BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

dokumen-dokumen yang mirip
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Bagian Kedua Penyidikan

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERANAN VISUM ET REPERTUM DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

TINJAUAN ALUR PROSEDUR PEMBUATAN VISUM ETREPERTUM DI RUMAH SAKIT PANTI WALUYO SURAKARTA TAHUN 2010

BAB II ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap yang dilakukan oleh pelakunya. Dalam realita sehari - hari, ada

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya bagi pasien mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pidana adalah kebenaran materil, yang menjadi tujuan dari hukum acara pidana itu

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiel. Kebenaran materil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. Tujuannya untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan, guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan (menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman). Penyidik, penuntut umum, dan hakim yang tidak berada pada tempat dimana tindak pidana itu terjadi tidaklah mudah untuk menemukan kebenaran materiel tersebut. Penyidik, penuntut umum, dan hakim tidak menyaksikan sendiri bagaimana proses berlangsungnya tindak pidana itu dan siapa yang menjadi pelakunya. 1 Upaya penyidikan diharapkan tidak hanya sekedar mengejar selesainya pemberkasan semata tanpa mempertimbangkan nilai-nilai ilmiah yang harus selalu dikembangkan. Semua warga Negara berkeinginan untuk berproses hukum 1 Alfred G. Satyo, Bacaan Wajib Mahasiswa Ilmu Kedokteran Kehakiman, Laboratorium Ilmu Kedokteran Kehakiman,, 1990, Medan, hlm. 13.

2 secara baik. Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana pada umumnya dan hukum acara pidana (formeel strafrecht/strafprocesrecht) pada khususnya maka aspek pembuktian memegang peranan menentukan untuk menyatakan kesalahan seseorang sehingga dijatuhkan pidana oleh hakim. 2 Penegak hukum di Indonesia tidak dibekali dengan segala macam ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk menganalisa dan menyimpulkan secara ilmiah setiap tindak pidana yang terjadi. Penyidik, penuntut umum ataupun hakim tidak sulit dalam memeriksa saksi, tersangka atau terdakwa karena mereka dapat berbicara. Penyidik akan sangat sulit untuk menentukan apakah kematian tersebut wajar atau tidak apabila ada kasus kematian tidak wajar, dengan tidak adanya saksi, barang bukti di tempat kejadian, dan sulit menemukan siapa pelakunya. Pembuktian tindak pidana sangatlah membutuhkan bantuan dokter. Kedokteran forensik adalah bidang yang sangat membantu penegak hukum dalam menegakkan hukum, khususnya dalam rangka pembuktian atas kesalahan seseorang, karena hanya ilmu forensik yang dapat mengungkapkan kebenaran suatu kematian yang tidak wajar yang dijadikan menjadi alat bukti di persidangan. Hukum Acara Pidana sekarang dalam penerapan keterangan ahli diperlukan di dalam setiap tahap proses pemeriksaan, tergantung pada perlu tidaknya ahli dilibatkan guna membantu tugas-tugas baik dari penyidik, jaksa, maupun hakim terhadap suatu perkara pidana, seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, tindak pidana kesusilaan dan 2 Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, 2014, Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, Hlm. 63

3 tindak pidana kealpaan dan lain-lain. 3 Permasalahannya terletak pada sejauh mana alat-alat bukti yang sah itu berguna dan dapat membantu dalam proses peradilan pada umumnya dan khususnya dalam proses penyidikan. Peranan para ahli dalam hal ini dokter ahli kedokteran kehakiman ataupun para dokter (ahli) lainnya yang turut terlibat guna membantu mengungkapkan, menjelaskan ataupun menjernihkan (membuat jelas) suatu kasus perkara pidana maka kepada para penegak hukum. Polisi, jaksa, hakim dan penasihat hukum dituntut untuk dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan lain seperti kriminolog, psikologi forensik, psikiatri forensik, kedokteran forensik, ilmu kimia forensik, fisika forensok dan lain-lain yang dapat digunakan untuk kepentingan peradilan. Tugas dari seorang dokter atau seorang ahli di dalam membantu aparat penegak hukum adalah sebagai salah satu yang wajib dilakukan olehnya didalam menangani suatu kasus tindak criminal. 4 Tugas dokter selain sebagai tenaga medis, juga dituntut kewajibannya untuk membantu aparat penegak hukum, pekerjaan yang harus dilakukan adalah memeriksa dan bila perlu merawat orang yang telah mengalami kekerasan, memeriksa mayat dan melakukan otopsi. 5 Dokter yang dimaksud disini adalah dokter spesialis Forensik yang akan memberikan keterangan medis mengenai perkiraan akibat kematian serta waktu kematian. Dokter dibutuhkan dalam upaya mendapatkan bukti atau tanda bagi diri korban yang akan menunjukkan apakah 3 R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, 2016, Bandung: CV Mandar Maju, Hlm. 2. 4 Ibid, hlm.61 5 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, 1987, Jakarta : Bina Aksara, Hlm. 115

