Analisis Klaster untuk Pengelompokan Kemiskinan di Jawa Barat Berdasarkan Indeks Kemiskinan 2016 Rana Amani Desenaldo 1 Universitas Padjadjaran 1 rana.desenaldo@gmail.com ABSTRAK Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Untuk mewujudkan kondisi ini, pemerintah mengupayakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan memprioritaskan mereka yang memiliki kehidupan tidak layak serta masalah sosial. Salah satu masalah sosial yang menjadi prioritas adalah kemiskinan. Fakir miskin merupakan orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya. Di Indonesia, khususnya Jawa Barat, tingkat kemiskinan sendiri masih heterogen sehingga perlu dilakukan analisis statistik khusus untuk mendapatkan pengelompokan dengan variabel homogen agar pemerintah dapat lebih fokus dalam melakukan penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Variabel yang digunakan adalah Indeks Keparahan Kemiskinan dan Indeks Kedalaman Kemiskinan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengimplementasikan metode analisis klaster dalam penentuan kelompok tingkat kemiskinan kota dan kabupaten di Jawa Barat berdasarkan kondisi wilayah masing-masing. Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari Badan Pusat Statistik meliputi data indeks keparahan kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan per kota dan kabupaten se-jawa Barat. Metode analisis yang digunakan adalah analisis klaster single linkage method. Dari perhitungan ini, didapatkan lima kelompok tingkat kemiskinan yang mengacu kepada indeks kedalaman kemiskinan; Kelompok 1 dengan indeks 2.37%; Kelompok 2 dengan indeks rata-rata 1.85%; Kelompok 3 dengan indeks rata-rata 1.19%; Kelompok 4 dengan indeks rata-rata 0.70%; Kelompok 5 dengan indeks 0.30%. Pengelompokan ini disusun berdasarkan skala prioritas sehingga pemerintah dapat memfokuskan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan tingkat urgensinya. Kata kunci: Kemiskinan, Jawa Barat, Analisis Klaster 1. PENDAHULUAN Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya [1]. Untuk mewujudkan kondisi ini, pemerintah mengupayakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial, yaitu upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial [1]. Orang-orang yang diprioritaskan adalah mereka yang memiliki kehidupan tidak layak serta masalah sosial. Salah satu masalah sosial yang menjadi prioritas utama adalah kemiskinan. Fakir miskin merupakan orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya [2]. Sedangkan penanganan fakir miskin adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memeunhi kebutuhan dasar setiap warga negara [2]. Pada tahun 2016, persentase penduduk miskin di Jawa Barat mencapai angka 8.95% yang meski menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 9.53%, masih tergolong belum cukup rendah [3]. Persebaran persentase kemiskinan di setiap daerah di Jawa Barat pun masih terhitung besar. Masih terjadi kesenjangan antara daerah satu dengan daerah lainnya yang mengindikasikan bahwa penanganan fakir miskin di Jawa Barat masih belum merata. Oleh karena itu perlu diterapkan metode statistik dengan 15
memperhitungkan karateristik yang serupa di dalam wilayah sehingga akan didapat kelompok tingkat kemiskinan yang akurat. Analisis klaster dapat digunakan sebagai metode untuk menentukan kelompok tingkat kemiskinan agar akurat secara statistik. Analisis klaster merupakan analisis yang digunakan untuk mengelompokkan pengamatan atau variabel menjadi beberapa kelompok pengamatan atau variabel yang jumlahnya lebih sedikit. Analisis klaster dilakukan jika peneliti belum mengetahui jumlah kelompok baru [4]. Tujuan utama dari analisis klaster adalah untuk menemukan pengelompokan yang alami dari variabel yang ada [5] dengan mengelompokkan n objek berdasarkan p variat yang memiliki kesamaan karakteristik di antara objek-objek tersebut. Objek tersebut akan diklasifikasikan ke dalam satu atau lebih klaster sehingga objek-objek yang berada dalam satu klaster akan mempunyai kemiripan atau kesamaan karakteristik [6]. Ciri-ciri klaster yang baik ialah klaster yang antar anggota dalam satu klasternya memiliki kesamaan yang tinggi (homogenitas within-cluster) dan antar klasternya memiliki perbedaan yang tinggi (heterogenitas between-cluster) [7]. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara mengelompokkan tingkat kemiskinan di Jawa Barat yang akurat secara statistik? Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu mengimplementasikan metode analisis klaster dalam penentuan kelompok tingkat kemiskinan di Jawa Barat berdasarkan indeks kemiskinan masing-masing. Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, maka manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah dapat menentukan skala prioritas yang akurat secara statistik untuk mengentaskan kemiskinan bagi pemerintah serta dapat mengetahui dan menyebarkan informasi mengenai metode statistik yang dapat digunakan untuk mengelompokkan kemiskinan bagi peneliti. 2. METODE PENELITIAN Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi indeks keparahan kemiskinan per kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahun 2016 dan indeks kedalaman kemiskinan per kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahun 2016. Kedua data tersebut diambil dari situs Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat. Data yang digunakan bersatuan persentase untuk kedua variabel indeks keparahan kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks kemiskinan yang dibagi menjadi dua, yaitu indeks keparahan kemiskinan (X 1) dan indeks kedalaman kemiskinan (X 2). Indeks keparahan kemiskinan merupakan indeks yang memberikan informasi mengenai gambaran penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks keparahan kimiskinan, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin [8]. Sedangkan indeks kedalaman kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin kecil nilai indeks kedalaman kemiskinan, semakin besar potensi ekonomi untuk data pengentasan kemiskinan berdasarkan identifikasi karakteristik penduduk miskin dan juga untuk target sasaran bantuan dan program [8]. Penelitian ini menggunakan analisis klaster single linkage method dengan menggunakan pendekatan pengukuran kemiripan yang dinyatakan dalam jarak (distance) antara pasangan objek. Salah satu cara mengukur jarak adalah dengan menggunakan jarak euclidean. Jarak euclidean merupakan jarak berupa akar jumlah kuadrat selisih nilai untuk setiap variabel [9] yang perumusannya adalah sebagai berikut: untuk dan Hasil perhitungan jarak antar pengamatan tersebut kemudian dibuat ke dalam bentuk matriks jarak seperti berikut: Nilai d pada matriks jarak tersebut menunjukkan kemiripan antara satu pengamatan dengan pengamatan lainnya. Semakin kecil nilai d, maka semakin besar kemiripan di antara kedua pengamatan 16
tersebut. Akan tetapi, sebaliknya, semakin besar nilai d, maka semakin besar pula ketidakmiripkan di antara kedua pengamatan tersebut. Matriks jarak tersebut kemudian digunakan untuk pengelompokan. Klaster dengan metode single linkage dibentuk dari entitas individu dengan cara menggabungkan tetangga terdekat atau jarak terkecil atau kemiripan terbesar antar data. Harus dicari jarak terkecil di dalam dan menggabungkan kedua objek dengan jarak terkecil itu. Misalkan U dan V digabungkan menjadi klaster (UV) karena jarak di antara keduanya adalah jarak terkecil atau kemiripan di antara keduanya adalah kemiripan terbesar. Selanjutnya, jika jarak terdekat di dalam D adalah (UV) dengan W, maka perumusannya adalah sebagai berikut [5]: Nilai dari d UW dan d VW berturut-turut adalah jarak terdekat atau terkecil dari kelompok U dan W serta kelompok V dan W [5]. Metode ini pada intinya adalah terus mencari jarak terkecil atau terdekat dan menggabungkannya sehingga tersisa sejumlah kelompok sesuai dengan yang diinginkan. Hasil dari analisis klaster single linkage method dapat digambar secara grafis dalam bentuk dendogram atau diagram pohon. Cabang-cabang pada pohon merepresentasikan klaster yang terbentuk dari hasil penggabungan [5]. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis klaster single linkage method yang telah dilakukan terhadap data indeks keparahan kemiskinan dan indeks kedalaman kemiskinan kota/kabupaten di Jawa Barat pada tahun 2016, diperoleh lima kelompok kota/kabupaten di Jawa Barat yang pengelompokannya disajikan pada dendogram berikut: Cluster Dendrogram Height 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 23 25 27 2 14 3 17 15 22 7 11 18 19 8 9 1 4 20 21 16 10 26 24 5 6 12 13 d hclust (*, "single") Gambar 3.1 Dendogram Analisis Klaster Single Linkage Method Berikut tahap-tahap pengelompokan hierarki yang telah dilakukan: 1. Objek 25 dan 27 bergabung menjadi kelompok (25,27). 2. Objek 3 dan 17 bergabung menjadi kelompok (3,17). 3. Objek 2 dan 14 bergabung menjadi kelompok (2,14). 4. Objek (25,27) dan 23 bergabung menjadi kelompok (23,25,27). 5. Objek 5 dan 6 bergabung menjadi kelompok (5,6). 6. Objek 15 dan 22 bergabung menjadi kelompok (15,22). 7. Objek (2,14) dan 7 bergabung menjadi kelompok (2,7,14). 8. Objek (15,22) dan (3,17) bergabung menjadi (3,15,17,22). 9. Objek 11 dan 18 bergabung menjadi kelompok (11,18). 10. Objek 8 dan 9 bergabung menjadi kelompok (8,9). 11. Objek (2,7,14) dan 19 bergabung menjadi kelompok (2,7,14,19). 17
