TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang

TINJAUAN PUSTAKA Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. Sosial Ekonomi Keluarga

TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumah Tangga

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebabkan anak balita ini rawan gizi dan rawan kesehatan antara lain : sehingga perhatian ibu sudah berkurang.

BAB I PENDAHULUAN. SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang

Gambar 1 Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita

POLA KONSUMSI PANGAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA YANG TINGGAL DI DAERAH RAWAN PANGAN DI KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH DEVI FAUZIAH

DAFTAR PUSTAKA. Almatsier S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Rumah Tangga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Karakteristik Anak Sekolah Dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif (Hadi, 2005). bangsa bagi pembangunan yang berkesinambungan (sustainable

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 3 Hubungan ketahanan pangan rumahtangga, kondisi lingkungan, morbidity, konsumsi pangan dan status gizi Balita

67,3 54,5 43,6 32,7 1,8 0. Kategori umur orangtua contoh. Gambar 3 Sebaran umur orangtua contoh

TINJAUAN PUSTAKA Permasalahan Gizi Pada Balita

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kehidupan sehari-hari, pangan mempunyai peranan penting bagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan orang lain yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Perubahan konsumsi pangan sebelum dan sesudah mengikuti program pemberdayaan Tingkat Kecukupan energi dan zat gizi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keikutsertaan PAUD

TINJAUAN PUSTAKA. B. PENILAIAN STATUS GIZI Ukuran ukuran tubuh antropometri merupakan refleksi darik pengaruh 4

METODE PENELITIAN. Sedep n = 93. Purbasari n = 90. Talun Santosa n = 69. Malabar n = 102. n = 87. Gambar 3 Teknik Penarikan Contoh

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

BAB II TINJAUAN TEORI. dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. demikian derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah apabila

BAB I PENDAHULUAN. pengukuran Indeks Pembangunan Manusia ( IPM ), kesehatan adalah salah

BAB I PENDAHULUAN. pendekatan penanggulangnya harus melibatkan berbagai sektor terkait.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Food Coping Strategy : Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Status Gizi Balita

TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar Karakteristik Siswa Besar uang saku

PERBEDAAN PENGGUNAAN INDEKS MEMBERIKAN PREVALENSI STATUS GIZI YG. BERBEDA.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa kanak-kanak dibagi menjadi dua periode yang berbeda, yaitu masa awal

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan. terjangkau dan aman dikonsumsi bagi setiap warga untuk menopang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. beberapa zat gizi tidak terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tetapi pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal ini

TINJAUAN PUSTAKA Beastudi Etos Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berakhir pada usia 19 tahun (Proverawati, 2010) Remaja adalah kelompok yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. manusia (SDM). Ketersediaan pangan yang cukup belum dapat digunakan sebagai

METODE PENELITIAN. Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

METODOLOGI Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Jumlah dan Teknik Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Untuk menciptakan sumber daya

II. TINAJUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat. Memasuki era globalisasi, Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perlu disiapkan dengan baik kualitasnya (Depkes RI, 2001 dalam Yudesti &

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya

BAB II T1NJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. disamping tiga masalah gizi lainya yaitu kurang energi protein (KEP), masalah

TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Kerja

frekuensi kontak dengan media massa (Suhardjo, 2003).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

BAB I PENDAHULUAN. ketahanan pangan pada tingkat nasional, regional, maupun rumah tangga. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada

BAB I PENDAHULUAN. lainnya gizi kurang, dan yang status gizinya baik hanya sekitar orang anak

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sosial yang ada di masyarakat umum di luar rumah. Seorang anak TK

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

Keluarga Sadar Gizi (KADARZI)

BAB 1 PENDAHULUAN. penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB I PENDAHULUAN. perkotaan dan pedesaan berdasarkan kriteria klasifikasi wilayah. desa/kelurahan (Badan Pusat Statistik {BPS}, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan yaitu meningkatnya kesadaran,

BAB 1 PENDAHULUAN. (usia tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61 persen dari jumlah

III. METODOLOGI PENELITIAN. Konsep dasar dan definisi operasional ini mencakup pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing, maka

BAB I PENDAHULUAN. dan dewasa sampai usia lanjut. Dari seluruh siklus kehidupan, program perbaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. yang banyak terjadi dan tersebar di seluruh dunia terutama di negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Teori Tanggapan dan Penanganan. yang diterima oleh pancaindra, bayangan di angan-angan.

