PROLEMATIKA HUKUM DALAM MENTRANSFORMASI KONFLIK DEMI MEMBANGUN PERDAMAIAN DI INDONESIA Oleh : Dr.C.Maya Indah S.,SH.MHum. 1 Abstrak Karakter Pluralisme bangsa Indonesia membutuhkan suatu hukum responsive yang membuka ruang public yang mampu menjaga harkat manusia dan keleluasaan dialog lintas kultur. Pluralisme memerlukan suatu format hukum yang demokratis yang mensyaratkan penghargaan atas pluralisme itu sendiri. Tugas hukum dalam membangun perdamaian menjadikan hukum memiliki suatu mekanisme pengintegrasi bagi transformasi konflik. Dalam konstelasi ini, maka hukum diharap menjawab kebutuhan social masyarakat untuk mengelola harmonisasi dalam kehidupan yang penuh pluralitas. Hukum itu sendiri perlu dibangun dengan kultur perdamaian yang tidak mengandalkan kekuasaan represif sebagai manipulator sentralistis kehidupan sosial, namun dengan mengedepankan pandangan anthroposentris masyarakat Indonesia yang plural, dan mengangkat harkat martabat manusia atau memanusiakan manusia. Dengan demikian, hukum merupakan eksemplar artikulasi cita perdamaian dalam sistemnya. Kata kunci : hukum, transformasi konflik, perdamaian. PENDAHULUAN Kajian terhadap hukum, konflik dan resolusi konflik yang berurgensi pada pembangunan perdamaian dalam konteks pluralisme bangsa Indonesia menyuarakan beberapa dimensi. Pertama apakah hukum memiliki peran penting dalam konflik? Baik sebagai pemicu atau bahkan menjadi penabuh gendering konflik ataupun hukum memposisikan diri sebagai entitas penyelesai konflik, bagaimana karakter hukum yang menimbulkan segrerasi yang berseberangan dengan perdamaian itu? Kedua bagaimanakah karakter hukum yang berpihak pada perdamaian dan bukannya menjadi sumber konflik? Tulisan ini akan mengkaji bahwa hukum yang merupakan suatu entitas buatan manusia sesungguhnya merupakan suatu social constructed reality, yang bermakna artfisial dan dikonstruksikan oleh pelbagai system yang ada. Potret buram konflik di Indonesia yang dilingkupi oleh hukum yang ada, merupakan sebuah symbol bahwa hakekat interaksi antara hukum, konflik, dan perdamaian itu sebenarnya 1 Penulis adalah dosen Fakultas Hukum UKSW, aktif di Satya Wacana Peace Center sebagai ketua. 1
merupakan suatu persoalan structural dalam kehidupan bermasyarakat dan memiliki keterkaitan dengan pembentukan dan pemeliharaan kekuasaan. Hukum memiliki hakekat suatu kekuasaan birokrasi negara yang memiliki dimensi tujuan kepentingan publik. Manakala hukum disejajarkan dengan fenomena konflik yang berakar pada pembedaan Budaya, Suku, Agama, Ras, dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia ini, maka di situlah ada suatu gejala adanya kegagalan birokrasi negara tersebut, baik pada aras legislative, eksekutive, maupun judicative dalam mengawal kepentingan public. HUKUM DAN KONFLIK Pemaknaan Hukum bukanlah hanya semata dimaksudkan sebagai perundang-undangan belaka. Sistem hukum meliputi tiga komponen yakni substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum. Bekerjanya hukum bukan hanya secara rules and logic, tetapi juga meliputi social structure and behavior dari individu atau birokrasi yang terlibat. Oleh karena itu, bahasa hukum di sini dimaknai tidak hanya dalam taraf kebijakan atau formulasi kebijakan public, namun juga pada taraf implementasinya hukum yang didasari kultur hukum. Melalui kultur hukum yang inilah, maka hukum akan terus menerus dikerjakan oleh keseluruhan konteks sosial Bekerjanya hukum dalam masyarakat mencerminkan masyarakat tersebut. Ada suatu korelasi antara fenomena masyarakat yang kompleks dan majemuk dengan hukum yang harus mewadahi aspirasi dalam cerminan masyarakat tersebut. Law is a mirror of society, which functions to maintain social order Law maintains social order by establishing and enforcing the rules of social intercourse... 