Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

HUTANG DEBITUR DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT, PERJANJIAN JAMINAN DAN HAK TANGGUNGAN. 1. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak

BAB II. A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan. 1. Pengertian Hak Tanggungan. Pengertian Hak Tanggungan secara yuridis yang diatur dalam ketentuan Pasal

BAB I PENDAHULUAN. begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik materiil maupun spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan terencana dan terarah yang mencakup aspek politis, ekonomi, demografi, psikologi, hukum, intelektual maupun teknologi.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

SKRIPSI Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Program Reguler Mandiri Universitas Andalas

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

3 Lihat UU No. 4 Tahun 1996 (UUHT) Pasal 20 ayat (1) 4 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 339

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGATURAN HUKUM HAK TANGGUNGAN. Tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. 16 Hak

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

Pengertian Perjanjian Kredit

PROBLEMATIKA PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN DENGAN OBJEK TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. E. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Sebagai warga negara Indonesia di dalam sebuah negara hukum,

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT, PERJANJIAN JAMINAN, HAK TANGGUNGAN DAN PERATURAN LELANG. 1. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN diberlakukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

Lex Crimen Vol. V/No. 7/Sep/2016

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. negara Indonesia yang menganut Negara welfare state yaitu negara yang

BAB I PENDAHULUAN. Seseorang yang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya

BAB III KEABSAHAN JAMINAN SERTIFIKAT TANAH DALAM PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM DI SLEMAN. A. Bentuk Jaminan Sertifikat Tanah Dalam Perjanjian Pinjam

BAB II. A. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah kuasa yang diberikan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

Lex Administratum, Vol. V/No. 9/Nov/2017. PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS PEMILIKAN RUMAH OLEH ORANG ASING DI INDONESIA 1 Oleh: Winerungan Julio 2

BAB I PENDAHULUAN. perumahan mengakibatkan persaingan, sehingga membangun rumah. memerlukan banyak dana. Padahal tidak semua orang mempunyai dana yang

SKRIPSI. Oleh : NURMAHARANI ULFA ARIEF NPM

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITUR PENERIMA JAMINAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH. Oleh Rizki Kurniawan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Penerapan asas..., Sapartin Wahyu Jayanti, FH UI, 2010.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Kekuatan Eksekutorial Hak Tanggungan dalam lelang

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian untuk mewujudkan perekonomian nasional dan

Lex Crimen Vol. VI/No. 10/Des/201. HAK-HAK KEBENDAAN YANG BERSIFAT JAMINAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA 1 Oleh: Andhika Mopeng 2

S I L A B I A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM JAMINAN STATUS MATA KULIAH : WAJIB KONSENTRASI KODE MATA KULIAH : HKT4017 PRASYARAT :

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah. Indonesia adalah negara hukum, artinya segala aspek kehidupan baik berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. ini jasa perbankan melalui kredit sangat membantu. jarang mengandung risiko yang sangat tinggi, karena itu bank dalam memberikannya

PERAN NOTARIS DAN PPAT DALAM PELAKSANAAN PERALIHAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN DARI KREDITUR LAMAA KEPADA KREDITUR BARU PADA PERBANKAN KOTA PADANG

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. hidup untuk masyarakat dan dirinya dalam menampakkan jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT DI KOTA LHOKSEUMAWE

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai orang perseorangan dan badan hukum 3, dibutuhkan penyediaan dana yang. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional

TANGGUNG GUGAT DEBITOR TERHADAP HILANGNYA HAK ATAS TANAH DALAM OBYEK JAMINAN HAK TANGGGUNGAN. Fani Martiawan Kumara Putra

BAB II MAKNA PEMILIK BANGUNAN SEBAGAI PEMBERI HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN PASAL 4 AYAT (5) UNDANG- UNDANG HAK TANGGUNGAN

DAFTAR PUSTAKA. Fuady, Munir, 2003, Perseroan Terbatas: Paradigma Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung.