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG, 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI TENTANG STATUS GIZI PADA RUMAHTANGGA MISKIN DAN TIDAK MISKIN NUTRITIONAL STATUS OF POOR AND NON-POOR HOUSEHOLDS

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

Transkripsi:

20 TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Rumahtangga Konsep ketahanan pangan menurut World Food Conference on Human Rights 1993 dan World Food Summit 1996 memiliki arti setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat (Masithah 2002). Undang-Undang RI No. 7 tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah suatu keadaan dimana setiap rumahtangga mempunyai akses terhadap pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutu gizinya. Menurut Engle et al. (1997), pada tingkat rumahtangga, ketahanan pangan ditentukan oleh kemampuan rumahtangga untuk mengelola dan mengalokasikan pendapatan untuk pangan bagi seluruh anggotanya, budaya serta kebiasaan makannya. Dalam mewujudkan ketahanan pangan, diperlukan upaya kerjasama yang baik antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pengusaha dan penduduk setempat. Pendekatan kerjasama (partnerships) tersebut dimaksudkan untuk penguatan sistem pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga dapat dicapai melalui berbagai kegiatan yaitu peningkatan infrastruktur lokal, peningkatan jaminan ekonomi dan pekerjaan, bantuan pengaman melalui jaring pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, pendidikan dan penyuluhan pertanian, monitoring dan evaluasi untuk membantu masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya (Masithah 2002). Kerawanan pangan rumahtangga umumnya disebabkan oleh kurangnya kesempatan memperoleh pendapatan yang mencukupi. Selain itu, kerawanan pangan rumahtangga juga disebabkan oleh tingginya harga pangan (Deptan RI 2002). Pengklasifikasian ketahanan pangan rumahtangga ke dalam food secure (tahan pangan) dan food insecure (rawan pangan) dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah pengukuran dengan indikator out put, yaitu konsumsi pangan (asupan energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil dan balita). Rumahtangga disebut rawan pangan jika asupan energi atau status gizi lebih rendah dari cut off point (kebutuhan minimum). Tujuh puluh persen dari kebutuhan energi biasanya digunakan sebagai cut off point untuk konsumsi pangan (Zeitlin & Brown 1990).

21 Karakteristik Rumahtangga dan Konsumsi Pangan Keluarga adalah sekelompok orang yang tinggal atau hidup bersama dalam satu rumahtangga dan ada ikatan darah. Berdasarkan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak (BPS 2000). Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam hal konsumsi pangan. Kebiasaan ini dipengaruhi oleh karakteristik keluarga tersebut, diantaranya umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan orang tua dan alokasi pengeluaran rumahtangga. Umur Orang Tua Orang tua muda, terutama ibu, cenderung kurang pengetahuan dan pengalaman dalam merawat anak sehingga mereka umumnya merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kuantitas dan kualitas perawatan kurang terpenuhi. Sebaliknya, ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998, diacu dalam Gabriel 2008). Besar Keluarga Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran untuk pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendapatan per kapita atau pengeluaran untuk pangan per kapita menurun dengan semakin besarnya keluarga, serta meningkatkan persentase pengeluaran keluarga untuk pangan (Sanjur 1982). Hasil penelitian Kigutha (1994), diacu dalam den Hartog, van Staveren dan Broower (1996) menunjukkan bahwa peningkatan besar keluarga berhubungan negatif dengan konsumsi pangan hewani dan pangan pokok, yang mengakibatkan menurunnya konsumsi energi dan protein. Keluarga yang mempunyai jumlah anggota kurang dari 4 orang, dapat menyediakan energi sebesar 181 persen dari kebutuhannya; keluarga yang mempunyai jumlah anggota 4 sampai 7 orang, dapat menyediakan energi sebesar 95 persen dari kebutuhannya; sedangkan keluarga dengan jumlah anggota lebih dari 7 orang, hanya dapat menyediakan energi sebesar 68 persen dari kebutuhannya. Hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa meningkatnya besar keluarga mempengaruhi pemilihan bahan pangan kepada yang lebih murah.