4 benar terjadi kematian yang tidak wajar. Penegak hukum dalam mengupayakan keadilan, sangat membutuhkan ahli dalam membuat visum ataupun autopsi, sehingga dalam hal ini peran dokter sangat berpegaruh dalam menemukan kebenaran materil, berhubung pengetahuan hakim adalah terbatas, terlebih dalam bidang medis. Hasil pemeriksaan ahli forensik tersebut akan dibuat dalam bentuk surat, yang disebut Visum Et Repertum, kemudian digunakan penyidik sebagai alat bukti surat. Visum Et Repertum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis yang dibuat oleh pihak yang berwenang, yang dibuat dengan mengingat sumpah jabatannya. Esensi dari Visum Et Repertum adalah laporan tertulis dari apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran forensik. Perlu atau tidaknya penyidik meminta bantuan orang ahli diperlukan, selain dalam hal/keadaan yang dibutuhkan brhubung dengan tindak pidana itu sendiri, juga bila mana terhadap kasus tindak pidana itu perlu adanya kejelasan agar peristiwanya menjadi lebih jelas karena kurangnya alat bukti. 6 Kematian tidak wajar khususnya yang diduga karena kelalaian orang lain adalah salah satu kasus yang harus dibutikan dengan dilakukannya otopsi/bedah mayat guna mencari kebenaran materil serta penyebab matinya. Para penegak 6 R. Soeparmono, op.cit., Hlm.25.

5 hukum harus lebih serius dalam menangani kasus menyangkut nyawa seseorang, karena bukan saja mengganggu kepentingan korban saja, tetapi juga menyangkut kepentingan umum karena telah mengganggu ketertiban masyarakat. Kewenangan penyidik sebagaimana diatur dalam pasal tersebut sudah seharusnya dilaksanakan untuk mengungkap kebenaran dari kasus-kasus yang menghilangkan nyawa orang lain, seperti kasus akibat kealpaannya menyebabkan orang mati, mengingat tidak adanya undang-undang yang menegaskan bahwa jenazah adalah hak milik mutlak dari keluarga, kenyataannya, banyak kasus kematian tidak wajar yang belum bisa dipecahkan oleh penyidik, apalagi jika keluarga korban tidak menyetujui dilakukannya otopsi. Pelaksanaan otopsi/bedah mayat memang mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak, terlebih dari pihak keluarga korban. Jalan keluar masalah ini telah beberapa kali diselenggarakan seminar dan temu ilmiah yang melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan Visum jenazah, namun sampai saat ini belum ditemukan penyelesaian yang memusakan. KUHAP telah memberikan ruang bahwa penyidik berwenang menghadirkan ahli untuk membantu proses penyidikan. Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP, menyebutkan bahwa penyidik POLRI karena kewajibannya berwenang mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara. Penegak hukum harus bertindak dengan bijaksana sesuai kewenangan yang diberikan kepada Negara. KUHAP telah memberikan wewenang kepada penyidik untuk meminta bantuan ahli sebagaimana diatur dalam pasal 133

6 KUHAP ayat (1) yang menyatakan bahwa Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang megajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahlinya. Pasal ini disebutkan demi kepentingan peradilan menangani korban, penyidik berwenang meminta keterangan ahli. Permintaan tersebut bisa secara tertulis dan menyebutkan pemeriksaan luka mayat/bedah mayat. Pasal 134 KUHAP dijelaskan apabila sangat diperlukan untuk bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik memberitahukan kepada keluarga. Keluarga yang keberatan, penyidik menerangkan tentang maksud dan tujuan pembedahan. Batas waktu keluarga memberi tanggapan selama dua hari, dan apabila tidak ada tanggapan, penyidik melaksanakan paal 133 ayat (3) KUHAP. Kebutuhan akan hadirnya ahli forensik dalam penyidikan suatu tindak pidana telah disalurkan dan dilembagakan melalui Laboratorium Forensik Polri. Kedudukan Laboratorium Forensik Polri secara hukum menjadi semakin mantap sesuai dengan pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang antara lain menjelaskan tentang wewenang kepolisian Negara RI untuk menyelenggarakan fungsi laboratorium forensik untuk mendukung tugas-tugas Kepolisian. Kepolisian sudah mempunyai wadah untuk menampung ahli forensik seperti Laboratorium Forensik, bila dianggap perlu penyidik Polri dapat mendatangkan ahli forensik lain diluar Kepolisian, misalnya

