I. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

Kronologi perubahan sistem suara terbanyak

PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

A. Kesimpulan BAB V PENUTUP

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN PDIP PPP PD

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (1)

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

RINGKASAN PUTUSAN.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN. PG Tetap PDIP PPP PD PAN PKB PKS BPD PBR PDS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA,

PEREMPUAN &PEMBANGUNAN DIAN KARTIKASARI KOALISI PEREMPUAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 60/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu

Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol dan. Penetapan Caleg Terpilih (3)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman *

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 48 partai politik peserta Pemilu Sistem multipartai ini

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

- 2 - MEMUTUSKAN : mencakup

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

- 2 - Memperhatikan : Keputusan Rapat Pleno Komisi Pemilihan Umum tanggal 25 Oktober MEMUTUSKAN :

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 2008 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum;

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tamb

BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH

Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum

2012, No.1048A 2 Mengingat : 1.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2006 Nomor

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

DAFTAR RIWAYAT HIDUP CALON ANGGOTA TIM SELEKSI BAWASLU PROVINSI PROVINSI.

TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG VERIFIKASI PARTAI POLITIK

Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014

BAB II KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA. A. Sejarah Singkat Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Labuhan Batu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

BAB V PENUTUP. sistem-sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di kedua Pemilu itu

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

Kajian Pelaporan Awal Dana Kampanye Partai Politik Pemilu 2014: KPU Perlu Tegas Atas Buruk Laporan Dana Kampanye Partai Politik

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

2 Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengawasan Pemilihan Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembar

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERAN BAWASLU Oleh: Nasrullah

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

ANATOMI CALEG PEMILU FORMAPPI 3 Oktober 2013

I. PENDAHULUAN. ini merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat serta utusan daerah dan golongan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-X/2012 Tentang Persyaratan Partai Politik Peserta Pemilu

Taufiq Amri 1. Kata Kunci: kebijakan, partai politik, keterwakilan, perempuan, pencalonan anggota legislatif, Kabupaten Paser

URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 5 TAHUN 2009

KUASA HUKUM Veri Junaidi, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 18 Agustus 2014.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 142/PUU-VII/2009 Tentang UU MPR, DPR, DPD & DPRD Syarat menjadi Pimpinan DPRD

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif yang menjamin kesempatan yang sama, seperti dalam pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative action diperlukan untuk mendorong keterwakilan perempuan di lembaga legislatif yang hingga saat ini sangat minim secara kuantitatif. Menurut Utami (dalam Faizain, 2012:3), minimnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif disebabkan kultur atau budaya yang mengukuhkan bahwa laki-laki dipandang sebagai pencari nafkah, sehingga laki-laki yang dominan peranannya dalam proses pengambilan keputusan sehingga membuat perempuan menjadi lemah sikap mentalnya untuk terjun ke ranah publik. Keberadaan keterwakilan perempuan yang sangat minim di DPR RI sejak pemilu 1955-2009 dapat dilihat pada tabel 1.

2 Tabel 1. Jumlah Perempuan di DPR (1955-2009). Masa Kerja DPR Perempuan Jumlah Anggota Persentasi 1955-1960 17 272 6,3 1956-1959 25 488 5,1 1971-1977 36 460 7,8 1977-1982 29 460 6,3 1982-1987 39 460 8,5 1987-1992 65 500 13 1992-1997 62 500 12,5 1997-1999 54 500 10,8 1999-2004 45 500 9 2004-2009 65 550 11,8 2009-2014 108 560 17,5 Sumber : Media Center KPU (mediacenter.kpu.go.id) Kebijakan affirmative action untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR dapat dilakukan dengan menempatkan perempuan dalam daftar calon anggota legislatif sebagai calon potensial, memberikan pelatihan khusus dukungan pendanaan, dan publikasi berimbang terhadap calon perempuan tersebut. Di Indonesia, kebijakan affirmative action yang diterapkan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR dilakukan dengan memberlakukan sistem kuota 30% keterwakilan perempuan. Sistem kuota dianggap menjadi pilihan yang tepat untuk mempercepat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, khususnya dalam keterwakilan perempuan di DPR. Sistem kuota 30% calon legislatif perempuan telah berhasil diwujudkan pertama kali ke dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Kemudian berlanjut pada Pemilu tahun 2009 yang tertuang dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 dan kemudian pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