22 Senada dengan hasil penelitian di atas, Suhardjo (1989b) mengemukakan bahwa meningkatnya besar keluarga tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan, maka pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit, sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak cukup untuk mencegah kejadian kurang gizi. Besar keluarga juga diduga erat kaitannya dengan perhatian ibu dalam merawat anak. Jumlah anak yang lebih sedikit akan memungkinkan ibu memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup dalam merawat anaknya. Menurut Sukarni (1994), jika jarak anak pertama dengan yang kedua kurang dari satu tahun, perhatian dan waktu ibu terhadap perawatan kepada anak yang pertama akan berkurang setelah kedatangan anak berikutnya, padahal anak tersebut masih memerlukan perawatan ibu. Pendidikan Orang Tua Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan (Supariasa et al. 2001). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik (Suhardjo 1989a). Tingkat pendidikan yang rendah mempunyai konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang relatif tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan pangan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang rendah (Hartoyo et al. 2000, diacu dalam Nurmiati 2006). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam kesehatan dan gizi (Atmarita & Fallah 2004). Menurut Pranadji (1988), pendidikan formal seseorang dapat mempengaruhi pengetahuan gizinya. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang tinggi dapat mempunyai pengetahuan gizi yang tinggi pula. Tingkat pendidikan ibu berhubungan dengan perbaikan pola konsumsi pangan. Tingkat pendidikan ibu lebih berpengaruh terhadap perbaikan konsumsi anggota keluarga, khususnya anak-anak, daripada tingkat pendidikan ayah (Sanjur 1982). Menurut Engle (1995), tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi mempunyai hubungan positif yang kuat dengan kesehatan anak dan gizi, terutama tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi ibu. Oleh karena itu, peningkatan dan pengetahuan gizi ibu berdampak pada perbaikan gizi anak.

23 Pengetahuan Gizi Ibu Suhardjo (1996) mengemukakan bahwa pengetahuan gizi berhubungan positif terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hal ini didasarkan pada fakta walaupun rumahtangga memiliki daya beli yang cukup namun bila pengetahuan pangan dan gizi yang dimiliki masih rendah akan sangat sulit bagi rumahtangga yang bersangkutan dapat memenuhi kecukupan pangannnya, baik kualitas, kuantitas maupun ragamnya. Umumnya penyelenggaraan makanan dalam rumahtangga sehari-hari dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai kesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan sehat sedini mungkin kepada putra putrinya. Ibu berperan penting dalam melatih anggota keluarganya untuk membiasakan makan yang sehat. Untuk memperoleh pangan sehat dan sesuai dengan standar maka perlu menguasai pengetahuan tentang pemilihan bahan pangan (Nasoetion & Riyadi 1995). Riyadi (2001) menjelaskan bahwa perilaku pemberian pangan berhubungan secara bermakna dengan tingkat pendidikan ibu dan status gizi anak. Gangguan status gizi pada anak balita umumnya dikarenakan keluarganya tidak memperhatikan perlunya gizi yang seimbang untuk pertumbuhan. Anak tidak akan tumbuh dengan baik tanpa perawatan dari keluarganya (Nurmiati 2006). Pengetahuan ibu tentang gizi adalah apa yang diketahui ibu tentang pangan sehat, pangan sehat untuk golongan usia tertentu (misalnya anak, ibu hamil dan menyusui) dan cara ibu memilih, mengolah dan menyiapkan pangan dengan benar. Pengetahuan ibu rumahtangga tentang bahan pangan akan mempengaruhi perilaku pemilihan pangan dan ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan dalam pemilihan dan pengolahan pangan. Pengetahuan tentang gizi dan pangan yang harus dikonsumsi agar tetap sehat, merupakan faktor penentu kesehatan seseorang (Notoatmodjo 2007). Pekerjaan Orang Tua Menurut Singarimbun (1988), diacu dalam Wahyuni (2008) pada masyarakat tradisional, suatu pembagian kerja yang jelas menurut jenis kelamin cenderung memaksimalkan waktu ibu untuk merawat anaknya. Sebaliknya, dalam masyarakat yang ibunya sibuk bekerja maka waktu untuk merawat anaknya sangat kurang.

