ANALISIS PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN INVESTASI DI PROVINSI JAWA BARAT OLEH ADI FERDIYAN H

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN INVESTASI DI PROVINSI JAWA BARAT OLEH ADI FERDIYAN H

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN DAN KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PEMEKARAN WILAYAH OLEH ANGGI MAHARDINI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PRA DAN PASCA OTONOMI DAERAH DI PROPINSI DKI JAKARTA ( ) OLEH ESTI FITRI LESTARI H

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DI KABUPATEN BOGOR. Oleh DIYAH RATNA SARI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PASCA OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS : KOTA DEPOK)

ANALISIS PENGARUH SUKU BUNGA SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI) DAN KINERJA BANK TERHADAP LABA PERBANKAN OLEH LIA AMALIA H

BAB I PENDAHULUAN. (Tanuwidjaya, 2013). Sejak tahun 1969 Pemprov Bali bersama masyarakat telah

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA PASAR MODAL DENGAN NILAI TUKAR, CADANGAN DEVISA, DAN EKSPOR BERSIH

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

Universitas Sumatera Utara

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT SEBELUM, PADA MASA, DAN SETELAH KRISIS EKONOMI OLEH ANA PERTIWI H

PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH KABUPATEN KARAWANG PERIODE Penerapan Analisis Shift-Share. Oleh MAHILA H

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H

I. PENDAHULUAN. provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemerintah berusaha agar semua wilayah

KETERKAITAN ANTARA IKLIM INVESTASI BERDASARKAN PERSEPSI PELAKU USAHA DAN REALISASI INVESTASI: KASUS PROVINSI JAWA BARAT OLEH ARDANI JANUAR H

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB IV GAMBARAN UMUM

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nasional dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PEMEKARAN PROVINSI BANTEN OLEH CITRA MULIANTY NAZARA H

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional secara keseluruhan dengan tujuan akhir untuk. daerah, umumnya perencanaan pembangunan ekonomi beorientasi pada

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.

LANDASAN TEORI. membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. boleh dikatakan stabil selama lebih kurang tiga puluh tahun tiba-tiba harus. langsung berdampak pada perekonomian dalam negeri.

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara yang melakukan kegiatan perekonomian biasanya ditujukan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Setiap negara selalu berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LIKUIDASI BANK TAHUN 1997 OLEH WIRDA NABILA HI

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. Penanaman modal yang sering disebut juga investasi merupakan langkah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. wilayah. Karena pada dasarnya, investasi merupakan satu pengeluaran

ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN PASAR MODAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH EDI SUMANTO H

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk salah satu negara yang sedang berkembang yang dalam

PENGARUH KETERKAITAN ANTAR SEKTOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH OLEH DYAH HAPSARI AMALINA S. H

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tersebut agar terlaksananya tujuan dan cita-cita bangsa

KATA PENGANTAR. ini. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu kewajiban mahasiswa untuk

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENAWARAN EKSPOR BIJI KAKAO INDONESIA OLEH IRMA KOMALASARI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN 30 PROPINSI DI INDONESIA TAHUN 1998 DAN 2003 OLEH SETIO RINI H

BAB I PENDAHULUAN. peranan daripada modal atau investasi. Modal merupakan faktor yang sangat

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT PERMINTAAN TEPUNG TERIGU DI INDONESIA (Periode ) OLEH M.

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN SUBANG OLEH NURLATIFA USYA H

IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H

II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Pembangunan Wilayah. terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

ANALISIS KINERJA DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL MOCHI DI KOTA SUKABUMI OLEH CENITA MELIANI H

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara

ANALISIS TOTAL FAKTOR PRODUKTIVITAS PADA INDUSTRI TANAMAN PANGAN DI INDONESIA PERIODE OLEH: DIYAH KUSUMASTUTI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH ADHITYA KUSUMANINGRUM H

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun pertumbuhan ekonomi setelah krisis ekonomi yang melanda

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENANAMAN MODAL ASING DAN PELUANG INVESTASI (Studi Kasus : Kota Cimahi, Jawa Barat)

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA SEBELUM DAN SETELAH OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN JEMBRANA PROVINSI BALI OLEH EVI NOVIANTI H

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

ANALISIS PENGARUH KETIMPANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA BARAT OLEH DEVI RETNOSARI H

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi perekonomian suatu negara sangat menentukan tingkat. kesejahteraan masyarakat suatu negara, yang berarti bahwa suatu negara

HUBUNGAN PENERIMAAN DENGAN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PERKAPITA PROVINSI DI INDONESIA. Oleh Noviyani H

ANALISIS TRANSFORMASI EKONOMI PROVINSI DKI JAKARTA PERIODE OLEH MUHAMAD ROYAN H

ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian uang merupakan bagian yang integral dari kehidupan kita. sehari-hari. Ada yang berpendapat bahwa uang merupakan darahnya

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Bagi daerah, indikator ini penting untuk

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OUTPUT INDUSTRI MOBIL DI INDONESIA OLEH ANINDITO AJIRESWARA H

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA OLEH RUTH ELISABETH SIHOMBING H

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INVESTASI SEKTOR PERDAGANGAN DAN SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA TIMUR SKRIPSI

ANALISIS PERBANDINGAN IKLIM INVESTASI: INDONESIA VERSUS BEBERAPA NEGARA LAIN OLEH: SUSI SANTI SIMAMORA H

V. PEMBAHASAN Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penanaman Modal Asing di Kota. Metode yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang memengaruhi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN GIRO WAJIB MINIMUM, JUMLAH UANG BEREDAR, KREDIT DAN PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

3. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan

Transkripsi:

ANALISIS PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN INVESTASI DI PROVINSI JAWA BARAT OLEH ADI FERDIYAN H14101050 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

RINGKASAN ADI FERDIYAN. Analisis Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Investasi di Provinsi Jawa Barat (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYANTI). Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 pada tanggal 1 Januari 2000 menjadi angin segar bagi terbentuknya sebuah pemerintahan baru yang diharapkan bisa lebih berkonsentrasi pada tiap-tiap daerah untuk membangun daerahnya masing-masing. Banyak implementasi yang telah dirasakan dalam rangka merealisasikan UU tersebut, salah satu diantaranya adalah dengan melakukan pemekaran wilayah sebagaimana yang telah dilakukan beberapa provinsi di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk dapat menaikkan PAD wilayah tersebut tanpa atau dengan sedikitnya bantuan dana dari pemerintah pusat. Situasi ini terjadi dikarenakan perubahan paradigma yang mengharuskan masing-masing wilayah untuk berupaya sendiri dalam memenuhi kebutuhan melakukan pembangunan di wilayahnya. Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan melakukan pembangunan di suatu wilayah adalah dengan mengupayakan agar investasi dapat masuk ke wilayah tersebut. Masuknya investasi ke dalam suatu daerah bergantung pada iklim dan kebijakan investasi yang berlaku di daerah tersebut. Dengan diberlakukannya otonomi daerah membuat setiap daerah memiliki kebebasan untuk membuat kebijakannya sendiri dalam mengatur investasinya. Penelitian ini menganalisis pengaruh otonomi daerah terhadap pertumbuhan investasi di Provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan adalah metode Shift Share dan Ordinary Least Square (OLS) dengan data tahunan periode sebelum otonomi daerah (1995-2000) dan periode masa otonomi daerah (2001-2004). Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi pertumbuhan investasi yang terjadi pada sektor-sektor perekonomian di Jawa barat sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah. Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi pertumbuhan investasi Jawa Barat dibandingkan Indonesia pada masa sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah. Selanjutnya, penelitian ini juga dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya investasi di Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum otonomi daerah pada umumnya terjadi pertumbuhan investasi yang negatif pada sektor-sektor perekonomian di Jawa Barat. Sedangkan pada saat otonomi daerah, terjadi pertumbuhan investasi yang positif hampir di seluruh sektor perekonomian di Jawa Barat. Jika dibandingkan dengan pertumbuhan investasi nasional, pertumbuhan investasi sektor-sektor perekonomian Jawa Barat tiap tahun sebelum otonomi daerah pada tahun 1995-2000 dari segi nilai investasi PMDN, jumlah proyek PMDN, nilai investasi PMA dan jumlah proyek PMA jauh lebih kecil dari