7 mendatangkan dokter spesialis forensik dari instalasi kedokteran forensik yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, atau ahli-ahli forensik dari luar negeri. 7 Pentingnya peranan ilmu kedokteran kehakiman dalam membantu tugas penegak hukum guna kepentingan peradilan sangat dirasakan oleh penegak hukum di Indonesia. Ijin keluarga menjadi hambatan yang paling besar dalam pelaksanaan otopsi guna pembuktian tindak pidana di persidngan. Penyidik sering terhalang dalam hal penyidikan dan akhirnya menyerah untuk kasus-kasus kematian yang diduga tidak wajar. Kasus kematian yang terjadi di Malang, yaitu seorang mahasiswa meninggal ketika ospek kampus ITN Malang diduga tidak wajar. Kasus ini menjadi objek hukum yang menarik perhatian untuk diteliti. Penyidik menemukan beberapa alasan yang pantas untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini. Pemeriksaan yang dilakukan penyidik menetapkan 4 (empat) orang terdakwa. Jenazah hanya dilakukan pemeriksaan luar saja tanpa dilakukannya otopsi. Majelis hakim merasa alat bukti yang dihadirkan di persidangan tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan, sehingga majelis hakim memutuskan untuk membebaskan terdakwa. kebebasan terdakwa dirasakan kurang tepat, namun penyidik lengah dalam proses pemeriksaannya. Kasus kematian sudah seharusnya menjadi beban kerjaan yang besar bagi penyidik, dimana penyidik tidak boleh sepele pada proses pembuktiannya, karena hal ini berkaitan dengan nyawa manusia. Keluarga korban 7 Andi Sofyan, Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenadamedia Grup, 2014, Jakarta, hlm. 254.

8 mahasiswa tersebut menolak diadakannya otopsi sehingga tidak ada hasil visum untuk mengetahui apa sebenarnya penyebab kematian tersebut.. Kasus kematian mahasiswa tersebut menggambarkan dan menjelaskan betapa pentingnya otopsi dalam proses pembuktian tindak pidana yang berhubungan dengan nyawa manusia. Ijin keluarga bisa dikesampingkan apabila otopsi tersebut sangat diperlukan untuk kegunaan persidangan. Pelaksanaan otopsi sudah tidak dapat dihindarkan lagi demi menemukan kebenaran materiel seperti yang dicita-citakan hukum acara pidana, sehingga skripsi dengan judul PERANAN OTOPSI DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEALPAAN MENYEBABKAN ORANG LAIN MATI (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEPANJEN NOMOR 607/Pid.B/2014/PN.Kpn) sangat penting untuk dikaji sebagai studi hukum. 1.2. Rumusan Masalah 1.2.1. Bagaimana Pengaturan Hukum tentang Otopsi dalam Hukum Pidana Indonesia? 1.2.2. Bagaimana Hubungan Otopsi dengan Proses Penyidikan Tindak Pidana? 1.2.3. Bagaimana Peranan Otopsi dalam Proses Penyidikan pada Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati? 1.3. Tujuan Penulisan 1.3.1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang Otopsi. 1.3.2. Untuk mengetahui hubungan Otopsi dengan proses penyidikan tindak pidana.

9 1.3.3. Untuk mengetahui peranan Otopsi dalam proses penyidikan pada tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati. 1.4. Manfaat Penulisan 1.4.1. Secara teoritis, dengan adanya penulisan skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang ilmu hukum secara umum, dan pengetahuan tentang peranan Otopsi dalam proses penyidikan dalam Hukum Acara Pidana secara khusus. 1.4.2. Secara praktis, dengan adanya penulisan skripsi ini adalah sebagai pedoman dan masukan kepada para Penegak Hukum dan bahan informasi bagi semua kalangan guna menambah pengetahuan mengenai peranan Otopsi dalam proses pembuktian tindak pidana karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati. 1.5. Keaslian Penulisan Penulisan hukum yang berjudul PERANAN OTOPSI DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEALPAAN MENYEBABKAN ORANG LAIN MATI (PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KEPANJEN NOMOR 607/Pid.B/2014/PN.Kpn) adalah hasil dari pemikiran sendiri dan belum ada yang pernah membuatnya. Judul ini telah lulus uji klinis pada direktori kepustakaan Fakultas Hukum dan telah dinyatakan lulus. Skripsi ini mengkaji tentang bagaimana sebuah hasil pemeriksaan oleh dokter forensik yang dituangkan dalam sebuah surat yaitu Visum Et Repertum menjadi alat bukti yang begitu kuat untuk mengungkapkan penyebab dari kematian seseorang yang diduga tidak wajar. Lebih dalam lagi penulis mengkaji sebuah

