BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
DESAIN DIDAKTIS KONSEP VOLUME LIMAS PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP BERDASARKAN LEARNING TRAJECTORY

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Intan Cahyaningrum, 2015

2015 DESAIN DIDAKTIS KONSEP ASAS BLACK DAN PERPINDAHAN KALOR BERDASARKAN HAMBATAN BELAJAR SISWA PADA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS KELAS X

Desain Disaktis Persamaan Garis Lurus pada Pembelajaran Matematika di Sekolah Menengah Pertama

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, menjadi salah satu ilmu yang diperlukan pada saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari seperti mengenal garis, bangun datar dan bangun ruang. Geometri

DESAIN DIDAKTIS BANGUN RUANG SISI DATAR UNTUK MENINGKATKAN LEVEL BERPIKIR GEOMETRI SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

A. LATAR BELAKANG MASALAH

2015 DESAIN DIDAKTIS PERSAMAAN KUADRAT UNTUK SISWA SMP KELAS VIII

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dhias Mei Artanti, 2013

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Putri Dewi Wulandari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang berkaitan dengan aljabar banyak ditemukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran matermatika yang dilakukan di Indonesia kira-kira seperti yang

BAB I PENDAHULUAN. trigonometri, kalkulus, statistika, dan peluang. dengan yang lain (Bariyah, 2010). Jarak pada bangun ruang adalah salah satu

PENGEMBANGAN DESAIN DIDAKTIS PENALARAN SPASIAL DAN PENALARAN KUANTITIF DALAM MATERI TEOREMA PYTHAGORAS DI SMP

2016 DESAIN DIDAKTIS KONSEP GARIS SINGGUNG LINGKARAN PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Awinda, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Secara tidak langsung banyak hal dalam kehidupan manusia bersentuhan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Resgiana, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. kritis, berkualitas dan mampu bersaing dalam era teknologi. Dewasa ini. membantu proses pembangunan disemua aspek kehidupan bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Adakalanya seorang siswa mengalami kesulitan walaupun dia telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dwi Wahyuni, 2013

DESAIN DIDAKTIS KONSEP BARISAN DAN DERET ARITMETIKA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH ATAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Panji Wiraldy, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dini Asri Kusnia Dewi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah et.al open ended

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan melalui tiga

BAB I PENDAHULUAN. dalam matematika itu sendiri maupun dalam bidang-bidang yang lain.

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Tri Aprianti Fauzia, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ejen Jenal Mustaqin, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan Desain Didaktis Luas Daerah Lingkaran Pada Pembelajaran Matematika SMP

2015 D ESAIN D IDAKTIS UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SISWA TERHAD AP KONSEP SUD UT PAD A BANGUN RUANG BERD ASARKAN LEARNING TRAJECTORY

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Oni Nurhayati,2015

I. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan

DESAIN DIDAKTIS KONSEP LUAS DAERAH JAJARGENJANG PADA PEMBELARAN MATEMATIKA KELAS IV SEKOLAH DASAR Lukman Nurdin Hj. Epon Nur aeni L.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan dari hasil penelitian ini diantaranya adalah : siswa dan terkait variasi informasi yang ada pada soal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Noviawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Nora Madonna, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Khususnya di Indonesia matematika sudah diajarkan sejak dalam. pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah.

Desain Didaktis Penalaran Matematis untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa SMP pada Luas dan Volume Limas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dari yang mudah sampai yang rumit. Hal itu berguna untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

TABEL SITUASI DIDAKTIS, PREDIKSI RESPON SISWA DAN ANTISIPASINYA (LESSON DESIGN REVISI)

Oleh : Muhamad Toyib K BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. dan teknologi bangsa tersebut. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2015 DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLE TOPIK PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL

A.2 TABEL SITUASI DIDAKTIS, PREDIKSI RESPON SISWA DAN ANTISIPASINYA (LESSON DESIGN AWAL)

DESAIN DIDAKTIS KONSEP LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME PRISMA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SMP

Desain Didaktis Bahan Ajar Matematika SMP Berbasis Learning Obstacle dan Learning Trajectory

DAFTAR ISI PERNYATAAN... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMA KASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. masalah kualitas pendidikan atau hasil belajar siswa merupakan topik yang sangat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Rianti Aprilia, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengambilan keputusan adalah proses kognitif kritis di setiap bidang kehidupan manusia.