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

BAB I. Pendahuluan. dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. pembangunan di bidang ekonomi. Berbagai usaha dilakukan dalam kegiatan

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perjanjian accsoir yang ada dalam suatu perjanjian kredit.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu alat bukti, maka tulisan tersebut dinamakan akta (acte) 1.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. kepemilikan hak atas tanah oleh individu atau perorangan. Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB I PENDAHULUAN. berbuat semaksimal mungkin dan mengerahkan semua kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. kemakmuran, dan kehidupan. bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

BAB II UPAYA HUKUM KREDITOR ATAS KELALAIAN MEMPERPANJANG HAK ATAS TANAH YANG DIAGUNKAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB I PENDAHULUAN. yang diintrodusir oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang. Perdata. Dalam Pasal 51 UUPA ditentukan bahwa Hak Tanggungan dapat

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

FUNGSI SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN DITINJAU DARI KETENTUAN PASAL 15 UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996

Transkripsi:

KAJIAN YURIDIS ASAS PEMISAHAN HORISONTAL DALAM HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH 1 Oleh: Gabriella Yulistina Aguw 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana berlakunya asas pemisahan horisontal hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah dan bagaimana pemberian hak tanggungan atas tanah sebagai pembebanan lembaga jaminan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Hak tanggungan dalam lembaga jaminan menurut UUPA adalah tanah atau hak-hak atas tanah yang memenuhi syarat-syarat tertentu dalam arti tidak semua tanah atau hak-hak atas tanah dapat dijadikan obyek hak tanggungan. Subyek hukum hak atas tanah yang merupakan obyek dari hak tanggungan adalah hak milik atas tanah, hak guna usaha atas tanah dan hak guna bangunan atas tanah. Adapun hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah berkaitan dengan asas pemisahan horisontal sesuai dengan UUPA, yang mengacu pada asas melekat vertikal dan asas pemisahan, asas vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan benda di atasnya sebagai satu kesatuan, dan asas pemisahan. Horisontal yaitu justru memisahkan tanah dari kebendaan di atasnya, ini yang dianut oleh UUPA. 2. Pemberian hak tanggungan diawali dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang tak terpisahkan dari perjanjian pokok yang menimbulkan hubungan hukum ini dapat dituangkan dalam akte otentik atau akte di bawah tangan, ini sifatnya wajib untuk sahnya akte pemberian hak tanggungan. Pada asas pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri kecuali ada sebab, maka dapat menggunakan surat kuasa khusus untuk mewakili kepentingannya menghadapi di PPAT. Surat kuasa untuk pembebanan hak tanggungan wajib dituangkan dalam akte otentik dari PPAT yang dibuat atau dilakukan oleh pemberi hak tanggungan, surat kuasa ini 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Diva A.E. Rombot, SH, MH; Deine Ringkuangan, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 14071101510 terpisah dan sebagai surat kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik/dibatalkan. Kata kunci: Kajian yuridis, asas pemisahan horizontal, hak tanggungan, tanah. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, undang-undang, yang mengatur mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960, diberi judul dengan: Undang- Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. 3 Ketentuan dalam Pasal 30 Undang-Undang Hak Tanggungan menegaskan sebutan resmi dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, disebut dengan nama Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tersebut, jelaslah bahwa Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah Hak Tanggungan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dapat beserta benda-benda lainnya yang berkaitan atau merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. Hal ini, tidak berarti kita akan meninggalkan asas pemisahan horizontal atas tanah yang dianut oleh hukum pertanahan nasional yang bersendi hukum adat dengan menggantinya dengan asas perlekatan atas tanah yang dianut oleh KUH Perdata. UUHT tetap menganut asas pemisahan horizontal, yang dalam penerapannya sebagaimana dikatakan dalam Penjelasan Umumnya UUHT, bahwa selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan Hak Tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah, Namun kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya, yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Sebagaimana diketahui Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya 3 Pasal 57 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 96

dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut, Hukum Tanah Nasional menggunakan juga asas pemisahan horizontal. Dalam rangka asas pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas, tidak dengan sendirinya meliputi bendabenda tersebut. Namun, demikian, penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa pembebanan Hak Tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula meliputi bendabenda sebagaimana dimaksud di atas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam praktik, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaannya dijadikan jaminan, tegas dinyatakan oleh pihakpihak dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Bangunan, tanaman, dan hasil karya yang ikut akan jaminan itu tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki pihak lain. Sedangkan bangunan yang menggunakan, ruang bawah tanah, yang secara fisik tidak ada hubungan bangunan yang ada di atas permukaan bumi di atasnya, termasuk dalam pengaturan ketentuan mengenai Hak Tanggungan menurut undangundang ini. Oleh sebab itu, undang-undang diberi judul Undang-Undang tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, dan dapat disebut Undang-Undang Hak Tanggungan. Dari apa yang penulis uraikan, maka karya tulis ini akan dikaji lebih mendalam dalam bentuk skripsi dengan judul Kajian Yuridis Asas Pemisahan Horisontal Dalam Hak Tanggungan Atas Tanah. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana berlakunya asas pemisahan horisontal hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah? 2. Bagaimana pemberian hak tanggungan atas tanah sebagai pembebanan lembaga jaminan? C. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini yakni pendekatan penelitian yuridis normatif (norma hukum) yang bersifat kualitatif. Penulisan kualitatif adalah penelitian yang berpacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan norma hukum yang berlaku pada masyarakat (adat istiadat). Adapun bersifat kualitatif adalah: cara menganalisis yang dilakukan secara mendalam dan menyeluruh dari berbagai sudut pandang. 4 PEMBAHASAN A. Berlakunya Asas Pemisahan Horisontal Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT menyatakan: Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. 5 Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT di atas, dapat diketahui siapa yang menjadi pemberi Hak Tanggungan dan mengenai persyaratannya sebagai pemberi Hak Tanggungan. Sebagai pemberi Hak Tanggungan tersebut, bisa orang perseorangan atau badan hukum dan pemberinya pun tidak harus debitur sendiri, bisa saja orang lain atau bersama-sama dengan debitur, di mana bersedia menjamin pelunasan utang debitur. Penyebutan orang perseorangan atau badan hukum berlebihan, karena dalam pemberian Hak Tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya itu tanah dan menurut Undang- Undang Pokok Agraria, yang bisa mempunyai hak atas tanah, baik orang perseorangan maupun badan hukum. Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah tentu pemberi Hak Tanggungan sebagai pemilik hak atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, 4 Abdullah Sulaiman, Metode Penulisan Ilmu Hukum, YPPSDM, Jakarta, 2012, hlm. 25. 5 Pasal 8 ayat (1) UUHT 97

