BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. polifagus. Pada fase larva, serangga ini menjadi hama yang menyerang lebih dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

EFEKTIVITAS ISOLAT DAN METODE PAPARAN Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin TERHADAP MORTALITAS DAN MIKOSIS Spodoptera litura Fabricius

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

I. PENDAHULUAN. memikat perhatian banyak mata. Pemuliaan anggrek dari tahun ke tahun,

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus [L.] Merr.) merupakan komoditas andalan yang sangat

VIRULENSI BEBERAPA ISOLAT METARHIZIUM ANISOPLIAE TERHADAP ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) di LABORATORIUM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. terhadap larva Spodoptera litura. Isolat lokal yang digunakan untuk adalah DKS-

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gejala pada Larva S. litura

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. H. armigera merupakan serangga ordo Lepidoptera dari famili Noctuidae.

Jurnal Agroekoteknologi. E-ISSN No Vol.4. No.1, Desember (553) :

APAKAH APLIKASI BIOPESTISIDA SUDAH EFEKTIF?

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan tanaman sumber protein yang

BAB III METODE PERCOBAAN. Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan, yaitu perlakuan jenis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pengamatan para ahli, kedelai (Gycines max L. Merril) merupakan tanaman

BAHAN DAN METODE. Bahan

I. PENDAHULUAN. Usaha produksi pertanian tidak terlepas kaitannya dengan organisme pengganggu

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kepik hijau (Nezara viridula L.) merupakan salah satu hama penting pengisap

Uji Toksisitas Potensi Insektisida Nabati Ekstrak Kulit Batang Rhizophora mucronata terhadap Larva Spodoptera litura

KEEFEKTIFAN ENTOMOPATOGENIK

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lia Ni matul Ulya, Toto Himawan, Gatot Mudjiono

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum

UJI BEBERAPA KONSENTRASI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tumbuhan yang berbentuk pohon hidup

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Mortalitas. biopestisida berpengaruh nyata terhadap tingkat mortalitas Tribolium castaneum

BAB I PENDAHULUAN. yang perlu dikembangkan adalah produk alam hayati (Sastrodiharjo et al.,

I. TINJAUAN PUSTAKA. Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berbentuk pohon yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. Serangga merupakan hewan yang paling banyak jumlah dan ragamnya di

III. BAHAN DAN METODE. Tanaman, serta Laboratorium Lapang Terpadu, Fakultas Pertanian, Universitas

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara produsen kopi ke-empat terbesar di dunia. Data

II. TINJAUAN PUSTAKA. Suryanto, 2007). Hama diartikan sebagai organisme baik mikroba, tanaman,

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

I. PENDAHULUAN. Kedelai adalah salah satu bahan pangan yang sangat penting bagi masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pengendalian Hama Secara Hayati

The Effect of Lecanicillium lecanii on Armyworms (Spodoptera litura) Mortality by In Vitro Assays

TINJAUAN PUSTAKA. Hama Pengisap Polong Kedelai

BAB I PENDAHULUAN. kedelai dan industri pakan ternak. Rata rata kebutuhan kedelai setiap tahun sekitar ± 2,2 juta

PENGARUH EKSTRAK ETANOL CABAI MERAH

TINJAUAN PUSTAKA. Telur Brontispa longissima berwarna coklat, berbentuk pipih dan

HASIL DAN PEMBAHASAN Uji patogenisitas M. brunneum , M. anisopliae terhadap Rayap S. javanicus dan B. bassiana, M. brunneum, M.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengamatan pertumbuhan cendawan M. anisopliae pada ketiga. media uji disajikan pada gambar berikut ini.

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan penurunan hasil pertanian, perkebunan maupun sayursayuran.

BAB I PENDAHULUAN. hama. Pertanian jenis sayuran kol, kubis, sawi dan sebagainya, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan produksi kubis di Indonesia banyak mengalami hambatan, di

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Penggerek Tongkol Jagung H. armigera Hubner. tanaman, daun dan batang. Paling banyak diletakkan pada waktu tanaman sudah

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.)

