Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016

dokumen-dokumen yang mirip
INDEKS PEMBANGUNAN GENDER DAN INDEKS PEMBERDAYAAN GENDER KOTA BEKASI TAHUN 2013

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

BERITA RESMI STATISTIK

TIPOLOGI WILAYAH HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

PROSIDING ISSN: M-14 ANALISIS K-MEANS CLUSTER UNTUK PENGELOMPOKAN KABUPATEN /KOTA DI JAWABARAT BERDASARKAN INDIKATOR MASYARAKAT

Jumlah penduduk Jawa Barat berdasarkan hasil SP2010 sebanyak 43 juta orang dengan laju pertumbuhan sebesar 1,91 persen per tahun

KATA PENGANTAR. keterampilan para petani dan petugas melalui sekolah lapangan serta pelatihan pemandu (PL I, PL II, PL III).

URGENSI SIPD DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

MODAL DASAR PD.BPR/PD.PK HASIL KONSOLIDISASI ATAU MERGER

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 12 Tahun 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENGGUNAAN DAN PENGALOKASIAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU TAHUN 2010

PENENTUAN JUMLAH CLUSTER OPTIMAL PADA MEDIAN LINKAGE DENGAN INDEKS VALIDITAS SILHOUETTE

EVALUASI PELAKSANAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) PROVINSI JAWA BARAT

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT

Daftar Populasi dan Sampel Penelitian

Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD) dan Satu Data Pembangunan Jawa Barat

BERITA RESMI STATISTIK

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2014 (dalam rupiah)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB III OBYEK DAN METODE PENELITIAN. yang menjadi obyek penelitian sebagai variabel bebas

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Draft 18/02/2014 GUBERNUR JAWA BARAT,

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

LAPORAN REALISASI ANGGARAN BELANJA (TRANSAKSI KAS) BELANJA WILAYAH MELALUI KPPN UNTUK BULAN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2013 (dalam rupiah)

1. COOPERATIVE FAIR KE-1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III PEMBAHASAN. survei yang dilakukan BPS pada 31 Oktober Langkah selanjutnya yang

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

SATU DATA PEMBANGUNAN JAWA BARAT PUSAT DATA DAN ANALISA PEMBANGUNAN (PUSDALISBANG) DAFTAR ISI DAFTAR ISI

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

Ringkasan Laporan Kegiatan Monitoring dan Evaluasi Penerapan UU di Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat

PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT JANUARI 2013

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

Yth. Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/ Kota se-jawa Barat. Disampaikan dengan hormat, terima kasih. T April 2017 antor Wilayaha

JULI 2013 PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT

AGUSTUS 2013 PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT

JUNI 2013 PENCAPAIAN KONTRAK KINERJA PROVINSI (KKP) PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 28 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN BANTUAN KEUANGAN DALAM RANGKA SINERGITAS PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki potensi besar untuk

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan April 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan Juni, Juli dan Agustus 2012 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. sektor perindustrian ini adalah dengan cara mengembangkan industri kecil.

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Bidang Bina Pendidik Dan Kependidikan (BPTK) DINAS PENDIDIKAN BANDUNG BARAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

CAPAIAN INDIKATOR MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN AREA MANAJEMEN TRIWULAN I TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. 7). Analisis ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu analisis dependensi dan

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB 3 METODOLOGI. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari data Profil

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

I PENDAHULUAN. Laju 2008 % 2009 % 2010* % (%) Pertanian, Peternakan,

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB III METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

Tabel I.1 Luas Panen dan Jumlah Produksi Singkong Provinsi Jawa Barat Tahun

Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia (2012)

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. linier, varian dan simpangan baku, standarisasi data, koefisien korelasi, matriks

BAB I PENDAHULUAN. terus dilakukan, antara lain, melalui pengajaran secara formal di sekolahsekolah.

Analisis Cluster Average Linkage Berdasarkan Faktor-Faktor Kemiskinan di Provinsi Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggung jawaban pelaksanaan

2015 PENGARUH MINAT BELAJAR DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, peran akuntansi semakin dibutuhkan, tidak saja untuk kebutuhan

BAB IV GAMBARAN UMUM

PENGUKURAN PRODUKTIVITAS RELATIF DAN ANALISIS TINGKAT UPAH TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA SEKTOR INDUSTRI DI JAWA BARAT

Katalog BPS

BAB I PENDAHULUAN. RPJPN) tercantum delapan misi pembangunan nasional Indonesia mewujudkan

Buletin Analisis Hujan Bulan Januari 2013 dan Prakiraan Hujan Bulan Maret, April dan Mei 2013 KATA PENGANTAR

BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI

Fuzzy C-means Clustering menggunakan Cluster Center Displacement

GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan keuangan dengan. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

Transkripsi:

Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016 Rana Amani Desenaldo 1 Universitas Padjadjaran 1 rana.desenaldo@gmail.com ABSTRAK Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Untuk mewujudkan kondisi ini, pemerintah mengupayakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan memprioritaskan mereka yang memiliki kehidupan tidak layak serta masalah sosial. Salah satu masalah sosial yang menjadi prioritas adalah kemiskinan. Fakir miskin merupakan orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Di Indonesia, khususnya Jawa Barat, tingkat kemiskinan sendiri masih heterogen sehingga perlu dilakukan analisis statistik khusus untuk mendapatkan pengelompokan dengan variabel homogen agar pemerintah dapat lebih fokus dalam melakukan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Variabel yang digunakan adalah Indeks Keparahan Kemiskinan dan Indeks Kedalaman Kemiskinan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengimplementasikan metode analisis klaster dalam penentuan kelompok tingkat kemiskinan kota dan kabupaten di Jawa Barat berdasarkan kondisi wilayah masing-masing. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari Badan Pusat Statistik meliputi data indeks keparahan kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan per kota dan kabupaten se-jawa Barat. Metode analisis yang digunakan adalah analisis klaster single linkage method. Dari perhitungan ini, didapatkan lima kelompok tingkat kemiskinan yang mengacu kepada indeks kedalaman kemiskinan; Kelompok 1 dengan indeks 2.37%; Kelompok 2 dengan indeks rata-rata 1.85%; Kelompok 3 dengan indeks rata-rata 1.19%; Kelompok 4 dengan indeks rata-rata 0.70%; Kelompok 5 dengan indeks 0.30%. Pengelompokan ini disusun berdasarkan skala prioritas sehingga pemerintah dapat memfokuskan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan tingkat urgensinya. Kata kunci: Kemiskinan, Jawa Barat, Analisis Klaster 1. PENDAHULUAN Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya [1]. Untuk mewujudkan kondisi ini, pemerintah mengupayakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial, yaitu upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial [1]. Orang-orang yang diprioritaskan adalah mereka yang memiliki kehidupan tidak layak serta masalah sosial. Salah satu masalah sosial yang menjadi prioritas utama adalah kemiskinan. Fakir miskin merupakan orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya [2]. Sedangkan penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memeunhi kebutuhan dasar setiap warga negara [2]. Pada tahun 2016, persentase penduduk miskin di Jawa Barat mencapai angka 8.95% yang meski menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 9.53%, masih tergolong belum cukup rendah [3]. Persebaran persentase kemiskinan di setiap daerah di Jawa Barat pun masih terhitung besar. Masih terjadi kesenjangan antara daerah satu dengan daerah lainnya yang mengindikasikan bahwa penanganan fakir miskin di Jawa Barat masih belum merata. Oleh karena itu perlu diterapkan metode statistik dengan 15

memperhitungkan karateristik yang serupa di dalam wilayah sehingga akan didapat kelompok tingkat kemiskinan yang akurat. Analisis klaster dapat digunakan sebagai metode untuk menentukan kelompok tingkat kemiskinan agar akurat secara statistik. Analisis klaster merupakan analisis yang digunakan untuk mengelompokkan pengamatan atau variabel menjadi beberapa kelompok pengamatan atau variabel yang jumlahnya lebih sedikit. Analisis klaster dilakukan jika peneliti belum mengetahui jumlah kelompok baru [4]. Tujuan utama dari analisis klaster adalah untuk menemukan pengelompokan yang alami dari variabel yang ada [5] dengan mengelompokkan n objek berdasarkan p variat yang memiliki kesamaan karakteristik di antara objek-objek tersebut. Objek tersebut akan diklasifikasikan ke dalam satu atau lebih klaster sehingga objek-objek yang berada dalam satu klaster akan mempunyai kemiripan atau kesamaan karakteristik [6]. Ciri-ciri klaster yang baik ialah klaster yang antar anggota dalam satu klasternya memiliki kesamaan yang tinggi (homogenitas within-cluster) dan antar klasternya memiliki perbedaan yang tinggi (heterogenitas between-cluster) [7]. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mengelompokkan tingkat kemiskinan di Jawa Barat yang akurat secara statistik? Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu mengimplementasikan metode analisis klaster dalam penentuan kelompok tingkat kemiskinan di Jawa Barat berdasarkan indeks kemiskinan masing-masing. Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, maka manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah dapat menentukan skala prioritas yang akurat secara statistik untuk mengentaskan kemiskinan bagi pemerintah serta dapat mengetahui dan menyebarkan informasi mengenai metode statistik yang dapat digunakan untuk mengelompokkan kemiskinan bagi peneliti. 2. METODE PENELITIAN Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi indeks keparahan kemiskinan per kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahun 2016 dan indeks kedalaman kemiskinan per kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahun 2016. Kedua data tersebut diambil dari situs Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat. Data yang digunakan bersatuan persentase untuk kedua variabel indeks keparahan kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks kemiskinan yang dibagi menjadi dua, yaitu indeks keparahan kemiskinan (X 1) dan indeks kedalaman kemiskinan (X 2). Indeks keparahan kemiskinan merupakan indeks yang memberikan informasi mengenai gambaran penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks keparahan kimiskinan, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin [8]. Sedangkan indeks kedalaman kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin kecil nilai indeks kedalaman kemiskinan, semakin besar potensi ekonomi untuk data pengentasan kemiskinan berdasarkan identifikasi karakteristik penduduk miskin dan juga untuk target sasaran bantuan dan program [8]. Penelitian ini menggunakan analisis klaster single linkage method dengan menggunakan pendekatan pengukuran kemiripan yang dinyatakan dalam jarak (distance) antara pasangan objek. Salah satu cara mengukur jarak adalah dengan menggunakan jarak euclidean. Jarak euclidean merupakan jarak berupa akar jumlah kuadrat selisih nilai untuk setiap variabel [9] yang perumusannya adalah sebagai berikut: untuk dan Hasil perhitungan jarak antar pengamatan tersebut kemudian dibuat ke dalam bentuk matriks jarak seperti berikut: Nilai d pada matriks jarak tersebut menunjukkan kemiripan antara satu pengamatan dengan pengamatan lainnya. Semakin kecil nilai d, maka semakin besar kemiripan di antara kedua pengamatan 16