2 Dengan demikian, hukum yang baik adalah hukum yang mampu menjawab kebutuhan social masyarakatnya, yang tidak mengalienasikan masyarakat habitus hukumnya dengan mempedomani tertib social dan pencapaian kesejahteraan bersama. Pada kondisi sekarang ini di Indoensia, negara yang mengejawantah dalam birokrasi pemerintahan, ternyata tumbuh menjadi mesin kekuasaan yang regulative. Bentuk kekuasaan 2 Brian Z.Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society,(London : Oxford University Press, 2006), p. 1-3. Mirror Thesis dari Tamanaha mengungkapkan bahwa hukum selalu berakar pada a peculir from social life. Namun, dalam konteks hukum negara, hukum justru bisa mengekslusifksn diri dan teralienasi dari kebutuhan masyarakatnya. 2
birokratis negara merasuk dalam budaya masyarakat sedemikian rupa, sehingga tidak ada satu kegiatan kemasyarakatan yang bebas dari ppengaruh birokrasi hukum. Hukum menjadi penentu keabsahan bentuk dan pola hidup social masyarakat. Namun demikian, perlu dikaji lebih dalam, apakah dengan demikian hukum itu memang netral sebagaimana klaim dari aliran pemikiran legalistik? Pandangan Thomas Hobbes yang merupakan pandangan paham positivisme tentang negara hukum formal menghendaki agar negara menunjukkan kekuatan tanpa tanding dengan peran kekuasaan negara yang absolut. Bagi Hobbes, peran negara harus absolut agar mampu menciptakan ketentraman, kebebasan, dan rasa takut di kalangan warga negara. Negara melalui hukumnya dianggap sebagai pengendali yang objektif. 3 Pemikiran legalistic memandang sistem hukum positif bisa memberikan harapan untuk mengatur berbagai persoalan pada masyarakat modern sehingga (diprediksikan) bisa mencapai ketertiban dalam hidup bermasyarakat. Namun, perspektif positivism legalistic yang memandang bahwa sifat hukum positif (hukum yang berlaku sekarang ini) adalah netral dan liberal, justru berbeda dengan realitas hukum modern yang semakin terasing dari realitasrealitas sosial. Konflik muncul dimana-mana sebagai buah dari pertentangan antara kepentingankepentingan. Hukum di Indoensia sekarang ini belum mampu menjawab persoalan krusial tentang kebebasan beragama dan beribadah, pengakuan hak minoritas, dan demokratisasi dalam hukum. Manakala hukum memiliki sikap diskriminatif, maka dalam konteks ini, muncul moral hazard hukum yang memunculkan dimensi law as a tool of conflict, dan law as a tool of social engineering for raising conflict. Hukum akan menjadi sektarian yang memicu konflik, manakala : 1. Hukum dalam hal ini agen social termasuk pemerintah justru mengakomodasi privilese kelompok etnis ataupun kelompok tertentu yang dominan dalam masyarakat. Sedangkan hukum memposisikan kelompok lain sebagai sub ordinasinya. Hukum di sini berarti sebagai suatu sistem social politik tidak mampu menjamin keseimbangan kekuasaan antar kelompok. Kekuasaan meliputi pula kekuasaan ekonomi, akses kepada keadilan, politik, kesamaan budaya, dll yang menunjuk pada pemenuhan hak social, politik dan budaya yang sama dan 3 Frans Magnis suseno, Kuasa dan Moral, Gramedia,Jakarta, 1995, 10-11 3
sederajat. Hukum di sini memiliki karakter diskriminatif. Birokrasi pengendali hukum melalui kebijakannya tidak mampu mewujudkan kesamaan dalam pengendalian dominasi kelompok tertentu dalam suatu penguasaan ataupun pengelolaan sumber-sumber daya. Dalam hal ini, kurangnya keterjaminan akses kelompok sub ordinat dalam pemenuhan hak-haknya akibat hukum mengalami distorsi oleh karena conflict of interest. 