I. PENDAHULUAN. siswa memiliki kemampuan matematis yang baik. Adapun tujuan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional pasal 37). Matematika juga disebutkan sebagai salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Elita Lismiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tia Agnesa, 2014

BAB 1 PENDAHULUAN PENDAHULUAN. prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai

I. PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu yang memiliki banyak manfaat. Ilmu matematika

BAB I PENDAHULUAN. Pergeseran pandangan terhadap matematika akhir-akhir ini sudah hampir

PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, SAINS, DAN TIK STKIP SURYA 2014

DAFTAR ISI PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... UCAPAN TERIMAKASIH... ABSTRAK... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

I. PENDAHULUAN. karena melalui pendidikan diharapkan akan lahir sumber daya manusia yang berkualitas

DESKRIPSI TRAJEKTORI BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH LITERASI MATEMATIKA

Karakteristik Soal TIMSS

ANALISIS LEARNING OBSTACLES KONSEP GEOMETRI PADA MAHASISWA SEMESTER 1 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOSEN SEKOLAH DASAR

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Feni Febrianti Kencanawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita telah ketahui bersama, timbul kesan yang berkembang saat ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari perkembangan dan kualitas pendidikannya. Perkembangan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu matapelajaran yang wajib diberikan dalam pendidikan dasar dan menengah. Seperti yang terdapat dalam UU no 20 tahun 2003 Pasal 37 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa: kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal. Matematika juga salah satu matapelajaran yang diberikan secara intensif, dengan jumlah jam pelajaran jauh lebih banyak dibandingkan matapelajaran lain. Namun, matematika justru menjadi matapelajaran yang tidak disukai oleh siswa, siswa cenderung beranggapan bahwa matematika adalah pembelajaran yang sulit. Selain itu prestasi matematika di Indonesia masih memprihatinkan. Kualitas pendidikan dalam bidang matematika dan sains di Indonesia masih berada pada level bawah. Hasil penelitian statistik yang dilakukan secara internasional dalam Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukan bahwa tingkat penguasaan siswa di bidang matematika di Indonesia pada tahun 2011 berada pada peringkat 38 dari 42 negara. Rata-rata nilai matematika siswa di Indonesia adalah 386, nilai tersebut masih jauh di bawah nilai rata-rata internasional yaitu 500. TIMSS memperkenalkan empat tingkatan dengan aturan penskoran sebagai berikut: nilai 474 termasuk rendah, 475-549 termasuk menengah, 550-624 termasuk tinggi dan 625 termasuk tingkat lanjut. Karakteristik siswa untuk tingkatan rendah yaitu siswa yang memiliki sejumlah pengetahuan tentang bilangan cacah dan desimal, operasi serta grafik sederhana. Pada tingkatan

2 sedang, siswa memiliki kemampuan dalam menerapkan pengetahuan dasar secara langsung dalam berbagai situasi. Karakteristik siswa pada tingkatan tinggi yaitu siswa dapat menerapkan pemahaman dan pengetahuan mereka dalam berbagai situasi yang relatif kompleks. Sedangkan pada tingkat lanjut, siswa memiliki karakteristik dapat mengorganisasikan informasi dan menarik kesimpulan darinya, membuat generalisasi serta memecahkan masalah tidak rutin. Perolehan rata-rata nilai matematika indonesia yang hanya 386 termasuk kedalam tingkat rendah. Rendahnya perolehan rata-rata skor matematika di Indonesia menujukkan bahwa pemahaman siswa dalam matematika masih rendah. Hal tersebut dapat menjadi suatu indikasi bahwa pembelajaran matematika yang ada saat ini belum efektif. Menurut hasil survey IMSTEP-JICA (Herman dalam Sulistiawati, 2012) rendahnya pemahaman siswa dalam matematika salah satunya disebabkan oleh pembelajaran matematika yang berpusat pada guru, dimana pembelajaran terlalu berkonsentrasi pada hal-hal yang prosedural dan konsep matematika yang disampaikan secara informatif. Selain itu siswa hanya dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman mendalam. Sejalan dengan Silver (Turmudi dalam Hendra, 2011) mengatakan bahwa pada umumnya dalam pembelajaran matematika, para siswa menonton bagaimana gurunya mendemonstrasikan penyelesaian soal-soal matematika di papan tulis kemudian siswa mengkopi apa yang telah dituliskan oleh gurunya. Proses pembelajaran yang demikian menyebabkan siswa memiliki kecenderungan untuk mengikuti dan meniru apa yang dituliskan guru tanpa mengeksplorasi kemampuannya, lebih jauh dapat menyebabkan siswa mengalami kesulitan yang cukup besar saat menyelesaikan permasalahan matematika. Kesulitan belajar yang dihadapi siswa dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Brousseau (Suratno, 2009) mengungkapkan bahwa terdapat tiga faktor penyebab munculnya kesulitan belajar (learning obstacle), yaitu hambatan ontogeni (kesiapan mental belajar), didaktis (akibat pengajaran guru) dan epistemologi (pengetahuan siswa yang memiliki konteks aplikasi yang terbatas). Dalam hal ini