tersebut. Akan tetapi, sebaliknya, semakin besar nilai d, maka semakin besar pula ketidakmiripkan di antara kedua pengamatan tersebut. Matriks jarak tersebut kemudian digunakan untuk pengelompokan. Klaster dengan metode single linkage dibentuk dari entitas individu dengan cara menggabungkan tetangga terdekat atau jarak terkecil atau kemiripan terbesar antar data. Harus dicari jarak terkecil di dalam dan menggabungkan kedua objek dengan jarak terkecil itu. Misalkan U dan V digabungkan menjadi klaster (UV) karena jarak di antara keduanya adalah jarak terkecil atau kemiripan di antara keduanya adalah kemiripan terbesar. Selanjutnya, jika jarak terdekat di dalam D adalah (UV) dengan W, maka perumusannya adalah sebagai berikut [5]: Nilai dari d UW dan d VW berturut-turut adalah jarak terdekat atau terkecil dari kelompok U dan W serta kelompok V dan W [5]. Metode ini pada intinya adalah terus mencari jarak terkecil atau terdekat dan menggabungkannya sehingga tersisa sejumlah kelompok sesuai dengan yang diinginkan. Hasil dari analisis klaster single linkage method dapat digambar secara grafis dalam bentuk dendogram atau diagram pohon. Cabang-cabang pada pohon merepresentasikan klaster yang terbentuk dari hasil penggabungan [5]. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis klaster single linkage method yang telah dilakukan terhadap data indeks keparahan kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan kota/kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2016, diperoleh lima kelompok kota/kabupaten di Jawa Barat yang pengelompokannya disajikan pada dendogram berikut: Cluster Dendrogram Height 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 23 25 27 2 14 3 17 15 22 7 11 18 19 8 9 1 4 20 21 16 10 26 24 5 6 12 13 d hclust (*, "single") Gambar 3.1 Dendogram Analisis Klaster Single Linkage Method Berikut tahap-tahap pengelompokan hierarki yang telah dilakukan: 1. Objek 25 dan 27 bergabung menjadi kelompok (25,27). 2. Objek 3 dan 17 bergabung menjadi kelompok (3,17). 3. Objek 2 dan 14 bergabung menjadi kelompok (2,14). 4. Objek (25,27) dan 23 bergabung menjadi kelompok (23,25,27). 5. Objek 5 dan 6 bergabung menjadi kelompok (5,6). 6. Objek 15 dan 22 bergabung menjadi kelompok (15,22). 7. Objek (2,14) dan 7 bergabung menjadi kelompok (2,7,14). 8. Objek (15,22) dan (3,17) bergabung menjadi (3,15,17,22). 9. Objek 11 dan 18 bergabung menjadi kelompok (11,18). 10. Objek 8 dan 9 bergabung menjadi kelompok (8,9). 11. Objek (2,7,14) dan 19 bergabung menjadi kelompok (2,7,14,19). 17

