BAB III TEORI SOSIAL CLIFFORD GEERTZ DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA 3.1 Teori Sosial Clifford Geertz Geertz adalah seorang Guru Besar di Universitas Chicago Amerika Serikat, ia melakukan penelitian pada bulan Mei 1953 sampai bulan September 1954 di Mojokuto Jawa Timur. Hasil penelitiaan Geertz ini diajukan kepada Departemen Hubungan Sosial di Harvard University dalam rangka memperoleh gelar Doktor Ilmu Sosial. Hasil Disertasi Geertz yang kemudian dibukukan dengan Judul Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa memberikan gambaran yang mendalam terhadap karakteristik masyarakat pada masa lampau. Masyarakat Jawa di Mojokuto Jawa Timur dipandang oleh Geertz sebagai suatu sistem sosial, dengan kebudayaan Jawanya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, terdiri dari tiga sub-kebudayaan Jawa yang masing masing merupakan struktur struktur sosial yang berlainan. Struktur sosial yang dimaksud adalah Kaum Abangan, Santri dan Priyayi. Tiga varian tersebut masing masing memiliki karakteristik tersendiri, Varian Abangan merupakan masyarakat yang cenderung diartikan sebagai kelompok tidak memiliki ketaatan terhadap syariat agama islam, varian ini diidentikkan sebagai kaum kecil (wong cilik) yang orientasi hidupnya hanya bersifat keduniawian, biasanya bekerja sebagai petani ataupun buruh didesa desa, pada saat pemilihan umum varian ini memiliki kecenderungan (preferensi) pilihan politiknya pada Partai Nasionalis, khususnya Partai Nasionalis Indonesia (PNI), namun sekarang kultur dan ideologi PNI berpindah (transformasi) pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Berpindahnya kultur dan ideologi PNI ke PDIP dinilai sangat wajar, hal ini dikarenakan faktor sejarah (history) bahwa PNI adalah Partai yang didirikan Ir. Soekarno Presiden pertama Republik Indonesia, setelah wafatnya Soekarno, PNI mengalami kemuduran drastis 29
dipentas politik nusantara, pada akhirnya nakhoda kepartaian sebagai trah Presiden Soekarno diambilalih oleh putrinya Megawati Sokernoputri dengan mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam rangka melanjutkan dan menghidupkan ideologi dan cita cita Soekarno. Varian kedua adalah Santri, kelompok ini menekankan pada aspek aspek islam demi menegakkan dan menjunjung tinggi syariat agama, kelompok ini diidentikkan sebagai saudagar atau pedagang dipasar pasar, pada saat Pemilihan Umum Kelompok Santri biasanya memiliki kecenderungan untuk memilih Partai Islam sebagai sebagai sarana menyalurkan aspirasi politik mereka, Partai Masyumi dan NU menjadi pilihan ideal bagi varian ini. Namun, dinamika politik di Indonesia memaksa Partai Masyumi dan NU membubarkan diri atau lebih tepatnya dibubarkan oleh Pemerintah yang sedang berkuasa saat itu demi menjaga dan mempertahankan kekuasaan (status quo). Berkat kader kadernya yang militan, kini ideologi Partai Islam tersebut ada pada PPP, kemudian muncul dan berkembang pula PKB serta PAN. Varian terakhir adalah Priyayi, kelompok ini merupakan kelompok elit ditengah tengah masyarakat Mojokuto saat itu, Priyayi merupakan kaum birokrat teknokrat yang bekerja dikantor kantor ataupun instansi pemerintahan, didalam Pemilihan Umum Varian Priyayi biasanya menjatuhkan pilihan politik pada Partai Golongan Karya (Golkar). 3.2 Partai Politik Di Indonesia Dari Masa Ke Masa Berkembangnya sistim Demokrasi di Indonesia menjadikan sebuah keniscayaan munculnya berbagai macam Partai Politik. Keberadaan Partai Politik tersebut tentunya mewakili aspirasi berbagai elemen masyarakat dan membawa visi dan tujuan tertentu bagi bangsa dan negara, mulai dari Partai gurem hingga Partai besar dan memiliki basis massa (grass root) kuat dipelosok negeri. Partai politik merupakan pilar utama dalam penegakan demokrasi yang efektif. Partai Politik peserta Pemilihan Umum yang pertama kali diselenggarakan, yakni pada tahun 1955 diikuti oleh Partai Nasionalis Indonesia, Partai Masyumi, NU dan PKI. Sedangkan pada saat Pemilihan Umum tahun 1971 pesertanya semakin bertambah, muncul Partai PSII, Parmusi dan Parkindo. Pada 30
