BAB 3 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi analitik komparatif prospektif.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di RSUD RAA Soewondo Pati dan dilakukan. pada 1Maret 2016 sampai dengan bulan 1 April 2016.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian quasy experimental, control group pre test post test design. Jenis

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 1. PENDAHULUAN. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas.

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian observasional analitik dan dengan pendekatan cross sectional. Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Kota Surakarta.

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Dalam khususnya Ilmu

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang keilmuan penelitian ini adalah ilmu anestesiologi dan terapi intensif.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik dengan desain

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Perinatologi RSUP Dr. Kariadi / FK Undip Semarang.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitis kategorik-numerik tidak

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik-komparatif,

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Fisiologi dan Kedokteran Olahraga. rancangan one group pre- and post-test design.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian belah lintang (Cross Sectional) dimana

BAB IV METODE PENELITIAN. Universitas Diponegoro Tembalang dan Lapangan Basket Pleburan, Semarang.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. control untuk menganalisis hipertensi dengan kejadian presbiakusis yang

BAB III METODE PENELITIAN. analitik cross-sectional dan menggunakan pendekatan observasional.

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini mencakup Fisiologi dan Ilmu Kedokteran

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode analitik komparatif dengan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan rancangan penelitian case control, yaitu untuk mempelajari

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik numerik

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup tempat : RSIA. Hermina Pandanaran Semarang. Indonesia.

BAB III METODE PENELITIAN. mengaitkan aspek paparan (sebab) dengan efek. Pendekatan yang digunakan

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN. Olah Raga, Fisiologi Respirasi, dan Fisiologi Kardiovaskuler.

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik dengan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

BAB III METODE PENELITIAN. diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Arief, 2008).

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini termasuk dalam lingkup Ilmu Kesehatan Anak, khususnya

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan rancangan pre-post test with control group design yang

BAB IV METODE PENELITIAN. Bidang Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Dalam. Semarang Jawa Tengah. Data diambil dari hasil rekam medik dan waktu

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Neurologi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medik RSUP dr. Kariadi Semarang,

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental quasi dengan desain pre post test. Pasien pencabutan gigi di RSGM UMY. { } N = Jumlah subyek yang diperlukan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pasien penyakit ginjal kronik ini mencakup ilmu penyakit dalam.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang fisiologi dan ergonomi. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Dalam sub bagian Infeksi Tropis. Bagian /SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Kariadi Semarang mulai 1

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang fisiologi dan ergonomi. Kampung Batik Semarang 16. Pengumpulan data dilakukan pada Maret 2015

METODE. Desain, Waktu dan Tempat

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. 4.1 Ruang lingkup penelitian Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang Neurologi dan Imunologi.

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode analitik komparatif dengan

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah Ilmu Penyakit Saraf. Penelitian dilakukan di Bangsal Rawat Inap Penyakit Saraf RS Dr.

BAB 3 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini mencakup bidang ilmu Gizi.

BAB 4 HASIL. 2,3 (0,3-17,5) Jenis Kelamin Pria 62 57,4 Wanita 46 42,6

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Waktu: Waktu penelitian dilaksanakan pada Maret-Juli 2013.

BAB 4 METODE PENELITIAN. Prijonegoro Sragen dan Puskesmas Sidoharjo Sragen. Penelitian ini berlangsung bulan Maret-Juni 2014.

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain

BAB IV METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. observasi data variabel independen dan variabel dependen hanya satu kali

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFENISI OPERASIONAL

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di SMF Ilmu Kesehatan Anak Sub Bagian Perinatologi dan. Nefrologi RSUP dr.kariadi/fk Undip Semarang.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Fisiologi dan Ergonomi

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat observasi analitik non-eksperimental dengan

BAB 4 METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional belah lintang ( ) dimana antara variabel bebas dan terikat diukur pada waktu yang. bersamaan. 3.2.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian di bidang Biokimia dan Geriatri.

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. khususnya sub bidang geriatri dan ilmu manajemen rumah sakit. Kariadi Semarang, Jawa Tengah. sampai jumlah sampel terpenuhi.

BAB IV METODE PENELITIAN. Disiplin Ilmu yang terkait penelitian ini adalah ilmu kedokteran jiwa

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencangkup bidang Ilmu Kedokteran Jiwa. Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah.

Efektiitas Terapi Musik Klasik Untuk Mengurangi Kecemasan Pada Ibu Bersalin Seksio Sesarea Di RSUD dr.pirngadi Medan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN. diambil dari para wanita akseptor kontrasepsi oral kombinasi dan injeksi

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah Bagian Ilmu Kesehatan Anak khususnya bidang nutrisi,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-analitik dengan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode analitik komparatif dengan pendekatan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ilmu Penyakit Dalam sub bagian Reumatologi. Penelitian ini dilakukan di poliklinik Penyakit Dalam sub bagian

III. METODE PENELITIAN. data sekaligus pada satu saat (Notoatmodjo, 2011). Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Kelurahan Kecamatan Tanjung

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di TPA/PAUD dan TK di wilayah kota Semarang pada

BAB IV MEDOTE PENELITIAN. 4.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Penyakit Saraf (Neurologi).

BAB V HASIL PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di klinik RSUD Gunung Jati Cirebon, dengan populasi

Transkripsi:

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi analitik komparatif prospektif. 24 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. M. Ildrem Medan dalam kurun waktu Oktober 2015 - Januari 2016. 3.3. Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian Populasi target penelitian ini adalah pasien-pasien dengan agitasi pada psikosis, sedangkan populasi terjangkau adalah pasien-pasien yang datang ke UGD RS Jiwa Prof. dr. M. Ildrem Medan dalam kurun waktu Oktober 2015 Januari 2016. Sampel penelitian didapatkan dengan cara non-probability random sampling tipe consecutive sampling. 3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi Kriteria inklusi: 1. Individu dengan agitasi pada psikosis akut 2. Usia kurang dari 40 tahun 3. Tidak minum obat antipsikotika atau obat apapun dalam kurun waktu 1 minggu sebelumnya. 4. Tidak menderita malnutrisi, dipastikan dengan nilai indeks masa tubuh (IMT) di atas 18,49. 5. Untuk kelompok yang merokok, merupakan perokok aktif dengan jumlah rokok yang dikonsumsi melebihi 20 batang setiap harinya. 6. Bersedia untuk ikut dalam penelitian Kriteria ekslusi: 1. Tidak memiliki caregiver atau individu adalah sebatangkara. 2. Memiliki gangguan medis umum misalnya riwayat gangguan hati, ginjal dan termasuk kehamilan.

