BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (Suwitra, 2006). Penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) dialami hampir 26 juta pasien dewasa di Amerika Serikat dan jutaan dengan risiko faktor yang lain. Kelompok yang berisiko tinggi penyakit ginjal kronik salah satunya adalah hipertensi (National Kidney Foundation, 2013). Hipertensi merupakan penyakit pembuluh perifer yang umum dialami oleh pasien dengan penyakit ginjal kronik sebagai konsekuensi kerusakan progresif fungsi ginjal (Hudson, 2008). Hipertensi merupakan pemicu terjadinya penyakit ginjal dan juga faktor pengembang. Pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir biasanya memiliki komplikasi hipertensi, sebanyak 50-60% pasien mengalami hipertensi dengan tekanan darah predialisis >150/90 mmhg. Hal tersebut terjadi karena peningkatan retensi cairan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir, adanya peningkatan aktivitas simpatis, penurunan aktivitas vasodilator seperti nitrit oxide, tingginya level endotelin-1, penggunaan jangka panjang Eritropoietin Stimulating Agent (ESA) seperti epoetin alfa, epoetin beta, hiperparatiroid, dan perubahan struktur arteri juga menjadi faktor yang berkontribusi terhadap hipertensi pada pasien penyakit ginjal tahap akhir (Hudson, 2008). 1
Pasien PGK tahap akhir memiliki fungsi ginjal sudah sangat menurun dan terjadi keabnormalan organ yang lain, maka untuk menjaga hemodinamik tubuh diperlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis atau transplantasi ginjal. Dialisis terdiri dari dialisis peritoneal dan hemodialisis (Foote dan Manley, 2008). Target kontrol tekanan darah pada pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani dialisis menurut NKF-KDOQI guidelines (2005) adalah <140/90 mmhg dan untuk postdialisisnya adalah <130/80 mmhg. Pada pasien dengan komorbid lain seperti proteinuria, target penurunan tekanan darahnya yaitu 125/75 mmhg sedangkan untuk pasien dengan komorbid diabetes target penurunan tekanan darah predialisis adalah 130/80 mmhg. Sebanyak 86% prevalensi hipertensi terdapat pada 2535 pasien hemodialisis dari 69 unit dialisis pada sebuah survei di Amerika Serikat, hanya 30% pasien tekanan darahnya terkontrol dengan baik menggunakan obat antihipertensi (Agarwal, 2006). Menurut Caskey et al. (2011) pada Annual Report yang berjudul profil tekanan darah pasien yang menerima terapi penggantian ginjal di Inggris, Wales dan Irlandia Utara pada tahun 2010, hanya terdapat 26,7% pasien yang menjalani peritoneal dialisis dengan tekanan darah post dialisis <130/80 mmhg dan 27,7% pasien yang menerima transplantasi dengan tekanan darah <130/80 mmhg. Horl (2010) juga menjelaskan bahwa hanya 43,1% pasien hemodialisis yang mencapai target prehemodialisis <140/90 mmhg. Target kontrol tekanan darah tersebut sangat sulit dicapai maka diperlukan adanya tambahan kombinasi terapi antihipertensi untuk membantu 2
mengontrol tekanan darah pasien penyakit ginjal tahap akhir, disamping perubahan gaya hidup dan diet natrium (National Kidney Foundation, 2005). Tatalaksana terapi pada pasien hipertensi yang menjalani hemodialisis memerlukan perhatian pada manajemen status cairan/volume ekstra vaskuler dan penyesuaian terapi antihipertensi (National Kidney Foundation, 2005). Sebagian besar pasien hipertensi yang menjalani hemodialisis memerlukan kombinasi beberapa obat antihipertensi untuk mengontrol tekanan darah yang adekuat (Hörl dan Hörl, 2004). Sebanyak 76% pasien hemodialisis diresepkan obat antihipertensi, 25% diantaranya memerlukan lebih dari tiga jenis obat antihipertensi untuk mencapai tekanan darah yang tepat yaitu kombinasi antara calcium chanel blocker, β-blocker dan angiotensin converting enzyme inhibitor (Rahman dan Griffin, 2004). Kombinasi terapi antihipertensi diperlukan untuk mencapai