saat Pemilihan Umum tahun 1999, Pemerintah sempat mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa harus adanya pembatasan atau peleburan jumlah Partai Politik, sehingga peserta Pemilu saat itu hanya tiga Partai Politik, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Namun dinamika poli tik terus berkembang, karena peraturan pembatasan jumlah Partai Politik dianggap mengebiri kebebasan berkumpul, berserikat dan berpolitik akhirnya peratuan tersebut ditinjau ulang. Tabel III.1 Partai Politik Peserta Pemilu Indonesia No Partai Politik No Partai Politik 1 Partai Nasionalis Indonesia (PNI) 29 Partai Pelopor 2 Partai Majelis Syura Indonesia (Masyumi) 30 Partai Golongan Karya (Golkar) 3 Partai Nahdlatul Ulama (NU) 31 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 4 Partai Komunis Indonesia (PKI) 32 Partai Damai Sejahtera (PDS) 5 Partai Sosialis Indonesia (PSI) 33 Partai Nasional Banteng Kerakyatan 6 Partai Musyawarah Indonesia (Parmusi) 34 Partai Bulan Bintang (PBB) 7 Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 35 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 8 Partai Golongan Karya (Golkar) 36 Partai Bintang Reformasi (PBR) 9 Partai Demokrat 37 Partai Patriot 10 Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 38 Partai Kasih Demokrasi Bangsa 11 Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) 39 Partai Indonesia Sejahtera (PIS) 12 Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) 40 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 13 Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) 41 Partai Merdeka 14 Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 42 Persatuan Nahdlatul Umah Indonesia 15 Partai Barisan Nasional (PBN) 43 Partai Serikat Indonesai (PSI) 16 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 44 Partai Buruh 17 Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 45 Partai Nasional Demokrat (Nasdem) 18 Partai Amanat Nasional (PAN) 46 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 19 Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) 47 Partai Katolik 20 Partai Kedaulatan (PK) 48 Partai Syarikat Islam Indonesia 21 Partai Persatuan Daerah (PPD) 49 Partai Murba 22 Partai Kebangkitan Indonesia (PKB) 50 Partai Perti 23 Partai Pemuda Indonesia (PPI) 51 Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 24 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM) 52 Partai Indonesia Baru 25 Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP) 53 Partai Kristen Nasional Indonesia 26 Partai Karya Perjuangan (PKP) 54 Partai Aliansi Demokrat Indonesia 27 Partai Matahari Bangsa (PMB) 55 Partai Kebangkitan Muslim Indonesia 31
28 Partai Republik Nusantara 56 Partai Ummat Islam No Partai Politik No Partai Politik 57 Partai Kebangsaan Merdeka 71 Partai Rakyat Djelata 58 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 72 Partai Rakyat Sosialis 59 Partai Rakyat Demokrat 73 Partai Katolik Republik Indonesia 60 Partai Katolik Demokrat 74 Partai Rakyat Marhaen Indonesia 61 Partai Pilihan Rakyat 75 Partai Serikat Islam Indonesia 62 Partai Rakyat Indonesia 76 Partai Aliansi Demokrat Indonesia 63 Partai Politik Islam Indonesia Masyumi 77 Partai Abul Yatama 64 Partai Solidaritas Pekerja 78 Partai Kebangsaan Merdeka 65 Partai Republik 79 Partai Rakyat Demokratik 66 Partai Cinta Damai 80 Partai Katolik Demokrat 67 Partai Daulat Rakyat 81 Partai Pilihan Rakyat 68 Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia 82 Partai Nasional Bangsa Indonesia 69 Partai Umat Muslimin Indonesia 70 Partai Nasional Bangsa Indonesia Sumber: Komisi Pemilihan Umum 2014 Partai Politik di Indonesia atas dasar penyambung lidah rakyat atau mewakili kepentingan kepentingan rakyat, mulailah kembali menjamur Partai Politik disana sini. Hasil Pemilihan Umum tahun 2004 menggemparkan jagad perpolitikan nusantara, hal tersebut disebabkan pemenang Pemilu adalah Partai seumur jagung alias Partai yang baru berdiri, yaitu Partai Demokrat yang digawangi oleh Susilo Bambang Yudhoyono, dan kemudian menjadi