3.5. Besar Sampel Besar sampel minimal yang dibutuhkan untuk mendeteksi perbedaan rerata penurunan skor OASS diantara dua kelompok dengan tingkat kepercayaan 95% dan batas kemaknaan dua sisi 0,05, digunakan rumus 25,26 berikut: n 1 = n 2 = 2 Z + Z β 2 Sg 2 (X 1 X 2 ) 2 n1 : Besar sampel kelompok yang merokok n2 : Besar sampel kelompok yang tidak merokok Zα : 1,96 Zβ : 1,28 Sg : Standar deviasi gabungan X 1 -X 2 : Perbedaan rerata diantara dua kelompok yang dianggap bermakna Standar deviasi gabungan (Sg) adalah standar deviasi gabungan dari kelompok yang dibandingkan. Standar deviasi gabungan ini diperoleh 26 dengan rumus sebagai berikut. (Sg) 2 = [S 1 2 x(n 1 1) + S 2 2 x(n 2 1)] n 1 + n 2 2 S1 : standar deviasi kelompok yang merokok dari penelitian sebelumnya. S2 : standar deviasi kelompok yang tidak merokok dari penelitian sebelumnya n1 : Besar sampel kelompok yang merokok dari penelitian sebelumnya n2 : Besar sampel kelompok yang tidak merokok dari penelitian sebelumnya Penelitian ini merupakan penelitian yang sampai sejauh pencaharian literatur yang dilakukan merupakan penelitian pertama yang meneliti perbedaan farmakodinamika obat haloperidol antara individu yang merokok dengan yang tidak merokok. Oleh sebab itu, untuk menghitung besar standar deviasi gabungan, dilakukan penelitian pendahuluan

dengan merekrut 10 individu yang merokok dan 10 individu yang tidak merokok, dan dilakukan prosedur penelitian, dengan hasil seperti terlihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Pengukuran Skor OASS Studi Pendahuluan Skor OASS Merokok (ẋ+sd) n=10 Tidak Merokok (ẋ+sd) n-10 Menit Ke-0 Menit Ke-30 Menit Ke-60 Menit Ke-120 48,00 + 8,18 37,46 + 6,29 26,91 + 7,78 14,52 + 5,26 44,90 + 10,57 33,48 + 7,55 20,64 + 5,69 11,19 + 2,76 Berdasarkan dari data Tabel 3.1. dapat dihitung standar gabungan untuk setiap menit pemeriksaan dan besar sampel untuk setiap kelompok. (Tabel 3.2) Tabel 3.2. Perhitungan Besar Sampel Standar Deviasi Gabungan (Sg) 2 = [S 1 2 x(n 1 1) + S 2 2 x(n 2 1)] n 1 + n 2 2 Menit ke-30 Menit Ke-60 Menit Ke-120 6,95 6,82 5,83 Besar Sampel n 1 = n 2 = 2 Z + Z β 2 Sg 2 (X 1 X 2 ) 2 52 50 37 Dari Tabel 3.2. dapat disimpulkan bahwa untuk mendeteksi perbedaan rerata 4 skor OASS antara kelompok yang merokok dengan yang tidak merokok dibutuhkan besar sampel minimal 52 orang untuk setiap kelompok. 3.6. Cara Kerja Penelitian Pelaksanaan penelitian ini meliputi persiapan, pengambilan data, pengolahan data, penyusunan hasil penelitian, analisis hasil penelitian, dan penyusunan akhir hasil penelitian. Tahapan persiapan meliputi pengurusan ijin penelitian dari tempat penelitian dan komite etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pengambilan data didahului dengan skrining menggunakan kriteria inklusi dan ekslusi, dengan pengecualian skrining terhadap status merokok atau tidak ditanyakan pada akhir tahapan, hal ini bertujuan untuk

menghilangkan bias yang dapat timbul pada saat pengukuran OASS. Individu yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eklusi dimintai persetujuan keluarga untuk mengikuti penelitian. Tahapan berikutnya adalah pengukuran skor OASS (menit ke-0). Kemudian individu tersebut disuntikkan haloperidol intra-muskular 5mg dan kemudian dilakukan seklusi, Penggunaan restraint hanya dilakukan pada individu yang menunjukkan agresivitas. Pengukuran skor OASS kedua pada menit ke-30, ke-60, ke-90 dan pada menit ke-120. Setelah setiap pengukuran, apabila skor OASS tidak berkurang >50% dari skor OASS menit ke-0, diberikan suntikan haloperidol intra-muskular 5mg. Selama 2 jam observasi, individu yang menerima suntikan haloperidol tidak dibenarkan mengkonsumsi obat lain dan tidak diperbolehkan merokok. Efek samping sindrom ekstra-piramidal haloperidol diperiksa dengan melakukan prosedur baku deteksi sindrom ekstra-piramidal, pada setiap pengukuran OASS. Apabila ditemukan efek samping sindrom ekstra-piramidal, individu tersebut diberikan suntikan difenhidramin intra-muskular 10mg. (Gambar 3.1.) Gambar 3.1. Cara Kerja Penelitian

Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 16.0 untuk uji hipotesis, GraphPad Prism versi 7.0 untuk hubungan dosis respon, dan Microsoft excel 2010 untuk grafik. Data setiap tahapan pengukuran dihitung reratanya, kemudian dibandingkan antara dua kelompok. Uji hipotesa yang digunakan adalah uji t-independen apabila memenuhi persyaratan uji, dan alternatifnya apabila tidak memenuhi. Hasil penelitian disusun berdasarkan pengolahan data dan disusun dengan terlebih dahulu menampilkan hasil pengolahan data secara univariat dan dilanjutkan dengan bivariat. Hasil penelitian juga disusun berdasarkan tujuan penelitian seperti telah disebutkan pada Bab 1. Variabel dengan skala numerik akan disajikan dalam bentuk rerata dan simpangan baku untuk data yang berdistribusi normal, sedangkan untuk data yang tidak berdistribusi normal akan disajilkan dalam bentuk median, minimum dan maksimal. Variabel dengan skala kategori akan disajikan dalam bentuk frekuensi dan proporsi dalam persen. Hasil penelitian kemudian dianalisa dengan melihat setiap kesimpulan statistik yang ada, dan membandingkannya dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Teori yang mendasari sebelumnya juga mendadi dasar analisa hasil penelitian. Keseluruhan hasil analisa hasil penlitian dituangkan dalam pembahasan hasil peneltian. Penyusunan hasil akhir penelitian merupakan penyusunan simpulan dan saran. Simpulan merupakan jawaban dari tujuan penelitian, sedangkan saran merupakan hal-hal yang dapat dipertimbangkan sebagai solusi dari permasalahan yang menjadi latar belakang penelitian ini. 3.7. Definisi Operasional Tabel 3.3. Definisi Operasional No. Butir Pemeriks Definisi Operasional Alat Ukur Skala Pengukur aan 1 Agitasi pada psikosis akut peningkatan aktifitas verbal dan motorik yang kacau dan tidak bertujuan Overt Agitation Severity Scale (OASS) Versi Bahasa Indonesia an Numerik

