I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

dokumen-dokumen yang mirip
I.PENDAHULUAN kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Permintaan dunia terhadap pangan hewani (daging, telur dan susu serta produk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang-undang

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

I. PENDAHULUAN Kebijakan otonomi daerah yang bersifat desentralisasi telah merubah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyedia protein, energi, vitamin, dan mineral semakin meningkat seiring

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian adalah suatu proses perubahan sosial. Hal tersebut tidak

BAB II. PERJANJIAN KINERJA

I. PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan di Indonesia diletakkan pada pembangunan bidang

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

PENCAPAIAN SWASEMBADA DAGING SAPI DAN KERBAU MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMIC)

STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN TAHUN 2014

Bab 4 P E T E R N A K A N

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mayoritasnya bermatapencarian sebagai petani.

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. potensi sumber daya alam yang besar untuk dikembangkan terutama dalam

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

PENDAHULUAN. Kemitraan merupakan hubungan kerjasama secara aktif yang dilakukan. luar komunitas (kelompok) akan memberikan dukungan, bantuan dan

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

OPERASIONAL PROGRAM TEROBOSAN MENUJU KECUKUPAN DAGING SAPI TAHUN 2005

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

BAB I PENDAHULUAN. Daging sapi merupakan salah satu komoditas pangan yang selama ini

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar dan pokok yang dibutuhkan oleh

PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

LAPORAN REFLEKSI AKHIR TAHUN 2014 DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PENGANTAR. Latar Belakang. Peternakan merupakan salah satu subsektor yang berperan penting dalam

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. subsektor peternakan. Suatu negara dapat dikatakan sistem

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

PENDAHULUAN Latar Belakang

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

Pembangunan merupakan suatu proses yang dilakukan secara. terus menerus ke arah yang lebih baik dari keadaan semula. Dalam kurun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

PENDAHULUAN. yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Biro Pusat Statistik (1997) dan Biro Analisis dan Pengembangan. Statistik (1999) menunjukkan bahwa Standar Nasional kebutuhan protein

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

I. PENDAHULUAN. masyarakat. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan perbaikan taraf

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan PDB dari sektor pertanian adalah sebesar 18,77 persen, dengan sumbangan subsektor tanaman bahan makanan sebesar 64,11 persen dan subsektor peternakan sebesar 0,64 persen. Sementara subsektor lainnya mengalami penurunan masing-masing sebesar minus 32,47 persen untuk subsektor tanaman perkebunan, minus 17,64 persen untuk subsektor kehutanan dan minus 8,76 persen untuk subsektor perikanan (BPS, 2006). Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembagian sektor pertanian yang memiliki nilai strategis, antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk yang bermuara pada pemantapan program swasembada pangan sekaligus memperbaiki mutu gizi, khususnya dengan memperbesar penyediaan protein hewani., peningkatan rata-rata pendapatan penduduk, dan menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Besarnya potensi sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia memungkinkan pengembangan subsektor peternakan sehingga menjadi sumber pertumbuhan baru perekonomian Indonesia.

Pembangunan subsektor peternakan pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam berupa lahan, ternak dan pakan dengan faktor produksi lainnya berupa tenaga kerja dan modal. Semakin meningkatnya permintaan produk peternakan untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun industri yang diiringi dengan semakin terbatasnya sumberdaya peternakan, akan menuntut pengelolaan sumberdaya tersebut secara lebih efisien. Kebutuhan akan produk pangan asal hewan terus meningkat dan hal tersebut dengan meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan penduduk serta kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi produk hewani. Penyediaan produk peternakan dipenuhi dari produk asal dalam negeri maupun impor. Karena produksi dalam negeri tidak mencukupi maka impor terus meningkat setiap tahunnya dan tentunya hal tersebut akan mengancam produksi dalam negeri, apalagi produk impor biasanya lebih bersaing baik dari segi kualitas maupun harga yang ditawarkan. Daging merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, serta merupakan komoditas ekonomi yang mempunyai nilai sangat strategis. Untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia terutama berasal dari: (i) daging unggas (broiler, petelur jantan, ayam kampung dan itik), (ii) daging sapi (sapi potong, sapi perah dan kerbau), (iii) daging babi, serta (iv) daging kambing dan domba (kado). Tingkat konsumsi daging sapi (kurang dari 2 kg/kapita/tahun) belum dapat dipenuhi dari pasokan dalam negeri, karena laju peningkatan permintaan tidak dapat diimbangi oleh pertambahan populasi dan peningkatan produksi. Harga daging sangat bergantung