Presiden ke enam Republik Indonesia. Menurut Kirbiantoro dan Dody Rudianto (2009) menyatakan bahwa Partai Politik merupakan bagian paling penting dan paling berkesempatan dalam rangka mewujudkan perubahan. Jika dipandang dari teori sosial, perubahan itu sendiri sejatinya terbagi menjadi dua, yaitu Top Down yang berarti perubahan berawal dari pihak pemerintah atau pemangku kebijakan, terkadang tanpa melihat kebutuhan yang sebenarnya dalam masyarakat. Kedua adalah Bottom Up, yang berarti perubahan diawali dari gerakan atau arus bawah masyarakat. Partai Politik sudah seharusnya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat demi mewujudkan perubahan. Jika seandainya sebuah Partai Politik tidak menjalankan Pendidiakan Politik bagi Basis Massa atau Konstituennya, maka dapat dipastikan 32
bahwa Kaderisasi dalam tubuh Partai tersebut juga akan mengalami kemandegan dimasa yang akan datang. Sehingga yang muncul diranah publik adalah kader instan yang tak faham terhadap akar ideologis Partainya. 3.3 Partai Politik Dan Ideologi Sejarah bangsa Indonesia mengajarkan, kehidupan berbangsa kita selalu dihadapkan oleh persoalan konflik internal yang bersumber pada perbedaan ideologi, sejak kemerdekaan penyelenggara negara senantiasa dihadapkan oleh persoalan pelik dalam menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa (S Kirbianto dan Dody Rudianto, 2009). Pergulatan Ideologi Partai Politik di Indonesia begitu kental hingga mempengaruhi lapisan bawah masyarakat. Sejatinya Partai Politik mengerucut pada empat ideologi terselubung, yaitu Ideologi Islam, Ideologi Nasionalis hingga Ideologi Komunis dan Militerisme. Partai partai tersebut berebut simpati masyarakat dan menginternalisasi segenap Warga Negara Indonesia. Sebagai contoh Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai Partai pengusung Ideologi Nasionalis. Partai Majelis Syura Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang merupakan Partai pengusung Ideologi Islam. Ideologi Partai selanjutnya adalah Komunis dan Sosialis, yang digawangi oleh Partai Komunis Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia. Ideologi Militerisme juga tak ketinggalan memberikan pengaruh besar dipentas Politik dengan dikomando oleh Jenderal Besar Soeharto. Ideologi dalam tubuh suatu Partai Politik merupakan hal yang paling mendasar, karena dengan Ideologi akan menetukan warna, karakter dan gerakannya. Partai dengan Ideologi Islam berkeinginan untuk menerapkan Syariat Agama Islam seutuhnya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, meskipun Indonesia merupakan bangsa yang heterogen dan multikultural. Demikian pula Partai dengan Ideologi Sosialis Komunis, bercita cita mewujudkan Negara yang berlandaskan pada faham Sosialis secara sempurna. Faham Sosialis Komunis sempat menggegerkan Politik bangsa Indonesia dengan peristiwa Gerakan 30 September. Sedangkan Partai dengan Ideologi Nasionalis dianggap lebih Moderat, 33
Partai ini berjuang keras menyatukan dan mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila. Perbedaan antara masing masing Ideologi adalah hal yang wajar, karena sang pencetus ide dan gagasan memiliki keyakinan atas apa yang mereka perjuangkan, semata mata hanyalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Bangsa Indonesia. 3.4 Partai Politik Islam Islam sebagai agama yang memiliki nilai nilai universal, dalam determinasi politik sering dikonotasikan sebagai simbol kekuatan perjuangan ideologi yang melandaskan pada ajaran ajaran agama, Islamisme sebagai sebuah ideologi yang mempunyai makna sebagai daya dorong dalam memotivasi gerakan politik yang mengedepankan nilai juang keislaman (S Kisbi antoro dan Dody Rudianto, 2009). Dinamika yang terjadi dalam internal Partai Islam mengalami pasang surut, hal ini diakibatkan kebijakan yang tidak populis oleh penguasa. Seperti halnya yang dialami oleh Partai Majelis Syura Indonesia (Masyumi), yang merupakan Partai pertama dengan Ideologi Islam. Sepanjang sejarah Pemilihan Umum di Indonesia Partai Islam belum pernah sekalipun keluar sebagai