Tabel 3.3. Lanjutan 2 Tinggi Badan Ukuran dalam meter yang diukur dalam keadaan berdiri tegak, dari tempat menapak sampai batas atas 3 Berat Badan 4 Tingkat pendidika n 5 Indeks Masa Tubuh kepala. Ukuran dalam kilogram yang diukur dengan keadaan berdiri menggunakan pakaian yang ada. Jenjang pendidikan normal formal terdiri dari sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi Merupakan perhitungan baku Berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter 6 Usia Usia subjek yang dihitung sejak tanggal lahir sampai dengan waktu penelitian yang dinyatakan dalam tahun. Usia dibatasi menjadi kurang dari 40 tahun, dikarenakan pada rentang usia kurang dari 40 tahun, telah dilaporkan tidak memengaruhi bersihan indiator CYP. 7 Lama Sakit Rentang dalam tahun sejak subjek menderita gangguan jiwa 8 Awitan Usia saat pasien terindikasi menderita gangguan jiwa, ditandai dengan usaha mencari pertolongan 9 Jenis Jenis kelamin subjek yang dibedakan Kelamin 10 Jumlah Rokok atas perempuan dan laki-laki Jumlah rokok yang dikonsumsi subjek penelitian Meteran Tinggi Badan (meter) Timbangan Berat badan. Wawancara Timbangan Berat Badan dan tinggi badan Wawancara Auto/alloanamnes is Wawancara Auto/alloanamnes is Wawancara Auto/alloanamnes is Observasi Wawancara Auto/alloanamnes is Lebih besar dari 20 batang/hari atau kurang dari 20 batang/hari Numerik Numerik Kategori Numerik Numerik Numerik Numerik Kategori Kategori

BAB 4 HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di UGD RS Jiwa Prof. dr. M. Ildrem Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara probability consecutive sampling. Sebanyak seratus empat subjek penelitian, masing-masing lima puluh dua subjek untuk kelompok yang tidak merokok dan merokok. 4.1. Karakteristik Sampel dan Data Dasar Variabel Uji Karakteristik subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.1. Dari Tabel 4.1., rerata usia subjek adalah 33,56 (5,63) tahun untuk kelompok yang tidak merokok dan 30,38 (5,86) tahun untuk kelompok merokok. Indeks masa tubuh pada kelompok tidak merokok adalah 25,89 (4,81) dan untuk kelompok merokok 23,99 (4,99). Pada kelompok tidak merokok, jenis kelamin terbanyak adalah perempuan sebanyak 48 orang (92,3%), dan pada kelompok merokok yang terbanyak adalah laki-laki sebanyak 42 orang (80,8%). Skor OASS pada saat masuk UGD atau pada menit ke-0 untuk kelompok tidak merokok adalah 40,10 (9,55) dan 35,77 (9,82) untuk kelompok merokok. Pada kelompok tidak merokok sebanyak 28 (53,8%) subjek menerima suntikan haloperidol 5 mg, sedangkan sebanyak 24 (46,2%) subjek menerima suntikan haloperidol 10 mg. Pada kelompok merokok sebanyak 23 (44,3%) subjek menerima suntikan haloperidol 5 mg, sedangkan 29 (55,8%) subjek menerima haloperidol 10 mg. Dari hasil uji komparatif antar variabel karakteristik subjek penelitian, disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan usia dan indeks masa tubuh antara kelompok yang merokok dengan yang tidak merokok. Sebaliknya disimpulkan terdapat perbedaan pada skor awal OASS antara kelompok yang merokok dengan yang tidak merokok. Demikian juga pada frekuensi pasien yang menerima suntikan haloperidol 5mg atau 10 mg, disimpulkan tidak ada perbedaan frekuensi antara kelompok merokok dan yang tidak merokok. Sebaliknya terdapat perbedaan frekuensi jenis

kelamin yang bermakna antara kelompok yang merokok dengan yang tidak merokok. Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian Variabel Tidak Merokok Merokok n=52 n=52 nilai p Usia 33,56+5,63 * 30,38+5,86 ** 0,058 ^ Indeks Masa Tubuh 25,89+4,8 *** 23,99+4,99 **** 0,051 ^ Skor OASS Menit Ke-0 5) 40+10 6) 36+10 0,025 ^^ Jenis Kelamin Perempuan 48 (92,3%) 10 (19,2%) 0,001 ^^^ Laki-Laki 4 (7,7%) 42 (80,8%) Suntikan Haloperidol I.M. Total 5 Mg Total 10 Mg 28 (53,8%) 24 (46,2%) 23 (44,2%) 29 (55,8%) 0,327 ^^^ Hasil uji normalitas data dengan uji kolmogorov-smirnov *) p= 0,081; **) p= 0,023; ***) p= 0,001; ****) p= 0,002; 5) p=0,200; 6) p=0,200; ^) Uji Mann-Whitney; ^^) Uji t-independen; ^^^) Uji chi-square 4.2. Efikasi 4.2.1. Efikasi haloperidol pada individu yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 5 mg Pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 5 mg, pada kelompok yang tidak merokok didapatkan bahwa setelah 120 menit, gejala-gejala agitasi menghilang dengan rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-120 adalah 0,04 (0,19) (Gambar 4.1. dan Tabel 4.2.). Sedangkan, pada kelompok yang merokok didapatkan bahwa setelah 120 menit, gejala-gejala agitasi menghilang dengan rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-120 adalah 1,78 (1,04) (Gambar 4.1. dan Tabel 4.2.). Skor OASS 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Tidak Merokok Merokok Menit Ke-0 Menit Ke-30 Menit Ke-60 Menit Ke-90 Menit Ke-120 Waktu Pemeriksaan Gambar 4.1. Penurunan Skor OASS pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg

Dari Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 untuk kelompok yang tidak merokok turun dari rerata skor OASS pada awal pemeriksaan menjadi 15,82 (2,98), atau turun sebesar 60,49%. Pada menit ke-60 turun menjadi 7,25 (2,10) atau turun sebesar 81,89% dari skor OASS awal. Pada menit ke-90 turun menjadi 2,25 (1,24) atau turun sebesar 94,38% dari skor OASS awal. Dan, pada menit ke-120 turun menjadi 0,04 (0,19) atau turun sebesar 99,90% dari skor awal. Dari Tabel 4.2. juga dapat dilihat bahwa rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 untuk kelompok yang merokok turun dari rerata skor OASS pada awal pemeriksaan menjadi 14,35 (4,32), atau turun sebesar 60,61%. Pada menit ke-60 turun menjadi 7,65 (2,81) atau turun sebesar 79,01% dari skor OASS awal. Pada menit ke-90 turun menjadi 3,73 (1,51) atau turun sebesar 89,76% dari skor OASS awal. Dan, pada menit ke-120 turun menjadi 1,78 (1,04) atau turun sebesar 95,11% dari skor awal. Tabel 4.2. Skor OASS Berdasarkan Waktu Pemeriksaan pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg Waktu Pemeriksaan Tidak Merokok Merokok n=28 ( +SB) n=23 ( +SB) nilai p ## Menit ke-0 Menit ke-30 Menit ke-60 Menit ke-90 Menit ke 120 40,04 + 10,71 15,82 + 3,98* 7,25 + 2,10*** 2,25 + 1,24^ 0,04 + 0,19^^^ 36,43 + 9,15 14,35 + 4,32** 7,65 + 2,81**** 3,74 + 1,51^^ 1,78 + 1,04^^^^ 0,098 0,878 0,001 0,001 Hasil uji normalitas data menggunakan uji shapiro-wilk *) p=0,229; **) p=0,046; ***) p=0,381; ***) p=0,005; ^) p=0,045; ^^) p=0,014; ^^^) p=0,001; ^^^^) p=0,006; ##) uji Mann-Whitney Sebelum melakukan perbandingan antara skor OASS setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Dengan menggunakan uji shapiro-wilk, diperoleh kesimpulan bahwa data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30 skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,229), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,046). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-60, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,381), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,005). Data skor OASS pada waktu

pemeriksaan menit ke-90, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,045), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,014). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-120, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,006). Dengan demikian, untuk menguji apakah terdapat perbedaan skor OASS untuk setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok digunakan uji hipotesa Mann-Whitney. Hasil uji Mann-Whitney, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan skor OASS pada pemeriksaan menit ke- 30 (p=0,098) dan ke-60 (0,878) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok. Sebaliknya, terdapat perbedaan skor OASS pada pemeriksaan menit ke-90 (p=0,001) dan ke-120 (p=0,001) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok. 100% 100% Persentase Besar Respon 50% Tidak Merokok Persentase Besar Respon 50% Merokok 0% 0% 22,77 24,94 0 30 60 90 120 0 30 60 90 120 Menit Pemeriksaan Menit Pemeriksaan Gambar 4.2. Grafik Hubungan Dosis Respon Pengobatan pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg Terdapat hubungan dosis-respon monotonik pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 5 mg pada kelompok yang tidak merokok. Respon 50% atau penurunan gejala agitasi sebesar setengah dari awal yang diukur dengan OASS pada kelompok yang tidak

merokok dicapai dalam 22,77 menit (IK95% 21,21-24,18; p=0,001) (Gambar 4.2. kiri dan Tabel 4.3.). Tabel 4.3. Hubungan Dosis Respon Suntikan Haloperidol Intramuskular untuk Mencapai 50% Efek Respon pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg Tidak Merokok n=28 Merokok n=23 Waktu Yang Dibutuhkan Untuk Mencapai 50% Efek Respon 22,77 24,94 Interval Kepercayaan 95% 21,21 24,18 23,93 25,90 P 0,001 0,001 Terdapat hubungan dosis-respon monotonik pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 5 mg pada kelompok yang merokok. Respon 50% atau penurunan gejala agitasi sebesar setengah dari awal yang diukur dengan OASS pada kelompok yang merokok dicapai dalam 24,94 menit (IK95% 23,93-25,90; p=0,001) (Gambar 4.2. kanan dan Tabel 4.3.). 0 Menit Ke-30 Menit Ke-60* Menit Ke-90* Menit Ke-120-5 -10-15 Tidak Merokok Merokok -20-25 Gambar 4.3. Perbandingan Besar Perubahan Skor OASS pada Setiap Waktu Pemeriksaan antara Kelompok Individu yang Tidak Merokok dan Merokok pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg Besarnya penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dihitung dari skor OASS awal subjek yang menerima suntikan haloperidol total 5mg pada kelompok yang tidak merokok adalah sebesar 24,21 (7,29). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor

OASS awal adalah sebesar 8,57 (2,27). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 5,00 (1,36). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-120 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 2,21 (1,20) (Gambar 4.3. dan Tabel 4.4.). Besarnya penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dihitung dari skor OASS awal subjek yang menerima suntikan haloperidol total 5mg pada kelompok yang merokok adalah sebesar 22,09 (5,88). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 6,70 (2,10). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 3,91 (1,47). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-120 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 1,96 (1,11) (Gambar 4.3. dan Tabel 4.4.). Tabel 4.4. Perbandingan Besar Perubahan Skor OASS antara Kelompok Individu yang Tidak Merokok dan Merokok pada subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 5 mg Tidak Merokok Merokok Waktu Pemeriksaan Nilai p Menit ke-30 Menit ke-60 Menit ke-90 Menit ke 120 n=28 ( +SB) -24,21 + 7,29 * -8,57 + 2,27 *** -5,00 + 1,36 ^ -2,21 + 1,20 ^^^ n=23 ( +SB) -22,09 + 5,88 ** -6,70 + 2,10 **** -3,91 + 1,47 ^^ -1,96 + 1,11 ^^^^ 0,254 0,004 0,003 0,391 Hasil uji normalitas data menggunakan uji shapiro-wilk *) p=0,258; **) p=0,990; ***) p=0,240; ***) p=0,153; ^) p=0,53; ^^) p=0,001; ^^^) p=0,050; ^^^^) p=0,001; #) uji t-tidak berpasangan; ##) uji Mann-Whitney Sebelum melakukan perbandingan besarnya penurunan skor OASS setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Dengan menggunakan uji shapiro-wilk, diperoleh kesimpulan bahwa data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30 skor OASS dihitung dari skor OASS awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,258), sedangkan untuk kelompok yang merokok berdistribusi normal (p=0,990). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,240), sedangkan untuk kelompok yang merokok berdistribusi normal (p=0,153). Data penurunan skor OASS # # ## ##

pada waktu pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,530), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor awal pada waktu pemeriksaan menit ke-120, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,050), sedangkan untuk kelompok merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001). Dengan demikian, untuk menguji apakah terdapat perbedaan penurunan skor OASS untuk setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok digunakan uji t tidak berpasangan untuk penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dan 60, sedangkan uji Mann- Whitney digunakan untuk pemeriksaan menit ke-90 dan 120. Hasil uji t- tidak berpasangan, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan penurunan skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 (p=0,254). Terdapat perbedaan yang bermakna pada pemeriksaan menit ke-60 (p=,0,004) dan ke-90 (p=0,001). Pada pemeriksaan menit ke-120, ditemukan tidak terdapat perbedaan bermakna (p= ke-60 (0,878) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok. 4.2.2. Efikasi haloperidol pada individu yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 10mg Pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 10 mg, pada kelompok yang tidak merokok didapatkan bahwa setelah 120 menit, gejala-gejala agitasi menghilang dengan rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-120 adalah 0,25 (0,53) (Gambar 4.4. dan Tabel 4.5.). Sedangkan, pada kelompok yang merokok didapatkan bahwa setelah 120 menit, gejala-gejala agitasi menghilang dengan rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-120 adalah 2,90 (1,66) (Gambar 4.4. dan Tabel 4.5.). Dari Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 untuk kelompok yang tidak merokok turun dari rerata skor OASS pada awal pemeriksaan menjadi 26,29 (5,23), atau turun sebesar 34,55%. Pada menit ke-60 turun menjadi 12,58 (2,98) atau