24 Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan hukum Bennet, semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari 3 kali menjadi 2 kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging. Alokasi Pengeluaran Rumahtangga Menurut data Susenas (1996 & 1998), pengeluaran untuk pangan rumahtangga miskin berkisar antara 60-80 persen dari pendapatan dan bagi rumahtangga mampu berkisar antara 20-50 persen (Soekirman 2000). Sedangkan pengeluaran untuk pangan di Indonesia masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran rumahtangga yaitu lebih dari 50 persen. Anakanak yang tumbuh dalam sebuah keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Harper et al. 1986). Persen pengeluaran untuk pangan menunjukkan rumahtangga yang rawan (vulnerable) jika persentase pengeluaran untuk pangan dari total pendapatan sebesar 70 persen atau lebih. Namun, pada keluarga berpendapatan tinggi, proporsi pengeluaran pangan tidak lebih dari 30 persen pendapatan dan keluarga menengah persen pengeluaran untuk pangan sekitar 30-70 persen (den Hartog, van Staveren dan Broower 1995 dan Behrman 1995, diacu dalam Tanziha 2005). Karakteristik Anak Balita, Konsumsi dan Status Gizi Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan yang pesat sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan zat gizi karena masih dalam taraf perkembangan dan kualitas hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya (Sediaoetama 2008).

25 Umur Anak Balita Biasanya anggota keluarga pria yang lebih tua (senior) mendapat jumlah dan kualitas pangan yang lebih baik daripada anak kecil dan wanita-wanita muda. Padahal anak-anak membutuhkan banyak zat gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Jelaslah keadaan tersebut akan mengakibatkan buruknya keadaan gizi pada anak. Pada banyak penelitian dilaporkan bahwa pada usia ini kebanyakan anak hanya mau makan satu jenis pangan selama berminggu-minggu (food jag). Orang tua tidak perlu gusar, asal pangan tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi anak. Sementara itu, orang tua (atau pengasuh anak) tidak boleh jera menawarkan kembali jenis pangan yang lain setiap kali makan (Arisman 2004). Jenis Kelamin Anak Balita Pada masyarakat tradisional, wanita mempunyai status yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Keadaan ini dapat mengakibatkan angka kematian bayi dan kurang gizi masih tinggi pada wanita. Berdasarkan penelitian di Jordan tahun 1964 diperoleh data bahwa kekurangan gizi banyak terdapat pada anak wanita daripada anak laki-laki. Dalam hal ini anak laki-laki mendapat prioritas dalam distribusi pangan lebih tinggi daripada perempuan (Sajogyo 1994). Pola Konsumsi Pangan Anak Balita Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki, yaitu setiap saat harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup manusia. Kebutuhan pangan tersebut perlu diupayakan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, yang layak, aman dikonsumsi dan mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (Widowati & Djoko 2001). Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi yang disebut pola konsumsi pangan. Kebutuhan pangan harus diperoleh dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak terhadap kesehatan (Hardinsyah 2000). Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makannya (Suhardjo 1989a), selain itu juga akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan sehingga kecukupan konsumsi pangan perlu mendapat perhatian. Selanjutnya Khomsan (2003) menambahkan bahwa anak-anak yang