2. Hukum dalam masyarakat pluralis memaksakan suatu politik monoralis. Hukum yang sebenarnya merupakan suatu dimensi politik, bisa jadi akan memaksakan suatu standardisasi yang melukai warna pluralis itu sendiri dan memaksakan suatu penyelesaian yang uniform dan mengabaikan toleransi. Dalam hal ini hukum bertindak sebagai hakim yang menolak suatu eksistensi kelompok dan memberikan label sebagai kelomok yang menyalahi pola-pola dari system social yang lebih besar. Dalam hal ini cenderung mengabakan nilai nilai dan kearifan kelompok local dan menggantikannya dengan mempersempit ruang deliberative kelompok untuk berkembang. Stigma berbahaya diberikan pada kelompok berbeda ini untuk membedakannya dengan kelas kelompok yang lain. Interpretasi atas pemaknaan definisi dalam suatu hubungan social termasuk nilai-nilai menjadi tersentralistis pemaknaannya oleh hukum. Resistensi kelompok tertentu dari hukum yang digariskan dianggap sebagai suatu pembangkangan terhadap hukum. Campur tangan pemerintah sedemikian besar dan bersifat represif. Kebijakan sentralis menimbulkan suatu warna politik hukum represif yang menolak adanya suatu perbedaan pendapat. Kohesi social yang sebenarnya memiliki warna pluralis bergeser seturut bentukan hukum sentralis yang ditetapkan dari atas (top down). Akibatnya, kelompok subordinasi akan tidak memiliki legitimasi yang sahih yang seharusnya memiliki akses yang sama di muka hukum. Negara tampil sebagai manipulator kehidupan sosial, Karakter dan aktivitas negara yang tergambar dalam hukum secara substantial ditentukan oleh hubungan-hubungan kekuasan antar kelompok dalam masyarakat. Dalam hal ini lingkungan kehidupan sosial tunduk pada kepentingan-kepentingan penguasa. Ketegangan dalam hukum birokratis adalah dilema antara tatanan hukum sebagai alat untuk memenuhi kepentingan kepentingan penguasa dan kebutuhan rakyat. Di satu sisi dianggap bahwa Hukum publik bertindak sebagai alat negara 4
untuk memanipulasi relasi-relasi sosial. Hukum menjadi alat kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara. 3.Hukum tidak mampu mentransformasi konflik menjadi sebuah transformasi social berkedamaian. Masyarakat Indonesia yang pluralis, memiliki kerentanan untuk mengalami konflik apabila hukum yang mewadahinya bersifat tertutup. Potensi benturan kepentingankepentingan akan dikelola oleh hukum dalam suatu kebijakan publik. Apabila kebijakan hukum baik pada aras formulasi hukum, maupun law enforcement menutup diri pada suatu dialog yang membuka komunikasi bagi ruang interpretasi, maka kerentanan untuk berprasangka akan kekuasaan dominan dalam pengelolaan konflik akan lebih mengemuka. Dalam situasi demikian hukum bahkan bisa menjadi pentransformasi konflik untuk memperkeruh konflik itu sendiri. Misalnya dalam penanganan konflik, hukum bertindak diskriminatif dalam penegakannya. Perilaku tebang pilih dalam menentukan aktor-aktor yang memicu konflik, sikap ketertutupan dalam membuka akses keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat konflik akan merugikan pengelolaan konflik itu sendiri. Perubahan eskalasi konflik menjadi besar mengindikasikan bahwa ada kekurangan pengelolaan potensi konflik, menjadi harmoni perdamaian. Kenetralan Hukum melalui kinerja aparat hukumnya, termasuk dalam formula kebijakan yang ditempuh akan selalu mengalami referendum. Dialektis dalam hukum menjadi tertutup, manakala sentralitas kebenaran hanya dimiliki oleh lembaga hukum tanpa keterbukaan terhadap emansipasi maupun kontrol publik terhadap tugas-tugasnya. Dalam pengelolaan konflik di Indonesia, maka persoalan krusial yang ada adalah membuka sepenuhnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik, dengan memanfaatkan kearfian lokal. Program program rekonsiliasi ataupun pembangunan perdamaian yang justru mengalienasikan masyarakat akan mengalami keterbuntuan, dan menjadikan tidak efektifnya hukum untuk mentransformasi konflik. Hal menarik yang perlu direnungkan dalam konteks ini adalah apakah instrument hukum di Indonesia sudah mampu mengakomodasi fungsi untuk melayani kebutuhan akan transformasi konflik menjadi perdamaian? Dalam konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, hukum menjadi tumpuan harapan untuk memecah isu pemicu konflik, mereduksi eskalasi 5