seperti ditentukan sendiri-sendiri dalam undang-undang. 6 Pada prinsip setiap orang perseorangan maupun badan hukum dapat menjadi pemberi Hak Tanggungan, sepanjang mereka mempunyai kewenangan hukum untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanah yang akan dijadikan sebagai jaminan bagi pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan sebagaimana dipersyaratkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) UUHT dan demikian dinyatakan antara lain dalam Angka 7 Penjelasan Umum atas UUHT: Pada saat pembuatan SKMHT dan Akta Pemberian Hak Tanggungan, harus sudah ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang bersangkutan, bahwa pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang dibebankan, walaupun kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberian Hak Tanggungan didaftar. 7 Pemberi Hak Tanggungan haruslah mereka yang mempunyai kewenangan dalam melakukan perbuatan hukum atau tindakan hukum terhadap hak atas tanah yang akan dibebani dengan Hak Tanggungan. Sebab mereka inilah yang mempunyai kewenangan melakukan tindakan kepemilikan atas persil yang bersangkutan, termasuk kewenangannya untuk membebankan persilnya tersebut sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Jadi, persyaratan pemberi Hak Tanggungan, j mereka yang cakap dalam bertindak, mereka juga yang mempunyai kewenangan hukum, artinya tidak setiap orang yang dinyatakan cakap bertindak secara hukum dapat menjadi pemberi Hak Tanggungan, tetapi dipersyaratkan pula harus orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan hukum untuk melakukan tindakan kepemilikan atas persil yang menjadi objek Hak Tanggungan. Disyaratkannya kewenangan tindakan pemilikan itu baru ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan, maka tidak tertutup kemungkinan, bahwa orang menjanjikan Hak Tanggungan pada saat benda yang akan 6 J. Satrio, Op Cit, hlm. 287. 7 Pasal 8 ayat (1) UUHT dan Angka 7 Penjelasan Umum UUHT. dijaminkan belum menjadi miliknya, asal nanti pada saat pendaftaran Hak Tanggungan, benda jaminan telah menjadi milik pemberi Hak Tanggungan. Ini merupakan upaya pembuat undang-undang untuk menampung kebutuhan praktik, di mana orang bisa menjaminkan persil, yang masih akan dibeli dengan uang kredit dari kreditor. 8 Bukti adanya kewenangan pemberi Hak Tanggungan melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan dapat dilihat pada alat-alat bukti seperti disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan, yaitu: 1. berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang sudah terdaftar atas nama pemberi Hak Tanggungan: sertifikat asli hak atas tanah atau hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang menjadi objek Hak Tanggungan; 2. berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang sudah terdaftar tetapi belum atas nama pemberi Hak Tanggungan, yang diperoleh pemberi Hak Tanggungan karena peralihan hak melalui perwarisan atau pemindahan hak: sertifikat asli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi objek Hak Tanggungan dan disertai dokumendokumen asli yang membuktikan terjadinya peristiwa/ perbuatan hukum yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun kepada pemberi Hak Tanggungan; B. Pemberian Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai Pembebanan Lembaga Jaminan Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu tahap pemberian Hak Tanggungan, yang dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan kedua, tahap pendaftaran Hak Tanggungan, yang dilakukan di Kantor Pertanahan. Tahap pemberian Hak Tanggungan diawali atau didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Janji untuk memberikan Hak Tanggungan tersebut 8 J. Satrio, Op Cit, hlm. 287. 98

dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UU yang menyatakan: Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. 9 Dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tersebut dapat diketahui bahwa pemberian Hak Tanggungan harus diperjanjikan terlebih dahulu dan janji itu dipersyaratkan harus dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisah dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Ini berarti setiap janji untuk memberikan Hak Tanggungan terlebih dahulu dituangkan dalam perjanjian utang piutangnya. Dengan kata lain sebelum Akta Pemberian Hak Tanggungan dibuat, dalam perjanjian utang piutang untuk dicantumkan janji pemberian Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berhubung sifat Hak Tanggungan sebagai perjanjian accessoir. Menurut Penjelasan atas Pasal 10 ayat (1) UUHT, pemberian Hak Tanggungan tersebut karenanya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dijamin pelunasannya. 10 Di dalam praktik perbankan, tidak selamanya di dalam perjanjian kredit telah dicantumkan janji-janji yang menyatakan, bahwa untuk menjamin pelunasan kredit yang diberikan oleh bank itu, akan diberikan hak jaminan tertentu. Sering terjadi bahwa hak jaminan itu baru diminta kemudian oleh bank, karena objek hak jaminannya baru kemudian dipunyai oleh debitur atau kemudian dapat diberikan oleh debitur kepada bank. 11 Selama ini pada masa lembaga hipotek masih berlaku sebagai lembaga jaminan hak 9 Pasal 10 ayat (1) UUHT. 10 Pasal 10 ayat (1) UUHT 11 Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hlm. 50-51. atas tanah orang bisa saja dan memang sudah biasa untuk menjanjikan jaminan hipotek, dengan menuangkan janji seperti dalam suatu tersendiri, yaitu akta kuasa untuk memasang hipotek (SKMH). Dalam SKMH seringkali kita melihat ada dicantumkannya klausul yang mengatakan, bahwa para pihak atau pemberi kuasa sepakat, untuk menganggap SKMH tersebut sebagai bagian dari dan karenanya tidak terpisahkan dari perjanjian pokoknya, untuk mana diberikan kuasa untuk memasang hipotek, tetapi bagaimanapun aktanya tetap merupakan akta yang terpisah. 12 Dari kata-kata di dalam dan merupakan bagian dari perjanjian pokoknya sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT, dapat diketahui tidak dimungkinkan pemberian Hak Tanggungan dilakukan dalam suatu akta yang terpisah, bahkan sekalipun menggunakan surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT). Jadi janji pemberian Hak Tanggungan tersebut, sebelumnya harus dituangkan terlebih dahulu dalam perjanjian utang piutang. Dengan kata lain pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan harus didasarkan kepada perjanjian utang piutang yang sebelumnya menjanjikan akan dilakukan pemberian Hak Tanggungan. Apabila kreditor lalai untuk memperjanjikan jaminan Hak Tanggungan dalam perjanjian utang piutangnya, maka di kemudian hari ia tidak wenang untuk menuntut pemberian jaminan khusus Hak Tanggungan tersebut. Sedangkan pemberian Hak Tanggungan secara sukarela oleh debitur atau pihak ketiga selalu diperkenankan. 13 Ditentukan dalam Penjelasan atas Pasal 10 ayat (1) UUHT: perjanjian yang menimbulkan hubungan utang piutang ini dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta autentik, bergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Ini berarti, bahwa hubungan hukum utang piutang tersebut harus dibuat secara tertulis, tidak harus dengan akta autentik atau akta notarial, bisa saja dibuat secara di bawah tangan, yaitu dengan akta di bawah tangan asalkan hal itu dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjiannya, sepanjang materi 12 J. Satrio, Op Cit, hlm. 271. 13 Ibid, hlm. 272. 99