pertumbuhan investasi Indonesia pada kurun waktu yang sama yaitu 1995-2000. Pada saat otonomi daerah tahun 2001 sampai 2005, pertumbuhan investasi tiap tahunnya di Jawa Barat lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan investasi yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis regresi, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap investasi PMDN di Jawa Barat adalah dummy otonomi daerah, PMDN Jawa Barat tahun sebelumnya dan tingkat inflasi Jawa Barat. Otonomi daerah dan PMDN Jawa Barat tahun sebelumnya berpengaruh positif, sedangkan tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap PMDN Jawa Barat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap investasi PMA Jawa Barat adalah dummy otonomi daerah dan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto). Otonomi Daerah dan PDRB berpengaruh positif terhadap PMA Jawa Barat. Otonomi daerah mendorong kepercayaan para investor akan adanya peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan dalam pengurusan perizinan menanam modal. Dari hasil yang diperoleh, upaya yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk bisa meningkatkan investasi di Provinsi Jawa Barat adalah menjaga kepercayaan investor dengan menciptakan iklim yang kondusif terhadap masuknya investasi ke daerah dengan melakukan hal-hal seperti pelaksanaan pelayanan izin usaha satu atap. Selain itu, pemerintah daerah Jawa Barat juga diharapkan dapat terus melakukan promosi sektor-sektor perekonomian yang belum banyak diminati investor, seperti melaksanakan pameran-pameran dan kegiatan sejenis. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan fasilitas yang lebih baik bagi sektor-sektor perekonomian yang memiliki laju investasi cepat dan berdaya saing karena merupakan sektor unggulan bagi wilayah Jawa Barat. Selain itu juga diharapkan bagi pemerintah untuk dapat meninjau kebijakan-kebijakan mengenai penanaman modal di daerah yang dirasakan masih tumpang tindih.

ANALISIS PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN INVESTASI DI PROVINSI JAWA BARAT Oleh ADI FERDIYAN H14101050 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama : Adi Ferdiyan Nomor Registrasi Pokok : H14101050 Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Investasi di Provinsi Jawa Barat Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Ir. Wiwiek Rindayanti, M.Si NIP.131 653 137 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan :

PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Agustus 2006 Adi Ferdiyan H14101050

RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Adi Ferdiyan lahir pada tanggal 05 Desember 1982 di Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan ayahanda Yan Ismet dan Ibunda Tinny Feptini. Jenjang pendidikan penulis dilalui dari TK, SD dan SLTP Islam Al Azhar Jakapermai lulus tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 103 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi setelah menerima Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dibeberapa organisasi seperti Teater Permissie 38, BEM FEM dan KEMBANG serta aktif diberbagai kepanitiaan seperti Dies Natalis FEM IPB dan Hari Bumi 2000. Penulis juga merupakan salah satu pendiri dari Himpunan Profesi dan Peminat Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA).

KATA PENGANTAR Alhamdulillaahirobbil alamiin. Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah Analisis Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Investasi di Provinsi Jawa Barat. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini karena begitu besarnya peran investasi dalam mempengaruhi pembangunan di suatu wilayah. Skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Harapan penulis adalah agar skripsi ini dapat diterima oleh semua pihak dan dapat bermanfaat baik bagi diri penulis dan juga bagi pihak-pihak lain yang membutuhkan. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis tujukan kepada: 1. Ibu Ir. Wiwiek Rindayanti M.Si sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan bimbingan secara teknis dan teoritis dalam pembuatan skripsi ini hingga dapat diselesaikan secara baik. 2. Bapak Alla Asmara S.Pt, M.Si, yang telah menguji hasil karya ini. Semua saran dan kritikan beliau merupakan hal yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Ibu Fifi Diana Thamrin SP, M.Si, terutama atas perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. 4. Orang tua penulis, yaitu Bapak Yan Ismet dan Ibu Tinny Feptini serta saudara kandung penulis, Arif Dermawan Isnandar dan Andry Firmansyah atas dukungan yang selama ini diberikan. 5. Keluarga Ria Fahriani SE dan Indra Prayoga SE atas bantuannya dalam segala hal hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Bapak Drs. Hanz Rizali selaku Staf Bidang Penanaman Modal di BPPMD Jawa Barat atas bantuan dan masukkannya dalam penyempurnaan hasil karya ini. 7. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu yang berada di kantor Fakultas Ekonomi dan Manajemen, dan kantor Departemen Ilmu Ekonomi atas bantuan dalam hal surat menyurat untuk keperluan penyelesaian skripsi ini. 8. Kakak-kakak IE angkatan 37 atas semangat dan dorongan yang diberikan untuk memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Rekan-rekan IE angkatan 38 (Surya, Nifar, Kiesmantoro, Astuti, Arina, Sally, Elin, Yula, Witri, Andros, Erna, Iwan). Terima kasih karena telah menunjukkan arti persahabatan yang sebenarnya. 10. Rekan-rekan IE angkatan 39 (Nurina, Rini, Ionk, Tasya, Wirda, Lia, Tamic, Fickry, Imam, Iqbal, Ruth, Selda, Nilam, Rudi). Terima kasih atas dorongan semangat dan motivasi yang diberikan dalam setiap langkah kita bersama. 11. Adik-adik IE angkatan 40 khususnya Dian Karina Apriani atas semangat dan doanya yang telah diberikan hingga skripsi ini dapat terselesaikan. 12. Semua pihak yang telah mendukung penulis baik moril maupun materil yang tidak sempat disebutkan namanya hingga terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih. Bogor, Agustus 2006 Adi Ferdiyan H14101050

DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iv DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Perumusan Masalah... 7 1.3 Tujuan... 12 1.4 Manfaat Penelitian... 12 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 13 2.1 Konsep Otonomi Daerah... 13 2.2 Konsep Investasi... 15 2.2.1 Pengertian Investasi... 15 2.2.2 Peran Investasi... 17 2.2.3 Investasi Asing... 19 2.2.4 Investasi Dalam Negeri... 21 2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi... 21 2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis...... 26 2.3.1 Analisis Shift Share... 26 2.3.2 Analisis Regresi Berganda... 30 2.4 Penelitian Terdahulu... 32 2.5 Hipotesis Penelitian... 36 2.6 Kerangka Pemikiran Operasional... 37 III. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA BARAT... 40

3.1 Letak Geografi.... 40 3.2 Keadaan Topografi... 41 3.3 Kondisi Iklim.... 41 3.4 Populasi Penduduk... 42 3.5 Pendidikan, Kesehatan dan Agama... 42 3.6 Perekonomian Daerah.... 43 IV. METODE PENELITIAN... 46 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 46 4.2 Jenis dan Sumber Data... 46 4.3 Metode Analisis... 47 4.3.1 Analisis Shift Share... 47 4.3.1.1 Analisis Investasi Provinsi dan Investasi Nasional... 48 4.3.1.2 Rasio Investasi Provinsi dan Nasional... 48 4.3.1.3 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah... 50 4.3.1.4 Analisis Profil dan Pergeseran Bersih... 53 4.3.2 Analisis Regresi Berganda... 57 4.3.2.1 Model Analisis... 57 4.3.2.2 Koefisien Determinasi (R 2 ) dan Adjusted R 2..... 59 4.3.2.3 Pengujian untuk Masing-Masing Parameter Regresi... 60 4.3.2.4 Pengujian terhadap Model Penduga... 61 4.3.2.5 Permasalahan OLS... 63 V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 67 5.1 Analisis Pertumbuhan Investasi Sektor-Sektor Ekonomi Jawa Barat Sebelum dan Masa Otonomi Daerah... 67 5.1.1 Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian... 67 5.1.2 Rasio Investasi Provinsi Jawa Barat dan Investasi Nasional (Nilai Ra, Ri dan ri).... 70 5.1.3 Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah... 76 5.1.4 Profil Pertumbuhan Investasi Provinsi Jawa Barat dan Pergeseran Bersih... 84 5.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi di

Jawa Barat... 92 5.2.1 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PMDN di Jawa Barat... 93 5.2.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PMA di Jawa Barat... 98 VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 103 6.1 Kesimpulan... 103 6.2 Saran... 105 DAFTAR PUSTAKA... 108 LAMPIRAN... 110

DAFTAR TABEL Nomor halaman Tabel 1.1 Rencana Proyek Modal Asing dan Dalam Negeri Provinsi Jawa Barat yang Telah disetujui Pemerintah...... 5 Tabel 1.2 Rencana Nilai Investasi PMA dan PMDN Provinsi Jawa Barat Yang Telah Disetujui Pemerintah... 6 Tabel 2.1 Beberapa Versi Undang-Undang Daerah Otonom di Indonesia... 15 Tabel 3.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Tahun 1993-2003.... 44 Tabel 3.2 PDRB Sektoral Provinsi Jawa Barat 1994-2003... 44 Tabel 3.3 Nilai Investasi PMDN dan PMA di Jawa Barat Tahun 1994-2003.... 45 Tabel 5.1 Perubahan Investasi PMDN Provinsi Jawa Barat... 68 Tabel 5.2 Perubahan Investasi PMA Provinsi Jawa Barat... 69 Tabel 5.3 Nilai Ra, Ri dan ri... 73 Tabel 5.4 Komponen Pertumbuhan Investasi Nasional Provinsi Jawa Barat.... 77 Tabel 5.5 Komponen Pertumbuhan Proporsional Investasi Provinsi Jawa Barat.... 81 Tabel 5.6 Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Investasi Provinsi Jawa Barat... 83 Tabel 5.7 Pergeseran Bersih Investasi Sektor-Sektor Perekonomian Provinsi Jawa Barat... 91 Tabel 5.8 Hasil Estimasi Output Persamaan PMDN... 94 Tabel 5.9 Hasil Estimasi Output Persamaan PMA... 99

DAFTAR GAMBAR Nomor halaman Gambar 2.1 Investasi, Perpotongan Keynesian dan Kurva IS... 18 Gambar 2.2 Tingkat Bunga dan Tingkat Investasi... 23 Gambar 2.3 Investasi Terpengaruh... 24 Gambar 2.4 Model Analisis Shift Share...... 29 Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian... 38 Gambar 4.1 Profil Pertumbuhan... 54 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Profil Pertumbuhan Jumlah Proyek PMDN Provinsi Jawa Barat... 85 Profil Pertumbuhan Nilai Investasi PMDN Provinsi Jawa Barat... 86 Profil Pertumbuhan Jumlah Proyek PMA Provinsi Jawa Barat... 88 Profil Pertumbuhan Nilai Investasi PMA Provinsi Jawa Barat... 89

DAFTAR LAMPIRAN Nomor halaman Lampiran 1 Data Nominal... 109 Lampiran 2 Data Riil... 110 Lampiran 3 Model Regresi PMDN... 111 Lampiran 4 Model Regresi PMA... 112 Lampiran 5 Output Pengolahan Shift Share... 113

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dari suatu daerah untuk melakukan pembangunan adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan. Pada dasarnya pembangunan dapat dikatakan sebagai suatu proses perubahan yang membuat sebuah keadaan di masa sekarang diharapkan akan menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Perbaikan yang diharapkan adalah berupa peningkatan kualitas hidup masyarakat yang berada di daerah tersebut. Hal ini bisa diartikan juga bahwa pembangunan adalah sarana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pentingnya pembangunan untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa yang akan datang membuat pemerintah bekerja keras agar pembangunan dapat terwujud. Tuntutan agar pembangunan tidak hanya berjalan di daerah-daerah yang dekat dengan pemerintah pusat saja, juga telah membuat pemerintah mengupayakan strategi yang sekiranya dapat mewujudkan terciptanya pembangunan. Diantaranya adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang pada saat itu diharapkan dapat mewujudkan pembangunan yang lebih merata tanpa adanya lagi sentralisasi kekuasaan dalam pembangunan. Namun, kenyataan yang ada adalah fungsi pemerintahan yang terdapat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota hanya merupakan perpanjangan tangan dari pusat ke daerah.