26 berasal dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi kurang. Mereka mengkonsumsi pangan (energi dan protein) lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada. Pada anak balita, perhatian terhadap pangan menurun secara makin nyata dan baru hilang setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun. Kesukaan serta ketidaksukaan terhadap pangan berubah dari hari ke hari dan dari minggu ke minggu. Selera makan biasanya tidak bisa diperkirakan. Anak bisa makan lahap pada waktu makan pertama tetapi menolak pada waktu makan berikutnya. Keluhan sebagian besar orang tua bahwa anak paling sulit makan malam. Ada kemungkinan bahwa seorang anak yang telah makan 2 kali dan mendapat beberapa jenis jajanan atau kudapan, telah terpenuhi kebutuhan energi dan zat-zat gizinya, sebelum waktu makan malam (Nasoetion & Wirakusumah 1990). Tingkat Konsumsi Pangan Anak Balita Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur kimia yang terkandung dalam pangan yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh secara normal. Manusia memerlukan zat gizi agar dapat hidup dengan sehat dan mempertahankan kesehatannya. Oleh karena itu, jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan internal dan eksternal, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan, serta untuk aktivitas (Hardinsyah & Martianto 1992). Anak balita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif dan usia 3-5 tahun bersifat konsumen aktif. Konsumen pasif artinya pada usia 1-3 tahun makanan yang dikonsumsi tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu, sedangkan konsumen aktif artinya anak dapat memilih makanan yang disukainya (Supriatin 2004). Tahap awal dari kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan penilaian konsumsi pangan. Konsumsi pangan yang kurang akan berdampak terhadap kurangnya zat gizi dalam tubuh. Secara umum terdapat dua kriteria untuk menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu konsumsi energi dan protein. Kebutuhan energi biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok, sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan, seperti ikan, daging, telur dan susu (Hardinsyah & Martianto 1992). Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi individu. Basis dari AKG adalah kebutuhan (Estimated

27 Average Requirement). Untuk mengetahui kecukupan gizi anak balita digunakan AKG tahun 2004, yang disajikan pada Tabel 1. Kecukupan gizi tersebut dianjurkan untuk dipenuhi dari konsumsi pangan anak balita setiap harinya. Tabel 1 Angka kecukupan energi (AKE) dan protein (AKP) anak Golongan Usia Berat Badan (kg) Tinggi Badan (cm) 0-6 bulan 6.0 60 7-11 bulan 8.5 71 1-3 tahun 12.0 90 4-6 tahun 18.0 110 7-9 tahun 25.0 120 Sumber: Hardinsyah dan Tambunan (2004) AKE (kkal/kap/hari) 550 650 1000 1550 1800 AKP (g/kap/hari) 10 16 25 39 45 Frekuensi Konsumsi Pangan Anak Balita Khomsan (2003) menyatakan bahwa frekuensi konsumsi pangan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi konsumsi pangan pada anak, ada yang terikat pada pola makan 3 kali per hari tetapi banyak pula yang mengkonsumsi pangan antara 5 sampai 7 kali per hari atau lebih. Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi penduga tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar. Suatu hasil pengamatan terhadap anak-anak di negara Barat memperlihatkan bahwa pada kelompok anak yang frekuensi konsumsi pangannya kurang dari 4 kali per hari mengkonsumsi energi, protein, vitamin C, dan zat besi (Fe) lebih rendah dari rata-rata konsumsi anak-anak yang seumur. Sedangkan konsumsi pada kelompok anak yang frekuensi konsumsi pangannya lebih dari 6 kali per hari ternyata lebih tinggi dari rata-rata konsumsi anak yang seumur (Nasoetion & Wirakusumah 1990). Tabu Makanan Pantangan atau tabu makanan adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu, karena terdapat ancaman budaya atau hukuman terhadap barangsiapa yang melanggarnya. Dalam ancaman ini, ada kekuatan supranatural dan mistik yang akan menghukum mereka yang melanggar aturan ini atau tabu (Susanto 1997). Dasar dan kebiasaan pangan dicirikan dalam suatu sistem nilai seseorang dalam memilih makanan yang boleh dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi. Sistem nilai tersebut pada dasarnya berasal dari tiga sumber kebenaran yang dipercayai yaitu (1) agama dan kepercayaan kepada Tuhan, (2)