turun sebesar 68,68% dari skor OASS awal. Pada menit ke-90 turun menjadi 4,12 (1,73) atau turun sebesar 89,74% dari skor OASS awal. Dan, pada menit ke-120 turun menjadi 0,25 (0,53) atau turun sebesar 99,38% dari skor awal. Skor OASS 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Tidak Merokok Merokok Menit Ke-0 Menit Ke-30 Menit Ke-60 Menit Ke-90 Menit Ke-120 Waktu Pemeriksaan Gambar 4.4. Penurunan Skor OASS pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg Dari Tabel 4.5. juga dapat dilihat bahwa rerata skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 untuk kelompok yang merokok turun dari rerata skor OASS pada awal pemeriksaan menjadi 22,76 (4,32), atau turun sebesar 35,41%. Pada menit ke-60 turun menjadi 12,34 (4,34) atau turun sebesar 64,98% dari skor OASS awal. Pada menit ke-90 turun menjadi 5,86 (2,55) atau turun sebesar 83,37% dari skor OASS awal. Dan, pada menit ke-120 turun menjadi 2,90 (1,66) atau turun sebesar 91,77% dari skor awal. Tabel 4.5. Skor OASS Berdasarkan Waktu Pemeriksaan pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg Waktu Pemeriksaan Tidak Merokok Merokok n=24 ( +SB) n=29 ( +SB) nilai p Menit ke-0 Menit ke-30 Menit ke-60 Menit ke-90 Menit ke 120 40,17 + 8,20 26,29 + 5,23* 12,58 + 2,98*** 4,12 + 1,73^ 0,25 + 0,53^^^ 35,24 + 10,46 22,76 + 7,64** 12,34 + 4,34**** 5,86 + 2,55^^ 2,90 + 1,66^^^^ # 0,060 # 0,814 ## 0,003 ## 0,001 Hasil uji normalitas data menggunakan uji shapiro-wilk *) p=0,462; **) p=0,103; ***) p=0,165; ***) p=0,054; ^) p=0,023; ^^) p=0,001; ^^^) p=0,001; ^^^^) p=0,001; #) uji t-tidak berpasangan; ##) uji Mann-Whitney Sebelum melakukan perbandingan antara skor OASS setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok,

terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Dengan menggunakan uji shapiro-wilk, diperoleh kesimpulan bahwa data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30 skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,060), sedangkan untuk kelompok yang merokok berdistribusi normal (p=0,103). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-60, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,165), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,054). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-90, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,023), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001). Data skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-120, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,001), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,006). Dengan demikian, untuk menguji apakah terdapat perbedaan skor OASS untuk setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok digunakan uji t-tidak berpasangan untuk membandingkan skor OASS pemeriksaan menit ke 30 dan ke-60, dan uji Mann-Whitney untuk membandingkan skor OASS pemeriksaan menit ke 90 dan ke-120. Hasil uji t-tidak berpasangan, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan skor OASS pada pemeriksaan menit ke-30 (p=0,060) dan ke-60 (0,814) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok. Sebaliknya, terdapat perbedaan bermakna skor OASS pada pemeriksaan menit ke-90

(p=0,001) dan ke-120 (p=0,001) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok. 100% 100% Persentase Besar Respon 50% Tidak Merokok Persentase Besar Respon 50% Merokok 0% 0% 37,36 40,32 0 30 60 90 120 0 30 60 90 120 Menit Pemeriksaan Menit Pemeriksaan Gambar 4.5. Grafik Hubungan Dosis Respon Pengobatan pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg Terdapat hubungan dosis-respon monotonik pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 10 mg pada kelompok yang tidak merokok. Respon 50% atau penurunan gejala agitasi sebesar setengah dari awal yang diukur dengan OASS pada kelompok yang tidak merokok dicapai dalam 37,36 menit (IK95% 35,92-38,81; p=0,001) (Gambar 4.5. kiri dan Tabel 4.6.). Tabel 4.6. Hubungan Dosis Respon Suntikan Haloperidol Intramuskular untuk Mencapai 50% Efek Respon pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg Tidak Merokok n=24 Merokok n=29 Waktu Yang Dibutuhkan Untuk Mencapai 50% Efek Respon 37,36 40,32 Interval Kepercayaan 95% 35,92 38,81 38,84 41,82 P 0,001 0,001 Terdapat hubungan dosis-respon monotonik pada subjek yang menerima suntikan haloperidol intramuskular total 10 mg pada kelompok yang tidak merokok. Respon 50% atau penurunan gejala agitasi sebesar

setengah dari awal yang diukur dengan OASS pada kelompok yang tidak merokok dicapai dalam 40,32 menit (IK95% 38,84-41,82; p=0,001) (Gambar 4.5. kanan dan Tabel 4.6.). 0 Menit Ke-30 Menit Ke-60* Menit Ke-90* Menit Ke-120* -5-10 -15 Tidak Merokok Merokok -20-25 Gambar 4.6. Perbandingan Besar Perubahan Skor OASS pada Setiap Waktu Pemeriksaan antara Kelompok Individu yang Tidak Merokok dan Merokok pada Subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg Besarnya penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dihitung dari skor OASS awal subjek yang menerima suntikan haloperidol total 10mg pada kelompok yang tidak merokok adalah sebesar 13,88 (5,27). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 13,71 (3,22). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 8,46 (5,27). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-120 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 3,88 (1,45) (Gambar 4.6. dan Tabel 4.7.). Besarnya penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-30 dihitung dari skor OASS awal subjek yang menerima suntikan haloperidol total 10mg pada kelompok yang merokok adalah sebesar 12,48 (4,79 ). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 10,41 (4,04). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 6,48 (2,46). Penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-120 dihitung dari skor OASS awal adalah sebesar 2,97 (1,99) (Gambar 4.6. dan Tabel 4.7.).