perjanjiannya tidak diharuskan dituangkan dengan akta autentik, maka materi perjanjian yang menimbulkan hubungan utang piutang tersebut dapat dituangkan atau dibuat dengan akta di bawah tangan. Di dalam Praktik perbankan, tidak ada ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan perjanjian kredit dibuat dengan akta autentik. Perjanjian kredit dapat dibuat baik dengan akta di bawah tangan maupun akta autentik (akta notaris). Praktik yang berlaku untuk kredit-kredit yang berjumlah besar biasanya perjanjian kreditnya dibuat dengan akta notaris. Adapun untuk kredit-kredit yang berjumlah kecil, cukup dibuat dengan akta di bawah tangan. 14 Perjanjian utang piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut, tidak harus hanya perjanjian utang piutang yang dibuat di Indonesia, melainkan termasuk pula perjanjian utang piutang yang dibuat di luar negeri dapat dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan, di mana benda yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut berada di Indonesia. Ditentukan dalam Penjelasan atas Pasal 10 ayat (1) UUHT: dalam hal hubungan utang piutang itu timbul dari perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit, perjanjian tersebut dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri dan pihak-pihak yang bersangkutan dapat orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia. 15 Penjelasan atas Pasal 10 ayat (1) UUHT di atas, orang atau badan hukum asing yang berkedudukan di luar negeri dapat memberikan kredit kepada orang atau badan hukum Indonesia yang dibebankan dengan Hak Tanggungan. Dengan kata lain, perjanjian utang piutang, perjanjian kredit, atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang yang dibebankan kepada Hak Tanggungan, dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri dan pihak pemberi kredit bisa orang atau badan hukum asing. Bila orang atau badan hukum asing yang bertindak sebagai pemberi kredit, maka dipersyaratkan kredit itu harus dipergunakan untuk kepentingan 14 Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hlm. 129. 15 Pasal 10 ayat (1) UUHT. pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia. 16 Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT tidak begitu jelas, tetapi dalam Penjelasannya dinyatakan bahwa perjanjian utang piutang itu juga dapat dibuat di luar negeri dan bisa diikat dengan Hak Tanggungan berdasarkan perjanjian utang piutang luar negeri tersebut, bila saja uang yang dipinjam itu untuk pembangunan di dalam wilayah Republik Indonesia. Dalam kenyataannya tidak begitu mudah untuk menentukan apakah uang yang dipinjam itu der pembangunan di dalam Republik Indonesia. Karena mungkin pula uang itu digunakan untuk tujuan lain, untuk perdagangan dan tidak untuk investasi dalam pembangunan yang nyata. Kurang jelasnya dapat dilihat dari hubungan yang dinyatakan dalam memori penjelasan Pasal 10 ayat (1) dengan apa yang dapat dibaca dengan teks dari Pasal 10 UUHT yang bersangkutan. 17 Dengan ketentuan dan persyaratan kredit yang diberikan harus dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia, maka tertutup kemungkinan pemberian kredit oleh bank asing yang berkedudukan di luar negeri kepada perusahaan-perusahaan Indonesia yang berkedudukan di Indonesia untuk membiayai proyek-proyek investasi dan pembangunan yang berada di luar negeri dengan dibebani Hak Tanggungan yang objeknya berada dalam wilayah negara Republik Indonesia. Apabila UUHT diterapkan dengan sikap seperti itu, UUHT akan menghambat ekspansi perusahaan-perusahaan Indonesia untuk melakukan penanaman modal di luar negeri. Hal ini mengurangi daya saing perusahaanperusahaan Indonesia di pasar global. 18 Berbeda dengan ketentuan hipotek, KUH Perdata melarang pembebanan hipotek berdasarkan perjanjian utang piutang yang dibuat di luar negeri. Ditentukan dalam Pasal 1173 KUH Perdata, bahwa tidak boleh berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat di luar negeri dilakukan pembukuan hipotek atas benda-benda yang terletak di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali apabila telah 16 Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hlm. 130-131. 17 Sudargo Gautama, Komentar atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 71. 18 Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hlm. 132. 100