pada jenis dan kualitasnya, meskipun di tingkat pasar tradisional konsumen belum memperhatikan jenis daging yang akan dibeli. Namun demikian secara umum ada sedikit perbedaan harga diantara jenis atau kualitas daging yang dipasarkan. Swasembada daging yang ditargetkan pemerintah pada tahun 2010 diharapkan dapat dijadikan pemicu peningkatan produksi daging nasional. Swasembada daging tahun 2010 ini merupakan peluang pasar yang besar bagi usaha peternakan sapi yang terdiri dari pembibitan untuk penyediaan bakalan dan usaha penggemukan. Pencapaian swasembada daging yang ditargetkan pemerintah didasarkan pada beberapa faktor yaitu : (1) subsektor peternakan berpotensi dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian karena selama periode 1999-2003 rata-rata pertumbuhan subsektor peternakan adalah sebesar 3,2 persen pertahun. Besaran pertumbuhan ini lebih besar dari pertumbuhan sektor pertanian sebesar 2,0 persen; (2) usaha sapi potong memberikan porsi terbesar dari rumah tangga yang terlibat langsung dalam usaha peternakan yang mengalami pertambahan dari 4,45 juta pada tahun 1983 menjadi 5,62 juta pada tahun 1993 dan 6,51 juta pada tahun 2003 (BPS, 2004); (3) tersebarnya sentra produksi di banyak daerah, sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan sehingga mampu menggerakkan perekonomian regional, dan (4) mendukung upaya peningkatan ketahanan pangan baik sebagai penyedia bahan pangan maupun sebagai sumber pandapatan yang keduanya berperan meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan. Kondisi peternakan sapi potong di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok yakni berbentuk peternakan rakyat dengan jumlah 90-95 persen dari total peternakan sapi potong serta berbentuk perusahaan yang khusus bergerak di

bidang penggemukan sapi potong dengan jumlah sekitar lima persen. Saragih (1998) menjelaskan beberapa ciri dari peternakan rakyat yaitu skala usahanya kecil yakni kurang dari satu hektar, letaknya tersebar terpisah satu dengan yang lain, tidak intensif dimana curahan waktu kerja peternak tidak banyak yakni kurang dari delapan jam per hari dan bersifat sambilan yakni sebagai usaha sampingan petani. Hal ini berbeda dengan keadaan peternakan yang khusus bergerak di bidang penggemukan sapi yang umumnya telah mempunyai skala ekonomi yang menguntungkan. Kendala yang pengembangan industri peternakan, salah satunya adalah tidak diprioritaskannya usaha untuk mengembangkan potensi ternak lokal. Potensi lokal peternakan yang sebagian besar dikelola oleh peternakan rakyat dengan status usaha sampingan tidak dapat mengimbangi kebutuhan bahan pangan asal ternak yang semakin meningkat. Sementara di lain pihak, perusahaan peternakan dengan skala yang besar mengalami kekurangan sapi bakalan untuk digemukkan sehingga perusahaan-perusahaan tersebut yang menyebabkan perusahaan lebih memilih usaha penggemukan dengan menggunakan bakalan yang berasal dari impor. Keadaan ini dapat disiasati dengan menggunakan strategi kemitraan. Perusahaan atau peternak dalam skala besar bekerja sama dengan peternak skala kecil dan menengah untuk membudidayakan sapi bakalan yang merupakan bahan baku dalam usaha penggemukan sapi. Salah satu dari bentuk kemitraan yang terjalin adalah perusahaan atau peternak skala besar bertindak sebagai inti yang menyediakan sarana produksi bakalan seperti pakan konsentrat, obat-obatan, vitamin serta pengawasan dari dokter hewan untuk menjamin kualitas bakalan