Tabel 4.7. Perbandingan Besar Perubahan Skor OASS antara Kelompok Individu yang Tidak Merokok dan Merokok pada subjek yang Menerima Suntikan Haloperidol Intramuskular 10 mg Tidak Merokok Merokok Waktu Pemeriksaan Nilai p Menit ke-30 Menit ke-60 Menit ke-90 Menit ke 120 n=24 (ẋ+sb) -13,88 + 5,27* -13,71 + 3,22*** -8,46 + 5,27^ -3,88 + 1,45^^^ n=29 (ẋ+sb) -12,48 + 4,79** -10,41 + 4,04**** -6,48 + 2,46^^ -2,97 + 1,99^^^^ ## ## # ## 0,262 0,003 0,002 0,026 Hasil uji normalitas data menggunakan uji shapiro-wilk *) p=0,213; **) p=0,019; ***) p=0,481; ***) p=0,009; ^) p=0,376; ^^) p=0,055; ^^^) p=0,017; ^^^^) p=0,002; #) uji t-tidak berpasangan; ##) uji Mann-Whitney Sebelum melakukan perbandingan besarnya penurunan skor OASS setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Dengan menggunakan uji shapiro-wilk, diperoleh kesimpulan bahwa data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30 skor OASS dihitung dari skor OASS awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,213), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,019). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-60 dihitung dari skor awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,481), sedangkan untuk kelompok yang merokok tidak berdistribusi normal (p=0,009). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-90 dihitung dari skor awal untuk kelompok yang tidak merokok berdistribusi normal (p=0,376), sedangkan untuk kelompok yang merokok berdistribusi normal (p=0,055). Data penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke- 90 dihitung dari skor awal pada waktu pemeriksaan menit ke-120, skor OASS untuk kelompok yang tidak merokok tidak berdistribusi normal (p=0,017), sedangkan untuk kelompok merokok tidak berdistribusi normal (p=0,002). Dengan demikian, untuk menguji apakah terdapat perbedaan penurunan skor OASS untuk setiap waktu pemeriksaan antara kelompok yang tidak merokok dan merokok digunakan uji t tidak berpasangan untuk penurunan skor OASS pemeriksaan menit ke-90, sedangkan uji Mann- Whitney digunakan untuk pemeriksaan menit ke-30, ke-60 dan 120. Hasil uji t-tidak berpasangan, ditemukan bahwa terdapat perbedaan penurunan skor OASS pada pemeriksaan menit ke-90 (p=0,002). Hasil uji Mann-

Whitney, terdapat perbedaan yang bermakna pada pemeriksaan menit ke- 60 (p=,0,003) dan ke-120 (p=0,026). Sedangkan pada pemeriksaan menit ke-30, ditemukan tidak terdapat perbedaan bermakna (p=0,262) antara kelompok yang tidak merokok dan merokok. 4.3. Keamanan 4.3.1. Proporsi Timbulnya Efek Samping Haloperidol Sebanyak 5 subjek penelitian atau sebesar 4,8% melaporkan sindrom ekstra piramidal (Tabel 4.10.). Sindrom ekstra-piramidal ini diukur dengan menggunakan instrumen Simpson-Angus. Subjek penelitian yang melaporkan sindrom ekstra-piramidal ini diberikan suntikan difenhidramin 10mg intra muskular. Tabel 4.8. Kejadian Sindrom Ekstrapiramidal Tidak Merokok Merokok Tidak Ya Tidak Ya Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 45 4 3 0 10 40 0 2 Dosis Haloperidol 5 Mg 10 Mg 26 23 2 1 21 29 2 0 Tabel 4.10. menunjukkan sindrom ektrapiramidal timbul terutama pada individu yang menerima suntikan haloperidol 5mg (4 subjek). 3 subjek laki-laki menunjukkan sidrom ekstra-piramidal dan 2 subjek perempuan. Tabel 4.9. Risiko Kejadian Sindrom Ekstrapiramidal Prediktor EPS (-) EPS (+) OR P Jenis Laki-Laki 55 3 Kelamin Perempuan 44 2 0,833 1,000*) Suntikan 5 Mg 47 4 Haloperidol 10 Mg 52 1 0,226 0,201*) Merokok Tidak 49 3 Ya 50 2 0,653 1,000*) *) Uji Fischer Tabel 4.11. menunjukkan bahwa laki laki cenderung menunjukkan sindrom ektrapiramidal sebesar 0,833 kali lebih kecil dibandingkan dengan perempuan. Suntikan haloperidol 5 mg cenderung menyebabkan sindrom

ekstrapiramidal sebanyak 0,226 kali lebih kecil dibandingkan dengan suntikan 10 mg haloperidol, dan tidak merokok cenderung menyebabkan sindrom ektrapiramidal sebanyak 0,653 kali lebih kecil dibandingkan dengan yang merokok. Keseluruhan risiko dengan tingkat kemaknaan lebih besar dari 0,05.

BAB 5 PEMBAHASAN Penelitian ini mendemonstrasikan hubungan dosis-respon untuk dosis suntikan haloperidol dengan waktu pemberian suntikan haloperidol terhadap upaya meredakan agitasi. Pengukuran dilakukan pada menit ke- 0, ke-30, ke-60, ke-90 dan menit ke-120. Efikasi haloperidol 5 mg dan 10 mg tampak berbeda bermakna pada kelompok yang tidak merokok dibandingkan dengan yang merokok. Agitasi diukur menggunakan instrumen OASS versi Bahasa Indonesia. Pada penelitian ini juga ditunjukkan bahwa instrumen OASS dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Instrumen OASS telah ditunjukkan memiliki validitas dan reliabilitas yang baik untuk mengukur agitasi. Perbedaan pada data dasar yaitu jenis kelamin antara kelompok yang merokok dan tidak merokok telah diperkirakan sebelumnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa 84,1 % dari lelaki dengan gangguan jiwa berat adalah perokok dan 52,8% dari perempuan dengan gangguan jiwa berat adalah perokok. Hal ini lima kali lebih tinggi dari jumlah perokok pada populasi umum. Pengaruh jenis kelamin pada metabolisme obat masih menjadi belum memberikan kesimpulan yang jelas akan perbedaannya. Parameter berat badan, tinggi badan, luas permukaan tubuh, total air dalam tubuh dan air ekstra/intra seluler memang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan berbeda pada saat kehamilan. Dari tinjauan yang ada haloperidol tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin dikarenakan haloperidol yang terikat dengan protein. Obat-obatan yang sering digunakan untuk penanganan gangguan jiwa lain yang dipengaruhi oleh jenis kelamin diantaranya klozapin, olanzapin, litium, selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dan asam valproat. Obat-obatan ini telah dibuktikan lebih tinggi konsentrasi plasmanya pada perempuan dibandingkan dengan lakilaki. 29 28