konflik, dan membawa penegakan hukum pada situasi yang kondusif untuk membuka ruang perdamaian. Hukum yang kurang responsive dalam menanggapi potensi konflik, menandakan bahwa instrument hukum belum akomodatif untuk mentransformasi konflik menjadi perdamaian.. Adanya pembiaran oleh aparat penegak hukum, tindakan represif oleh aparat penegak hukum yang menekan warga yang justru bukan pihak yang berkonflik bahkan memicu konflik baru. Konflik yang bermuara pada persoalan penolakan akan eksistensi keberagamaan /kemajemukan merupakan suatu konflik yang menodai nilai-nilai pluralism. Hal ini berbeda dengan persoalan hukum biasa yang terjadi dalam masyarakat misalnya penganiayaan biasa. Apabila potensi konflik ini tidak terbaca dalam suatu penegakan hukum, maka tentu akan menjadi suatu keterlambatan pengelolaan konflik. Pemaknaan konflik dengan mengkaitkan pada hak asasi manusia akan menjadikan pengelolaan konflik lebih membuka diri pada peran serta masyarakat. Hukum yang berkarakter represif dengan semata mengandalkan pada suatu pendekatan keamanan, akan bersifat kontraprodutif dalam suatu pengelolaan konflik dan mentransformasi konflik menuju perdamaian. HUKUM BERBASIS PERDAMAIAN Hukum bukanlah mesin atau robot yang tidak memiliki hati nurani. Sistem hukum memiliki apa yang disebut dengan budaya hukum, yang dimaknai sebagai ide-ide/nilai yang mendasari substnasi hukum dan mendasari bagaimana struktur hukum melalui lembaga hukum yang ada itu bekerja dan berupaya mewujudkan tujuan hukum. Budaya hukum atau kultur hukum adalah jiwa atau roh hukum yang menjadi spirit hukum terbentuk. Peletakan budaya hukum akan menjadi pondasi yang memberi warna hukum tersebut. Hukum yang dimaknai semata pekerjaan teknis juridis seperti robot merupakan pengingkaran eksistensi hukum, sehingga mereduksi hukum sedemikian rupa menjadi suatu anomali dalam konteks keutuhan dengan kehidupan manusia. 4 Hukum diharapkan mampu mengelola dan mentransformasi konflik menjadi suatu kegiatan yang fungsional untuk 4 Satjipto Raha rdjo, Pendekatan Holistik Terhadap Hukum, Op.cit, hal. 13. 6
pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat yang lebih adil dan damai. Untuk itu, dalam posisi ini hukum diharapkan menjadi suatu symbol adanya dinamisasi akomodatif terhadap keberbedaan atau keberagaman untuk menjalin sutau sinergi yang bermakna bagi perdamaian. Hukum diharapkan menjadi katalisator yang fungsional sebagai penyeimbang yang menggagas nilai keadilan dan perdamaian. Hukum mengakomodasi ruang public yang mengarah pada pembauran toleran dalam suatu komunikasi bertanggung jawab. Ruang public yang dibuka hukum akan menjadi pengikat suatu pembentukan kohesi social akan solidaritas baru yang lintas kultur dan paham. Dalam konteks ini, pengakuan akan keberagaman oleh hukum akan menjadikan hukum sebagai factor pengintegrasi yang bukan sentralistis, tetapi bermakna responsive akan potensi kebaikan antar atau lintas keberagaman tersebut. Hukum akan menjadi suatu lembaga yang memungkinkan terciptanya suatu ruang public yang melangsungkan suatu komunikasi budaya yang tertata berdasarkan penghormatan akan eksistensi satu sama lain. Apabila direfleksikan dari kajian teoretik, dapat dikemukakan teori Chaos dar Samphord menyatakan bahwa teori hukum dapat juga muncul dari apa yang disebut dengan teori keos dalam hukum. Teori hukum dibangun dari sesuatu keadaan masyarakat yang disebut sebagai Melle. Realitas masyarakat selalu berada dalam situasi keos yang tidak dapat dprediksi dan tidak sistematis, karena adanya kekuatan-kekuatan yang berbenturan didalamnya. Hukum hadir sebenarnya dalam konteks masyarakat yang tdak beraturan ini, sehingga basis sosial hukum penuh dengan hubungan asimetris. 