1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peristiwa pewarisan adalah perihal klasik dan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia. Apabila ada seseorang meninggal dunia, maka pada saat itulah disebut warisan terbuka/terluang. Artinya sejak saat itu pula harta warisan beralih kepada ahli waris/para ahli waris menjadi kepemilikan bersama. Dalam hal ini kepemilikan bersama dapat berarti harta tersebut tidak dapat dialihkan kepada orang lain tanpa kerjasama seluruh ahli waris. Misalnya saja, ada satu orang ahli waris yang tidak turut serta dalam pemindahan hak tersebut, maka perbuatan hukum pemindahan hak tersebut menjadi batal. Peristiwa pewarisan ini dapat terjadi ketika : 1. Ada orang yang mati; 2. Ada harta yang ditinggalkan; dan 3. Ada ahli waris. 1 Dengan adanya pewarisan, dapat diartikan adanya suatu peralihan harta benda milik si pewaris kepada ahli waris. Dalam proses peralihan harta waris ini, tidak jarang akan memunculkan permasalahan/sengketa diantara para pihak yang berkepentingan, misalnya saja sengketa yang terjadi diantara para ahli waris; ataupun sengketa yang terjadi antara ahli waris dengan pihak ketiga. 1 J. Satrio, 1992, Hukum Waris, Ctk. II, Alumni, Bandung, hlm. 8.
2 Sengketa pewarisan ini kerapkali muncul karena sebagian manusia memiliki anggapan bahwa harta benda adalah tolok ukur suatu keberuntungan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Di Indonesia, eksistensi hukum waris di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum ada keseragaman (unifikasi), sehingga masalah waris masih merupakan problema bagi masyarakat, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukumnya. Keberagaman tersebut sangat jelas terlihat, bila kita mempelajari ketentuan tentang lembaga yang menangani masalah waris itu sendiri dalam sumber-sumber yang berlaku di Indonesia, baik hukum barat yang bersumber dari Burgelijk Wetboek (BW), hukum adat yang berlaku di Indonesia, maupun hukum Islam yang merupakan konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. 2 Hukum waris yang berlaku di Indonesia dewasa ini diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW) Buku II tentang Benda mulai dari Titel XII XVIII untuk lingkup peradilan umum (bidang perdata), Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta dalam ketentuan hukum adat yang masing-masing daerah berbeda. Di dalam perkembangan hukum kewarisan di Indonesia, hukum perdata dan hukum Islam mulai membaur dalam hukum adat, sehingga penyelesaian perkara hukum waris juga semakin maju seiring perkembangan masyarakatnya. 2 Muderis Zaini, 2002, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Semarang, hlm. 1.
3 Hal ini dapat dilihat saat hukum dihadapkan dalam berbagai persoalan waris, salah satunya ketika pewaris meninggalkan hutang yang cukup besar, atau ketika nilai hutangnya tersebut jumlahnya hampir sama nilainya dengan harta yang ditinggalkan, atau bahkan hutang pewaris melampaui harta peninggalannya, maka hal yang demikian dalam prakteknya ahli waris tetap akan membayar hutang hutang tersebut dengan melihat kemampuan ahli waris/para ahli waris. Namun dalam ketentuan BW, para ahli waris dapat menolak warisan tersebut jika ahli waris merasa harus menghindar. Dengan adanya ketentuan tersebut dapat diartikan, menerima warisan merupakan menerima aktiva dan pasiva yang ditinggalkan pewaris, dan sebaliknya. Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak. Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut sistem keturunan bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah maupun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam. Persamaannya apabila dihubungkan antara sistem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut sistem kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris)
4 harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral 3, sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengeluaran-pengeluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain. Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individualistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis). 3 Subekti, 1992, Pokok-pokok hukum perdata, Intermasa, Jakarta, hlm. 11.
