BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Darah Darah merupakan bagian dari tubuh yang jumlahnya 6-8 % dari berat badan total. Pada pria prosentase ini sedikit lebih besar daripada wanita. 45-60 % darah terdiri atas sel-sel darah terutama eritrosit. Fungsi utama darah adalah sebagai media transportasi, memelihara suhu dan keseimbangan cairan asam dan basa. Eritrosit selama hidupnya tetap berada di dalam darah. Sel-sel ini secara efektif mampu mengangkut oksigen tanpa meninggalkan pembuluh darah serta cabang-cabangnya. Baik lekosit maupun trombosit yang beredar tidak mempunyai fungsi khusus. ( Siti Boedina Kresno, 1998 ) Keberadaannya dalam tubuh, darah merupakan cairan ekstaseluler yang terletak di dalam saluran-saluran tersendiri yaitu pembuluh darah. Sistem pembuluh darah arteri membawa darah dari jantung ke organ-organ atau jaringan-jaringan tubuh, sedangkan pembuluh darah balik membawa darah dari organ-organ kembali ke jantung. ( Depkes RI, 1989 ) Pembentukan darah terjadi pada waktu fase pembentukan embrio di berbagai bagian. Setelah terjadinya kerangka, maka terjadilah pergeseran dari sel-sel darah yang masih muda ke sumsum tulang, sehingga setelah bayi lahir, maka produksi selsel darah boleh dikatakan hanya terjadi di sumsum tulang dan jaringan limfatik. ( Dr.D.J. Th Wagener, 1980 ). Pada janin, jaringan mesoderm di bagian lain tubuh juga membentuk sel-sel darah secara aktif, sedangkan pada bayi yang baru lahir, hati, limpa dan sumsum hampir semua tulang merupakan tempat hematopoesis yang aktif.
Pada orang dewasa, sel-sel darah kecuali limfosit, dibentuk di dalam sumsum tulang pipih, misalnya tulang dada, iga, belikat, tengkorak, dan tulang belakang serta bagian progsimal tulang paha dan lengan atas. ( Siti Boedina Kesno, 1998 ) Sebagai media transportasi dalam tubuh, darah merupakan jaringan yang berbentuk cairan yang terdiri dari dua bagian besar yaitu plasma darah yang merupakan cairan darah dan sel-sel darah ( bagian korpuskuli yakni benda-benda darah yang terdiri dari lekosit, eritrosit, dan trombosit). Komponen utama plasma adalah protein yang disebut plasma protein yang berkisar 6-8 %. Sedang globulin yang sering pula disebut serum globulin dibedakan menjadi α, β, dan γ globulin yang di dalam darah jumlahnya berkisar 2,5 % dari berat plasma. ( Depkes RI, 1989 ) B. Plasma Darah Plasma ialah cairan darah yang tidak terdapat sel-sel darah dan lempingan darah. Bagian-bagian yang penting adalah putih telur ( albumin, globulin, faktor komplemen, polipeptida dll ), glukosa, asam amino, lipida, berbagai mineral dan metabolit, hormon serta vitamin-vitamin. ( Dr. D.J. Th Wagener, 1980 ) Plasma darah termasuk dalam kesatuan cairan ekstraseluler, dengan volume 5% dari berat badan. Perbedaannya dengan cairan interstitiel adalah komponenkomponen protein yang ada di dalamnya yaitu c. plasma dengan kadar protein 7% dan c. interstitiel dengan kadar protein 2%. Kadar protein ini merupakan perbedaan yang menyolok sedangkan kadar bahan-bahan yang lain tidaklah begitu besar ( glukosa dan elektrolit ). ( Depkes RI, 1989 ) Darah penuh ( whole blood ) apabila dibiarkan beberapa lama, maka didalamnya akan terjadi bekuan, dan bila bekuan tersebut diambil maka tinggal