Menurut Elmi (2002), terdapat tiga kecenderungan yang terjadi dalam kondisi pemerintahan sentralistis, yaitu: (1) kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah begitu besar, (2) tingkat ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang tinggi, (3) minimnya kreatifitas dan inovasi pemerintah dan masyarakat daerah karena selalu menunggu arahan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Kondisi di atas memperlihatkan bahwa sistem pemerintahan yang diterapkan tidak lagi cukup efektif untuk diterapkan pada masyarakat saat ini. Pada masa sekarang, setiap orang berkembang menjadi individu-individu atau kelompok-kelompok yang lebih kompleks, diiringi dengan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi baik itu politik maupun sosial-ekonomi. Kondisi seperti ini menyebabkan perlunya strategi kebijakan baru yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Penyelesaian permasalahan tersebut dilakukan dengan adanya pergeseran paradigma dari sentralistik menjadi desentralistik sehingga diharapkan dapat terciptanya proses pengambilan keputusan pembangunan di daerah yang lebih demokratis sesuai dengan kebutuhan dan persoalan di setiap daerah. Perubahan paradigma dari sentralistik menjadi desentralistik ini berpengaruh pada pembangunan yang terjadi di setiap daerah. Pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2001 (Haris, 2005) merupakan contoh nyata dari keseriusan

pemerintah pusat untuk tidak lagi ikut campur tangan secara penuh pada daerahdaerah meskipun masih ada juga campur tangan pemerintah dalam urusan dana bantuan yang diserahkan kepada masing-masing daerah. Hanya saja dalam hal ini pemerintah tidak bercampur tangan dalam rangka pengalokasian dana dari pemerintah pusat tersebut. Untuk itu, pemerintah daerah juga harus memikirkan cara agar daerahnya bisa tetap membangun dengan kondisi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Berbagai program untuk meningkatkan nilai investasi daerah pun dilakukan agar daerah tersebut memiliki cukup modal untuk melakukan pembangunan. Diantaranya mencakup program pengadaan sumber pembiayaan investasi dan pengadaan infrastruktur yang dibutuhkan untuk menarik investor. Program-program tersebut antara lain berupa pengembangan kredit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) hingga penyediaan kawasan khusus untuk industri. Investasi dalam suatu perekonomian sangat diperlukan baik untuk menunjang pertumbuhan ekonomi maupun perluasan tenaga kerja. Investasi dapat dibagi dua yaitu: investasi dalam negeri dan investasi asing. Investasi dapat masuk apabila di wilayah tersebut para pelaku ekonomi merasa aman dalam melakukan aktivitas. Oleh karenanya, stabilitas ekonomi merupakan salah satu prasyarat untuk membangun dan menggerakkan roda perekonomian (BPS, 2003). Jalannya perilaku investasi yang ada di Indonesia tidak terjadi sesuai dengan apa yang diharapkan. Penyebab dari semua ini diantaranya adalah masih tingginya resiko investasi, seperti permasalahan mengenai ketidakpastian hukum dan keamanan sampai kepada rumitnya birokrasi perijinan untuk melakukan

investasi di daerah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan investasi sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara pada umumnya dan daerah-daerah di dalamnya pada khususnya. Pada masa otonomi daerah saat ini, kondisi investasi menjadi semakin sulit. Ketidaksiapan daerah dalam mengaplikasi dan mengantisipasi dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah bisa dijadikan alasan. Keinginan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secepat mungkin tanpa memiliki strategi yang tepat untuk melakukannya, menyebabkan tiap daerah dengan mudah membuat kebijakan yang justru menyebabkan keluarnya investor dari daerah tersebut dan berdampak pada berkurangnya investasi yang ada sehingga justru menurunkan PAD daerah tersebut. Juga persaingan yang semakin ketat dengan daerah-daerah lain dalam menarik para investor untuk berinvestasi, terutama pada masa otonomi daerah. Dapat dilihat pada Tabel 1.1 jumlah rencana proyek dalam negeri yang telah disetujui di Provinsi Jawa Barat terus mengalami penurunan. Pada tahun 1996, rencana proyek PMDN yang disetujui pemerintah sebanyak 198 proyek. Angka ini terus menurun menjadi 133 proyek pada tahun 1998 dan hanya 90 proyek pada tahun 1999 walaupun sempat naik pada tahun 1997 sebanyak 205 proyek. Sementara itu, saat kebijakan otonomi mulai dilaksanakan masih juga terdapat kecenderungan jumlah proyek PMDN yang turun. Pada tahun 2000, terdapat 38 proyek yang kemudian jumlahnya turun menjadi hanya 23 proyek pada 2001 dan 35 proyek pada 2002. Peningkatan jumlah proyek tersebut terjadi

pada tahun 2003 sebanyak 54 proyek dan kembali turun drastis hingga hanya 31 proyek pada 2004. Begitu juga yang terjadi pada investasi asing. Kecenderungan yang terjadi adalah penurunan rencana proyek PMA yang disetujui pemerintah sejak tahun 1996 sebanyak 292 proyek, sampai pada tahun 1999 yang hanya menjadi 103 proyek saja. Setelah masa otonomi, peningkatan terjadi di tahun 2002 sebanyak 307 proyek dan tahun 2003 sebesar 311 proyek. Walaupun kembali turun pada tahun 2004. Tabel 1.1. Rencana Proyek Modal Asing dan Dalam Negeri Provinsi Jawa Barat yang Telah Disetujui Pemerintah Menurut Sektor Ekonomi (dalam miliar rupiah) Sebelum Otonomi daerah Masa Otonomi Daerah PMA 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Pertanian,Kehutanan dan Perikanan 4 14 2 7 12 2 2 7 7 3 Pertambangan 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 Perindustrian 320 245 260 160 29 107 113 203 224 152 Listrik, Gas dan Air 0 0 0 0 0 29 24 1 0 42 Konstruksi 1 2 1 0 0 1 0 2 0 5 Perdagangan 0 0 0 0 46 0 0 72 58 0 Perhotelan 3 1 1 2 0 1 0 0 2 0 Pengangkutan 3 3 5 1 1 3 0 6 2 0 Perumahan dan Perkantoran 9 15 6 4 3 2 0 1 3 0 Jasa-jasa 3 12 13 17 12 0 0 14 15 0 Jumlah 343 292 288 191 103 145 139 307 311 203 PMDN Pertanian,Kehutanan dan Perikanan 7 7 3 0 3 0 2 4 2 0 Pertambangan 5 4 2 2 0 0 0 1 1 0 Perindustrian 196 143 155 85 71 38 20 25 46 30 Listrik, Gas dan Air 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 Konstruksi 1 3 3 2 0 0 0 0 0 0 Perdagangan 0 0 0 0 6 0 0 0 2 0 Perhotelan 8 7 13 6 3 0 0 0 0 0 Pengangkutan 7 5 9 22 2 0 1 0 1 0 Perumahan dan Perkantoran 4 14 10 10 2 0 0 0 2 0 Jasa-jasa 12 15 10 6 2 0 0 5 0 0