5 Banyak kasus di pengadilan seputar harta warisan dapat dihindari jika saja pewaris dan ahli waris memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum waris. Opsi untuk mengatur pembagian warisan melalui wasiat atau berdasarkan hukum yang berlaku, seharusnya sudah menjadi pemikiran ketika pewaris masih hidup guna menghindari timbulnya masalah bagi para ahli waris setelah pewaris meninggal. Bagi para ahli waris pemahaman yang memadai tentang hukum waris juga sangat penting agar mereka menyadari hak dan kewajiban mereka sebagai ahli waris, dan opsi apa yang mereka miliki jika masalah ini sudah sampai pada tahap pengadilan. Dalam prakteknya muncul sengketa dalam bidang kewarisan yang salah satunya adalah mengenai hak waris anak yang lahir dari perkawinan pertama atas harta peninggalan ayah kandungnya yang dikuasai oleh istri dari perkawinan kedua. Di dalam kenyataannya sering timbul sengketa di masyarakat dimana ada penguasaan benda waris sebelum terbagi. Pada umumnya muncul anggapan penguasa harta warisan adalah pemilik sah atas harta warisan tersebut, sehingga penguasa dengan semena mena dapat memindahtangankan kepemilikan harta warisan tersebut tanpa melihat kepentingan ataupun persetujuan ahli waris yang lain. Hal ini terjadi pada kasus putusan Pengadilan Negeri Nomor : 44/Pdt.G/2007/PN.Skh., dimana terdapat hak waris atas harta peninggalan seorang ayah yang dikuasai oleh istri dari perkawinan kedua tanpa mempertimbangkan kedudukan anak dari perkawinan pertama. Kasus ini dirasa menarik, karena di dalam sistem kewarisan baik perdata maupun Islam terdapat ketentuan bahwa seorang ahli waris baru dapat
6 menguasai hak harta warisannya setelah harta tersebut dipecah, namun dalam hal ini harta tersebut masih berstatus sebagai harta asal dan harta bersama yang belum terpecah. Berdasarkan kasus inilah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Kajian Yuridis Hak Waris Anak Dari Perkawinan Pertama Terhadap Harta Peninggalan Ayahnya (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2792K/Pdt/2008) untuk lebih mengetahui dasar pertimbangan hakim pengadilan negeri dalam memberikan putusannya sebagai salah satu produk hukum. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah hak waris anak terhadap harta peninggalan ayahnya berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2792K/PDT/2008? 2. Apakah dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan pembatalan pemindahtanganan beberapa bidang tanah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2792K/PDT/2008? C. Keaslian Penelitian Setelah dilakukan penelitian kepustakaan, penelitian tentang Kajian Yuridis Hak Waris Anak Dari Perkawinan Pertama Terhadap Harta Peninggalan Ayahnya (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2792K/Pdt/2008) ini belum pernah dilakukan. Adapun beberapa penelitian
7 terdahulu yang telah dilakukan, penulis menemukan beberapa penelitian dengan kemiripan bahasan yang berkaitan tentang hak waris yakni : 1. Tinjauan Terhadap Pembagian Warisan Pada Perkawinan Poligami (Studi Kasus Putusan Nomor : 36/Pdt.G/1997.PN.Skh), oleh Anas Wisnu Prihatin dari Program Magister Kenotariatan, Tahun 2014 4. Rumusan Masalah : a. Bagaimana pembagian harta warisan pada perkawinan poligami yang ada pada putusan nomor : 36/Pdt.G/1997.PN.Skh? b. Bagaimana upaya mengatasi permasalahan yang muncul dalam pembagian harta warisan pada perkawinan poligami yang ada pada putusan nomor : 36/Pdt.G/1997.PN.Skh? Hasil Penelitian : Pembagian warisan dalam perkawinan poligami pada kasus ini istri pertama dari suami yang berpoligami mempunyai hak atas harta gono gini yang dimilikinya bersama dengan suaminya. Istri kedua dan seterusnya berhak atas harta gono gininya bersama dengan suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung. Kesemua istri memiliki hak yang sama atas harta gono gini tersebut. Namun, istri yang kedua dan seterusnya tidak berhak terhadap harta gono gini istri yang pertama. Dalam perkawinan poligami tidak ada percampuran harta suami dan istri karena perkawinan. Dalam pembagian harta perkawinan dalam perkawinan poligami dalam bentuk tanah 4 Anas Wisnu Prihatin, 2014, Tinjauan Terhadap Pembagian Warisan Pada Perkawinan Poligami (Studi Kasus Putusan Nomor : 36/Pdt.G/1997.PN.Skh), Program Magister Kenotariatan, Yogyakarta, hlm. ix.