cairannya yang dinamakan serum. Serum mempunyai komposisi hampir sama dengan plasma, kecuali tidak mengandung fibrinogen, faktor-faktor pembekuan (F II, V & VIII) dan mengandung serotinin tinggi, karena perusakan platelets. Plasma masih mengandung fibrinogen karena dalam memperoleh cairan ini darah dicampur dengan antikoagulan untuk mencegah terjadinya pembekuan darah tersebut sehingga tidak berubah menjadi cairan. Volume total darah dalam tubuh kira-kira 70-100 ml/kg berat badan, sedangkan plasma kira-kira 40-50 ml/kg berat badan. ( Depkes RI, 1989 ) Fungsi plasma protein bagi tubuh antara lain mempertahankan tekanan koloid osmotik, buffer dalam darah, sebagai antibodi (fraksi γ globulin), bersama-sama dengan faktor pembekuan berperan dalam proses pembekuan darah. ( Depkes RI, 1989 ) C. Sel Darah Merah ( Eritrosit ) 1. Eritropoesis Istilah eritropoesis menyatakan produksi Hb dalam eritrosit secara keseluruhan. Eritropoesis yang efektif berarti produksi Hb atau eritosit yang dapat dilepaskan ke dalam sirkulasi, sedangkan eritropoesis yang inefektif adalah produksi Hb atau eritrosit yang tidak bisa mencapai sirkulasi. Bila keluarnya eritrosit dari sirkulasi maupun penghancuran eritrosit meningkat tanpa diimbangi peningkatan produksi, atau bila pelepasan eritrosit dalam sirkulasi menurun dan bila kedua proses di atas terjadi bersama, terjadilah anemi. ( Siti Boedina Kresno, 1998 ) Pendewasaan sel dalam sumsum tulang berlangsung sekitar 7 hari. Dalam peredaran darah perifer inti umumnya sudah hilang. Retikulosit adalah sel termuda
dalam darah perifer. Kira-kira 10% dari eritrosit dalam darah perifer adalah retikulosit. Hal ini berati hanya 1% dari jumlah jangka hidup eritrosit adalah retikulosit. Sedangkan panjang masa hidup eritrosit setelah pelepasan dari sumsum tulang kurang lebih 120 hari sampai mengalami penuaan dan destruksi. ( E.N. Kosasih, 1984 ) Setiap harinya ada 1 / 20 x5x5.10 12 eritrosit yang menemui ajalnya. Hal ini berarti bahwa ada 2,1x10 11 atau sama dengan 2,4x10 6 tiap detiknya. Dalam keadaan normal, sumsum tulang menghasilkan eritrosit yang sama banyaknya setiap satuan waktu. Pada saat yang dibutuhkan sumsum tulang dapat mempertinggi produksinya sampai 7-8 kali lipat. Dari sel pokok berkembanglah eritoblast sebagai sel yang pertama kali terlihat dari gugusan sel darah merah. ( Dr. D.J. Th Wagener, 1980 ) Perkembangan eritroblast menjadi eritrosit adalah sebagai berikut : Eritroblast Pronormoblast Basofilik Eritroblast Polikromatik Eritroblast Orthokromatik Eritroblast Retikulosit Eritrosit ( Dr. D.J. Th Wagener, 1980 ) Produksi eritrosit diatur oleh oritropoetin dan disekresi oleh ginjal. Sekresi ini diatur oleh banyaknya O 2 yang melewati ginjal. Ada juga mekanisme umpan balik karena O 2 ke jaringan tergantung pada fungsi eritrosit. Hb dalam eritrosit mampu mengikat O 2. Meskipun diameter 7 mikron, eritrosit mampu melalui kapiler dengan
diameter 3-4 mikron. Hal ini terjadi karena keluesan membran eritrosit. ( E.N. Kosasih, 1984 ) Dalam keadaan normal, normoblast tidak ditemukan dalam darah perifer. Mereka dapat bersirkulasi apabila terjadi kehilangan darah yang akut, pada hemolisa darah, asfiksi, gangguan hematopoesa, dan pembentukan darah ekstrameduler. ( Dr. D.J. Th Wagener, 1980 ) 2. Hitung Eritrosit Pada tahun 1989 WHO menganjurkan hitung sel darah dengan cara manual untuk hitung lekosit dan trombosit saja, tapi tidak dianjurkan lagi