28 adat-adat yang berasal dari nenek moyang dan (3) pengetahuan yang diperoleh dari proses pendidikan formal dan sosialisasi dalam keluarga dan dari pendidikan informal melalui media massa (Nikmawati 1999). Tabu berasal dari Polynesia yang berarti suatu larangan yang ditujukan terhadap makanan tertentu atau benda tertentu yang tidak boleh disentuh atau dimakan. Larangan biasanya karena tradisi. Pantangan atau tabu makanan merupakan sesuatu yang diwariskan dari leluhur melalui orang tua, terus ke generasi-generasi yang akan datang. Orang tidak lagi mengetahui kapan suatu pantangan dimulai dan apa sebabnya. Orang yang menganut suatu pantangan biasanya percaya bahwa bila pantangan itu dilanggar akan memberikan akibat merugikan yang dianggap sebagai suatu hukuman. Pada kenyataannya hukuman ini tidak selalu terjadi, bahkan seringkali tidak terjadi sama sekali (Sukandar 2007). Masyarakat mengenal bermacam-macam tabu makanan yang diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu menurut waktu meliputi tabu yang bersifat permanen dan bersifat sementara; menurut besarnya kelompok dibagi dalam : tabu bagi seluruh anggota masyarakat, tabu bagi kelompok-kelompok tertentu di dalam sistem kekerabatan, tabu bagi kelompok profesional sosial, tabu berdasarkan kelas sosial, tabu menurut jenis kelamin dan tabu bagi individuindividu tertentu; serta menurut periode-periode di dalam lingkaran hidup, meliputi : tabu pada saat hamil, saat menyapih bayi, saat sesudah menyapih bayi, saat puber dan saat menderita penyakit. Beberapa jenis makanan dilarang untuk dikonsumsi oleh anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui atau pun kaum remaja. Jika ditinjau dari konteks gizi, makanan tersebut justru mengandung nilai gizi yang tinggi, tetapi tabu itu tetap dijalankan dengan alasan takut menanggung risiko yang akan timbul sehingga masyarakat yang demikian akan mengkonsumsi makanan yang bergizi dalam jumlah yang kurang, dengan demikian maka penyakit kekurangan gizi akan mudah timbul di masyarakat, terutama pada anak-anak. Tabu berkenaan dengan makanan banyaknya bersangkutan dengan emosi sehingga tidak mengherankan jika sebagian besar tabu makanan terutama dianut oleh para wanita atau dikenakan bagi anak-anak yang masih di bawah perlindungan dan asuhan wanita tersebut. Praktis semua tabu tentang makanan berhubungan dengan status gizi dan kesehatan (Suhardjo 1989a).

29 Status Gizi Anak Balita Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang dapat dinilai untuk mengetahui apakah seseorang normal atau bermasalah (gizi salah). Gizi salah adalah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan dan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, kecerdasan, dan aktivitas atau produktivitas (Depkes RI 2001). Menurut Riyadi (2001), status gizi menggambarkan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang, maka dapat diketahui baik atau buruk status gizinya. Faktor gizi yang mempengaruhi status gizi secara langsung yaitu konsumsi pangan dan keadaan kesehatan (Soekirman 2000). Status gizi balita dapat mencerminkan keadaan status gizi masyarakat (Suhardjo & Riyadi 1990). Bayi sampai anak berusia lima tahun (balita) dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan yang rawan terhadap kekurangan gizi, termasuk KEP. KEP adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi pangan yang tidak cukup menjadi energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Menurut Engle, Manon dan Haddad (1997), anak balita yang mengalami KEP salah satunya disebabkan oleh kurangnya kepedulian ibu dalam merawat anak. KEP pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah dan masyarakat bahkan oleh keluarga. Artinya, andaikata di suatu daerah ada sejumlah anak yang menderita gizi kurang karena KEP, tidak segera menjadi perhatian karena anak tidak tampak sakit. Di samping itu, terjadinya KEP pada anak balita tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan. Artinya, dalam keadaan pangan di pasar melimpah pun masih mungkin terjadi kasus KEP (Soekirman 2000). Suhardjo (1989a) menambahkan pada umumnya KEP terjadi karena kemiskinan, pangan kurang tersedia, pengetahuan gizi rendah, kebiasaan makan dan faktor lainnya. Namun, ada fakta yang menunjukkan bahwa gizi kurang tidak selalu terjadi pada keluarga-keluarga miskin atau tinggal di lingkungan yang kumuh. Dengan kata lain, anak-anak KEP juga dapat ditemukan pada keluarga-keluarga mampu (tidak miskin) yang hidup di lingkungan masyarakat yang cukup baik. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan, antropometri, biokimia dan klinis (Riyadi 2001). Indikator yang digunakan