Jumlah 240 198 205 133 90 38 23 35 54 31 Sumber: BPS beberapa edisi Tabel 1.2. Rencana Nilai PMA dan PMDN Jawa Barat yang Telah Disetujui Pemerintah Sebelum Otonomi Daerah Masa Otonomi Daerah PMA 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 (juta US $) Pertanian,Kehutanan dan Perikanan 20 47 2 7 2 58 2 10 34 96 Pertambangan - - - - - - 0 2 0 39 Perindustrian 9678 6.317 6.545 4.276 121 1.634 509 5057 7077 7102 Listrik, Gas dan Air - - - - - 24 7 225 0 1539 Konstruksi 95 23 0 - - 0 0 25 0 1766 Perdagangan - - - - 28-0 1508 555 0 Perhotelan 54 77 14 1-0 0 0 1 0 Pengangkutan 890 24 689 52 1 1 0 57 12 0 Perumahan dan Perkantoran 213 586 189 234 3 9 0 2 275 0 Jasa-jasa 369 956 1.315 34 49-0 364 40 0 Jumlah 11321 8030 8754 4604 204 1726 518 7253 7997 10544 PMDN (RP miliar) Pertanian,Kehutanan dan Perikanan 151 395 53-42 - 18 129 75 0 Pertambangan 68 165 36 68 - - 0 18 730 0 Perindustrian 12123 14.298 33.164 11.602 10.075 3.485 892 1.098 1960 1952 Listrik, Gas dan Air - - - - 11-0 - 0 30 Konstruksi 19 81 275 267 - - 0-0 0 Perdagangan - - - - 34-0 - 1 0 Perhotelan 382 302 612 481 63-0 - 0 0 Pengangkutan 2271 358 973 93 - - 35-23 0 Perumahan dan Perkantoran 145 1.280 1.234 613 5 - - - 25 0

Jasa-jasa 224 2.832 257 550 14 - - 100 0 0 Jumlah 15386 19711 36604 13674 10244 3485 945 1198 2817 1983 Sumber : BPS beberapa edisi Hal yang sama juga terjadi dengan nilai investasi yang masuk ke Provinsi Jawa Barat. Tabel 1.2 menunjukkan adanya penurunan rata-rata hampir di setiap sektor perekonomian. Untuk PMDN pada tahun 1996 mencapai angka Rp 19.711 miliar, sempat meningkat sampai Rp 36.605 miliar pada tahun 1997 dimana setelah itu krisis ekonomi melanda Indonesia. Pada tahun 1998, nilai PMDN terus menurun hingga memasuki masa otonomi daerah hanya sebesar Rp 3.485 miliar pada tahun 2000 dan sebesar Rp 945 miliar di tahun 2001. Namun, sejak itu angka investasi perlahan kembali pulih sampai Rp 1.198 miliar di tahun 2002 dan Rp 2.817 miliar pada tahun 2003. Demikian juga yang terjadi pada PMA, yaitu penurunan nilai investasi dari angka $ 8.030 juta pada tahun 1996 hingga hanya sejumlah $ 204 juta pada tahun 1999. Memasuki masa otonomi daerah, mulai terlihat peningkatan pada nilai investasi yang berasal dari PMA. Angka sebesar $ 518 juta bisa tercapai di tahun 2001 dan meningkat hingga $ 10.544 juta pada tahun 2004. Pertumbuhan investasi yang terjadi di Provinsi Jawa Barat belum seperti yang diharapkan, hingga kiranya menjadi penting untuk dibahas. Begitu pula dengan memperhitungkan faktor-faktor yang bisa memacu kegiatan investasi di Provinsi Jawa Barat. I.2. Perumusan Masalah

Pemerintah mengeluarkan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 adalah sebagai bentuk kesungguhan untuk melaksanakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di semua daerah yang ada di Indonesia. Pemberlakuan UU tersebut pada tahun 2001 diiringi dengan banyaknya implementasi yang dilakukan tiap-tiap pemerintah daerah dalam rangka menterjemahkan tujuan undang-undang tersebut. Diantara implementasi kebijakan yang bisa dilihat adalah terbitnya beberapa peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah setempat dan segera diberlakukan di wilayahnya masingmasing. Hal lain yang dapat dilihat juga adalah banyaknya provinsi yang melakukan pemekaran wilayah dimana pada umumnya bertujuan untuk dapat menaikan PAD provinsi tersebut. Konsekuensi logis dari adanya reformasi pemerintahan ini memang terdapat pada adanya perubahan kedudukan, tugas dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan di pusat dan juga di daerah. Oleh kerenanya, pemerintah daerah mendapatkan kewenangan yang lebih dari kewenangan atas daerahnya dibandingkan dengan sebelum adanya reformasi pemerintahan atau otonomi daerah ini. Pergeseran kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini lebih banyak terdapat pada kewenangan pusat yang berbentuk intervensi yang pada awalnya ditandai dengan adanya mekanisme persetujuan pemerintah pusat dalam berbagai kegiatan pemerintah daerah. Peran pembinaan atau kewenangan yang bersifat intervensi tersebut sudah bisa dianggap berkurang atau bahkan bisa dikatakan tidak ada lagi seiring dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999. Namun pemberlakuan UU tersebut tidak bisa

mencabut semua kewenangan pemerintah pusat atas pemerintahan daerahnya. Ada lima urusan yang secara absolut merupakan kewenangan pemerintah, yaitu bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama. Campur tangan pemerintah pusat juga masih dirasakan pada adanya dana bantuan untuk daerah seperti Dana Alokasi Umum (DAU), namun kebebasan diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk pengalokasian dananya tersebut, tanpa ada campur tangan lebih lanjut. Namun demikian, perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat dari lahirnya kebijakan di atas secara substantif akan mengakibatkan perubahan pada peran, tugas dan fungsi pemerintah, dan di sisi lain berkembang dan semakin besar kewenangan diberikan kepada pemerintah daerah (Widjaja, 2004) Pengurangan bentuk intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah merupakan sebuah hal yang positif bagi pemerintahan di daerah. Akan tetapi hal ini bukan berarti tidak ada sisi negatif yang terjadi. Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bisa diartikan sebagai penyerahan kewajiban dalam mengurus daerahnya. Hal ini berarti tidak adanya lagi kewajiban pemerintah pusat untuk memikirkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah karena kewenangannya sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Kondisi seperti ini membuat pemerintah daerah untuk dapat segera membentuk sebuah paket otonomi yang baik yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerahnya. Dalam negara majemuk seperti Indonesia, suatu bentuk kebijakan pada sebuah daerah belum tentu cocok apabila kebijakan tersebut

diadaptasi di daerah lain. Oleh karenanya dalam proses perancangan, masingmasing pemerintah daerah harus melibatkan setiap unsur komunitas-komunitas lokal yang ada di daerah tersebut dimana posisi mereka sebagai salah satu stake holder yang memiliki kepentingan mendalam untuk mensukseskan pembangunan pada daerahnya. Salah satu cara agar suatu wilayah masih bisa tetap maju dalam segi pembangunan di wilayahnya tersebut dan juga sebagai alternatif sumber pertumbuhan diluar bantuan pemerintah pusat adalah melalui investasi swasta. Dengan menarik investor swasta sebanyak-banyaknya untuk mau berinvestasi di suatu wilayah akan membuat daerah tersebut bisa melakukan pembangunan unruk mencapai pertumbuhan ekonomi daerah yang diinginkan. Hal ini tidaklah mudah mengingat sedikitnya atau bahkan tidak adanya bantuan pemerintah pusat dalam membangun sarana pendukung investasi dan lain sebagainya. Ditambah lagi dengan adanya keinginan daerah-daerah lain untuk sama-sama melakukan pembangunan di daerahnya masing-masing sehingga akan terjadi persaingan antar daerah dalam menarik investor untuk masuk ke daerahnya. Peran masyarakat dan pemerintah daerah sangat vital dalam mempromosikan daerahnya kepada para investor agar mereka mau berinvestasi di daerahnya. Pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat sendiri telah melakukan berbagai perbaikan guna membentuk iklim investasi yang sehat. Diantaranya adalah pembentukan Dewan Investasi dan pelayanan satu hari untuk izin usaha yang diharapkan dapat menarik minat para investor.