BAB I PENDAHULUAN. pemukiman penduduk serta tempat-tempat umum lainnya. Pada saat ini telah

BABI PENDAHULUAN. kehidupannya sangat dekat dengan aktifitas manusia. Kita dapat menemukannya

PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis

Patogenitas Cendawan Entomopatogen (Lecanicillium lecanii) sebagai Bioinsektisida untuk Pengendalian Hama Wereng Coklat Secara In Vivo

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi, sehingga

Angka-angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil berbeda nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5% setelah di transformasi log Y.

PEMANFAATAN BIOPESTISIDA RAMAH LINGKUNGAN TERHADAP

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

CARA CARA PENGENDALIAN OPT DAN APLIKASI PHESTISIDA YANG AMAN BAGI KESEHATAN 1) SUHARNO 2) 1) Judul karya ilmiah di Website 2)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penghisap Polong (Riptortus linearis Fabr.) Telur R. linearis berbentuk bulat dengan diameter telur 1,0-1,2 mm.

Uji Efektifitas Beberapa Entomopatogen Pada Larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium

KISARAN HAMA SASARAN FORMULASI INSEKTISIDA BOTANI FTI-1 DAN KEAMANANNYA PADA BIBIT BEBERAPA FAMILI TANAMAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan September 2012

TINJAUAN PUSTAKA. Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu

I. MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2014 di Laboratorium. Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Spodoptera litura F. (Lepidoptera : Noctuidae)

BAB I PENDAHULUAN. yang hasilnya dapat kita gunakan sebagai bahan makanan pokok. Salah satu ayat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitan ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan dan Penyakit

II. TINJAUAN PUSTAKA. Saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

Program Studi Entomologi, Pasca Sarjana Universitas Sam Ratulangi, Kampus UNSRAT Manado korespondensi:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014):

EFEKTIVITAS JAMUR Beauveria bassiana TERHADAP HAMA Helopeltis sp. YANG MENYERANG TANAMAN KAKAO. Syamsul Makriful Akbar 1 dan Mariani 2 ABSTRAK

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH MACAM MEDIA DAN JENIS ISOLAT Beauveria bassiana TERHADAP PRODUKSI SPORA KERING KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI)

PENGENDALIAN HAMA PENGGEREK BUAH KOPI (PBKo) SECARA PHT UPTD-BPTP DINAS PERKEBUNAN ACEH 2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. lebih dari setengah penduduk menggantungkan hidupnya pada beras yang

BAB I PENDAHULUAN. (Rismunandar, 1993). Indonesia memiliki beragam jenis beras dengan warna nya

Suprayogi, Marheni*, Syahrial Oemry

b) Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis ) c) Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes)/tomcat d) Kumbang Carabid (Ophionea nigrofasciata)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.))

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu faktor pembatas proses produksi pertanian adalah hama. Hama timbul dan

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Blackman dan Eastop (2000), adapun klasifikasi kutu daun

BAB I PENDAHULUAN. faktor struktur tanah, pencemaran, keadaan udara, cuaca dan iklim, kesalahan cara

Holong Erixon M, Syahrial Oemry *, Fatimah Zahara

Gambar 3. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

UJI EFEKTIVITAS CENDAWAN Fusarium sp POTENSINYA SEBAGAI ENTOMOPATOGEN TERHADAP KEPIK PENGISAP BUAH KAKAO (Helopeltis sulawesi : HEMIPTERA)

Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika Kebun Percobaan Tongkoh-Berastagi ABSTRACT

I. PENDAHULUAN. Masyarakat luas telah menyadari bahwa pestisida merupakan senyawa yang dapat

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Isolat M. anisopliae pada Berbagai Konsentrasi terhadap Mortalitas H. armigera Mortalitas larva H. armigera merupakan parameter pengukuran terhadap banyaknya jumlah larva uji yang mati akibat infeksi jamur M. anisopliae. Hasil perhitungan mortalitas digunakan untuk mengetahui efektivitas masing-masing isolat jamur dalam mengendalikan populasi larva H. armigera (Rustama dkk., 2008). Pada penelitian ini, dua isolat lokal HJMA-5 dan HJMA-8 dengan beberapa tingkat konsentrasi konidia diinfeksikan pada larva H. armigera instar tiga. Konsentrasi konidia yang digunakan adalah 0, 10 5, 10 6, 10 7, dan 10 8 konidia/ml. Hasil uji statistik ANOVA two way pada lampiran 3 menunjukkan bahwa mortalitas larva H. armigera tidak nyata dipengaruhi oleh jenis isolat jamur M. anisopliae yaitu, HJMA-5 dan HJMA-8. Artinya, patogenisitas jamur M. anisopliae untuk dapat mematikan larva H. armigera tidak dipengaruhi oleh jenis isolat yang digunakan. Sedangkan, tingkat konsentrasi yang digunakan pada masing-masing isolat berpengaruh terhadap mortalitas larva H. armigera. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan konsentrasi pada masing-masing isolat berpengaruh terhadap jumlah larva yang mati. Hasil Uji Duncan pengaruh jenis isolat jamur M. anisopliae pada berbagai konsentrasi terhadap H. armigera dapat dilihat pada tabel 4.1. 36