target tekanan darah pada pasien hipertensi dengan gangguan ginjal dan rekomendasi yang memiliki kelas rekomendasi I dengan level of evidence A yaitu mengkombinasi obat penghambat sistem renin angiotensin dengan obat antihipertensi lainnya. Dosis obat antihipertensi ditentukan oleh ketidakstabilan hemodinamik dan kemampuan obat yang akan didialisis. Obat-obat tersebut diatas yang mempengaruhi penyesuaian homeostatik terhadap deplesi cairan (pada insufisiensi ginjal parah), sebaiknya dihindari untuk meminimalkan hipotensi selama pengurangan intensif volume darah yang berhubungan dengan dialisis (Mancia et al., 2013). Penelitian Schwenger dan Ritz (1998) menunjukkan > 50% pasien memerlukan paling sedikit 3 jenis antihipertensi dan hanya 15% pasien penyakit ginjal yang mencapai target tekanan darah. 3
Antihipertensi yang lazim digunakan untuk mengendalikan tekanan darah pada populasi umum dapat digunakan dan efektif untuk populasi pasien yang menjalani hemodialisis. Faktor yang membedakan hanya kondisi penyakit penyerta pasien, farmakokinetik obat serta efek hemodinamikanya, namun hanya golongan diuretik yang tidak dapat digunakan karena tidak efektif (Agarwal, 2006). Golongan obat antihipertensi yang tersedia dan efektif dalam mengendalikan hipertensi pada pasien hemodialisis antara lain adalah angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, calcium channel blockers, angiotensin receptor blockers dan beta blockers. Angiotensin converting enzyme inhibitor atau angiotensin receptor blockers merupakan antihipertensi pilihan utama pada penyakit ginjal kronik (Inrig, 2010). Angiotensin converting enzyme inhibitor atau angiotensin receptor blockers memiliki keuntungan potensial pada pasien penyakit ginjal tahap akhir antara lain yaitu regresi left ventricular hypertrophy (LVH), pengurangan aktivitas saraf simpatis dan pengurangan kecepatan gelombang nadi, perbaikan fungsi endotel dan mengurangi stress oksidatif. Angiotensin converting enzyme-inhibitor bekerja dengan menghambat angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron, vasodilator secara langsung akan menurunkan tekanan darah sedangkan berkurangnya aldosteron menyebabkan sekresi air dan natrium dan retensi kalium (Nafrialdi, 2007; Hudson, 2008). Angiotensin receptor blockers (ARB) mempunyai efek yang sama dengan ACE inhibitor. Angiotensin receptor blockers bekerja pada reseptor angiotensin I yang terdapat di otot polos pembuluh 4
darah, otot jantung, ginjal, otak dan kelenjar adrenal (Nafrialdi, 2007; Hudson, 2008). Calcium channel blockers (CCB) merupakan golongan obat antihipertensi yang paling banyak diresepkan pada pasien hemodialisis (Malliara, 2007). Calcium channel blockers nondihidropiridin (diltiazem dan Verapamil) secara selektif menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan efektif dalam pengobatan hipertensi pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir dan berkaitan dengan penurunan mortalitas kardiovaskuler (Hudson, 2008). Salah satu strategi terapi untuk mengatasi hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah pemilihan obat-obat antihipertensi yang diberikan secara individual berdasarkan ada atau tidaknya penyakit penyerta pasien. Kebanyakan pasien hipertensi dengan penyakit ginjal kronik memerlukan tiga atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah (Hudson, 2008; Prasad et al., 2009). Strategi titrasi pemilihan obat antihipertensi yaitu memaksimalkan pengobatan awal/pertama (diuretik atau ACE inhibitor atau ARB atau CCB atau dalam kombinasi) sebelum penambahan obat antihipertensi yang kedua atau menambahkan obat antihipertensi yang kedua sebelum mencapai dosis maksimum pada penggunaan obat antihipertensi yang pertama atau dimulai dengan penggunaan 2 kelas obat antihipertensi/kombinasi fixed-dose, jika belum mencapai target tekanan darah maka harus memperkuat pengobatan dengan menambahkan dan mentitrasi obat antihipertensi yang digunakan sebelumnya (penggunaan kelas obat antihipertensi bukan yang dipilih sebelumnya dan dihindari penggunaan kombinasi ACE inhibitor dan ARB) 5