3 Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menjadi salah satu dasar penyelenggaraan Pemilu tahun 2014. Pasal tentang pemberlakuan kuota 30 persen calon legislatif perempuan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tertuang pada Pasal 55 yang berbunyi : Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud Pasal 53 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Untuk mempertegas kuota 30% keterwakilan perempuan pada pemilu 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan yang menimbulkan kontroversi. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat PKPU) No. 7 Tahun 2013 tentang pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan pada PKPU No. 7 Tahun 2013 terdapat pada pasal-pasal berikut : 1. Pasal 11 huruf (a) yang berbunyi : Daftar bakal calon menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan. 2. Pasal 24 ayat 1 huruf (c) yang berbunyi : Jumlah dan persentase keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) untuk setiap daerah pemilihan sebagaimana dimaksud Pasal 11 huruf a. 3. Pasal 24 ayat 2 yang berbunyi : Dalam hal partai politik telah memenuhi syarat 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan dan menetapkan sekurang-kurangnya 1 (satu) nama bakal calon perempuan dalam setiap 3 (tiga) nama bakal calon nomor urut yang lebih kecil, partai politik dinyatakan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. 4. Pasal 50 yang berbunyi : Jumlah minimum penyertaan keterwakilan 30% (tiga puluh persen) perempuan berdasarkan alokasi kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota serta penempatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b, terlampir dalam Lampiran II peraturan ini, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan ini.

4 Kebijakan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam PKPU No. 7 Tahun 2013 memberikan konsekuensi kepada partai politik peserta pemilu 2014 untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan berdasarkan alokasi kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Apabila partai politik peserta pemilu 2014 tidak dapat memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan di setiap tingkatan maka partai politik tersebut dinyatakan tidak memenuhi persyaratan pengajuan bakal calon pada daerah pemilihan yang tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Artinya, daerah pemilihan suatu partai politik akan dihapuskan apabila tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan walaupun bakal calon lain partai politik dalam daerah pemilihan tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan. Konsekuensi dari kebijakan KPU inilah yang pada akhirnya menimbulkan kontroversi. Menurut Arif Wibowo (anggota Komisi II DPR), pengaturan soal sanksi penghapusan keterwakilan partai politik daerah pemilihan apabila tidak melaksanakan ketentuan diantara 3 calon ada 1 (satu) calon perempuan dan tidak menyertakan sekurang-kurangnya 30 % bakal calon perempuan dalam suatu daerah pemilihan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum 1. Sedangkan menurut pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Saleh Daulay 2 mengungkapkan bahwa pemenuhan kuota 30 persen perempuan 1 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/03/17/1/139214/dpr-menilai-peraturan- KPU-Nomor-7-Inkonstitusional 2 http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/13/06/25/moyck4-kuota-30-persen-perempuandiminta-dikaji-ulang

5 dalam proses pencalonan perlu dikaji ulang. Ada beberapa isu yang perlu dipertimbangkan berkenaan dengan itu. Penetapan kuota 30 persen itu membuat demokrasi Indonesia menjadi lebih liberal dibandingkan dengan di negara-negara tempat kelahiran demokrasi. Liberalisasi di sini dimaknai sebagai proses pemaksaan partisipasi perempuan dalam politik. Jika dilihat dari aspek sosio-kultural masyarakat Indonesia, tidak semua perempuan tertarik dengan dunia politik. Banyak yang lebih tertarik mengurusi pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya. Kuota perempuan itu sifatnya formalitas, bukan substansial. Dengan aturan itu, banyak partai politik yang hanya sekadar merekrut caleg perempuan agar daftar calegnya lolos. Persoalan perempuan yang direkrut itu serius atau tidak, kelihatannya belum jadi perhatian utama. Selain itu, Aturan kuota 30 persen justru akan melanggar hak-hak politik orang lain. Jika ternyata di dalam satu daerah pilihan ada yang tidak cukup kuota perempuannya, maka seluruh calon legislatif di daerah pilihan itu digugurkan. Aturan ini secara faktual telah mengebiri hak-hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih dalam proses demokrasi yang ada. Hanya karena kuota perempuan, muncul ketidakadilan pada yang lain. Kebijakan ini juga mendapatkan kritikan dari rekan kerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bawaslu menilai KPU telah melebihi batas kewenangannya. Menurut Ketua Bawaslu, Muhammad 3, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, secara tegas mengatur jika syarat minimal 30 persen tidak dipenuhi, maka berkas akan dikembalikan ke partai politik untuk dipenuhi. Dan kalau tidak juga 3 http://www.jpnn.com/read/2013/04/05/166066/kpu-saklek-soal-kuota-30-persen-perempuan,- Bawaslu-Teriak-