Mortalitas Larva (%) 37 Tabel 4.1 Pengaruh Konsentrasi Isolat Jamur M. anisopliae terhadap Mortalitas Larva H. armigera No. Konsentrasi Isolat Jamur M. anisopliae (Konidia/ml) Mortalitas Larva (%) 1 0 0,00 ± 0,00 a 2 10 5 15,12 ± 17,40 ab 3 10 6 15,12 ± 22,42 ab 4 10 7 29,12 ± 20,39 b 5 10 8 21,62 ± 21,80 b Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan taraf 5% Berdasarkan tabel 4.1 (pada lampiran 4), dapat diketahui bahwa masingmasing konsentrasi 10 5, 10 6, 10 7 dan 10 8 konidia/ml berbeda nyata dengan kontrol (konsentrasi 0 konidia/ml). Konsentrasi 10 5 konidia/ml tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 10 6 konidia/ml. Akan tetapi, konsentrasi keduanya berbeda nyata dengan konsentrasi 10 7 dan 10 8 konidia/ml. Sedangkan konsentrasi 10 7 konidia/ml tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 10 8 konidia/ml. 35 30 25 20 15 10 5 0 29.5 28,75 25,25 23,75 19,5 16,25 14 5 0 0 Kontrol 10⁵ 10⁶ 10⁷ 10⁸ Konsentrasi (Konidia/ml) HJMA-5 HJMA-8 Gambar 4.1 Diagram Mortalitas Larva H. armigera yang diinfeksi Konidia Jamur M. anisopliae pada Berbagai Tingkat Konsentrasi

38 Gambar 4.1 merupakan diagram mortalitas larva H. armigera. Pada diagram terlihat bahwa mortalitas tertinggi larva H. armigera yang diinfeksi isolat jamur M. anisopliae HJMA-5 dan HJMA-8 adalah pada konsentrasi 10 7 konidia/ml dengan persentase 28,75% dan 29,5%. Nilai mortalitas ini paling tinggi dibandingkan dengan nilai mortalitas pada konsentrasi konidia yang lain. Adapun mortalitas tertinggi kedua adalah pada konsentrasi 10 5 konidia/ml isolat HJMA-8 dengan persentase sebesar 25,25%. Mortalitas tertinggi selanjutnya adalah pada konsentrasi 10 8 konidia/ml isolat HJMA-5 dan HJMA-8 dengan persentase masing-masing sebesar 23,75% dan 19,5%. Kemudian mortalitas tertinggi berikutnya adalah pada konsentrasi 10 6 konidia/ml isolat HJMA-5 dan HJMA-8 dengan persentase masing-masing sebesar 16,25% dan 14%. Mortalitas terendah adalah pada konsentrasi 10 5 konidia/ml isolat HJMA-5 dengan persentase sebesar 5%. Gambar 4.1 menunjukkan tinggi-rendahnya mortalitas larva akibat infeksi jamur. Pada masing-masing isolat HJMA-5 dan HJMA-8 dengan konsentrasi 10 5 konidia/ml menunjukkan perbedaan jumlah mortalitas yang sangat besar. Di mana pada isolat HJMA-5 mortalitas mencapai 5%, sedangkan pada isolat HJMA-8 mortalitas larva mencapai 25,25%. Perbedaan jumlah mortalitas pada konsentrasi 10 5 konidia/ml isolat HJMA-5 dan HJMA-8 diduga karena adanya human error saat aplikasi dilakukan. Secara umum, mortalitas larva akan rendah bila diinfeksi dengan konsentrasi jamur yang rendah. Pada konsentrasi 10 6 konidia/ml isolat HJMA-5 dan HJMA-8, jumlah mortalitas larva akibat infeksi jamur lebih rendah dibandingkan