10 kasus yang terjadi di Kepanjen, Malang, yaitu kematian tidak wajar seorang mahasiswi pada saat diadakannya ospek, namun keluarga tidak menyetujui diadakannya otopsi. Akibat tidak adanya Visum Et Repertum, dengan kata lain kurangnya alat bukti serta tidak terbuktinya apa penyebab kematian si mahasiswi tersebut, hakim pun memutuskan untuk membebaskan terdakwa. Peristiwa ini yang sangat disayangkan oleh penulis sehingga penulis mengangkat judul skripsi ini. Seandainya di kemudian hari terdapat judul sripsi yang sama dengan substansi yang sama juga, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya. 1.6. Tinjauan Pustaka 1.6.1. Pengertian Otopsi Otopsi berasal dari kata auto (sendiri) dan opsis (melihat). Pengertian yang sebenarnya dari otopsi ialah suatu pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam dari tubuh jenazah, dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dilakukan oleh ahli-ahli yang berkompeten. 8 Otopsi sama dengan bedah mayat. Bedah mayat ialah membuka mayat, dengan atau tanpa mengeluarkan bagian-bagian dari padanya agar supaya melalui pemeriksaan diagnostik klinis dapat ditentukan sebab-sebab kematian, mengadakan verifikasi atau memperoleh gambaran yang lebih jelas lagi. 9 Undang-undang membedakan bedah mayat dari penyendian, karena karena tidak termasuk pengurusan jenazah dan bedah mayat tidak semata-mata digunakan untuk tujuan penelitian ilmu pengetahuan. 8 Alfred G. Satyo, Op.Cit. hlm. 113. 9 F. Tengker, terjemahan Sulaiman Sastrawinata, Bab-Bab Hukum Kesehatan, Nova, Bandung, hlm. 198.

11 Pelaksanaan otopsi forensik diatur di dalam KUHAP, yang pada prinsipnya otopsi forensik baru boleh dilakukan jika ada surat permintaan tertulis dari penyidik dan setelah keluarga diberitahu serta telah memahami setelah dua hari dalam hal keluarga tidak menyetujui otopsi atau keluarga tidak ditemukan. 10 Otopsi forensik tanpa ijin keluarga tidak lah begitu masalah bahkan apabila ada pihak-pihak yang merintangi pelaksanaan otopsi, dapat dipidana sesuai pasal 222 KUHP. Peristiwa pidana yang mengakibatkan matinya orang, sementara alat bukti yang lain yaitu seseorang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau dialaminya sendiri, maka saksi diam (psysical evidence) diharapkan mampu mengungkap semua misteri yang ada di dalamnya. Pengupayaan keberadaan saksi diam (mayat) dalam kaitannya sebagai usaha untuk mengungkap isteri tersebut, maka diperukan apa yang disebut otopsi atau bedah mayat. 11 Visum et Repertum jenazah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Visum dengan pemeriksaan luar. b. Visum dengan pemeriksaan luar dan dalam. Visum ini sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter dan masyarakat terutama dalam pemeriksaan luar dan dalam (autopsy). Masalah adalah adanya hambatan dari keuarga korban bila visum harus dibuat melalui bedah mayat. 10 Alfred G. Satyo, Op.cit. hlm. 114. 11 Waluyadi, Ilmu Kesokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktek Kedokteran, Djambatan, 2007, Jakarta, hlm.53.