8 berbidang-bidang atau satu bidang yang luas, sangat sulit menentukan bagian masing-masing, sebaiknya dilangsungkan secara kekeluargaan dan memenuhi unsur keadilan bagi semua pihak. 2. Kajian Yuridis Hak Anak Terhadap Harta Peninggalan Seorang Ayah Yang Menikah Dua Kali (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Nomor : 523/Pdt.G/1996/PA.Wno jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor : 019/Pdt.G/1997/PTA Yk jo Putusan Mahkamah Agung Nomor : 02 PK/AG/2003), oleh Ulya Noer Anjumi Kholidah dari Program Magister Kenotariatan, Tahun 2013 5. Rumusan Masalah : a. Bagaimanakah hibah yang sah menurut hukum islam berdasarkan putusan Pengadilan Agama Wonosari Nomor : 523/Pdt.G/1996/PA.Wno? b. Bagaimana hak anak terhadap harta peninggalan seorang ayah yang menikah dua kali menurut putusan Pengadilan Agama Nomor : 523/Pdt.G/1996/PA.Wno jo putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor : 019/Pdt.G/1997/PTA.Yk jo Putusan Mahkamah Agung Nomor : 02 PK/AG/2003? Hasil penelitian : 5 Ulya Noer Anjumi Kholidah, 2013, Kajian Yuridis Hak Anak Terhadap Harta Peninggalan Seorang Ayah Yang Menikah Dua Kali (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Nomor : 523/Pdt.G/1996/PA.Wno jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor : 019/Pdt.G/1997/PTA Yk jo Putusan Mahkamah Agung Nomor : 02 PK/AG/2003), Program Magister Kenotariatan, Yogyakarta, hlm. viii.
9 Menurut hukum islam, hibah adalah sah apabila memenuhi semua syarat, unsur-unsur serta rukun-rukun hibah yang ditetapkan oleh Al-Qur an, Hadits, serta peraturan yang ada. Hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hak bagian anak istri pertama dan anak istri kedua apabila warisan yang ditinggalkan adalah harta warisan/kepunyaan bapak/ibu kandung pembagiannya sama yaitu 2 berbanding 1 antara anak laki-laki dan anak perempuan. Sehingga hak antara anak dari istri pertama dan istri kedua adalah sama. 3. Hak Suami Atas Harta Peninggalan Istri Yang Dikuasai Oleh Anak Kandung (Studi Kasus Putusan Nomor : 349/Pdt.G/2006/PA Padang), oleh Harley Masfar dari Program Magister Kenotariatan, Tahun 2008 6. Rumusan Masalah : a. Bagaimana hak suami atas harta peninggalan istri yang dikuasai oleh anak kandung menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam? b. Apakah harta warisan yang diminta kembali oleh ayah kandung dari anak kandung yang telah menguasai harta warisan mencerminkan prinsip prinsip keadilan? Hasil penelitian : Suami berhak atas harta peninggalan istri, baik kedudukannya sebagai suami maupun dalam kedudukannya sebagai ahli waris, sehingga tidak dibenarkan dengan alasan apapun bagi anak untuk menguasai harta 6 Harley Masfar, 2008, Hak Suami Atas Harta Peninggalan Istri Yang Dikuasai Oleh Anak Kandung (Studi Kasus Putusan Nomor : 349/Pdt.G/2006/PA Padang), Program Magister Kenotariatan, Yogyakarta, hlm. viii.