39 dengan konsentrasi 10 7 konidia/ml. Hal ini diduga pada konsentrasi 10 6 konidia/ml, kerapatan konidia rendah, sehingga peluang kontak antara konidia dengan integument serangga juga rendah. Pada konsentrasi 10 7 konidia/ml, masing-masing isolat jamur HJMA-5 dan HJMA-8 mampu menyebabkan mortalitas larva tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut, kerapatan jamur merupakan kerapatan yang optimal dan sesuai untuk menginfeksi larva. Sedangkan pada konsentrasi 10 8 konidia/ml isolat HJMA-5 dan HJMA-8, mortalitas larva mengalami penurunan. Penurunan mortalitas larva pada konsentrasi 10 8 konidia/ml, diduga karena pada konsentrasi tersebut jumlah kerapatan konidia melebihi jumlah kerapatan optimal serta populasi pada konsentrasi tersebut terlalu padat bagi jamur untuk berkecambah dan menginfeksi tubuh larva. Menurut Untung (2006), konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan persaingan pakan dan ruang antar patogen sejenis serta menghambat perkembangbiakan sehingga menurunkan daya bunuh patogen terhadap serangga. Berdasarkan tabel 4.1 dan gambar 4.1 maka dapat diketahui bahwa konsentrasi 10 7 konidia/ml pada masing-masing isolat jamur M. anisopliae, HJMA-5 dan HJMA-8, merupakan konsentrasi yang mampu menyebabkan mortalitas larva tertinggi dibandingkan dengan konsentrasi lain. Selain itu, hasil pengujian konsentrasi jamur terhadap larva H. armigera instar 3 menunjukkan bahwa tingginya mortalitas larva tidak dipengaruhi oleh semakin tingginya tingkat konsentrasi. Sehingga dalam hal ini dapat diketahui bahwa konsentrasi 10 7 konidia/ml merupakan

40 konsentrasi yang optimal untuk menginfeksi larva H. armigera instar 3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prayogo dan Tengkano (2004), M. anisopliae dengan konsentrasi 10 7 konidia/ml merupakan konsentrasi optimal yang efektif mengendalikan larva ulat grayak (S. litura) yang merupakan jenis larva dari ordo yang sama dengan H. armigera yaitu ordo Lepidoptera. Mortalitas larva H. armigera akibat infeksi jamur M. anisopliae pada penelitian ini tergolong rendah. Karena mortalitas tertinggi hanya mencapai 29,5%. Rendahnya mortalitas larva H. armigera akibat infeksi M. anisopliae dapat diakibatkan oleh beberapa faktor. Menurut Effendy (2010) yang menguji patogenisitas jamur M. anisopliae pada nimfa wereng batang coklat (N. lugens), rendahnya mortalitas larva diduga karena adanya aktivitas pergantian kulit inang (molting). Jika molting terjadi maka kemungkinan infeksi jamur pada inang akan gagal. Hal ini dikarenakan jamur yang menempel pada kulit inang akan terbawa saat molting sebelum proses infeksi terjadi. Rendahnya mortalitas larva dapat pula disebabkan oleh rendahnya viabilitas konidia jamur. Viabilitas merupakan daya kecambah konidia jamur. Jika viabilitas jamur rendah maka kemampuan jamur untuk hidup dan menginfeksi inang juga rendah. Perkecambahan konidia merupakan tahapan yang penting dalam proses penginfeksian inang. Isolat yang mempunyai daya kecambah tinggi akan mempunyai peluang besar untuk dapat menginfeksi dan mematikan inang (Tanada dan Kaya, 1993). Prayogo dkk. (2005) menyatakan bahwa keberhasilan proses infeksi bergantung pada kondisi lingkungan dan suhu. Suhu yang