ditentukan sebaliknya dalam suatu traktat atau perjanjian internasional lainnya. Di bawah KUH Perdata jelas, bahwa tertutup kemungkinan pembebanan hipotek dengan benda yang berada di dalam wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan perjanjian utang piutang yang dibuat di luar negeri. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan perjanjian tertulis, yang dituangkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). APHT ini merupakan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT menyatakan: Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 19 Dari ketentuan dalam Pasal 10 ayat (2) dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT, jelas setelah bahwa pemberian Hak Tanggungan tersebut harus dilakukan atau diberikan dengan dituangkan dalam suatu akta tertentu yang dibuat oleh PPAT, yaitu Akta Pemberian Hak Tanggungan, sehingga pemberian Hak Tanggungan harus dilakukan secara atau dengan perjanjian tertulis. Jelaslah bahwa setiap perbuatan hukum yang bertujuan untuk pemindahan atau peralihan hak atas tanah, pemberian sesuatu hak baru atas penggadaian tanah, dan pembebanan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dilakukan atau dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di hadapan PPAT yang berwenang untuk itu. Jadi, PPAT merupakan pejabat berwenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Semua perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak atas dimaksud hendaknya diberikan arti yang lebih sempit. Artinya bukan perjanjian yang bermaksud mengalihkan hak atas tanah yang harus dituangkan dalam akta PPAT, tetapi hanya perjanjian yang (benar- benar) mengalihkan hak atas tanahlah yang harus dituangkan dalam akta PPAT. 20 Ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 dan Angka 7 Penjelasan Umum atas UUHT, bahwa akta pembebanan atau pemberian Hak Tanggungan tersebut merupakan akta autentik. Dengan kata lain APHT yang dibuat oleh PPAT, termasuk akta autentik, karena PPAT diberikan kedudukan atau berkedudukan sebagai seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta-aktanya pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, yang susunan dan bentuk aktanya ditetapkan oleh pihak Badan Pertanahan Nasional, sehingga akta-akta yang dibuat oleh PPAT tersebut merupakan akta autentik. Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi objek Hak Tanggungan haruslah hak atas tanah (tanah) menurut Undang-Undang Pokok Agraria yang (sudah) terdaftar dan sifatnya dapat dipindahtangankan. Namun persyaratan tersebut dapat dikecualikan, di mana hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama dan belum didaftar dimungkinkan dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) UUHT, dimungkinkan pemberian Hak Tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, tetapi belum selesai didaftarkan. Jadi, tanahtanah hak adat yang sudah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria, sementara proses administrasinya belum selesai dilaksanakan, dapat dimungkinkan dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. 21 Ditentukan di dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 sebagai berikut: Mengenai tanah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha, yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan I Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, pembebanan hypotheek dan credietverband itu dapat dilakukan bersama dengan permintaan untuk membukukan 19 Pasal 10 ayat (1) UUHT 20 J. Satrio, Op Cit, hlm. 173. 21 Pasal 10 ayat (3) UUHT 101