6 dipenuhi, KPU dapat mengumumkannya kepada publik. Tapi dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013, KPU justru menghilangkan hak-hak politik partai di daerah pemilihan, di mana syarat 30 persen tidak terpenuhi, maka akan membatalkan keterwakilan partai politik lainnya. Di lain pihak, KPU sebagai pembuat kebijakan tersebut meyakini pengaturan KPU terkait kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen dalam daftar calon anggota legislatif partai politik untuk diajukan dalam pemilu 2014 sudah sesuai dengan Undang-Undang Pemilu 4. Sementara itu Komisioner KPU Ida Budhiati 5 mengatakan, UUD 1945 menjamin kesetaraan perempuan di bidang politik. Ada afirmasi kepada kelompok-kelompok minoritas. Dari aspek historis, spirit jaminan perlindungan HAM dan hak asasi perempuan diadopsi dalam norma hukum kita. Selain mendapatkan kritikan, kebijakan KPU ini juga mendapatkan dukungan dari berbagai aliansi penggiat perempuan. Tokoh penggiat kesetaraan gender dan hak-hak perempuan, Sjamsiah Achmad, mendukung penuh kebijakan tersebut dan berharap KPU tetap konsisten menerapkan kebijakan tersebut tanpa terpengaruh lobi partai politik. Menurutnya kebijakan kuota 30 persen merupakan kebijakan khusus yang bersifat sementara untuk mendorong terlibatnya perempuan dalam ranah pengambilan keputusan publik secara lebih massif. Kebijakan ini diambil untuk mencapai salah satu di antara 8 4 http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=284500:kuota-30- persen-caleg-perempuan-sesuai-uu-pemilu&catid=17:politik&itemid=30 5 http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/01/1/143003/kuota-caleg-perempuan- 30-Persen-Sesuai-UU-Pemilu

7 Millenium Developments Goals (MDG s) yang disepakati 189 negara anggota PBB dan ditargetkan tercapai pada tahun 2015. 6 Walaupun ini merupakan kebijakan yang positif bagi perempuan, tetapi dampak negatif dari kebijakan tersebut dikhawatirkan akan berimbas kepada perempuan itu sendiri. Hal ini terjadi karena partai politik harus bekerja ekstra keras untuk memenuhi kuota 30 persen calon legislatif dan jika tidak terpenuhi, ancaman diskualifikasi akan diberlakukan bagi daerah pemilihan partai politik yang tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan. Kemudian yang terjadi adalah penurunan syarat-syarat kualitas yang sudah distandarisasi oleh setiap partai politik agar perempuan dapat menjadi calon legislatif yang hanya sekedar memenuhi syarat administratif. Bahkan ada partai politik yang ikut membantu mengurus proses pendaftaran berikut semua syarat-syaratnya 7. Kebijakan affirmative action kuota 30% keterwakilan perempuan telah ada sejak pemilu 2004. Oleh sebab itu, telah ada beberapa penelitian terkait kuota 30% keterwakilan perempuan ini. Beberapa penelitian terdahulu yang sejenis dengan penelitian ini, diantaranya: 1. Ariany (2009) tentang Partisipasi Perempuan di Legislatif Melalui Kuota 30% Keterwakilan Perempuan di Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil penelitian yang didapat adalah bahwa ketentuan kuota 30% keterwakilan perempuan tidak sepenuhnya terlaksana di Provinsi Kalimanta Selatan karena terlihat dari daftar calon legislatif yang belum 6 http://www.shnews.co/detile-18208-caleg-perempuan-di-balik-%e2%80%9ckursiistimewa%e2%80%9d.html 7 http://www.shnews.co/kolom/podium/detile-117-problem-kuota-caleg-perempuan.html