10 peninggalan istri tanpa memperhitungkan suami. Tindakan suami yang meminta kembali bagian haknya atas harta peninggalan istri yang telah dikuasai anak kandung ini telah memenuhi prinsip prinsip keadilan karena di satu sisi telah sesuai dengan ketentuan dalam Al-Qur an dan Hadits serta di sisi lain telah sesuai dengan prinsip prinsip keadilan secara umum menurut pandangan manusia. Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai persamaan dan perbedaan antara penelitian penulis dan penulisan yang telah ada. Persamaan antara lain : 1. Penelitian dan penulisan tersebut sama sama membahas mengenai harta peninggalan. 2. Penelitian dan penulisan tersebut sama sama membahas mengenai harta peninggalan yang dilakukan penggugatan di muka pengadilan. 3. Penelitian dan penulisan tersebut sama sama memiliki keterkaitan terhadap hak mewaris seorang ahli waris yang diabaikan. Sedangkan perbedaan antara penelitian dan penulisan penulis dengan penelitian dan penulisan yang telah ada yaitu sebagai berikut : 1. Dibandingkan dengan penulisan yang telah ada, penelitian dan penulisan penulis menitikberatkan mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan pertama dalam kedudukannya sebagai ahli waris bersama ahli waris lain (istri dan anak dari perkawinan kedua) terhadap harta asal dalam harta peninggalan pewaris berdasarkan ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sedangkan penelitian
11 dan penulisan yang telah ada meneliti mengenai hak mewaris dalam perkawinan poligami dan hibah yang diperhitungkan sebagai bagian dari harta warisan. 2. Penelitian dan penulisan penulis meneliti mengenai putusan pada Pengadilan Negeri sedangkan penelitian dan penulisan yang telah ada meneliti mengenai putusan Pengadilan Agama. Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis menyimpulkan bahwa penelitian dan penulisan ini berbeda dengan beberapa penelitian dan penulisan terdahulu, sehingga penulis menjamin keaslian penelitian ini. D. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah yang telah diungkapkan di atas, maka penelitian ini bermaksud untuk mencapai tujuan penelitian sebagai berikut, yaitu: 1. Untuk mengetahui dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan pembagian hak waris anak terhadap harta peninggalan ayahnya berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2792K/PDT/2008 ditinjau dari hukum waris Adat, hukum waris Islam dan hukum waris perdata. 2. Untuk mengetahui dasar hukum yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan pembatalan pemindahtanganan beberapa bidang tanah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2792K/PDT/2008.
12 E. Manfaat Penelitian Selanjutnya penelitian ini diharapkan juga dapat bermanfaat untuk: 1. Bagi akademisi Sebagai kontribusi positif bagi para akademisi khususnya di bidang kenotariatan untuk mengetahui lebih jauh tentang perlindungan hukum terhadap hak anak dari perkawinan terdahulu sebagai salah satu ahli waris terhadap harta peninggalan ayah kandungnya. 2. Bagi masyarakat Hasil penulisan penelitian ini diharapkan dapat terbaca secara luas oleh masyarakat, terutama bagi mereka yang concern terhadap perlindungan hukum terhadap hak anak dari perkawinan terdahulu sebagai salah satu ahli waris terhadap harta peninggalan ayah kandungnya sehingga mereka dapat memperoleh gambaran dan informasi yang tepat. 3. Bagi penegak hukum Untuk memberikan gambaran berupa pertimbangan dalam membuat kebijakan untuk melakukan pengembangan dan penemuan hukum terhadap hukum waris di Indonesia. 4. Bagi ilmu pengetahuan Seperti layaknya penulisan penelitian lainnya, bahwa penelitan ini memiliki manfaat contribution to knowledge, mempunyai nilai kontributif bagi pengembangan keilmuan serta dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan penulisan penelitan selanjutnya.