3 siswa akan mengalami kesulitan belajar (learning obstacle) akibat hambatan epistemologi, karena siswa hanya mengingat materi yang disampaikan guru secara informatif tanpa memahami konsep dasar dari materi tersebut sehingga pengetahuan siswa hanya terbatas pada apa yang dituliskan oleh guru. Geometri merupakan salah satu konsep dalam matematika yang dianggap sulit. Banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari geometri. Soedjadi (Bariyah, 2010) mengungkapkan bahwa masih banyak siswa yang mengalami kesalahan dalam memahami konsep geometri, misalnya siswa menyebut rusuk pada bangun ruang merupakan rangka yang menopang tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum memahami konsep rusuk dalam geometri, seperti yang diungkapkan Usiskin (Halat dalam Sulistiawati, 2012) bahwa banyak siswa yang gagal dalam memahami konsep-konsep kunci dalam geometri dan meninggalkan pembelajaran geometri tanpa belajar terminologi dasar. Selain itu Burger dan Shaughnessy (Sulistiawati, 2012) menyatakan bahwa dalam pembelajaran geometri siswa sering salah dalam mengidentifikasi gambar. Geometri terdiri atas geometri bidang dan geometri ruang. Prisma merupakan salah satu kajian dalam geometri ruang. Kesulitan siswa juga ditemukan dalam pembelajaran bangun ruang prisma. Berdasarkan hasil uji instrumen learning obstacle pada pokok bahasan prisma yang dilakukan oleh Siti (2012) kepada 142 siswa yang terdiri dari siswa SMP dan SMA, diperoleh data bahwa siswa masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan. Soal tersebut terkait dengan luas permukaan prisma.

4 Berdasarkan 142 jawaban siswa ternyata hanya 60 siswa yang mampu menyelesaikan luas permukaan prisma dengan benar. Banyak siswa yang mengalami kesulitan saat merumuskan luas permukaan prisma, sebanyak 45 siswa menghitung luas permukaan prisma dengan cara yang salah, misalnya: Luas permukaan = p x l, luas permukaan = p x l x t, luas permukaan = x luas alas x tinggi. Berikutnya soal luas permukaan yang terkait dengan perbandingan aljabar dan volume prisma. Berdasarkan 142 jawaban siswa ternyata hanya 21 siswa yang mampu menyelesaikan luas permukaan prisma dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa mengenai luas permukaan prisma masih rendah. Hasil wawancara Siti (2012) kepada seorang guru matematika SMP juga menunjukkan bahwa siswa banyak mengalami kesulitan saat menyelesaikan soal terkait luas

5 permukaan dan volume prisma. Salah satunya adalah kesulitan dalam menentukan alas prisma saat menghitung luas permukaan dan volume prisma. Ternyata tidak hanya bagi siswa, sebagian guru juga menganggap geometri khususnya materi bangun ruang merupakan materi yang sulit. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Suwaji (Sulistiawati, 2012) bahwa berdasarkan hasil Training Need Assessment (TNA), calon peserta diklat guru matematika SMP yang dilaksanakan P4TK matematika tahun 2007. Sebanyak 43,7% guru dari sampel sebanyak 268 guru SMP yang berasal dari 15 provinsi, menyatakan sangat memerlukan pelatihan pembelajaran luas dan volume kubus, balok, prisma dan limas. Diperlukannya suatu perubahan dan inovasi dalam pembelajaran matematika agar pembelajaran matematika tidak hanya proses pemberian informasi kepada siswa melainkan suatu proses belajar siswa dalam memahami suatu konsep sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Menurut Suherman (2010) pada hakekatnya pembelajaran adalah kegiatan guru dalam membelajarkan siswa, ini berarti bahwa proses pembelajaran adalah membuat atau menjadikan siswa dalam kondisi belajar, siswa yang menjadi subjek dalam proses pembelajaran. Sejalan dengan Silver (Turmudi, 2010) bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa tidak baik apabila dipaksa untuk mengingat seluruh materi yang ada. Hal yang paling efektif adalah membuat siswa paham dengan materi sehingga ketika paham konsep umum suatu topik, maka siswa pun akan mengingat keseluruhan topik tertentu. Guru harus dapat menciptakan suatu kondisi belajar yang optimal dengan memperhatikan urutan penyampaian suatu konsep yang disesuaikan dengan level berfikir anak. Selain itu, proses pembelajaran lebih mengutamakan pada aktivitas siswa untuk menemukan dan membangun pemahaman mereka. Leder (Turmudi, 2010), menyatakan cara paling baik dari seorang guru membantu siswanya belajar matematika adalah dengan cara menggunakan urutan tertentu dan melalui prosedur tertentu yang disajikan kepada siswa.