Seperti telah diutarakan pada bab sebelumnya, farmakokinetika mempelajari proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat dari dalam tubuh atau ilmu yang mempelajari pengaruh tubuh terhadap obat. Distribusi obat sendiri dipengaruhi oleh profil farmakokinetika obat, dalam hal ini apakah obat tersebut berikatan dengan protein, lemak atau dengan air. Haloperidol sendiri sangat berikatan dengan protein. Sehingga keadaan yang dapat memberikan perbedaan terhadap protein dalam tubuh akan memberikan bias pada hasil penelitian ini. Markofski dan Volpi menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan metabolisme protein pada individu yang memiliki indeks masa tubuh yang sama dan status kesehatan yang sama. 30 Faktor jenis kelamin akan memengaruhi farmakokinetika dan farmakodinamika obat pada populasi khusus seperti pada kehamilan. Pada penelitian ini kehamilan merupakan kriteria eksklusi sampel, sehingga keseluruhan sampel penelitian tidak dalam keadaan hamil. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin tidak memengaruhi penarikan kesimpulan penelitian ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa haloperidol masih merupakan preparat yang cukup efektif untuk mengatasi kasus agitasi di unit gawat darurat psikiatri. Efektif dikarenakan penelitian ini membuktikan bahwa dalam waktu 120 menit, gejala agitasi keseluruhan subjek penelitian dapat diatasi. Penelitian lain yang membandingkan haloperidol dengan olanzapin juga menemukan bahwa suntikan haloperidol intramuskular meredakan gejala-gejala agitasi dalam waktu 24 jam. Walaupun haloperidol disimpulkan inferior terhadap olanzapin. Efek samping haloperidol yang ditemukan pada penelitian ini sebanyak 5 subjek penelitian atau 4,8% dari keseluruhan penelitian. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sindrom ekstra-piramidal ditemukan sebanyak sekitar 20% 32 (akatisia) dari keseluruhan pengguna haloperidol. Sindrom ekstra-piramidal akibat penggunaan antipsikotika merupakan gangguan yang lazim ditemukan. Akatisia, distonia, dan diskinesia tardiv, dan parkinsonisme. Akatisia sebagai salah satu 31

diagnosis yang paling sering muncul pada sindrom ekstrapiramidal ini, memiliki prevalensi antara 5%-50%. Akatisia memiliki komponen subjektif dan objektif. Pasien akan menderita akibat perasaan tidak tenang akibat kesulitan pasien untuk mempertahankan posisi diam otot. Insidensinya bervariasi bergantung pada jenis dan dosis antipsikotika. 33 haloperidol sendiri merupakan obat antipsikotika generasi pertama yang secara konsisten memiliki risiko menimbulkan sindrom ekstrapiramidal dibandingkan dengan antipsikotika generasi terbaru. 34 Selain jenis dan dosis, akatisia lebih cenderung terjadi orang tua dan wanita, memiliki riwayat trauma kepala, demensia, dan gangguan mood. Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan, merokok, dan dosis haloperidol lebih besar akan berisiko untuk menjadi sindrom ektrapiramidal. Batas kemaknaan yang tidak dapat dilampaui untuk pengambilan kesimpulan bermakna, kemungkinan disebabkan bahwa desain penelitian dan perhitungan besar sampel pada penelitian ini hanya untuk menjawab hipotesa apakah terdapat perbedaan respon pengobatan haloperidol antara yang tidak merokok dan merokok, dan bukan ditujukan untuk pencaharian prevalensi timbulnya efek samping haloperidol yaitu sindrom ekstrapiramidal. Penelitian yang dilakukan oleh Thomson, Kulkarni, dan Sergejew pada 25 orang perempuan dengan psikotik menemukan bahwa perempuan memiliki risiko lebih besar untuk menimbulkan gejala ekstrapiramidal dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian ini menemukan bahwa kadar estrogen dalam darah pada perempuan yang menunjukkan gejala ekstrapiramidal lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang tidak menunjukkan gejala ekstrapiramidal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa konsentrasi estrogen akan berpengaruh pada dinamika dpamin pada jaras mesolimbik dan mesostriatum. Cost-Effectiveness merupakan terminologi ekonomi, yang berarti efektifitas yang didapat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendapat efektifitas tersebut. Efektifitas juga dipengaruhi oleh efek samping yang didapat. Cost-Effectiveness haloperidol telah dibandingkan 36 35

dengan olanzapin dan aripiprazol untuk penanganan agitasi, dan telah disimpulkan bahwa haloperidol masih dapat diunggulkan dari olanzapin dan aripiprazol. 37 Hal yang perlu diingat adalah aspek cost merupakan pertimbangan terakhir bagi seorang klinisi dalam pemilihan preparat antipsikotika. Aspek gejala, profil efek samping obat dan aspek lainnya merupakan pertimbangan yang lebih diutamakan. Penelitian ini menunjukkan bahwa haloperidol memiliki aktifitas antagonis reseptor. Gejala-gejala agitasi dan psikosis dihipotesiskan sebagai akibat dari peningkatan aktivitas dopamin, dan haloperidol sejak pertama kali telah diamati menurunkan hiperaktifitas dopamin ini. Penurunan aktifitas dopamin oleh haloperidol telah ditunjukkan memenuhi hubungan dosis respon, dimana respon pengobatan akan dipengaruhi oleh dosis haloperidol yang diberikan. Hubungan dosis-respon yang ditunjukkan pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa respon pengobatan dipengaruhi oleh dosis yang diberikan. Dosis suntikan haloperidol 10 mg berbeda bermakna respon pengobatannya dibandingkan dengan suntikan haloperidol 5 mg. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan dosis berhubungan dengan okupansi reseptor dopamin oleh haloperidol. Semakin meningkat dosis haloperidol akan semakin meningkatkan okupansi reseptor dopamin. Respon pengobatan dapat dicapai apabila tingkat okupansi reseptor dopamin tidak melebih dari 80%. Okupansi reseptor dopamin yang melebihi 80% tidak akan meningkatkan respon pengobatan melainkan meningkatkan kejadian efek samping haloperidol. Reddy dan kawan-kawan menemukan bahwa konsentrasi haloperidol dalam darah minimum 2,7ng/mL akan menghasilkan respon pengobatan 30%. Konsentrasi minimum tersebut akan dicapai dengan pemberian haloperidol 5,6mg per hari. Dengan dosis tersebut okupansi reseptor dopamin akan mencapai 67%. 16 Konsentrasi haloperidol di otak berpengaruh pada langsung pada respon pengobatan seperti telah di bahas di atas. Perbedaan respon pengobatan pada penelitian tampak pada pencapaian respon pengobatan 38 16