yang dihasilkan. Peternak skala kecil dan sedang bertindak sebagai plasma, yang mempunyai betina produktif yang kemudian dilakukan dikawinkan sehingga menghasilkan anak sapi untuk selanjutnya dipelihara untuk dijadikan sapi bakalan. Sapi bakalan yang siap digemukkan kemudian dijual kepada peternak inti (peternak dengan skala besar) dengan harga yang telah disepakati sebelumnya atau dengan mengikuti harga yang berlaku di pasaran. Propinsi Sumatera Selatan daerah yang berpotensi untuk pengembangan usaha peternakan dengan lahan yang masih luas. Struktur perekonomian Propinsi Sumatera Selatan masih didominasi oleh sektor pertanian dengan kontribusi sebesar 20,59% terhadap PDRB tahun 2000. Subsektor yang memberikan sumbangan terbesar adalah subsektor tanaman perkebunan (sekitar 8,76%) diikuti tanaman pangan dan hortikultrura (sekitar 5,47%), sedangkan sumbangan subsektor lainnya yaitu subsektor perikanan (2,97%), peternakan (1,56%), dan kehutanan (1,83%). Perkembangan populasi ternak di Sumatera Selatan selama dua dekade terakhir yang menunjukkan kecendurungan meningkat, meskipun pertumbuhan tersebut bervariasi. Pertumbuhan populasi ternak sapi dan kerbau selama periode 1999 2003 telah bangkit kembali dengan laju pertumbuhan masing-masing 3,83 % dan 0,61%, sedangkan untuk ternak kecil terutama kambing tumbuh 4,34%. Pertumbuhan yang cukup tinggi terjadi pada ayam petelur yaitu 38,9%, ayam kampung (Buras) 27,40% dan ayam pedaging 1,18%. Untuk mempercepat penyebaran ternak kedepan terutama Sapi potong dan Kerbau diperlukan terobosan seperti gerakan massal Inseminasi Buatan (IB) dan penyediaan kredit lunak serta berbunga rendah. Untuk menunjang produksi ternak, hijauan pakan ternak dan padang pengembalaan merupakan sarana yang

dibutuhkan dalam pengembangan ternak besar (sapi dan kerbau), Areal kebun Rumput budidaya telah tersebar di seluruh kabupaten di Sumatera Selatan sebanyak 50 lokasi dengan luas 735 Ha. Populasi ternak tahun 2003 digambarkan pada Tabel 1 Tabel 1. Populasi Ternak di Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2003 No Jenis Ternak Jumlah (ekor) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Ayam Pedaging Ayam Petelur Ayam Buras Itik 375 419.937 83.104 1.452 436.607 54.512 32.811 16.742.000 5.868.000 13.303.000 2.103.00 Sumber :Bappeda SumSel (2004) Perkembangan konsumsi hasil ternak berupa daging, telur dan susu terus mengalami peningkatan, kondisi ini selaras dengan pertumbuhan tingkat pendapatan masyarakat dan kesadaran akan pangan bergizi. Konsumsi produk peternakan selama dua dekade tumbuh 4,90% untuk daging, telur 3,88 % dan susu 3,20 %. Mengacu pada pertumbuhan riil tersebut berarti tingkat konsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan produksi. Kondisi tersebut apabila tetap dipertahankan maka akan terjadi kemungkinan yaitu; ketergantungan Sumatera Selatan dengan pasokan dari luar daerah atau terjadi pengurasan populasi. Apabila mengacu pada standar gizi nasional, maka konsumsi produk peternakan masyarakat Sumatera Selatan sangat tertinggal jauh, sehingga untuk mengantisipasi keadaan tersebut maka tingkat pertumbuhan populasi dan

produktivitas ternak daerah harus dipacu. Gambar 1 dan 2 berikut ini menyajikan grafik produksi dan konsumsi produk peternakan di Sumatera Selatan. 287 46023 43650 Daging Telur Susu Gambar 1. Produksi Ternak (dalam ton) di Sumsel pada Tahun 2003 Sumber : Bappeda Sumsel 2004 7 6 5 4 3 2 1 0 6.32 4.06 3.44 Daging Telur Susu Gambar 2. Konsumsi Hasil Ternak (dalam Kg/kapita/Tahun) di Sumsel Sumber : Bappeda SumSel (2004)