pemenang, meskipun masyarakat Indonesia mayoritas adalah umat muslim. Partai Islam Masyumi pada saat Pemilihan Umum 1955 hanya menempati posisi kedua, namun dianggap tetap mengancam kekuasaan Rezim Soekarno saat itu, sehingga Pemerintah membubarkan Partai Masyumi dengan peraturannya yang sama sekali tidak populis dan cenderung disorientasi. Meskipun pada akhirnya Partai Masyumi membubarkan diri, namun kader kadernya masih sangat loyal dalam menjaga Ideologi. Pasca runtuhnya Rezim Soekarno, kader dan simpatisan eks Partai Masyumi merasa tetap membutuhkan kendaraan politik untuk menyalurkan aspirasi umat muslim, maka didirikanlah Partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) ataupun Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai baru dengan Platform Islam tersebut tetap konsisten dengan cita cita awal mereka dengan Syariat Islamnya. 34
3.5 Partai Politik Basis Massa Islam Perkembangan Partai Politik Basis Massa Islam merupakan modifikasi dari Partai Partai Islam yang telah lebih dahulu berdiri. Representasi Partai Basis Massa Islam adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). PKB dan PAN dinyatakan sebagai Partai Basis Massa Islam karena memang kelahiran kedua Partai ini diinisiasi oleh basis massa islam, PKB dengan Nahdlatul Ulama dan PAN dengan Muhammadiyah, akan tetapi PKB dan PAN bukanlah semata mata hanya mewakili kepentingan warga NU dan Muhammadiyah. Kedekataan ideologis maupun emosional antara Partai Amanat Nasional dengan Persyarikatan Muhammadiyah tidaklah menghantarkan Organisasi Masyarakat Keagamaan ini terjun bebas kedalam gelanggang Politik praktis. Pernyataan ini secara resmi dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berbeda dengan Persyarikatan Muhammadiyah, NU pada Pemilihan Umum 2014 yang lalu menyatakan secara terang terangan bahwa PKB adalah Partainya warga Nahdlatul Ulama. 3.6 Partai Nasionalis Nasionalisme diartikan sebagai usaha menegakkan kekuasaan negara dengan menjunjung nilai nilai kebersamaan berbangsa dalam kehidupan negara yang berdaulat (S Kirbiantoro dan Dody Rudianto, 2009). Pancasila dan Undang Undang 1945 menjadi pilar penegak Nasionalisme bagi seluruh bangsa. Sutan Hamengku Buwono X (2008) mengatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika hendaknya bukan hanya digunakan sebatas slogan, tetapi sebagai strategi kebudayaan yang dituangkan kedalam kebijakan publik dalam kehidupan masyarakat bangsa. Sejarah bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum selalu menempatkan Partai Nasionalis sebagai Partai Pemenang Pemilu. Hal tersebut disebabkan karena kultur masyarakat Indonesia yang majemuk dan heterogen, meskipun mayoritas masyarakat sebagai pemeluk Agama Islam. 35
Tabel III.2 Partai Pemenang Pemilu No Pemilu Partai Pemenang 1 2014 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 2 2009 Partai Demokrat 3 2004 Partai Golongan Karya (Golkar) 4 1999 Partai Golongan Karya (Golkar) 5 1997 Partai Golongan Karya (Golkar) 6 1992 Partai Golongan Karya (Golkar) 7 1987 Partai Golongan Karya (Golkar) 8 1982 Partai Golongan Karya (Golkar) 9 1977 Partai Golongan Karya (Golkar) 10 1971 Partai Golongan Karya (Golkar) 11 1955 Partai Nasionalis Indonesia (PNI) Sumber: Komisi Pemilihan Umum Pada Tabel III.2 menunjukkan bahwa sejak Pemilihan Umum tahun 1971 hingga Pemilihan Umum 2004 Partai Golongan Karya selalu keluar menjadi pemenang. Pemilihan Umum lainnya pada tahun 1955, 2009 dan 2014 secara berturut turur barulah dimenangkan oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Dominasi Partai Golkar dalam setiap kali penyelenggaraan Pemilihan Umum di Indonesia merupakan kepiawaian seorang Jenderal Soeharto, sang Pemimpin Partai Beringin yang sekaligus Presiden Republik Indonesia. Rezim Soeharto memimpin NKRI dengan kediktatorannya, menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Rezim otoriter Soeharto akhirnya terguling ketika rakyat Indonesia mulai tersadar semakin terpuruknya sendi perekonomian Indonesia dengan demonstrasi besar besaran dan menduduki Gedung DPR. 36