12 Visum et Repertum dibuat dan dibubuhkan di dalam kerangka upaya penegakan hukum dan keadilan, dengan perkataan yang lain yang berlaku sebagai konsumen atau pemakai Visum et Repertum adalah perangkat penegak hukum; yang didalam tulisan ini dibatasi pada pihak penyidik sebagai instansi pertama yang memerlukan Visum et Repertum guna membuat terang dan jelas suatu perkara pidana yang telah terjadi, khususnya yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia. 12 1.6.2. Pengertian Penyidikan Pengertian penyidikan dari berbagai sumber adalah sebagai berikut: 1. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP). 2. Menurut Depinto, menyidik (Opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengarkan kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum. 13 3. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, 12 Abdul Mun im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binapura Aksara, 1997, Jakarta Barat, hlm.7. 13 Jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, 2014, Jakarta, hlm.120, dikutip dari R,Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta, 1957, hlm.72.

13 penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum Jadi sebelum melakukan penyidikan, dilakukan lebih dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. 4. Menurut Hamrat Hamid dan Harun Husein, secara formal prosedural, suatu proses penyidikan dikatakan telah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik, Setelah pihak Kepolisian menerima laporan atau informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana. 1.6.3. Pengertian Tindak Pidana Pasal 11 RUU KUHP tahun 2012: (1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. (2) Untuk dinyatakan sebaga tindak pidana selain perbuatan tersebut dilarang dan diamcam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. (3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

14 Menurut Pompe straafbaar feit yang diterjemahkan oleh Lamintang secara teoritis dapat dirumuskan secara berikut: suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi menjaga terpeliharanya tertib hukum dan terjalinnya kepentingan hukum. Menurut Simons, yang diterjemahkan oleh Leden Marpaung straafbaar feit itu adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 1.6.4. Pengertian Kealpaan Culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi. Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, hanya menyebutkan ancaman hukuman perbuatannya saja. Kealpaan menyebabkan orang mati sebagaimana diatur dalam pasal 359 KUHP yang menyebutkan barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,

15 diancam dengan pidana penjara paling lama lima (5) tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Bentuk-Bentuk Kealpaan pada umumnya dibedakan atas: 1. Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi pelaku percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi. 2. Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld). Pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya pelaku dapat menduga sebelumnya. 1.7. Metode Penelitian Metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi: 1.7.1. Spesifikasi Penelitian Penulisan skripsi ini mengggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normative melakukan penelitian terhadap perundangundangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini dan melakukan analisis-analisis terhadap putusan pengadilan untuk melihat penerapannya dalam praktik. 1.7.2. Jenis Data dan Sumber Data

16 Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data meliputi peraturan perundang-undangan, bukubuku, situs internet, putusan pengadilan, dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. 1.8.Metode Pengumpulan Data Data yang ada dalam skripsi ini dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan atau Library Research, yakni dengan mempelajari peraturan perundangundangan, buku-buku, situs internet, dan mempelajari serta menganalisis Putusan Pengadilan Kepanjen No. 607/Pid.B/2014/PN.Kpn, dan juga sumbersumber bacaan lainnya yang terkait dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini. 1.9.Analisis Data Tehnik analisis data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah menggunakan deskriptif analitis yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis dengan menggunakan nalar si peneliti untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Analisis kualitatif adalah menganalisis secara lengkap dan komprehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam penulisan hukum ini. 1.10. Sistematika Penulisan Keseluruhan sistematika yang ada dalam penulisan skripsi ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan tidak dapat dipisahkan. Pembagian sub-sub ini dimaksudkan untuk mempermudah

17 penulis dalam mengiraikan secara teoritis sehingga diperoleh kesimpulan dan saran. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Pembahasan aturan hukum tentang Otopsi di Indonesia, yang terdiri atas: pengaturan otopsi menurut hukum pidana, dan pengaturan visum et repertum menurut ilmu kedokteran forensik, serta Pandangan hukum islam tentang otopsi. BAB III: Pembahasan hubungan visum et repertum dengan proses penyidikan tindak pidana, yang terdiri atas : ahli kedokteran kehakiman dalam penyidikan tindak pidana; identifikasi kematian; keterkaitan penyebab kematian dengan tindak pidana; pentingnya otopsi dalam mengungkap kasus kematian tidak wajar; halangan penyidik dalam melaksanakan otopsi. BAB IV : Pembahasan peranan otopsi dalam proses penyidikan tindak pidana kealpaan menyebabkan orang lain mati (putusan pengadilan negeri kepanjen nomor 607/pid.b/2014/pn.kpn) yang terdiri atas: posisi kasus :kronologis kasus, dakwaan jaksa penuntut umum, tuntutan jaksa penuntut umum, fakta-fakta hukum, dan putusan hakim serta analisis putusan.

18 BAB V : Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.