41 dianjurkan pada waktu infeksi berkisar antara 23-25 o C. Faktor lain yang dapat menyebabkan rendahnya mortalitas larva adalah strain dari isolat yang digunakan. Menurut Nunilahwati dkk. (2013), penyebab utama tinggi-rendahnya kematian inang adalah faktor bawaan dari strain isolat yang digunakan, di mana masing-masing strain isolat mempunyai virulensi yang berbeda-beda. Indrayani (2011) menyatakan bahwa tingkat virulensi jamur entomopatogen cenderung lebih tinggi pada serangga inang utamanya (serangga asal mula jamur pertama kali diisolasi). Virulensi tersebut dapat mengalami penurunan sesuai dengan banyaknya subkultur pada isolat jamur. Menurut Mohammadbeigi (2013), virulensi jamur entomopatogen secara perlahan akan mengalami penurunan setelah di lakukan subkultur in vitro. Jamur Entomopatogen akan mengalami degenerasi (perubahan morfologi dan penurunan virulensi) ketika disubkultur pada media buatan lebih dari 4 kali atau disimpan pada media nutrient dalam jangka waktu yang lama. Penurunan virulensi ini dapat disebabkan karena nutrisi dalam media berkurang seiring dengan meningkatnya perkembangbiakan jamur (Thalib dkk., 2012). Pada penelitian ini, isolat jamur yang digunakan merupakan isolat yang telah disimpan lebih dari dua bulan, diduga isolat jamur yang digunakan telah mengalami penurunan virulensi, sehingga mortalitas larva yang dicapai rendah. Berdasarkan penelitian Mohammadbeigi (2013) jamur M. anisopliae juga dapat mengalami penurunan virulensi setelah dikultur in vitro sebanyak 4 kali berturut-turut.

42 Penurunan virulensi jamur M. anisopliae ketika dikultur secara in vitro dapat disebabkan karena berkurangnya sumber karbon, kitin, pati dan protein pada media pembiakan. Jamur entomopatogen dapat ditingkatkan kualitas dan patogenisitasnya dengan teknik pembiakan dan cara aplikasi. Teknik pembiakan dapat dilakukan dengan menambahkan beberapa nutrisi ke dalam media. Beberapa nutrisi yang digunakan sebagai bahan tambahan media pembiakan di antaranya adalah dedak, gula jagung dan tepung kulit udang (Nuryanti dkk., 2012). Berdasarkan penelitian Saputra dkk. (2013) penambahan asam cuka pada media pembiakan dapat meningkatkan produksi konidia, daya kecambah dan patogenisitas jamur. Peningkatan patogenisitas jamur dapat pula dilakukan dengan cara aplikasi yaitu dengan penambahan bahan pembawa (carier) sebagai makanan cadangan (starter) jamur ketika diaplikasikan pada inangnya. Ketika jamur gagal menginfeksi inang, maka jamur akan bertahan hidup dengan adanya bahan pembawa tersebut. Bahan pembawa yang telah diaplikasikan untuk mempertahankan patogenisitas jamur salah satunya adalah tetes tebu (Prayogo, 2005). Kematian larva yang terjadi pada perlakuan, secara umum disebabkan oleh adanya kontak langsung antara konidia jamur dengan integument larva. Ketika konidia jamur melekat pada integumen larva maka konidia tersebut akan berkecambah dan membentuk hifa penetrasi. Hifa penetrasi yang terbentuk akan menghasilkan beberapa enzim yaitu lipase, protease dan kitinase yang akan mendegradasi kutikula larva. Kemudian konidia akan masuk kedalam tubuh larva

43 yaitu di bagian homocoel dan melakukan perkembangbiakan dengan menyerap hemolimfe. Pada saat melakukan perkembangbiakan, konidia menghasilkan destruksin yang dapat menyebabkan kematian larva. Larva yang mati akibat infeksi jamur M. anisopliae ditandai dengan tubuh yang lunak dan integument yang rapuh. Beberapa hari setelah larva mati, tubuh larva yang lunak akan berubah menjadi keras dan kaku akibat konidia yang menyelimuti tubuh larva (Prayogo dkk., 2005). 4.2 LC 50 LC 50 merupakan konsentrasi atau dosis suatu zat yang dibutuhkan untuk mematikan 50% serangga uji. LC 50 merupakan metode yang telah disepakati untuk menentukan toksisitas relatif insektisida, di mana penghitungan mortalitas biasanya dilakukan setelah 24 dan 48 jam setelah pemaparan insektisida pada hewan uji (Untung, 2006). Pada penelitian ini, pemaparan jamur M. anisopliae pada hewan uji dilakukan dengan cara pencelupan hewan uji pada larutan jamur M. anisopliae. Sehingga dalam hal ini pengujian tingkat toksisitas insektisida terhadap hewan uji dilakukan dengan aplikasi kulit (dermal) (Untung, 2006). Hasil analisis probit untuk mengetahui nilai LC 50 (pada Lampiran 5. Tabel 13 dan 14) dapat dilihat pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Nilai LC 50 Isolat Jamur M. anisopliae Isolat Jamur Nilai LC 50 HJMA-5 HJMA-8 10 5 konidia/ml 10 5 konidia/ml