tanahnya menurut Pasal 18 Peraturan Pemerintah tersebut. 22 Dari ketentuan dalam dan Penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) UUHT diketahui, bahwa pemberian Hak Tanggungan terhadap tanahtanah hak atas adat yang berasal dari konversi yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan dapat dilakukan asalkan hal itu dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan. 23 Ini berarti pemberian Hak Tanggungan dan pembuatan APHT-nya dapat dilakukan dalam keadaan tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan belum bersertifikat. Permohonan pendaftaran atas tanah tersebut diajukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan demikian pembuatan APHT tidak perlu menunggu sampai hak atas tanah yang dijadikan jaminan bersertifikat atas nama pemberi Hak Tanggungan. 24 Penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) UUHT dinyatakan antara lain, bahwa kemungkinan untuk pemberian Hak Tanggungan pada hak atas tanah milik adat dimaksudkan untuk: a. memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit, karena tanah dengan hak milik pada waktu ini masih banyak; b. mendorong pesertifikatan hak atas tanah pada umumnya, mengingat yang belum bersertifikat pada waktu ini masih banyak. 25 Kemungkinan tanah hak adat dijadikan sebagai agunan tersebut banyak reaksi, karena girik, petuk dan lain-lain itu bukanlah merupakan tanda bukti hak kepemilikan atas tanah sebagaimana halnya sertifikat, tetapi sekadar merupakan tanda bukti pembayaran pajak atas tanah yang harus dibayar oleh mereka yang menggunakan tanah itu. Memang sering bahwa orang yang namanya tercantum pada girik, petuk dan lain-lain yang sejenis juga menjadi pemilik dari tanah itu di samping 22 Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961. 23 Penjelasan Pasal 10 ayat (3) UUHT 24 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm. 397-398 25 Pasal 10 ayat (3) UUHT sebagai wajib pajak atas penggunaan tanah itu. 26 Dengan berlakunya UUHT, maka kemungkinan untuk menjadikan tanah-tanah hak adat sebagai agunan hanya tinggal sejarah hukum saja, hal ini menurut Penjelasannya dikarenakan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (3); UUHT tersebut, menunjukkan bagaimana caranya untuk meningkatkan pemberian agunan tersebut menjadi Hak Tanggungan. Untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik itu mengenai subjek, objek maupun utang yang dijamin, maka menurut ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT, di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) wajib dicantumkan hal-hal di bawah ini: 1. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; 2. domisili pihak-pihak pemegang dan pemberi Hak Tanggungan; 3. penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin, yang meliputi juga nama dan identitas debitur yang bersangkutan; 4. nilai tanggungan; 5. uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. Penjelasan atas Pasal 11 ayat (1) UUHT menegaskan, bahwa ketentuan mengenai isi Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut, sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Jika tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang sifatnya wajib dalam APHT, mengakibatkan APHT-nya batal demi hukum. Konsekuensi hukum bagi tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebutkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT tersebut, seyogianya dicantumkan sebagai salah satu ayat atau pasal dalam Batang Tubuh UUHT dan tidak sekadar dikemukakan dalam Penjelasannya. 27 Bahwa nama dan identitas para pihak dalam perjanjian pemberian Hak Tanggungan harus disebutkan suatu syarat yang logis. Tanpa identitas yang jelas, PPAT tidak tahu siapa yang menghadap kepadanya, dan karenanya tidak tahu siapa yang menandatangani aktanya, 26 Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hlm. 144. 27 Ibid, hlm. 144. 102