Usaha pemerintah daerah Jawa Barat untuk menarik investor pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan investasi di Jawa Barat. Setelah otonomi daerah diberlakukan, investasi menjadi salah satu sumber pertumbuhan perekonomian daerah yang potensial. Bagaimana kondisi investasi di Jawa Barat pastilah menjadi faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan perekonomian di daerah tersebut. Apalagi setelah diberlakukannya otonomi daerah, apakah investasi di Jawa Barat semakin meningkat atau menurun seiring dengan tidak adanya lagi campur tangan pemerintah pusat. Selain itu, sektor-sektor ekonomi apa yang paling maju investasinya pastilah menjadi pertimbangan bagi para investor untuk melakukan investasinya. Hal ini menjadi penting dikaji karena investasi merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Ketika investasi Jawa Barat mengalami penurunan maka pertumbuhan tidak dapat berjalan. Sebaliknya, ketika investasi mengalami peningkatan maka pertumbuhan ekonomi dapat meningkat dengan cepat. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi investasi Jawa Barat yang dikaitkan dengan pemberlakuan otonomi daerah. Bagaimana perubahan dan pertumbuhan investasi di Jawa Barat dalam kurun waktu 10 tahun sebelum dan pada masa otonomi daerah. Juga akan diketahui pula sektor-sektor mana saja yang pertumbuhan investasinya baik ataupun tidak serta faktor-faktor apa saja yang bisa mempengaruhi kenaikan investasi di Jawa Barat. Dari pemaparan di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertumbuhan investasi pada sektor-sektor perekonomian di Jawa Barat pada masa sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah? 2. Bagaimana pertumbuhan investasi Jawa Barat dibandingkan dengan Indonesia pada masa sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah? 3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi investasi di Jawa Barat? I.3. Tujuan Melihat permasalahan yang ada maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi pertumbuhan investasi sektor-sektor perekonomian di Jawa barat pada masa sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah. 2. Mengidentifikasi pertumbuhan investasi Jawa Barat dibandingkan Indonesia pada masa sebelum otonomi daerah dan pada masa otonomi daerah. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi di Jawa Barat. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam seputar kegiatan investasi daerah dan pelaksanaan otonomi daerah terutama di Jawa Barat. 2. Berguna bagi perencanaan pembangunan daerah yang berkaitan dengan peningkatan investasi. 3. Memberikan gambaran kepada investor mengenai sektor-sektor perekonomian yang memiliki pertumbuhan investasi yang tinggi di Provinsi Jawa Barat. 4. Berguna sebagai bahan referensi bagi penelitian lebih lanjut.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Konsep Otonomi Daerah Dalam konsep pembangunan ekonomi, terjadi beberapa perbedaan dalam menerapkan apakah konsep pembangunan sebaiknya difokuskan pada percepatan pertumbuhan atau kepada pemerataan pembangunan. Namun, selama beberapa tahun terakhir ini sebenarnya pemerintah berupaya memfokuskan konsep pembangunan pada pertumbuhan ekonomi yang merata. Pembangunan yang dilakukan pemerintah pada saat sebelum krisis memiliki perkembangan yang cukup baik secara nasional ditandai dengan laju pertumbuhan yang cukup tinggi dan pendapatan perkapita yang meningkat terus tiap tahunnya. Tetapi, hal ini tidak dibarengi dengan pertumbuhan yang ada di tiap daerah. Kesenjangan yang terjadi dalam pertumbuhan justru semakin tinggi. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh adanya penguasaan dan kontrol yang dilakukan pemerintah pusat dalam mengatur semua sumber pendapatan di setiap daerah. Pemerintah pusat menguasai semua sektor yang bersumber dari kekayaan alam seperti pertanian, perkebunan, pertambangan, kehutanan, perikanan dan lain sebagainya. Akibatnya adalah daerah tidak bisa menikmati pembangunan sesuai dengan potensi yang seharusnya dimiliki oleh tiap daerah tersebut. Keberadaan konsep otonomi daerah sebenarnya telah ada sejak lama. Menurut C.S.T Kansil dalam bukunya Desa Kita pada tahun 1988 berpendapat bahwa dari beberapa literatur dapat diketahui bahwa sistem desentralisasi tersebut mulai diterapkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda 1903 (Elmi, 2002).

Semenjak kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, telah banyak undang-undang yang mengatur mengenai otonomi daerah (Tabel 2.1). Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya ada upaya dari pemerintah untuk memeratakan pembangunannya di setiap daerah. Namun, implementasinya belum tercapai dan bahkan adanya pemerintahan daerah hanya dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Semenjak reformasi bergulir, masyarakat menuntut kesungguhan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan yang adil dan merata. Oleh karenanya lahir UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selain itu, untuk mendukung kedua UU tersebut pemerintah juga telah mengesahkan 2 UU baru pada 15 Oktober 2004 yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengertian dari desentralisasi dan otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, dalam penjelasan UU No. 25 Tahun 1999 dikatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah kabupaten dan kota. Dan tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.

Tabel 2.1. Beberapa Versi Undang-Undang Daerah Otonom di Indonesia Undang-Undang 1. UU No. 22 Tahun 1948 Daerah Otonom dan Daerah Istimewa Provinsi, Kabupaten, Kota dan Desa 2. UU No. 44 Tahun 1950 Daerah; Daerah Bagian, dan Daerah Anak Bagian 3. UU No. 1 Tahun 1957 Daerah Tingkat I, Provinsi Kotapraja Jakarta Raya. Daerah TK II/Kabupaten Tekanan Pada * Otonom yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. * Daerah otonom dibedakan dalam 3 tingkatan * UU Pemda Indonesia Timur, daerah otonom * Otonomi Riil Daerah TK III 4. UU No. 18 Tahun 1965 Provinsi, Kabupaten, Kecamatan * Otonomi Riil dan seluas-luasnya 5. UU No. 5 Tahun 1974 Pemerintah Daerah terdiri dari: DPRD dan Kepala Daerah Kepala daerah adalah penguasa tunggal Kepala Daerah bertanggung jawab kepada presiden, bukan kepada DPRD 6. UU No 22 Tahun 1999 Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah Otonom Pemerintah Daerah otonom dan DPRD adalah penyelenggara pemerintahan menurut asas desentralisasi Sumber: Elmi (2002) * Otonomi nyata dan Bertanggung jawab * Otonomi adalah kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI. 2.2. Konsep Investasi 2.2.1. Pengertian Investasi Investasi adalah kegiatan penanaman modal pada berbagai kegiatan ekonomi (produksi) dengan harapan untuk memperoleh keuntungan (benefit) pada masa-masa yang akan datang. Pada dasarnya investasi dibedakan menjadi investasi finansial dan investasi non finansial. Investasi finansial adalah bentuk pemilikan instrumen finansial seperti uang tunai, tabungan, deposito, modal dan