50%. Pada individu merokok respon pengobatan 50% berbeda dengan individu yang tidak merokok. Hal ini menjelaskan bahwa konsentrasi haloperidol pada tempat kerjanya berbeda antara individu yang merokok dan yang tidak merokok pada waktu yang sama. Dikarenakan perbedaan antara kedua kelompok pada penelitian ini adalah perilaku merokok, maka diyakini bahwa perbedaan tersebut diakibatkan oleh perilaku merokok. Aspek absorbsi tidak berpengaruh pada penelitian ini dikarenakan preparat injeksi yang digunakan pada penelitian ini. Pemberian intra-muskular memintas jalur metabolisme haloperidol di hati yang dikenal sebagai organ xenobiotik primer. Faktor usia dan indeks masa tubuh juga telah ditunjukkan tidak berbeda antara dua kelompok, sehingga diyakini bahwa faktor yang membedakan dua kelompok ini adalah perilaku merokok. Komponen asap rokok telah dilaporkan menginduksi berbagai isoenzim sitokrom P450 (CYP), yang memegang peranan penting pada metabolisme obat. PAH dari asap rokok merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap induksi berbagai isoenzim ini, terutama CYP1A1, CYP1A2 dan CYP2E1. 4,5 Kebanyakan obat akan mengalami biotransformasi via reaksi metabolisme fase I dan fase II di hati. Isoenzim CYP terlibat pada metabolisme fase I, yang merupakan proses oksidasi yang memetabolisasi substansi eksogen dan endogen menjadi komponen yang lebih hidrofilik untuk dieliminasi. Terinduksinya isoenzim CYP ini akan menyebabkan obat tereliminasi dengan cepat. Isoenzim CYP1A1/1A2 terhitung berkisar 13-17% dari total keseluruhan isoenzim hati. Isoenzim ini terutama ditemukan di hati, akan tetapi ditemukan juga di otak, paru-paru dan plasenta ibu yang merokok. Mekanisme induksi dari isoenzim CYP yang disebabkan oleh komponen asap rokok (hidrokarbon aromatik) melibatkan ikatan hidrokarbon pada reseptor intraseluler spesifik (Ah-Aryl Hydrocarbon Receptor). Kompleks hidrokarbon-ah-reseptor ini kemudian bermigrasi ke dalam inti sel dan berinteraksi dengan ARE (Ah-responsive element), yang menyebabkan peningkatan mrna dari aktivasi transkripsional gen CYP. 5,17

mrna ini mengarahkan pembentukan asam amino menjadi protein dalam retikulum endoplasma. Kemudian, dengan penambahan haem pada protein, produksi CYP akhirnya lengkap. Selain meningkatkan produksi CYP, diyakini pula bahwa degradasi CYP sendiri dihambat oleh hidrokarbon aromatik ini. 5 Sejauh pencaharian referensi sampai saat ini, penelitian ini adalah penelitian pertama yang dilakukan. Penelitian sebelumnya dilakukan dengan meneliti haloperidol dan merokok dari pemeriksaan konsentrasi haloperidol dalam darah. Penelitian ini mendukung hasil yang ditunjukkan oleh Jann dkk 7 dan Miller dkk 8, yaitu terdapat perbedaan haloperidol yang bermakna kelompok merokok dan tidak merokok, akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Jann dkk dan Miller dkk ini hanya mendukung dari aspek farmakokinetika saja. Jann dkk dan Miller dkk dalam penelitiannya hanya meneliti konsentrasi haloperidol dalam darah dan bersihan ginjal haloperidol yang diukur dari konsentrasi haloperidol dalam urin. Jann dkk dan Miller dkk tidak meneliti respon pengobatan haloperidol, sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian tersebut hanya meneliti interaksi merokok dan haloperidol dari aspek farmakokinetika saja. Penelitian Jann dkk dan Miller dkk ditambah dengan hasil penelitian saat ini telah dapat menyimpulkan bahwa terdapat interaksi antara merokok dan haloperidol, dan interaksi ini telah dibuktikan baik dari aspek farmakokinetika berdasarkan penelitian Jann dkk dan Miller dkk dan dari aspek farmakodinamika berdasarkan hasil penelitian ini. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, desain penelitian yang tidak menggunakan kontrol. Kelompok kontrol adalah kelompok individu yang menunjukkan agitasi dan tidak merokok dan tidak mendapatkan terapi antipsikotika. Penerapan desain dengan kontrol menjadikan penelitian dengan tiga kelompok, yaitu kelompok merokok, kelompok tidak merokok, dan kelompok tidak merokok tanpa pengobatan. Desain dengan kontrol sebenarnya akan memberikan gambaran yang lebih jelas antara individu yang menerima haloperidol dengan yang tidak menerima haloperidol. Desain dengan kontrol atau plasebo tidak 7,8

memungkinkan dilakukan dikarenakan prosedur tatalaksana di RS Prof. dr. M. Ildrem Medan yang mengharuskan reduksi gejala agitasi pada psikosis dengan cepat dikarenakan dapat bereskalasi menjadi agresivitas dan membahayakan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan. Kedua, efek samping pada penelitian ini hanya berfokus pada sindrom ekstra-piramidal. Seperti telah diketahui salah satu efek samping haloperidol adalah perpanjangan gelombang QT. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan apabila tersedianya alat EKG di unit gawat darurat RS Prof. dr. M. Ildrem Medan.

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan 1. Rerata penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120 adalah -16,73, -8,77, -5,35, dan -2,52 untuk kelompok yang merokok. 2. Rerata penurunan skor OASS pada waktu pemeriksaan menit ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120 adalah -19,44, -10,94, -6,60, dan -2,98 untuk kelompok yang tidak merokok. 3. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai penurunan skor OASS sebesar 50% dari skor OASS menit ke-0 adalah 22,77 menit untuk suntikan haloperidol 5 mg pada kelompok yang tidak merokok dan 24,94 menit untuk kelompok yang merokok. 4. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai respon sebesar 50% apabila subjek tidak berespon pada suntikan pertama adalah 37,6 menit untuk kelompok yang tidak merokok dan 40,32 menit untuk kelompok yang merokok. 5. Sebanyak 4,8% subjek penelitian melaporkan efek samping sindrom ekstra-piramidal. 6. Terdapat perbedaan efek pemberian haloperidol yang bermakna pada penanganan agitasi pada psikosis akut antara individu yang merokok dengan yang tidak merokok. 6.2. Saran 1. Peningkatan upaya stop merokok pada orang dengan gangguan jiwa akan memberikan dampak positif bagi penatalaksanaan gangguan jiwa. 2. Setiap pasien psikosis dengan agitasi yang menerima suntikan haloperidol intramuskular diwajibkan untuk menghentikan kebiasaan merokok.

3. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan desain yang khusus menggunakan tiga kelompok yaitu plasebo atau kelompok daftar tunggu. 4. Penelitian ini dapat dilanjutkan dan berfokus pada tingkat gen khususnya yang berkaitan dengan isoenzim CYP1A1 dan CYP1A2.