8 sepenuhnya memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Selain itu, rendahnya keterpilihan perempuan dalam lembaga legislatif yang hanya (11,81%) juga karena banyak perempuan yang tidak memiliki kualitas tetapi hanya semata-mata untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. 2. Siregar (2006) tentang Women and the Failure to Achive the 30 Percent Quota in the 2004-2009 Indonesian Parliaments: The Role of The Electoral System. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya ada 3 partai politik peserta pemilu 2004 yang mampu memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya sanksi yang mengatur pemberlakuan kuota 30% keterwakilan perempuan. Sehigga pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan berdasarkan dari keinginan partai politik itu sendiri. 3. Muri (2009) tentang Evaluasi Respon Partai Politik Terhadap Pemenuhan Kuota 30% Keterwakilan Perempuan dalam Pencalonan Anggota Legislatif Pada Pemilu 2009 di Surakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partai politik telah memiliki respon yang positif terhadap pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan. Tetapi partai politik belum menindaklanjuti respon tersebut dalam hal peningkatan kualitas kader perempuan. Oleh sebab itu peneliti memberikan saran kepada partai politik untuk meningkatkan program pelatihan ataupun pendidikan politik untuk peningkatan kualitas dan kapabilitas calon legislatif perempuan.

9 Hasil penelitian terdahulu terkait kuota 30% keterwakilan perempuan menunjukkan bahwa masih banyak masalah mengenai pemenuhan kuota 30% keterwakilan perempuan. Buruknya kaderisasi partai politik terhadap terhadap perempuan memberikan dampak terhadap sulitnya partai politik dalam merekrut calon legislatif perempuan untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Akibatnya partai politik masih berorientasi terhadap kuantitas ketimbang kualitas calon legislatif perempuan yang direkrut. Setelah melalui dua kali masa pemilu, semestinya partai politik telah mempersiapkan kader perempuan yang berkualitas dan tidak lagi kesulitan untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan dalam pemilu 2014. Tetapi pada kenyataannya hal tersebut masih dialami partai politik peserta pemilu 2014. Untuk itu, masalah kualitas calon legislatif perempuan yang direkrut partai politik sepatutnya menjadi sorotan jika dilihat dari hasil penelitian terdahulu untuk membuktikan keterkaitan antara pemberlakuan kuota 30% keterwakilan perempuan dengan kualitas calon legislatif perempuan yang direkrut partai politik. Terlebih lagi pada pemilu 2014 terdapat sanksi bagi partai politik yang tidak memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Hal ini akan menyebabkan partai lebih berorientasi kepada kuantitas ketimbang kualitas dalam memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan. Berdasarkan pada uraian di atas, mengenai pemberlakuan kuota 30 persen calon legislatif perempuan yang harus dipenuhi oleh partai politik dan sanksi yang diberlakukan apabila partai politik tidak dapat memenuhi syarat tersebut yang tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 tentang pencalonan

10 Anggota DPR, DPRD Provinsi Dan DPRD Kabupaten/Kota sehingga menimbulkan beberapa kendala seperti penurunan syarat-syarat kualitas yang sudah distandarisasi oleh setiap partai politik agar perempuan dapat menjadi calon legislatif yang hanya sekedar memenuhi syarat administratif yang akan berdampak kepada kualitas dari calon legislatif perempuan. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tentang Dampak Kebijakan Affirmative Action Calon Legislatif Perempuan terhadap Kualitas Rekrutmen Calon Legislatif Perempuan di DPC PDI Perjuangan Kabupaten Pringsewu Tahun 2013. B. Rumusan Masalah Dari penjelasan latar belakang masalah di atas, maka agar penelitian ini lebih jelas dan terarah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana dampak kebijakan affirmative action kuota 30% calon legislatif perempuan terhadap kualitas rekrutmen calon legislatif perempuan?. C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang akan dilaksanakan oleh penulis adalah untuk mengetahui dampak kebijakan affirmative action kuota 30% calon legislatif perempuan terhadap kualitas rekrutmen calon legislatif perempuan.

11 D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis Berguna bagi pengembangan pembuatan teori kebijakan khususnya kebijakan yang berkaitan tentang perempuan dan dapat digunakan untuk menambah literatur atau sebagian bahan masukan bagi penelitian selanjutnya yang mengkaji permasalahan yang sama dengan penelitian ini. 2. Secara Praktis Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai referensi dan informasi bagi berbagai pihak, terutama bagi perempuan dalam politik dan bagi partai politik dalam melakukan rekrutmen terhadap perempuan untuk dijadikan calon legislatif agar kualitas dan kesetaraan gender dapat tercapai di dunia politik.