12. Objek (5,6) dan 12 bergabung menjadi kelompok (5,6,12). 13. Objek (2,7,14,19) dan 1 bergabung menjadi kelompok (1,2,7,14,19). 14. Objek (5,6,12) dan (3,15,17,22) bergabung menjadi kelompok (3,5,6,12,15,17,22). 15. Objek (3,5,6,12,15,17,22) dan 13 bergabung menjadi kelompok (3,5,6,12,13,15,17,22). 16. Objek (1,2,7,14,19) dan 20 bergabung menjadi kelompok (1,2,7,14,19,20). 17. Objek (1,2,7,14,19,20) dan 4 bergabung menjadi kelompok (1,2,4,7,14,19,20). 18. Objek (3,5,6,12,15,17,22) dan (11,18) bergabung menjadi kelompok (3,5,6,11,12,15,17,18,22). 19. Objek (3,5,6,11,12,15,17,18,22) dan 10 bergabung menjadi kelompok (3,5,6,10,11,12,15,17, 18,22). 20. Objek (23,25,27) dan 16 bergabung menjadi kelompok (16,23,25,27). 21. Objek (16,23,25,27) dan 21 bergabung menjadi kelompok (16,21,23,25,27). 22. Objek (3,5,6,10,11,12,15,17,18,22) dan (8,9) bergabung menjadi kelompok (3,5,6,8,9,10,11,12, 15,17,18,22) 23. Objek (3,5,6,8,9,10,11,12,15,17,18,22) dan (1,2,4,7,14,19,20) bergabung menjadi kelompok (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,14,15,17,18,19,20,22). Terbentuk lima klaster dari analisis tersebut dimana kelompok 1 dan 5 hanya terdiri dari satu kabupaten/kota. Anggota kelompok tersebut berturut-turut adalah Kota Tasikmalaya dan Kota Depok. Kelompok 2 terdiri dari 13 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Pangandaran, dan Kota Cirebon. Kelompok 3 terdiri dari 7 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Purwakarta, Kota Bogor, dan Kota Sukabumi. Sedangkan Kelompok 4 terdiri dari 5 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Cimahi, dan Kota Banjar. Kelompok yang terbentuk memiliki rata-rata indeks kedalaman kemiskinan masing-masing sesuai dengan kota/kabupaten yang terkelompokkan di dalamnya. Kelompok 1 memiliki indeks 2.37%, Kelompok 2 memiliki indeks rata-rata 1.85%, Kelompok 3 memiliki indeks rata-rata 1.19%, Kelompok 4 memiliki indeks rata-rata 0.70%, dan Kelompok 5 memiliki indeks 0.30% Pengelompokan ini telah diurutkan berdasarkan indeks kedalaman kemiskinan rata-ratanya mulai dari yang indeks kedalaman kemiskinannya paling tinggi hingga paling rendah. 4. PENUTUP Dari hasil analisis dan pembahasan, didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengelompokkan 27 kota/kabupaten di Jawa Barat berdasarkan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan terdiri atas lima kelompok. Kelompok 1 hanya terdiri dari Kota Tasikmalaya. Kelompok 2 terdiri dari Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Pangandaran, dan Kota Cirebon. Kelompok 3 terdiri dari Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Purwakarta, Kota Bogor, dan Kota Sukabumi. Kelompok 4 terdiri dari Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Cimahi, dan Kota Banjar. Sedangkan kelompok 5 hanya terdiri dari Kota Depok. 2. Kelompok 1 merupakan kelompok kota/kabupaten dengan indeks kedalaman kemiskinan yang paling tinggi sebesar 2.37%, diikuti oleh kelompok 2 yang angka indeksnya sebesar 1.85%, kelompok 3 sebesar 1.19%, kelompok 4 sebesar 0.70%, hingga kelompok 5 yang indeks kedalaman kemiskinannya paling rendah sebesar 0.30%. Saran dari penulis yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk pemerintah, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penentuan skala prioritas dalam usaha mengentaskan kemiskinan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. 2. Untuk peneliti yang hendak melanjutkan penelitian ini, sebaiknya mempertimbangkan pula angka kebutuhan hidup layak per kota/kabupaten sehingga hasil pengelompokan yang didapat untuk penentuan skala prioritas usaha pengentasan kemiskinan pemerintah akan lebih akurat dan tidak terbatas kepada angka kemiskinan saja. 18
5. DAFTAR PUSTAKA [1] Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Lembaran Negara RI Tahun 2009, No. 11. Sekretariat Negara. Jakarta. [2] Republik Indonesia. 2011. Undang-Undang No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Lembaran Negara RI Tahun 2011, No. 13. Sekretariat Negara. Jakarta. [3] BPS. 2016. Persentase Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat (Persen), 2002 2016. Bandung: Badan Pusat Statistik Jawa Barat. [4] Iriawan, N. & Astuti S.P. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Jakarta: CV ANDI. [5] Johnson, Richard A. & Dean W. Winchern. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis 6th Edition. United States of America: Pearson Prentice Hall. [6] Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Jakarta: PT Rineka Cipta. [7] Santoso, S. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. [8] BPS. 2017. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Jawa Barat September 2016. Bandung: Badan Pusat Statistik Jawa Barat. [9] Nugroho, S. 2008. Statistik Multivariat Terapan. Bengkulu: UNIB Press. 19