DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

WALIKOTA SINGKAWANG. PROVINSI KALIMANTAN BARAT.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 35/permentan/OT.140/7/2011 PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 35/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

-1- QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

BUPATI GOWA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GOWA NOMOR 06 TAHUN 2014 PENERTIBAN PEMELIHARAAN HEWAN TERNAK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG PEMELIHARAAN TERNAK

KETENTUAN PEMELIHARAAN TERNAK BUPATI MAROS

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR : 7 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU,

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 11 TAHUN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL (Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul) Nomor : 1 Tahun : 2017

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 02 TAHUN 2015 TENTANG PENERTIBAN PEMELIHARAAN HEWAN TERNAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 13 TAHUN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA,

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BARRU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 4 TAHUN 2015 PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA DAN PEREDARAN OBAT HEWAN DI KABUPATEN JEMBRANA

SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG IZIN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN MENGEMUDI KENDARAAN BERMOTOR

BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYERAHAN PRASARANA, SARANA,

LEMBARAN DAERAH KOTA DUMAI

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

PENERTIBAN HEWAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN KONAWE SELATAN

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2005 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 7 TAHUN 2006 SERI : C NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 7 TAHUN 2006 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 18 TAHUN 2003 TENTANG IZIN USAHA BUDIDAYA PETERNAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

BUPATI PURWAKARTA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 15 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TERMINAL BARANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PRAMUWISATA DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG PENGATURAN BUKTI KEPEMILIKAN TERNAK DALAM KABUPATEN BULUKUMBA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG IZIN PEMAKAIAN RUMAH MILIK ATAU DIKUASAI PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 9 TAHUN TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PENGELOLAAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG IZIN PEMAKAIAN RUMAH MILIK ATAU DIKUASAI PEMERINTAH KOTA SURABAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENERTIBAN TERNAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

BUPATI JENEPONTO PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI KABUPATEN JENEPONTO NOMOR 10 TAHUN 2017

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009 BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN BONE PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 08 TAHUN 2009

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

WALIKOTA KENDARI PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 7 TAHUN 2015 T E N T A N G

L E M B A R A N D A E R A H PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN TERNAK DAERAH

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 2 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN DAN PEMOTONGAN HEWAN

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALANGKA RAYA

QANUN KABUPATEN PIDIE NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENGGUNAAN TANAH UNTUK PEMASANGAN JARINGAN PIPA GAS

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG BANTUAN HUKUM KEPADA MASYARAKAT MISKIN

PEMERINTAH KOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENYIARAN TELEVISI MELALUI KABEL

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PEMANFAATAN RUANG MILIK JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 24

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 3 TAHUN 2010 SERI : E NOMOR : 3

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2008 NOMOR 10

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KATINGAN

P E R A T U R A N D A E R A H

BUPATI GOWA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GOWA NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG PENERTIBAN PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH NEGARA

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOABARU NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG IZIN USAHA INDUSTRI

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA MATARAM NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MINUMAN BERALKOHOL

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENTERAMAN, KETERTIBAN UMUM DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA DIY) NOMOR : 15 TAHUN 1987 (15/1987) TENTANG USAHA PETERNAKAN

Draf RUU SBT 24 Mei 2016 Presentasi BKD di Komisi IV DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM BUDIDAYA TANAMAN

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TK II SLEMAN

Transkripsi:

1 SALINAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYEMBELIHAN TERNAK BETINA PRODUKTIF DAN PENGELUARAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan populasi ternak di Provinsi Sulawesi Selatan dan mendukung swasembada daging nasional, maka dilakukan pengendalian yang meliputi pernyembelihan dan pengeluaran; b. bahwa upaya meningkatkan populasi ternak sebagaimana dimaksud pada huruf a, antara lain dilakukan pengendalian penyembelihan ternak betina produktif dan pengeluaran ternak; c. bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kewenangan untuk melakukan pengendalian penyembelihan ternak betina produktif dan pengendalian atas pengeluaran ternak dalam rangka peningkatan daya saing daerah; d. bahwa penyembelihan ternak rumensia betina produktif dilarang disembelih berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (2), dan mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan dilarang berdasarkan ketentuan Pasal 42 ayat (5), Pasal 58 ayat (5) dan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tentang Pengendalian Penyembelihan Ternak Betina Produktif dan Pengeluaran Ternak;