5 Pendapat Sampford di atas menggambarkan konsep pemkiran hukum yang mencoba mengkaitkan hukum dari aspek sosial yang menjadi habitatnya yang tidaklah sebenarnya berrati selalu seragam dan terbingkai dalam absulitisme negara. Konsep pemikiran hukum memiliki kandungan pluralitas, transformasi, mutasi, diversitas, multiplisitas yang tidak nampak dalam pemikiran positivistik pada era hukum modern.. 5. Dalam Steven Vago, Law and Society, fift.ed, Prentice Hall, New Jersey, 1997, P. 50 Baca dalam Donald Black, The Behavior of Law, Academic Press, London, 1976, p. 65-70, 111-114a, dan lihat pula Charles Sampford, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell Inc, New York, 1989, p.151. Law is unsystematic etc, Sampford dikenal sebagai pencetus the legal melee dalam kandungan social melee, see p 160, 223-266. 7
Parsons berpendapat bahwa fungsi utama suatu sistem hukum bersifat integratif. Artinya untuk mengurangi unsur konflik potensiil yang ada dalam masyarakat, dan untuk melicinkan proses pergaulan sosial. Hanya dengan jalan mentaati suatu sistem aturan sajalah sistem interaksi sosial itu akan dapat berfungsi dengan baik, tanpa kemungkinan berubah menjadi konflik terbuka ataupun terselubung dalam keadaan kronis. 6 Pada kenyataannya hukum tidak berada dalam ruang hampa, dalam arti konsepsi hukum yang dilihat dari aspek pembuatan dan bekerjanya hukum sering berada dalam situsasi conflct of interest karena bekerjanya dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Dengan kata lain hukum berada dalam suatu sistem sosial dan bukan variabel tersendiri, melainkan bekerjanya terpengaruhi pada landasan tertib sosial yang lebih luas. Dalam studi kritis terhadap perundang-undangan dan bekerjanya hukum dapat dikaji sejauhmana pembuatan perundang-undangan dan bekerjanya justru dapat menghalang-halangi tercapainya perdamaian. Pendekatan rechtsdogmatic yang berkutat pada rasionalitas empiris, keseragaman, dan memisahkan hukum dalam kajian moral sebagaimana karakter hukum modern, dirasa tidak mampu menjawab korelasi hukum dalam membangun perdamaian.. Tumbuhnya kecenderungan kekuatan kemasyarakatan yang dikendalikan oleh hegemoni kkeuasaan negara melalui hukum akan mengendalikan warna pluralitas kehidupan mastarakat menjadi warn a tafsir tunggal oleh penguasa melalui hukum. Hukum yang sebenarnya menjadi tumpuan masyarakat untuk menjadi pondasi perdamaian ternyata dalam realitasnya bisa menjadi pemicu dari retaknya perdamaian. Manakala hukum menjadi pemicu sektarianisme dan diskriminatif, maka hal ini tentu akan mengoyak perdamaian yang sebenarnya menjadi cita dasar hukum itu sendiri. Hukum teralienasi dengan kebutuhan hukum masyarakat untuk hidup berdamai dan berdampingan. Dikemukakan oleh Frans Magnis Suseno bahwa ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan agar hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat, sehingga mendukung perdamaian termasuk hakikat hukum itu sendiri. Hal ini akan muncul kembali dalam pertentangan antara teori Hukum Kodrat dan Positivisme Hukum. Namun ketegangan itu 6 Edwin M.Schur, Law and Society : A Sociological View, New York, Random House, 1968, p. 79-82. 8