44 Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa jenis isolat jamur M. anisopliae HJMA-5 dan HJMA-8 mempunyai nilai LC 50 yang sama yaitu sebesar 10 5 konidia/ml. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis isolat jamur membutuhkan konsentrasi sebesar 10 5 konidia/ml untuk mematikan 50% larva H. armigera. Nilai LC 50 pada masing-masing jenis isolat sama, hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis isolat HJMA-5 dan HJMA-8 mempunyai kemampuan yang sama untuk mematikan inang. Menurut Baidoo dan Ackuaku (2011), kisaran nilai LC 50 suatu jamur tergantung dari strain jamur, jenis serangga inang dan cara kontaminasi. Berbedanya strain jamur menunjukkan berbedanya faktor genetik masing-masing isolat. Faktor genetik tersebut menunjukkan berbedanya karakter fisiologi di antaranya, jumlah konidia yang dihasilkan dan daya kecambah konidia (viabilitas) masing-masing isolat (Nunilahwati, 2012). Sedangkan jenis serangga inang menunjukkan spesifitas serangga yang menjadi inang isolat. Indrayani (2011) menyatakan bahwa virulensi jamur entomopatogen akan tinggi pada inang utamanya (inang asal jamur diisolasi). Cara kontaminasi pada larva uji dapat dilakukan dengan cara penyemprotan suspensi spora secara langsung pada serangga, pencelupan serangga pada suspensi spora dan pencekokan. Harjaka dkk. (2004) melaporkan bahwa nilai LC 50 jamur M. anisopliae yang diinfeksikan pada P. xylostella dengan cara mencelupkan larva pada suspensi jamur adalah sebesar 1.2 x 10 6 konidia/ml. Sedangkan penginfeksian jamur M. anisopliae pada larva L. stigma dengan cara pencelupan memperoleh nilai LC 50 sebesar 1,0 3 x 10 8 konidia/ml (Harjaka dkk., 2011).

45 4.3 LT 50 LT 50 merupakan waktu yang dibutuhkan suatu zat untuk mematikan 50% serangga uji (Nunilahwati dkk., 2013). Hasil analisis nilai LT 50 isolat jamur M. anisopliae (pada lampiran 5. tabel 15 dan 16) dapat dilihat pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Nilai LT 50 Isolat Jamur M. anisopliae Isolat Jamur HJMA-5 HJMA-8 Konsentrasi (Konidia/ml) Nilai LT 50 10 5 Tidak tercapai 10 6 Tidak tercapai 10 7 Tidak tercapai 10 8 Tidak tercapai 10 5 Tidak tercapai 10 6 Tidak tercapai 10 7 Tidak tercapai 10 8 Tidak tercapai Berdasarkan tabel 4.3, maka dapat diketahui bahwa nilai LT 50 masing-masing konsentrasi isolat tidak tercapai atau tidak diperoleh. Nilai LT 50 berhubungan dengan mortalitas larva yang tercapai. Pada penelitian ini, mortalitas larva akibat infeksi jamur nilainya di bawah 50% sehingga nilai LT 50 tidak tercapai. Nunilahwati dkk. (2012) menyatakan bahwa nilai LT berhubungan dengan jumlah kerapatan konidia jamur. Semakin banyak konidia jamur yang menempel pada tubuh larva maka semakin cepat isolat jamur tersebut untuk mematikan larva (Budi dkk., 2013). Menurut Effendy (2010), semakin banyak konidia jamur yang

