BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia jagung merupakan komoditas penting kedua setelah padi dan termasuk komoditas strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia, mengingat komoditas ini mempunyai fungsi multiguna, baik untuk pangan maupun pakan. Di beberapa provinsi, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, jagung dikonsumsi sebagai suplemen untuk makanan pokok (Haryono, 2012). Dengan semakin berkembangnya produk jagung dan produk turunannya, permintaan akan jagung juga meningkat dari tahun ke tahun, dan mengakibatkan jagung menjadi sulit didapat dan mahal harganya, karena pengekspor jagung terbesar di dunia seperti Amerika Serikat telah mengurangi ekspornya akibat kebutuhan dalam negerinya semakin meningkat. Cina bahkan tidak saja mengurangi ekspornya, namun telah berubah menjadi importir netto. Dengan demikian kedepan, impor jagung akan semakin sulit disamping akan menguras devisa. Swasembada adalah pilihan mutlak. Sampai dengan tahun 2014 Indonesia masih mengimpor jagung sebanyak 3,2 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2014). Salah satu penyebab kekurangan pasokan jagung nasional Indonesia adalah karena rendahnya produktivitas. Bila mengacu pada data Badan Pusat Statistik (2015), maka produktivitas jagung Indonesia hanya 50,7% dari produktivitas jagung Amerika Serikat sebagai pemimpin produktivitas jagung dunia yang mencapai 9,76 ton per hektar. Lebih rendah lagi bila mengacu pada data USDA (2015), dimana produktivitas jagung Indonesia hanya 30,6% bila dibandingkan dengan produktivitas jagung Amerika Serikat. Dengan demikian produktivitas jagung Indonesia memang masih harus ditingkatkan. Peningkatan produktivitas suatu komoditas pertanian, termasuk jagung dapat dilakukan melalui dua metode, yaitu metode ekstensifikasi (perluasan lahan) dan intensifikasi (peningkatan produktivitas). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014), luas lahan kering di Indonesia adalah sekitar 55 juta hektar. Dari
luasan tersebut sekitar 23,3 juta hektar atau 42,33% merupakan lahan subur yang berpotensi untuk ekstensifikasi jagung, disamping sekitar 3,8 juta hektar atau 6,98% pada saat ini sudah ditanami jagung dengan produktivitas 4,96 ton per hektar. Namun demikian, hal ini sulit dilakukan, terbukti bahwa sejak tahun 2008, luas panen jagung terus menurun mulai 4,0 juta hektar menjadi 3,8 hektar pada tahun 2014 (Badan Pusat Statistik, 2015). Fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian Kasryno dkk. (2008), Djukri (2009), dan Surachman dkkl. (2009), yang menyatakan bahwa areal panen di sentra sentra produksi jagung sudah sulit ditingkatkan. Perkembangan produksi selama ini hanya disebabkan oleh pesatnya perkembangan adopsi teknologi maju, terutama benih jagung hibrida. Dengan demikian, fokus utama upaya peningkatan produksi jagung ke depan lebih dititikberatkan kepada peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Benih, bersama dengan sarana produksi pertanian yang lain (panca usaha tani) merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan usaha tani jagung, sehingga harus ditangani secara sungguh-sungguh. Dari sini diharapkan bahwa petani memiliki pilihan benih hibrida, tidak hanya benih bersari bebas (open pollinated variety/opv) baik varietas lokal maupun komposit berlabel. Lokasi penanaman jagung di Indonesia secara umum terbagi menjadi 2 (dua) wilayah, yaitu wilayah sentra produksi dan wilayah non-sentra produksi. Pada wilayah sentra produksi, tataniaga jagung sudah berjalan dengan baik dengan adanya 4 subsistem agribisnis. Sebaliknya, pada wilayah non-sentra produksi semua subsistem agribisnis tidak berjalan dengan semestinya. Hal ini mengakibatkan ketimpangan produktivitas (productivity gap) antara daerah sentra produksi dengan daerah non-sentra produksi jagung. Tingkat penggunaan benih jagung hibrida yang relatif rendah merupakan salah satu penyebab rendahnya produktivitas jagung di Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sarasutha (2002), Sagwansupyakor dkk. (2003), Suryana dkk. (2005), Ibeawuchi et al. (2008), Quy et al. (2010), CIMMYT (2011), Haryono (2012), International Grain Council (2014), MacRobert et al. (2014), yang menyatakan bahwa produktivitas jagung bersari bebas lokal masih sangat rendah. Secara umum produktivitas jagung bersari bebas lokal berada diantara 2