untuk hitung eritrosit. Hal ini disebabkan gabungan kesalahannya terjadi pada waktu pengenceran dan penghitungan jumlah eritrosit terlalu besar. Dengan alat hitung sel otomatis maka penghitungan sel menjadi lebih mudah, cepat dan teliti. Walaupun demikian hitung sel darah cara manual masih dapat dilakukan karena merupakan metode rujukan. Keuntungan lain adalah hitung sel cara manual dapat dilakukan di laboratorium yang tidak ada aliran listriknya. Disamping itu, hitung sel otomatis mahal. ( Riadi Wirawan dan Erwin Silman, 1996 ) Prinsip pemeriksaan ini adalah darah diencerkan dalam pipet eritrosit kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung. Jumlah eritrosit dihitung dalam volume tertentu dengan menggunakan faktor konversi jumlah eritrosit per ul darah. Sebagai larutan pengencer digunakan larutan Hayem. ( R. Gandasoebrata, 1989 ) D. Hematokrit ( Ht ) Hematokrit adalah volume eritrosit yang dipisahkan dari plasma dengan memutarnya di dalam tabung khusus yang nilainya dinyatakan dalam %. Ht
merupakan salah satu metode yang sangat teliti dan simpel daripada Hb di dalam deteksi dan mengukur derajat anemi ( polycytemia ). ( Depkes RI, 1989 ) Apabila seseorang mempunyai nilai Ht 40, maka ini berarti bahwa 40% dari volume darah adalah sel dan sisanya merupakan plasma. Ht pria normal rata-rata sekitar 40 54 vol %, sedangkan wanita normal rata-rata 38 47 vol %. Nilai-nilai ini bervariasi, tergantung apakah orang tersebut menderita anemia atau tidak, kepada tingkat keaktifan tubuh dan ketinggian tempat tinggalnya. ( Arthur C. guyton, 1981 ) Nilai Ht dapat diukur dengan menggunakan darah vena ataupun darah kapiler secara tehnik makro ataupun mikro. Pada cara makro menurut Wintrobe darah yang telah diberi antikoagulan, dimasukkan dalam tabung yang panjangnya 100 mm, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit. Volume eritrosit dan plasma dapat dibaca langsung pada tanda millimeter pada dinding tabung. Pada cara mikro, tabung kapiler yang panjangnya 7 cm dan diameter 1 mm diisi dengan darah, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 16.000 rpm selama 3-5 menit. Perbandingan volume plasma dan eritrosit dapat diukur dengan menggunakan alat berskala khusus. ( Siti Boedina Kresno, 1998 ) Teknik makro menurut Wintrobe memungkinkan pemeriksa untuk memperkirakan volume lekosit dan trombosit yang menyusun buffy coat pada perbatasan eritrosit dan plasma. Pada mikrometode lapisan buffy coat sukar dilihat, sedangkan intensitas warna kuning plasma juga kurang nyata. Lama kelamaan penetapan nilai Ht dengan metode mikro menggeserkan makrometode karena hasilnya dapat diperoleh dalam waktu singkat dan kesalahan metode rata-rata 2%. ( Siti Boedina Kresno, 1998 )
Tabung mikrokapiler yang khusus dibuat untuk mikrohematokrit panjangnya 75 mm dan diameter dalamnya 1,2-1,5 mm. Ada tabung yang dilapisi heparin. Tabung itu dapat dipakai untuk darah kapiler. Adapula tabung yang tidak dilapisi heparin yang dipergunakan untuk darah oxalat/darah EDTA dari vena. ( Siti Boedina Kresno, 1998 ). Pada metode mikro ini lebih cepat dan mudah tetapi dengan sentrifugal sentrifuge harus dikontrol dan posisi tabung pada saat membaca dengan skala harus tepat. ( Frances K. Widmann, 1989 ) Kesalahan yang mungkin terjadi : 1. bila memakai darah kapiler, tetesan pertama harus dibuang karena mengandung cairan interstisial 2. penggunaan antikoagulan Na 2 EDTA atau K 2 EDTA lebih dari kadar 1,5 mg/ml darah mengakibatkan eritrosit mengkerut sehingga nilai Ht akan rendah. 