tanggungan, sebagai alat bukti bahwa pemegang hak 144. Opcit. Munir Fuady, Hlm. 35. 105

tanggungan memiliki hak tanggungan tersebut, maka kepadanya diserahkan dokumen yang disebut dengan Sertifikat Hak Tanggungan. Pada Sertifikat Hak Tanggungan dicantumkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial. Artinya sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan yang sama dengan eksekusi dari suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sehingga, jika sertifikat hak tanggungan dieksekusi, akan sama saja dengan eksekusi dari suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, yaitu dengan jalan melakukan fiat eksekusi. Perjanjian pinjam meminjam dengan menggunakan jaminan sertifikat tanah di Sleman adalah sah menurut hukum. Perjanjian pokoknya yaitu perjanjian pinjam meminjam sudah memenuhi semua syarat sahnya perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Ketika perjanjian pokok sah maka perjanjian assesoir atau perjanjian tambahannya juga sah. Maka jaminan yang digunakan dalam perjanjian pinjam meminjam di Sleman juga sah sebagai perjanjian assesoir. Dalam ketentuan yang tecantum dalam UUHT dikatakan bahwa dalam penggunaan sertifikat atas tanah sebagai jaminan agar memiliki kekuatan eksekutorial maka pembuatannya 106

harus melalui Notaris atau PPAT dengan melekatkan Hak Tanggungan pada jaminan sertifikat tanah yang digunakan. Objek dalam perjanjian ini adalah jelas yaitu suatu bidang tanah atas hak milik yang sertifikat tanahnya sudah terdaftar dalam pendaftaran, akan tetapi karena jaminan yang digunakan dalam perjanjian ini adalah berupa objek atas tanah yang berarti pemberiannya harus dilekatkan dengan hak tanggungan menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUHT harus melalui pendaftaran melalui Kantor Pertanahan dan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan melalui Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Ketika jaminan sertifikat yang digunakan dalam perjanjian dilakukan pendaftaran ke Kantor Pertanahan yang kemudian terbit Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang memiliki kekuatan eksekutorial, maka secara langsung apabila debitur melakukan wanprestasi, jaminan atas perjanjian tersebut dapat dieksekusi tanpa adanya campur tangan pengadilan, berbeda dengan jaminan seertifikat tanah yang tidak didaftarkan ke Kantor Pertanahan, maka jaminan sertifikat tanah tersebut tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Pada kasus yang terjadi di Sleman para pihak di dalam perjanjian tidak menggunakan akta autentik yaitu pembuatan APHT yang dilakukan di hadapan Notaris atau PPAT dalam jaminan sertifikat tanah yang digunakan, melainkan dengan 107

menggunakan akta di bawah tangan yang juga tidak dilarang di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga jaminan sertifikat tanah tersebut belum memilki kekuatan eksekutorial. Maka agar sertifikat tanah memiliki kekuatan eksekutorial, pihak kreditur dapat melakukan upaya hukum saat debitur melakukan wanprestasi, yaitu dengan cara mengajukan gugatan wanprestasi dan sita jaminan kepada Pengadilan Negeri. Dikarenakan bentuk jaminan sertifikat tanah yang digunakan dalam perjanjian pinjam meminjam di Sleman ini adalah jaminan umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata bahwa semua benda milik debitur bergerak atau tidak bergerak, sudah ada ataupun akan ada menjadi tanggungan atas utang yang dibuatnya. Maka inilah dasar apabila seorang kreditur meminta sita eksekusi atau sita conservatoir atas seluruh harta debitur di pengadilan. 108