46 menempel dan berkecambah pada integumen serangga maka integumen serangga tersebut akan semakin cepat rusak dan cairan tubuh akan lebih cepat habis sehingga mengakibatkan serangga lebih cepat mati. Jamur entomopatogen membutuhkan waktu untuk mematikan inangnya (Herlinda dkk., 2008). Hal ini disebabkan oleh adanya proses dan tahapan-tahapan jamur dalam menginfeksi dan mematikan larva. Proses dan tahapan-tahapan jamur menginfeksi larva yaitu inokulasi (kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga), penempelan dan perkecambahan, penetrasi, destruksi dan kolonisasi dalam hemolimfa kemudian serangga akan mati, proses ini umumnya berlangsung 1 2 hari pada kondisi lingkungan yang sesuai (Prayogo dkk., 2005). 4.3 Penggunaan Biopestisida Sebagai Anjuran Menjaga Keseimbangan Alam Pengendalian hayati dengan menggunakan biopestisida merupakan salah satu program dari pengelolaan hama terpadu (PHT). Menurut Untung (2006), dasar program PHT adalah adanya keseimbangan populasi antara hama dan kompleks musuh alaminya. Dalam Al-Qur an surat Al-Mulk: 3, dijelaskan bahwa Allah SWT telah mengatur segala ciptaan-nya dalam keadaan seimbang. Misalnya dalam suatu ekosistem pertanian, di dalamnya dihuni beberapa produsen dan konsumen dengan jumlah tertentu yang secara alami dapat berjalan seimbang dengan adanya aktivitas memangsa dan dimangsa. Penggunaan pestisida yang tidak tepat dan secara terusmenerus dalam pertanian dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan ekosistem pertanian tersebut, di antaranya adalah terjadinya ledakan hama. Dalam Al-Qur an

47 surat Al-A raf: 56, Allah SWT melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi. Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat merusak ekosistem lingkungan, karena mengakibatkan ekosistem lingkungan menjadi tidak seimbang. Sehingga penggunaan pestisida dalam hal ini termasuk dalam perbuatan merusak lingkungan. Penggunaan biopestisida sebagai pengendali hama menjadi alternatif lain untuk membatasi penggunaan pestisida kimia. Berdasarkan penelitian, jamur M. anisopliae dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida pada beberapa jenis hama sasaran di antaranya adalah pada serangga ordo Lepidoptera (Prayogo, 2005). Jamur M. anisopliae merupakan musuh alami dari kelompok patogen. Penggunaan jamur M. anisopliae sebagai biopestisida bersifat aman dan ramah lingkungan. Karena bersifat spesifik inang, jamur M. anisopliae hanya membunuh hama sasaran, sehingga beberapa jenis serangga yang kemungkinan berperan sebagai musuh alami tidak terbunuh. Selain itu, musuh alami yang ada akan tetap mendapat mangsa karena hama yang bukan sasaran jamur tidak terbunuh. Sehingga siklus untuk saling memangsa antara organisme satu dengan organisme lainnya akan tetap berjalan dan keseimbangan ekosistem pertanaman tetap terjaga (Untung, 2006). Peran manusia dalam menjaga kelestarian lingkungan sangat diperlukan. Menurut Rossidy dkk. (2009), manusia adalah khalifah yang tugas utamanya yaitu memakmurkan bumi, yang intinya meliputi, Al-Intifa (mengambil manfaat dan mendayagunakan sebaik-baiknya), Al-I tibar (mengambil pelajaran, memikirkan, mensyukuri, seraya menggali rahasia-rahasia di balik alam ciptaan Allah SWT) dan

48 Al-Islah (memelihara dan menjaga kelestarian alam untuk kemaslahatan dan kemakmuran manusia serta tetap terjaganya harmoni kehidupan alam ciptaan Allah SWT). Pengendalian hayati dengan biopestisida merupakan bagian dari program PHT yang salah satu tujuannya adalah untuk membatasi penggunaan pestisida kimia serta berusaha memperkecil dampak negatif akibat pengunaan pestisida. Hal ini merupakan suatu tindakan mengambil pelajaran setelah adanya beberapa dampak negatif akibat penggunaan pestisida. Beberapa penelitian untuk mencari alternatif lain dalam mengendalikan hama di antaranya pengujian biopestisida merupakan suatu usaha untuk memikirkan dan menggali rahasia di balik ciptaan Allah yang merupakan wujud dari tugas utama manusia, yakni Al-I tibar.