sampai 3 ton per hektar, jagung komposit berlabel dari Balai Penelitian Tanaman Serealia dapat menghasilkan 4-5 ton per hektar, sementara jagung hibrida mempunyai potensi produksi antara 8-13 ton per hektar. Sejak tahun 2005, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah berupaya untuk meningkatkan produksi jagung nasional. Suryana dkk. (2005) menjelaskan usaha pemerintah tersebut pada prinsipnya adalah mengintroduksi varietas hibrida dan komposit berlabel di daerah non-sentra produksi. Walaupun data bervariasi, namun secara nasional pangsa varietas hibrida adalah 7,5% pada tahun 1995, dan meningkat menjadi 24% pada tahun 1999 (Sarasutha, 2002). Pangsa ini meningkat menjadi 28% pada tahun 2002 (Suryana dkk., 2005). Kemudian Haryono (2012) menyatakan pangsa varietas hibrida adalah 55% pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 66% di tahun 2012. Data terbaru dari Kementerian Pertanian (2015) menyatakan bahwa proporsi jagung hibrida secara nasional tahun 2014 adalah 50%. Bagaimanapun juga seluruh peneliti sepakat bahwa proporsi atau pangsa varietas hibrida di Indonesia masih rendah dan sangat perlu untuk ditingkatkan. Peningkatan persentase jagung hibrida akan meningkatkan produktivitas jagung nasional. Tren korelasi positif antara penggunaan benih hibrida dengan peningkatan produktivitas jagung secara nasional sejak tahun 2008 hingga tahun 2014 disajikan dalam Tabel 1 (Kementerian Pertanian, 2015). Tabel 1. Korelasi pangsa hidrida dengan produktivitas jagung Parameter 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Pangsa Hibrida (%) 33,0 35,0 37,0 40,0 43,4 45,5 48,4 Produktivitas (ton/ha) 4,1 4,2 4,4 4,6 4,9 4,8 5,0 Rendahnya tingkat penggunaan benih jagung hibrida disebabkan harga benih jagung hibrida lebih mahal dibanding harga benih jagung komposit berlabel ataupun jagung lokal (Swastika dkk., 2004; Litbang Deptan, 2013 dan MacRobert, 2014). Padahal harga benih merupakan salah satu dasar para petani dalam membeli benih (Priana dkk., 2012). Hal ini juga menjadi penyebab utama penggunaan benih turunan oleh petani (Pakki dan Zubachtirodin, 2008). Mahalnya harga benih jagung hibrida ini disebabkan benih jagung hibrida yang ada di pasaran saat ini pada umumnya berjenis hibrida silang tunggal,
dimana biaya produksinya sangat mahal bila dibandingkan jenis hibrida silang tiga jalur atau silang ganda. Hallauer dan Carena (2009) menyatakan bahwa biaya produksi benih jagung hibrida silang tunggal mencapai 4-5 kali dari biaya produksi benih silang ganda. Potensi hasil yang tinggi, keseragaman dan kestabilan keragaan menyebabkan petani di daerah sentra produksi lebih memilih benih jagung hibrida jenis ini. Namun demikian petani daerah subsisten di negara berkembang lebih memilih harga yang lebih murah (Dowswell et al., 1996). Menurut Schnell (1975), benih silang ganda dapat diproduksi dengan biaya murah, namun keragaan benih jenis ini tidak berbeda jauh dengan jagung bersari bebas. Sebaliknya dengan biaya produksi relatif sama dengan benih silang ganda, namun jagung jenis silang tiga jalur memiliki keragaan yang lebih baik, sehingga benih silang tiga jalur merupakan pilihan terbaik sebagai pengganti benih jagung bersari bebas. Untuk itu, penelitian ini berupaya untuk menghasilkan kultivar jagung hibrida baru dengan dengan harga lebih murah dari kultivar jagung hibrida atau bersari bebas yang sudah eksis di pasaran namun memiliki daya hasil yang lebih tinggi. Namun demikian, potensi daya hasil yang tinggi seharusnya diikuti dengan ketahanan terhadap penyakit yang tinggi pula sehingga suatu genotipe berdaya hasil biji tinggi (Hallauer, 2008). Penyakit dapat menyerang akar, batang, daun atau bagian lain dari tanaman jagung (CIMMYT, 1999). Kementerian Pertanian (2008) mewajibkan uji ketahanan terhadap penyakit bulai (Peronosclerospora maydis), dan 1 opsional. Uji ketahanan penyakit yang bersifat opsional diantaranya adalah hawar daun (Exserohilum turcicum.). Pemimpin pangsa pasar benih jagung hibrida nasional pada saat ini adalah Varietas BISI 18, yang merupakan salah satu produk benih perusahaan multinasional. Beberapa keunggulan jagung hibrida Varietas BISI 18 adalah potensi hasil cukup tinggi yaitu mencapai 12 ton per hektar, sementara rerata hasil mencapai 9,1 ton per hektar. Sedangkan kelemahan dari jagung hibrida Varietas BISI 18 adalah benih berharga mahal (Rp 65.000,-/kg), peka terhadap cekaman penyakit bulai Peronosclerospora maydis dan hawar daun Exserohilum turcicum (Kementerian Pertanian, 2013).