tidak perlu menggagalkan cita-cita hukum. Hukum memang harus pasti., kepastian adalah dasar hukum, tanpa kepastian keadilan tidak dapat terlaksana. Tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada keluwesan. 7 9 Demikian pula, menurut Scholten, hukum adalah bagian dari kehidupan spiritual (rokhaniah, kejiwaan) manusia, individual dan dalam dalam kebersamaan. 8. Dalam kondisi masyarakat yang masih mengagungkan kekuasaan, maka bekerjanya aparat penegak hukum menjadi terpengaruh pada karakteristik ini. Pelaksanaan hukum dalam masyarakat misalnya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan politik kecil atau bahkan sama sekali tidak biasanya lebih aman dijalankannya daripada pelaksanaan yang ditujukan kepada orang-orang yang memilki kekuasaan politik besar, sebab dalam kondisi terakhir ini pelaksanaan itu akan berbalik menimbulkan tekanan kepada badan-badan pelaksana hukum itu sendiri. Oleh karena itu jelaslah bahwa paradigma positivistik yang dianut birokrasi penegak hukum, menyebabkan hukum hanya dijalankan secara kaku dan tertutup, tanpa melihat keberfungsiannya bagi masyarakat. Sebagaimana teori pada hukum otonom, 9 merupakan suatu tertib hukum yang mendukung model peraturan (model of rules). Fokus pada peraturan juga menyebabkan penegak hukum dalam menerapkan ukuran bagi akuntabilitas, membatasi campur tangan pihak luar dalam menjalankan fungsi pengawasan publik, seperti pembentukan peraturan perundang-undangan yang jauh dari keadilan substansial. Birokrasi penegak hukum memiliki sikap yang cenderung menutup diri terhadap masukan atau pengawasan publik dan membentengi diri atau birokrasi dengan jargon netralitas dan prosedural. Pada terminologi inilah dibituhkan 7 Frans Magnis Suseno, 1991, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hal. 83-84. Teori hukum kodrat menuntut hukum positif hanya diakui sah apabila sesuai dengan tuntutan dasar martabat manusia, dan tidak bertentangan dengan norma dasar moral terutama keadilan. Mengutip dari Radbruch nilai-nilai dasar dari hukum adalah keadilan, kegunaan, dan kepastian, dengan kesahan berlaku secara filsafati, sosiologis, dan yuridis. Dalam kehidupannya ketiga nilai dasar hukum tersebut, sering memunculkan ketegangan satu sama lain. Satjipto, 1996, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hal.19-20 8 Paul Scholten, 2005, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief Sidharta, Bandung: Alumni, hal. 18. 9 Philip Nonet, Philippe Selznick, 2003, Law and Society In Transition :Toward Responsive Law, terj. Hukum Responif : Pilihan Di Masa Transisi, Jakarta: Perkumpulan untuk Reformasi Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis HuMa, 2003, hal.44,61.
suatu hukum yang mengisyaratkan tuntutan akan adanya moralitas dan norma-norma etis, bukan norma persaingan kekuatan dimana kekuasaan memegang peranan dan menggilas yang lemah dan minoritas..hukum yang berbudaya hukum perdamaian. Hukum yang berparadigma perdamaian setidaknya akan memiliki karakter : 1. Dianutnya pandangan antroposentris tentang hukum. Pandangan ini merupakan suatu segi pandangan tentang hukum dan pemerintah dimana manusia-manusia secara konkret hidup di tengah-tengahnya, sebagai konsumen paling utama dari hukum. Cara konkret manusia diperlakukan akan menentukan nilai hukum. Hukum melindungi keselamatan fisik dan psikis dari manusia seutuhnya. Hukum menjamin nilai sosial, cita-cita, dan kebebasan yang membuat hidup sangat berarti bagi manusia seutuhnya. Dalam wacana postmodernism akan menampilkan bahwa hukum akan ditampilkan dalam kemasan yang penuh turbulensi. Pemenuhan nilai nilai sosial akan digugatkan pada hukum. Proyeksi critical legal studies menginginkan suatu hukum yang lebih humanis dan resposif. Tabir yang akan diungkap menuju pada suatu perubahan tafsir hukum yang lebih diarahkan pada emansipasi dalam hukum. 