(James et al., 2014). Angiotensin converting enzyme inhibitor yang dikombinasi dengan CCB efektif menurunkan tekanan darah dan memberikan efek vaskuloprotektif yang dapat meminimalkan efek samping penggunaan obat. ACEI bekerja dengan menghambat sistem renin-angiotensin, menurunkan tekanan kapiler glomerulus dengan menginduksi vasodilatasi arteriol eferen sedangkan CCB bekerja dengan mengurangi tekanan arteriol aferen glomerulus sehingga kombinasi ACEI dan CCB dapat menurunkan tekanan intraglomerular yang lebih besar daripada penggunaan tunggal (Wu et al., 2013). Berdasarkan latar belakang sulitnya mengontrol tekanan darah pada pasien hemodialisis sehingga diperlukan beberapa jenis antihipertensi, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perbandingan efek terapi pada pasien hemodialisis yang diberi kombinasi 2 jenis antihipertensi dibandingkn sesudah diberi kombinasi 3 jenis antihipertensi di instalasi hemodialisis di beberapa rumah sakit di Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah ada perbedaan efek terapi 2 jenis obat antihipertensi dibandingkan sesudah diberikan 3 jenis obat antihipertensi pada pasien hemodialisis rutin di beberapa rumah sakit di Yogyakarta? 2. Berapakah persentase pasien hemodialisis yang mencapai target tekanan darah <140/90 mmhg sesudah diberi kombinasi antihipertensi? 6
C. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan peran farmasi klinis di Indonesia. Secara khusus penelitian ini bertujuan : 1. Mengetahui perbedaan efek terapi 2 jenis obat antihipertensi dibandingkan sesudah diberikan 3 jenis obat antihipertensi pada pasien hemodialisis rutin di beberapa rumah sakit di Yogyakarta. 2. Mengetahui persentase pasien hemodialisis yang mencapai target tekanan darah <140/90 mmhg sesudah diberi kombinasi obat antihipertensi. D. Manfaat Yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain : 1. Farmasis Sebagai bahan dan motivasi farmasis untuk dapat meningkatkan peran farmasi klinik dalam pharmaceutical care terutama dalam penatalaksanaan hipertensi pada pasien penyakit ginjal kronik (PGK) dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. 2. Instalasi Rumah Sakit dan Profesi Kesehatan Lain Memberikan informasi bagi rumah sakit dan profesi kesehatan lain mengenai efek terapi hipertensi pasien hemodialisis yang menggunakan terapi kombinasi antihipertensi. 7
3. Peneliti Memberikan data dan pustaka bagi peneliti yang akan datang dalam rangka peningkatan pelayanan dan pengelolaan penderita PGK yang menjalani hemodialisis rutin pada khususnya dan pasien PGK pada umumnya. E. Keaslian Penelitian Topik penelitian yang diangkat ini belum pernah dilakukan oleh peneliti yang lain pada tempat yang sama pada waktu yang lampau. Penelitian efek amlodipin pada kejadian kardiovaskular pasien hipertensi yang menjalani hemodialisis pernah diteliti Tepel et al. (2008), yang menyimpulkan amlodipin aman menurunkan tekanan darah sistolik dan memiliki efek menguntungkan pada hasil kardiovaskuler pasien hipertensi yang menjalani hemodialisis. Agarwal et al. (2001), meneliti terapi lisinopril untuk hipertensi pada hemodialisis yang ditinjau dari respon hemodinamik dan endokrin. Shimada et al. (2005), meneliti efek telmisartan terhadap penurunan tekanan darah dan marker penyakit jantung dan pembuluh juga pada pasien yang menjalani hemodialisis tetapi berbeda dengan penelitian ini yang melihat efek terapi kombinasi 2 jenis antihipertensi dibandingkan 3 jenis antihipertensi terhadap penurunan tekanan darah pasien hipertensi yang menjalani hemodialisis. 8