Di antara beberapa varietas jagung bersari bebas komposit yang sejak dilepas hingga saat ini penyebarannya/ditanam cukup luas adalah Varietas Sukmaraga. Beberapa keunggulan dari jagung bersari bebas komposit Varietas Sukmaraga adalah benih berharga murah (Rp 25.000,-/kg), agak tahan terhadap penyakit bulai Peronosclerospora maydis, dan hawar daun Helminthosporium sp. Sedangkan kelemahan dari jagung Varietas Sukmaraga adalah potensi dan rerata hasil relatif rendah bila dibandingkan dengan jagung hibrida, masing-masing 8,5 ton per hektar dan 6,0 ton per hektar (Aqil dan Arvan, 2014). Varietas BISI 18 dan Sukmaraga sampai saat ini (2015) masih memimpin pangsa pasar di segmennya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa kedua varietas tersebut disukai petani, dan secara empiris menunjukkan bahwa kedua varietas ini mempunyai keunggulan komparatif bila dibandingkan dengan para kompetitornya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dalam penelitian ini kedua varietas tersebut dijadikan sebagai pembanding dalam perakitan dan uji kelayakan produksi calon-calon kultivar baru jagung hibrida. Silang diri berulang terhadap 23 (dua puluh tiga) populasi landrace yang dilakukan sejak tahun 1997 telah menghasilkan 23 (dua puluh tiga) galur murni harapan (prospective inbred lines). Kombinasi tahap ke-1 dari 23 galur murni ini telah menghasilkan 11 genotipe harapan (prospective genotypes) yang terdiri dari 6 genotipe silang tiga jalur dan 5 genotipe silang tunggal. Berdasarkan pengujian awal (preliminary trial) terhadap cekaman penyakit bulai P. maydis, yang dilakukan oleh Setyawan et al. (2016), 11 genotipe harapan tersebut mempunyai ketahanan yang lebih baik dibanding BISI 18 dan Sukmaraga. B. Masalah Penelitian 1. Produktivitas jagung di daerah sentra produksi dapat ditingkatkan bila diintroduksikan kultivar baru jagung hibrida dengan daya hasil lebih tinggi dibandingkan daya hasil jagung hibrida silang tunggal yang sudah eksis di pasar jagung nasional (BISI 18). 2. Produktivitas jagung di daerah nonsentra produksi dapat ditingkatkan bila diintroduksikan kultivar baru jagung hibrida dengan daya hasil lebih tinggi dibanding daya hasil jagung bersari bebas (open pollinated variety) yang sudah eksis di pasar jagung nasional (Sukmaraga).
3. Harga benih merupakan pertimbangan utama petani jagung di daerah nonsentra produksi, oleh karena itu harga jual benih yang akan diintroduksikan ke daerah non-sentra produksi tidak lebih tinggi dibanding dengan harga benih jagung bersari bebas (Sukmaraga). C. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan kultivar baru jagung hibrida dengan daya hasil biji lebih tinggi dibandingkan daya hasil jagung hibrida silang tunggal yang sudah eksis di pasar jagung nasional (BISI 18), dengan harga maksimum sama dengan BISI 18. 2. Mendapatkan kultivar baru jagung hibrida dengan daya hasil biji setara dibandingkan daya hasil jagung hibrida silang tunggal yang sudah eksis di pasar jagung nasional (BISI 18), dengan harga lebih rendah dibandingkan BISI 18. 3. Mendapatkan kultivar baru jagung hibrida dengan daya hasil biji lebih tinggi dibandingkan daya hasil jagung bersari bebas yang sudah eksis di pasar jagung nasional (Sukmaraga), dengan harga maksimum sama dengan Sukmaraga. D. Hipotesis H0 : Tidak ada kultivar baru jagung hibrida dengan daya hasil lebih tinggi dengan harga benih lebih rendah dibanding kultivar Sukmaraga atau kultivar baru jagung hibrida dengan daya hasil minimal setara dengan harga benih lebih rendah dibanding kultivar BISI 18. H1 : Setidaknya didapatkan 1 kultivar baru jagung hibrida dengan daya hasil lebih tinggi dengan harga benih lebih rendah dibanding kultivar Sukmaraga atau 1 kultivar baru jagung hibrida dengan daya hasil minimal setara dengan harga benih lebih rendah dibanding kultivar BISI 18. E. Manfaat Penelitian 1. Peningkatan produktivitas dan produksi jagung nasional. 2. Peningkatan dari teknologi komposit ke teknologi silang tiga jalur untuk daerah pengembangan atau daerah non sentra produksi jagung.