10 Dalam kajian hermeneutic menurut Gadamer 11, dapat digambarkan adanya suatu fondasi humanistic, dalam memberikan tafsiran optik ilmu hukum sebagai ilmu humaniora. Gadamer katakan bahwa Ilmu Hukum adalah sebuah eksemplar Hermeneutik in optima forma yang dipublikasikan pada aspek hukum kehidupan bermasyarakat. Dalam mengimplementasikan Ilmu Hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan. 2. Interpretasi hukum yang berkedamaian adalah Interpretasi dengan kepekaan mengenai paradigma humanisme selaras dengan Geisteswissenschaften, yang berarti merupakan cara 10 Bonaventura de Sausa Santos 1995, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in The Paradigmatic Transition, London ;Routledge, P.8-9 The collapse of emancipation into regulation. 11 Gadamer, dalam B.Arief Sidharta, 2008, Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008, hal. 122. 10
mengetahui dan cara mengada untuk bagaimana menjadi manusia (the man to be). Konsep kepekaan berarti mengandaikan adanya yang lain. Hukum menggali dan menginterpretasi makna hukum yang adil substansial untuk rakyat tersebut. Pertimbangan institusi hukum dalam memberikan keputusan-keputusannya tidak boleh dipandang dari sudut keuntungan apa yang diperoleh bagi institusi hukum tersebuti. Lembaga hukum lebih mementingkan wibawa dari birokrasi hukum itu sendiri, dibandingkan sikap keterbukaan dan dialog dengan masyarakat dalam menterjemahkan keadilan dalam pengambilan kebijakan. Pemaknaan hukum yang berparadigma perdamaian berarti juga wujud kejujuran sistem hukum yang juga mengakomodir hak-hak pencari keadilan, dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan substantif seiring dengan wajah pluralisme bangsa Indonesia yang menginginkan damai dan sejahtera.. Penutup Hukum pada hakekatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat.. Namun, peraturan dan prosedur rasional birokratis, sentralistis dalam ciri hukum modern yang tidak selaras dengan watak manusia, akan bisa mendehumanisasi manusia melalui justifikasi hukum, dan menjauh dari tujuan hukum yang berbasis perdamaian. Tujuan hukum untuk mewujudkan perdamaian dapat dirumuskan sebagai pengabdian untuk pengayoman manusia yang mengakomodasi suatu nilai-nilai humanis yang membuka ruang solidaritas akan kemajemukan dan mampu mentransformasi konflik menjadi transformasi untuk pencapaian perdamaian. DAFTAR PUSTAKA - Black, Donald, The Behavior of Law, Academic Press, London, 1976. - M.Schur, Edwin, Law and Society : A Sociological View, New York, Random House, 1968, - Magnis Suseno, Frans, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991. 11
- ----------------------, Kuasa dan Moral, Gramedia,Jakarta. - M.Friedman, Lawrence, The Legal System, A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975. - Nonet, Philippe dan Selznick, Philip, Law and Society In Transition, London : Harper and Row, 1978. ---------------------------------,, Law and Society In Transition :Toward Responsive Law, terj. Hukum Responif : Pilihan Di Masa Transisi, Jakarta: Perkumpulan untuk Reformasi Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis HuMa, 2003.. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996.. - Sampford, Charles, The Disorder of Law, A Critique of Legal Theory, Basil Blackwell Inc, New York, 1989. - Santos, Bonaventura de Sausa, Toward a New Common Sense: Law, Science and Politics in The Paradigmatic Transition, London : Routledge., 1995. - Scholten, Paul, Struktur Ilmu Hukum, terj. De Structuur Der Rechtswetenschap, alih bahasa B.Arief Sidharta, Bandung : Alumni, 2005. - Sidharta, B.Arief; Struktur Ilmu Hukum Indonesia, Refleksi Hukum, Jurnal Imu Hukum Fak.Hukum UKSW, edisi Oktober 2008. Tamanaha, Brian Z A General Jurisprudence of Law and Society,(London : Oxford University Press, 2006. -Unger, Roberto Mangabeira, Law and Modern Society, terj. Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Bandung : Nusa media, 2007. -Vago, Steven, Law and Society, fift.ed, Prentice Hall, New Jersey, 1997 12
13