3. bahan pemeriksaan yang ditunda lebih dari 6 jam akan meningkatkan nilai Ht 4. darah yang digunakan untuk pemeriksaan tidak boleh mengandung bekuan 5. di daerah dengan iklim tropis, pipet kapiler yang mengandung heparin cepat rusak karena itu harus disimpan dalam lemari es 6. kecepatan dan lama pemusingan harus sesuai 7. pemakaian mikrosentrifuge dalam waktu yang lama mengakibatkan alat ini menjadi panas, sehingga dapat mengakibatkan hemolisis 8. lapisan buffy coat tidak turut dibaca tetapi hal ini sulit diatasi. Selain itu pembacaan juga harus menghindari paralaks
9. pengendapan atau lisis dari eritrosit dapat terjadi bila salah satu ujung pipet kapiler disumbat dengan cara dibakar 10. penguapan plasma dapat terjadi selama pemusingan atau bila pipet kapiler yang akan dibaca dibiarkan terlalu lama 11. pembacaan yang salah ( Riadi Wirawan dan Erwin Silman, 1996 ). E. Hubungan Konsentrasi Eritrosit dengan Hematokrit Konsentrasi sel darah merah dalam darah pada pria normal jumlahnya ratarata per milliter kubik adalah 5.200.000 sedangkan pada wanita normal rata-rata 4.700.000. Jumlah eritrosit bervariasi pada kedua jenis kelamin, usia, dan ketinggian tempat dimana orang tersebut tinggal. Berbagai penyakit yang menyebabkan kegagalan absorbsi O 2 oleh darah ketika darah melalui paru-paru akan meningkatkan kecepatan pembentukan sel darah merah. Pada payah jantung yang lama dan pada berbagai penyakit paru-paru, hipoksia jaringan akibat dari keadaan ini meningkatkan kecepatan pembentukan sel darah merah, selanjutnya peningkatan Ht dan biasanya peningkatan dalam volume darah total. ( Arthur C. Guyton, 1981 ) Demikian pula pada kasus anemia. Pada kehilangan darah yang akut, yang mula-mula menonjol adalahb berkurangnya volume darah yang berakibat pada peredarannya. Baru setelah ini diperbaiki maka sebagai akibat dari penahan air dan garam, timbullah pengenceran drah dan terjadilah anemia. ( Dr. D.J. Th Wagener, 1980 )
Anemia bukanlah suatu diagnosa tetapi hanya tanda-tanda obyektif adanya suatu penyakit, yang ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, kwntitas Hb dan volume padat eritrosit per 100 ml darah (Ht) yang kurang dari normal. ( Depkes RI, 1989 ) Penurunan Hb biasanya disewrtai dengan penurunan eritrosit dan PCV (Packed Cell Volume) tetapi ini dapat normal pada beberapa pasien dengan kadar Hb sub normal. Perubahan dalam volume plasma total yang beredar sebagaimana massa Hb total yang beredar menentukan apakah terdapat anemia atau tiodak. Penurunan volume plasma (seperti dehidrasi) dapat menyelubungi anemia, sebaliknya peningkatan volume plasma (seperti splenomegali) dapat menyebabkan anemia bahkan dengan eritrosit total dalam sirkulasi dan massa Hb normal. (AV. Hoffbrand, 1987) Meskipun klasifikasi anemia yang berdasarkan penyebab anemia, misalnya kegagalan produksi eritrosit, kehilangan darah yang berlebihan atau penghancuran sel darah merah telah dipergunakan klasifikasi yang paling bermanfaat dimana perlengkapan elektronik modern mengukur dengan tepat jumlah parameter ukuran eritrosit dan kadar Hb adalah berdasarkan pada indeks eritrosit. (AV. Hoffbrand, 1987)