6 Dalam proses pembelajaran, menurut Suryadi (2010) proses berfikir guru terjadi dalam tiga fase yaitu sebelum pembelajaran, saat pembelajaran dan setelah pembelajaran. Sebelum pembelajaran berlangsung, guru memikirkan cara untuk menciptakan situasi belajar yang optimal dengan mempersiapkan materi pembelajaran beserta prediksi respon siswa dalam pembelajaran. Pada fase ini guru harus mempertimbangkan learning obstacle yang mungkin muncul dan antisipasinya. Selanjutnya saat pembelajaran guru harus memperhatikan urutan penyampaian materi yang menjadi alur belajar anak (learning trajectory) yang disesuaikan dengan tingkatan berfikir siswa. Learning trajectory adalah rangkaian kegiatan yang disiapkan seorang guru untuk menyampaikan suatu materi (konsep) kepada siswa yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa dan urutan materi pembelajaran agar tercapai pembelajaran yang optimal. Menurut Clements dan Sarama (2009) learning trajectories describe the goals of learning, the thinking and learning processes of children at various levels, and the learning activities in which they might engage. Fase ketiga adalah setelah pembelajaran yaitu membandingkan prediksi dengan kenyataan untuk memperbaiki pembelajaran berikutnya. Ketiga rangkaian proses berfikir guru salanjutnya dapat diformulasikan sebagai Penelitian Desain Didaktis atau Didactical Design Research (DDR). Selanjutnya hasil analisis dari learning obstacle yang mungkin muncul dan hasil analisis learning trajectory kemudian disusun menjadi sebuah desain didaktis. Diharapkan desain didaktis ini dapat mengatasi masalah pembelajaran yang ada. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Desain Didaktis Konsep Luas Permukaan Prisma pada Pembelajaran Matematika SMP Berdasarkan Learning Obstacle dan Learning Trajectory. B. Rumusan Masalah

7 Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: 1. Learning obstacle apa saja yang dapat diidentifikasi terkait konsep luas permukaan prisma? 2. Bagaimana learning trajectory pada pembelajaran konsep luas permukaan prisma? 3. Bagaimana mengembangkan desain didaktis awal berdasarkan analisis learning obstacle dan learning trajectory pada konsep luas permukaan prisma? 4. Bagaimana implementasi desain didaktis ditinjau dari respon siswa yang muncul? 5. Bagaimana revisi desain didaktis berdasarkan respon siswa terhadap desain didaktis awal? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Mengidentifikasi learning obstacle terkait konsep luas permukaan prisma. 2. Menyusun learning trajectory pada pembelajaran konsep luas permukaan prisma. 3. Mengembangkan desain didaktis awal berdasarkan learning obstacle dan learning trajectory pada konsep luas permukaan prisma. 4. Menganalisis implementasi desain didaktis ditinjau dari respon siswa yang muncul. 5. Menyusun revisi terhadap desain didaktis berdasarkan respon siswa terhadap desain didaktis awal. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, yaitu:

8 1. Bagi siswa, diharapkan dapat lebih memahami dan menguasai konsep luas permukaan prisma tanpa adanya kesalahan konsep dalam pembelajaran matematika. 2. Bagi guru, diharapkan dapat menciptakan pembelajaran matematika berdasarkan karakteristik siswa serta dapat merancang bahan ajar yang tepat sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar, khususnya pada konsep luas permukaan prisma. 3. Bagi peneliti, mengetahui desain didaktis alternatif terkait konsep luas permukaan prisma serta mengimplementasikannya. E. Definisi Operasional 1. Desain didaktis, yaitu suatu rancangan pembelajaran yang disusun berdasarkan analisis learning obstacle dan learning trajectory yang bertujuan untuk mengurangi permasalahan yang muncul dalam pembelajaran. 2. Learning obstacle, yaitu kesulitan yang dialami siswa selama pembelajaran yang dapat disebabkan oleh hambatan ontogeni, hambatan didaktis dan hambatan epistimologis. Learning obstacle yang dimaksud dalam penelitian ini adalah learning obstacle yang disebabkan hambatan epistemologi, yaitu kesulitan belajar siswa yang diakibatkan terbatasnya pengetahuan yang dimiliki hanya pada konteks tertentu. 3. Learning trajectory, yaitu rangkaian kegiatan yang disiapkan oleh seorang guru untuk menyampaikan suatu materi (konsep) kepada siswa yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa dan urutan materi pembelajaran agar tercapai pembelajaran yang optimal.