Beternak sudah merupakan bagian budaya dari masyarakat Sumatera Selatan, kondisi tersebut terbukti dari hasil sensus pertanian 1993 memperlihatkan 447.298 rumah tangga atau 28,97 % dari jumlah rumah tangga penduduk Sumatera Selatan terlibat dalam usaha peternakan, kemudian tahun 2003 sebanyak 25,91 % dari 919.153 rumah tangga yang hidup di sektor pertanian terlibat di usaha peternakan (sampingan, cabang usaha dan usaha pokok). Upaya pengembangan bagian dari budaya tersebut perlu difasilitasi dan didinamisir. Untuk itu pemerintah Provinsi Sumatera Selatan melalui Peraturan Daerah No. 6 tahun 2002 membentuk lagi lembaga yang menangani peternakan yaitu Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Selatan. Tugas pokok Dinas Peternakan adalah melaksanakan kewenangan desentralisasi dan tugas dekonsentrasi bidang peternakan. Dalam menjalankan tugas pokok, Dinas peternakan mempunyai fungsi mencakup; pembinaan umum berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Gubernur, pembinaan tehnis dan tehnologi di bidang peternakan, tehnis kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, pembinaan sumbedaya manusia, pemberian izin/rekomendasi, fasilitasi kerjasama kab/kota di bidang peternakan serta kerjasama antar propinsi, pembinaan usaha peternakan, penyusunan program pembangunan peternakan dan pembinaan umum tata usaha serta pembinaan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). Bertolak dari fungsi dan tugas pokok yang diamanatkan, Dinas Peternakan mempunyai visi "Terwujudnya swasembada daging di Sumatera Selatan melalui pengembangan agribisnis peternakan yang berdaya saing dan berbasis sumber daya lokal" Penelitian ini dilakukan untuk menentukan kelayakan usaha dari usaha peternakan yang menggunakan sistem kemitraan. Sistem kemitraan ini ditujukan

untuk mengembangkan potensi wilayah dan potensi pasar di Propinsi Sumatera Selatan. Usaha penggemukan dengan kemitraan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap potensi ekonomi daerah sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu motor penggerak pembangunan daerah. Hal spesifik yang selanjutnya akan dibahas adalah bagaimanakah perbandingan usaha peternakan yang menggunakan sistem kemitraan dan non kemitraan 1.2. Perumusan Masalah Pengembangan usaha peternakan nasional dapat dilakukan dengan mengoptimalkan potensi sumber daya lokal. Pengembangan potensi peternakan di Propinsi Sumatera Selatan memiliki prospek yang baik dilihat dari peningkatan produksi pada beberapa tahun terakhir ini serta masih rendahnya pertumbuhan produksi dibandingkan dengan pertumbuhan dari sektor konsumsi. Usaha penggemukan sapi potong mempunyai karakteristik yang beragam apabila dilihat dari skala kepemilikannya. Pola kemitraan merupakan alternatif strategi dalam pengembangan bisnis. Konsep kemitraan yang mengutamakan prinsip simbiosis mutualisme diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi setiap pihak. Usaha penggemukan sapi dapat menerapkan pola kemitraan dengan memanfaatkan peternak-peternak kecil untuk memelihara sapi bakalan. Hal ini didasari karena pada umumnya peternak kecil menjadikan usaha ternaknya sebagai tabungan dengan kontinuitas yang terbatas. Pola kemitraan diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan kontinuitas pemeliharaan peternak kecil. Bagi peternak inti, usaha kemitraan ini dapat menguntungkan dengan tidak adanya biaya investasi untuk kandang dan lahan. Penggabungan kedua keuntungan ini diharapkan dapat saling memberikan kontribusi bersama

untuk saling mendapatkan keuntungan. Secara garis besar perumusan masalah dari penelitan ini adalah : 1. Bagaimana prospek usaha serta faktor faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan usaha penggemukan sapi potong sistem kemitraan di Kota Palembang? 2. Bagaimana bentuk usaha dengan sistem kemitraan pada penggemukan sapi potong di Kota Palembang? 3. Bagaimanakah kelayakan usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Sako, Kota Palembang. 1.3. Tujuan Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah disampaikan, penelitian ini secara umum bertujuan untuk menilai kelayakan dari bisnis usaha penggemukan sapi potong dengan model kemitraan. Secara spesifik, tujuan penulisan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi prospek usaha dan faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keberhasilan usaha penggemukan sapi potong di Kota Palembang. 2. Mengidentifikasi bentuk pola kemitraan yang mencakup hak dan kewajiban antara plasma dan inti serta membandingkan pola usaha penggemukan sapi dengan pola kemitraan dengan non kemitraan di Kecamatan Sako Kota Palembang. Menganalisa kelayakan usaha penggemukan sapi wilayah Kecamatan Sako, Kota Palembang.

UNTUK SELENGKAPNYA TERSEDIA DI PERPUSTAKAAN MB IPB