30 tergantung pada waktu, biaya, tenaga, dan tingkat ketelitian penelitian yang diinginkan, serta banyaknya orang yang akan dinilai status gizinya. Antropometri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung yang umum digunakan untuk mengukur dua masalah gizi utama di dunia, yaitu masalah gizi buruk (terutama pada anak-anak dan wanita hamil) dan masalah gizi lebih pada semua kelompok umur (Jellife & Jellife 1989). Menurut Jellife dan Jellife (1989), pengukuran dengan cara antropometri memiliki beberapa keuntungan yaitu relatif murah, obyektif, mudah dilakukan pada populasi yang besar serta memberikan informasi gangguan pertumbuhan. Selanjutnya Gibson (1993) menambahkan bahwa cara antropometri relatif cepat pelaksanaannya dan tidak terlalu banyak membutuhkan alat. Selanjutnya, Jahari (1995), diacu dalam Briawan dan Herawati (2005) menjelaskan bahwa antropometri erat kaitannya dengan status gizi seseorang, terutama pada masa pertumbuhan. Selain itu, antropometri paling sesuai digunakan di negara berkembang, seperti Indonesia, daripada pengukuran secara klinis dan biokimia yang mahal dan sulit dilakukan. Antropometri digunakan untuk mengetahui keseimbangan antara asupan protein dan energi. Keseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh, seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. Metode antropometri terdiri dari berbagai indeks yang dapat digunakan untuk menilai status gizi, diantaranya berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Supariasa et al. 2001). Indeks berat badan menurut umur (BB/U) mencerminkan status gizi saat ini, karena berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak) yang sensitif terhadap perubahan yang mendadak, seperti infeksi otot dan tidak cukup makan (Tarwotjo & Djuwita 1990). Berat badan merupakan indikator yang sangat labil. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight (Riyadi 2001). Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) mencerminkan status gizi masa lalu, karena pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu pendek (Supariasa et al. 2001). Defisit TB/U menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. Stunting merefleksikan proses kegagalan untuk mencapai

31 pertumbuhan linear sebagai akibat dari keadaan gizi dan atau kesehatan yang subnormal (Riyadi 2001). Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini, karena pada keadaan normal perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu (Supariasa et al. 2001). Wasting secara luas digunakan untuk menjelaskan proses yang mengarah pada terjadinya kehilangan berat badan, sebagai konsekuensi dari kelaparan akut dan atau penyakit berat (Riyadi 2001). Penentuan status gizi dengan cara z-skor lebih akurat. Karena hasil hitung telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri (Husaini 1988, diacu dalam Masithah 2002). WHO (1995) membuat indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei. Tabel 2 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting dan wasting Klasifikasi Berat Masalah Gizi Prevalensi Underweight (%) Prevalensi Stunting (%) Prevalensi Wasting (%) Rendah <10 <20 <5 Sedang 10-19 20-29 5-9 Tinggi 20-29 30-39 10-14 Sangat tinggi 30 40 15 Sumber : WHO (1995), diacu dalam Riyadi (2001)