penyertaan, surat berharga, obligasi dan sejenisnya. Sedangkan investasi non finansial direalisasikan dalam bentuk investasi fisik (investasi riil) yang berwujud kapital atau barang modal, termasuk pula di dalamnya inventori (persediaan). Namun demikian, investasi finansial dapat juga direalisasikan menjadi investasi fisik (Badan Koordinasi Pasar Modal, 2003). Investasi merupakan salah satu komponen penentu yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Berdasarkan konsep pendapatan nasional yang mengacu pada A System of National Account (UN, 1968) dalam BPS (2003), pengertian investasi adalah selisih antara stok kapital pada tahun (t) dikurangi dengan stok kapital pada tahun (t-1), atau setiap ada penambahan atau penimbunan modal. Besarnya investasi secara fisik yang direalisasikan pada suatu tahun tertentu dicerminkan oleh besarnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Sedangkan yang dimaksud dengan PMTB adalah mencakup pengadaan, pembuatan dan pembelian barang modal baru dari dalam negeri maupun bekas dari luar negeri, yang termasuk dalam PMTB adalah perbaikan barang modal yang mengakibatkan tambahan umur pemakaian atau meningkatkan kemampuan barang modal tersebut dikurangi dengan penjualan barang modal bekas. Barang yang dikategorikan sebagai barang modal mempunyai ciri-ciri barang tersebut memiliki unsur ekonomis lebih dari satu tahun, nilai barang relatif besar bila dibandingkan dengan output yang dihasilkan, serta dapat digunakan berulangkali dalam proses produksi.

2.2.2. Peran Investasi Penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Perubahan laju pertumbuhan investasi tersebut mempengaruhi tinggi rendahnya pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Oleh karenanya, setiap negara ataupun daerah tertentu berupaya menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi tersebut agar masuk ke dalamnya. Menurut Wiranata (2004), motif utama suatu negara mengundang investasi asing adalah untuk menggali potensi kekayaan alam dan sumberdaya lainnya dalam upaya mempercepat pembangunan ekonomi. Kenyataan ini disebabkan karena investasi, baik asing maupun domestik akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melalui proses industrialisasi, guna meningkatkan ekspor barang manifaktur dan kebutuhan pasar domestik (subtitusi impor). Proses industrialisasi diharapkan mampu berkembang bersama dengan proses alih teknologi, alih kepemilikan, perluasan kesempatan kerja yang disertai dengan peningkatan keahlian dan keterampilan. Namun, dalam proses tersebut harus dihindari dominasi perekonomian nasional oleh modal asing. Dalam Agregat Expenditure, peran investasi bisa dilihat melalui Perpotongan Keynesian yang menunjukkan bagaimana Y ditentukan untuk tingkat investasi yang direncanakan tertentu I dan kebijakan fiskal G dan T (Mankiw, 2000). Perpotongan Keynesian merupakan kerangka untuk model IS-LM yang lebih realistis. Perpotongan Keynesian berguna karena menunjukkan bagaimana rencana pengeluaran rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah menentukan pendapatan perekonomian. Tetapi perpotongan Keynesian membuat asumsi yang

menyederhanakan bahwa tingkat investasi yang direncanakan adalah tetap. Untuk memasukkan hubungan antara tingkat bunga dan investasi ini ke dalam model perpotongan Keynesian, investasi yang direncanakan dapat ditulis sebagai berikut: I = I(r) (2.7) Untuk menentukan bagaimana pendapatan berubah ketika tingkat bunga berubah, maka dapat dikombinasikan antara fungsi investasi dengan diagram perpotongan Keynesian (gambar 2.1). Pengeluaran (E) (b) Perpotongan Keynesian AE 1 AE 2 (a) Fungsi Investasi 45 0 Y 2 Y 1 Pendapatan Nasional Riil Tingkat bunga, r Tingkat bunga, r (c) Kurva IS r 2 r 2 r 1 I(r) r 1 IS I(r 2 ) I(r 1 ) Investasi Y 2 Y 1 Pendapatan Nasional Riil Gambar 2.1. Investasi, Perpotongan Keynesian dan Kurva IS Sumber: Mankiw (2000) Kenaikan dalam tingkat bunga (r 1 ke r 2 ) mengurangi jumlah investasi (I 1 ke I 2 ). Pengurangan dalam investasi yang direncanakan, sebaliknya, menggeser fungsi pengeluaran yang direncanakan (AE 1 ke AE 2 ). Pergeseran dalam fungsi pengeluaran yang direncanakan menyebabkan tingkat pendapatan turun dari Y 1 ke

Y 2 (Mankiw, 2000). Dari rumusan diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu upaya yang dapat dilaksanakan untuk meningkatkan pendapatan nasional adalah dengan menaikkan nilai investasi. Hubungan antara suku bunga (r) dan investasi (I) yang ditunjukkan oleh fungsi investasi dan interaksi antara investasi (I) dan pendapatan (Y) yang ditunjukkan oleh kurva perpotongan Keynesian diringkas dalam bentuk kurva IS. 2.2.3. Investasi Asing Investasi asing atau biasa disebut Penanaman Modal Asing (PMA) adalah salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah modal untuk pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa PMA terdiri atas: 1. Investasi portofolio (portfolio investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham, yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembagalembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun, dan sebagainya. 2. Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment), merupakan PMA yang meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, dan sebagainya.

Wiranata (2004) berpendapat bahwa investasi asing secara langsung dapat dianggap sebagai salah satu sumber modal pembangunan ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut sistem ekonomi terbuka, pada umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika, modal asing (khususnya dari Jepang dan Eropa Barat) tetap dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan kesempatan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing sangat diperlukan terutama sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi. Untuk itu berbagai kebijakan di bidang penanaman modal perlu diciptakan dalam upaya menarik pihak luar negeri untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam upaya untuk menarik minat investor asing menanamkan modalnya di Indonesia, pemerintah terus meningkatkan kegiatan promosi, baik melalui pengiriman utusan ke luar negeri maupun peningkatan kerjasama antara pihak swasta nasional dengan swasta asing. Sementara itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai badan yang bertanggung jawab dalam kegiatan penanaman modal terus mengembangkan perannya dalam menumbuhkan investasi. Masuknya PMA di Indonesia diatur oleh pemerintah dalam UU No 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan dilengkapi serta disempurnakan oleh UU No 11 Tahun 1970 juga tentang penanaman modal asing. UU itu didukung oleh berbagai kemudahan yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan

dalam paket-paket deregulasi. Hal ini dimaksudkan untuk lebih menarik investasi didalam memenuhi kebutuhan sumber-sumber pembiayaan pembangunan. Sementara itu, rencana PMA yang disetujui pemerintah adalah nilai investasi proyek baru, perluasan, dan alih status, yang terdiri atas saham peserta Indonesia. 2.2.4. Investasi Dalam Negeri Investasi Dalam Negeri biasa dikenal dengan istilah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah bentuk upaya menambah modal untuk pembangunan melalui investor dalam negeri. Modal dari dalam negeri ini bisa didapat baik itu dari pihak swasta ataupun dari pemerintah. Kebijakan tentang rencana PMDN ditetapkan oleh pemerintah melalui UU No 6 Tahun 1968, kemudian disempurnakan dengan diberlakukannya UU No. 12 Tahun 1970. Rencana PMDN yang disetujui pemerintah adalah nilai investasi baru, perluasan, dan alih status, yang terdiri atas modal sendiri dan modal pinjaman. Jumlah kumulatif rencana PMDN adalah jumlah seluruh rencana PMDN yang disetujui pemerintah sejak tahun 1968 dengan memperhitungkan pembatalan, perluasan, perubahan, penggabungan, pencabutan, dan pengalihan status dari PMDN ke PMA atau sebaliknya. 2.2.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Penanam-penanam modal melakukan investasi bukan untuk memenuhi kebutuhan mereka tetapi untuk mencari keuntungan. Dengan demikian, banyaknya keuntungan yang akan diperoleh besar sekali peranannya dalam

menentukan tingkat investasi yang akan dilakukan oleh para pengusaha (Sukirno, 1994). Terdapat beberapa faktor lain yang akan menentukan tingkat investasi yang akan dilakukan dalam perekonomian. Faktor-faktor utama yang menentukan tingkat investasi adalah: 1. Tingkat keuntungan investasi yang diramalkan akan diperoleh. Ramalan mengenai keuntungan masa depan akan memberikan gambaran kepada para pengusaha mengenai jenis-jenis investasi yang kelihatannya mempunyai prospek yang baik dan dapat dilaksanakan, dan besarnya investasi yang harus dilakukan untuk mewujudkan tambahan barang-barang modal yang diperlukan. Suatu kegiatan investasi dapat dikatakan memperoleh keuntungan apabila nilai sekarang pendapatan di masa depan adalah lebih besar daripada nilai sekarang modal yang diinvestasikan (Sukirno, 1994). Bila suatu investasi diramalkan akan mengalami peningkatan tingkat keuntungan maka pada dasarnya investasi tersebut akan mengalami peningkatan. 2. Tingkat bunga. Dalam melakukan investasi para investor harus mempertimbangkan tingkat bunga. Apabila tingkat bunga lebih tinggi dari tingkat pengembalian modal, investasi yang direncanakan tidak menguntungkan, oleh sebab itu rencana perusahaan untuk melakukan investasi akan dibatalkan. Kegiatan investasi hanya akan dilaksanakan apabila tingkat pengembalian modal lebih besar atau sama dengan tingkat bunga (Sukirno, 1994). Semakin tinggi tingkat bunga maka tingkat

investasi yang dilakukan akan mengalami penurunan. Sedangkan ketika suku bunga mengalami penurunan, investasi akan mengalami peningkatan. r 0 Tingkat bunga r 1 r 2 I I 0 I 1 I 2 Investasi (yang dilakukan) Gambar 2.2. Tingkat Bunga dan Tingkat Investasi Sumber: Sukirno (1994) 3. Ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan. Perusahaan-perusahaan yang sangat besar melakukan kegiatan investasi dalam waktu beberapa tahun. Oleh sebab itu, dalam menentukan apakah kegiatankegiatan yang akan dikembangkan itu akan memperoleh untung atau akan menimbulkan kerugian, para pengusaha haruslah membuat ramalan-ramalan mengenai keadaan masa depan. Ramalan yang menunjukkan bahwa keadaan perekonomian akan menjadi lebih baik lagi pada masa depan, yaitu diramalkan bahwa harga-harga akan tetap stabil dan pertumbuhan ekonomi maupun pertambahan pendapatan masyarakat akan berkembang cepat, merupakan keadaan yang akan mendorong pertumbuhan investasi. Semakin baik keadaan masa depan, semakin besar tingkat keuntungan yang akan diperoleh para pengusaha. Oleh sebab itu, mereka akan lebih terdorong untuk melaksanakan investasi yang telah atau sedang dirumuskan dan direncanakan (Sukirno, 1994).

4. Kemajuan teknologi. Pada umumnya semakin banyak perkembangan teknologi yang dibuat, semakin banyak pula kegiatan pembaruan yang akan dilakukan oleh para pengusaha. Untuk melaksanakan pembaruan-pembaruan, para pengusaha harus membeli barang-barang modal yang baru, dan adakalanya juga harus mendirikan bangunan-bangunan pabrik/industri yang baru. Maka semakin banyak pembaruan yang akan dilakukan, semakin tinggi tingkat investasi yang akan tercapai (Sukirno, 1994). 5. Tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya. I 0 I Investasi I 1 Sumber: Sukirno (1994) Y 0 Y 1 Pendapatan nasional Gambar 2.3. Investasi Terpengaruh Dalam analisis mengenai penentuan pendapatan nasional pada umumnya dianggap investasi yang dilakukan para pengusaha adalah berbentuk investasi otonomi. Walau bagaimanapun, pengaruh pendapatan nasional kepada investasi tidak boleh diabaikan. Tingkat pendapatan nasional yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat, dan selanjutnya pendapatan masyarakat yang tinggi tersebut akan memperbesar permintaan terhadap barang-barang dan jasa-jasa. Keuntungan perusahaan akan bertambah tinggi dan ini akan mendorong

dilakukannya lebih banyak investasi. Dengan perkataan lain, apabila pendapatan nasional bertambah tinggi, maka investasi akan bertambah tinggi pula (Sukirno, 1994). 6. Keuntungan yang diperoleh perusahaan-perusahaan. Ketika perusahaan mengalami peningkatan keuntungan, pada umumnya keuntungan yang diperoleh tersebut akan disalurkan untuk meningkatkan produksi. Dengan kata lain, akan meningkatkan investasi perusahaan tersebut. Adanya peningkatan keuntungan perusahaan membuat perusahaan berusaha untuk lebih meningkatkan keuntungannya lagi di masa depan sehingga perusahaan meningkatkan tingkat investasinya guna mencapai tingkat keuntungan yang diharapkan lebih besar. 7. Tingkat inflasi Tingkat inflasi berpengaruh secara tidak langsung terhadap investasi. Pada dasarnya, ketika terjadi inflasi maka harga-harga pada umumnya akan mengalami kenaikan termasuk juga harga faktor-faktor produksi. Ketika harga-harga faktor produksi meningkat, perusahaan cenderung mengurangi investasinya. Selain itu, inflasi menyebabkan kenaikan tingkat suku bunga. Untuk menghindari kemerosotan nilai modal yang dipinjamkan maka institusi keuangan akan menaikkan tingkat bunga. Semakin tinggi inflasi, semakin tinggi pula tingkat suku bunga. Tingkat bunga yang tinggi akan mengurangi kegairahan penanam modal untuk mengembangkan sektor-sektor yang produktif (Sukirno, 1994).