apakah penghadap cakap bertindak, apakah ia mempunyai kewenangan bertindak terhadap persil jaminan dan sebagainya. Hal itu berkaitan dengan masalah kepastian hukum dan asas spesialitas daripada Hak Tanggungan. 28 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Hak tanggungan dalam lembaga jaminan menurut UUPA adalah tanah atau hakhak atas tanah yang memenuhi syaratsyarat tertentu dalam arti tidak semua tanah atau hak-hak atas tanah dapat dijadikan obyek hak tanggungan. Subyek hukum hak atas tanah yang merupakan obyek dari hak tanggungan adalah hak milik atas tanah, hak guna usaha atas tanah dan hak guna bangunan atas tanah. Adapun hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah berkaitan dengan asas pemisahan horisontal sesuai dengan UUPA, yang mengacu pada asas melekat vertikal dan asas pemisahan, asas vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan benda di atasnya sebagai satu kesatuan, dan asas pemisahan. Horisontal yaitu justru memisahkan tanah dari kebendaan di atasnya, ini yang dianut oleh UUPA. 2. Pemberian hak tanggungan diawali dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang tak terpisahkan dari perjanjian pokok yang menimbulkan hubungan hukum ini dapat dituangkan dalam akte otentik atau akte di bawah tangan, ini sifatnya wajib untuk sahnya akte pemberian hak tanggungan. Pada asas pembebanan hak tanggungan wajib dilakukan sendiri kecuali ada sebab, maka dapat menggunakan surat kuasa khusus untuk mewakili kepentingannya menghadapi di PPAT. Surat kuasa untuk pembebanan hak tanggungan wajib dituangkan dalam akte otentik dari PPAT yang dibuat atau dilakukan oleh pemberi hak tanggungan, surat kuasa ini terpisah dan sebagai surat kuasa mutlak yang tidak dapat ditarik/dibatalkan. B. Saran 1. Sangat diharapkan kepada semua pihak untuk mentaati semua apa yang telah diperjanjikan dalam perjanjian/berkontrak, dengan harapan tidak kepada menimbulkan suatu kerugian sebagaimana yang diharapkan bersama. Seandainya terjadi hal-hal yang tidak dapat dihindarkan, maka selesaikanlah dengan jalan musyawarah dan saling percaya, demi kepentingan bersama. 2. Sangat diharapkan kepada semua pihak dalam membuat/menyusun perjanjian/berkontrak hendaknya melibatkan tenaga ahli hukum yang lebih mengetahui cara menyusun/meletakkan pasal/klausul dalam perjanjian dan diperlukan pengawasan dalam pelaksanaan kontrak yang tercantum dalam hak tanggungan sebagai jaminan. DAFTAR PUSTAKA Badrulzaman Marim Darus, Serial Hukum Perdata Buku II Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung, 2004. Fuady Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Jakarta. Gautama Sudargo, Komentar atas Undang- Undang Hak Tanggungan Baru, Citra Aditya Bakti, Bandung., Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, 1986. Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2002. Hasan Djuhaendah, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan. Artikel dalam Jurnal Hukum Bisnis, Vol. II YPBH, Jakarta, 2000. Muljadi Kartini, Seri Hukum Harta Kekayaan Kebendaan pada Umumnya, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Perangin-angin Effendy, Praktik Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali, Jakarta, 2000. Salim, HS., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. Satrio J., Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika Jakarta, 2002. 28 J. Satrio, Op Cit, hlm. 289. 103

, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Sjahdeini Sutan Remy, Hak Tanggungan dan Asas-asas Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, 2009. Soepraptomo Heru, Hak Tanggungan Sebagai Pengaman Kredit Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Subekti R., Sistem Hukum Jaminan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1981. Sulaiman Abdullah, Metode Penulisan Ilmu Hukum, YPPSDM, Jakarta, 2012. Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, 1993. Untung Budi, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi, Yogyakarta, 2000. Usman Rachmadi, Pasal-pasal tentang Hak Tanggungan Atas Tanah, Djambatan, Jakarta, 1999. Wiyono Eko Hadi, Kamus Besar Indonesia Lengkap, Palanta, Jakarta, 2007. Zaini Bay Achmad, Aspek Hukum dalam UUHT, Media Notariat, Ikatan Notariat Indonesia, Jakarta, 2003. Tjing Leng Teng, Pemisahan Secara Horisontal Dalam Hukum Tanah Indonesia, BPHN, Jakarta, 1978. Sumber-sumber lain: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 104