12. Objek (5,6) dan 12 bergabung menjadi kelompok (5,6,12). 13. Objek (2,7,14,19) dan 1 bergabung menjadi kelompok (1,2,7,14,19). 14. Objek (5,6,12) dan (3,15,17,22) bergabung menjadi kelompok (3,5,6,12,15,17,22). 15. Objek (3,5,6,12,15,17,22) dan 13 bergabung menjadi kelompok (3,5,6,12,13,15,17,22). 16. Objek (1,2,7,14,19) dan 20 bergabung menjadi kelompok (1,2,7,14,19,20). 17. Objek (1,2,7,14,19,20) dan 4 bergabung menjadi kelompok (1,2,4,7,14,19,20). 18. Objek (3,5,6,12,15,17,22) dan (11,18) bergabung menjadi kelompok (3,5,6,11,12,15,17,18,22). 19. Objek (3,5,6,11,12,15,17,18,22) dan 10 bergabung menjadi kelompok (3,5,6,10,11,12,15,17, 18,22). 20. Objek (23,25,27) dan 16 bergabung menjadi kelompok (16,23,25,27). 21. Objek (16,23,25,27) dan 21 bergabung menjadi kelompok (16,21,23,25,27). 22. Objek (3,5,6,10,11,12,15,17,18,22) dan (8,9) bergabung menjadi kelompok (3,5,6,8,9,10,11,12, 15,17,18,22) 23. Objek (3,5,6,8,9,10,11,12,15,17,18,22) dan (1,2,4,7,14,19,20) bergabung menjadi kelompok (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,14,15,17,18,19,20,22). Terbentuk lima klaster dari analisis tersebut dimana kelompok 1 dan 5 hanya terdiri dari satu kabupaten/kota. Anggota kelompok tersebut berturut-turut adalah Kota Tasikmalaya dan Kota Depok. Kelompok 2 terdiri dari 13 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Pangandaran, dan Kota Cirebon. Kelompok 3 terdiri dari 7 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Purwakarta, Kota Bogor, dan Kota Sukabumi. Sedangkan Kelompok 4 terdiri dari 5 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Cimahi, dan Kota Banjar. Kelompok yang terbentuk memiliki rata-rata indeks kedalaman kemiskinan masing-masing sesuai dengan kota/kabupaten yang terkelompokkan di dalamnya. Kelompok 1 memiliki indeks 2.37%, Kelompok 2 memiliki indeks rata-rata 1.85%, Kelompok 3 memiliki indeks rata-rata 1.19%, Kelompok 4 memiliki indeks rata-rata 0.70%, dan Kelompok 5 memiliki indeks 0.30% Pengelompokan ini telah diurutkan berdasarkan indeks kedalaman kemiskinan rata-ratanya mulai dari yang indeks kedalaman kemiskinannya paling tinggi hingga paling rendah. 4. PENUTUP Dari hasil analisis dan pembahasan, didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengelompokkan 27 kota/kabupaten di Jawa Barat berdasarkan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan terdiri atas lima kelompok. Kelompok 1 hanya terdiri dari Kota Tasikmalaya. Kelompok 2 terdiri dari Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Pangandaran, dan Kota Cirebon. Kelompok 3 terdiri dari Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Purwakarta, Kota Bogor, dan Kota Sukabumi. Kelompok 4 terdiri dari Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Cimahi, dan Kota Banjar. Sedangkan kelompok 5 hanya terdiri dari Kota Depok. 2. Kelompok 1 merupakan kelompok kota/kabupaten dengan indeks kedalaman kemiskinan yang paling tinggi sebesar 2.37%, diikuti oleh kelompok 2 yang angka indeksnya sebesar 1.85%, kelompok 3 sebesar 1.19%, kelompok 4 sebesar 0.70%, hingga kelompok 5 yang indeks kedalaman kemiskinannya paling rendah sebesar 0.30%. Saran dari penulis yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk pemerintah, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penentuan skala prioritas dalam usaha mengentaskan kemiskinan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. 2. Untuk peneliti yang hendak melanjutkan penelitian ini, sebaiknya mempertimbangkan pula angka kebutuhan hidup layak per kota/kabupaten sehingga hasil pengelompokan yang didapat untuk penentuan skala prioritas usaha pengentasan kemiskinan pemerintah akan lebih akurat dan tidak terbatas kepada angka kemiskinan saja. 18

5. DAFTAR PUSTAKA [1] Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 11. Sekretariat Negara. Jakarta. [2] Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Lembaran Negara RI Tahun 2011, No. 13. Sekretariat Negara. Jakarta. [3] BPS. 2016. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat (Persen), 2002 2016. Bandung: Badan Pusat Statistik Jawa Barat. [4] Iriawan, N. & Astuti S.P. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Jakarta: CV ANDI. [5] Johnson, Richard A. & Dean W. Winchern. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis 6th Edition. United States of America: Pearson Prentice Hall. [6] Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Jakarta: PT Rineka Cipta. [7] Santoso, S. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. [8] BPS. 2017. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Jawa Barat September 2016. Bandung: Badan Pusat Statistik Jawa Barat. [9] Nugroho, S. 2008. Statistik Multivariat Terapan. Bengkulu: UNIB Press. 19