2 Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2102), Jo Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dengan mengubah Undang-Undang Nomor 47 Prp. Tahun 1960 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara dan Daerah Tingkat I Sulawesi Utara Tengah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2687); 3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619); 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

3 5. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2011 tentang Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Ternak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5260); 6. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT. 140/7/2011 tentang Pengendalian Ternak Ruminansia Betina Produktif (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 434); 7. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 269); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN dan GUBERNUR SULAWESI SELATAN MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PENGENDALIAN PENYEMBELIHAN TERNAK BETINA PRODUKTIF DAN PENGELUARAN TERNAK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Provinsi Sulawesi Selatan. 2. Provinsi adalah Provinsi Sulawesi Selatan. 3. Pemerintah Daerah adalah Gubernur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 4. Gubernur adalah Gubernur Sulawesi Selatan. 5. Kabupaten Kota adalah Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. 6. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di Provinsi Sulawesi Selatan.

4 7. Dinas adalah Perangkat Daerah yang sesuai tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan dan membidangi urusan peternakan dan kesehatan hewan di Provinsi Sulawesi Selatan. 8. Dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran hewan, sertifikasi kompetensi, dan kewenangan medic veteriner dalam melaksanakan pelayanan kesehatan hewan. 9. Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, bupati atau walikota untuk menyelenggarakan kesehatan hewan. 10. Petugas berwenang adalah petugas yang memiliki kompetensi dibidang reproduksi ternak dan kesehatan hewan yang ditunjuk oleh Gubernur, Bupati/Walikota untuk menyelenggarakan pemeriksaan alat reproduksi dan kesehatan hewan. 11. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit, bakalan, ternak ruminansia indukan, pakan, alat dan mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, pengusahaan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana. 12. Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan pelindungan sumber daya hewan, kesehatan masyarakat, dan lingkungan serta penjaminan keamanan produk hewan, kesejahteraan hewan, dan peningkatan akses pasar untuk mendukung kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan asal hewan. 13. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. 14. Benih hewan ternak adalah selanjutnya disebut benih adalah bahan reproduksi hewan yang dapat berupa semen, sperma, ova, telur tertunas, dan embrio.

5 15. Ternak adalah hewan peliharaan berupa sapi dan kerbau yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian. 16. Ternak Betina Produktif adalah ternak sapi dan kerbau betina yang organ reproduksinya masih berfungsi secara normal dan dapat melahirkan anak serta tidak cacat. 17. Ternak Indukan yang selanjutnya disebut Indukan adalah ternak betina bukan bibit yang memiliki organ reproduksi normal dan sehat digunakan untuk pengembangbiakan. 18. Ternak Ruminansia Betina Produktif adalah Ternak Ruminansia sapi dan kerbau betina yang organ reproduksinya masih berfungsi secara normal dan dapat beranak. 19. Ternak Ruminansia Indukan adalah ternak sapi dan kerbau betina bukan bibit yang memiliki organ reproduksi normal dan sehat digunakan untuk pengembangbiakan. 20. Penyembelihan adalah suatu aktivitas, pekerjaan atau kegiatan menghilangkan nyawa hewan dengan cara menggunakan alat bantu atau benda tajam kearah urat leher atau saluran pernafasan. 21. Pengendalian Penyembelihan Ternak Betina Produktif adalah serangkaian kegiatan untuk mengelola suatu aktivitas, pekerjaan, atau kegiatan menghilangkan nyawa Ternak Betina Produktif dengan memakai alat bantu. 22. Pengeluaran ternak adalah memindahkan ternak dalam keadaan hidup dari kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan ke luar daerah Sulawesi Selatan. 23. Pengendalian Pengeluaran Ternak adalah serangkaian kegiatan untuk membatasi keluarnya Ternak dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. 24. Penyeleksian adalah serangkaian kegiatan memilih ternak sapi dan kerbau betina produktif, dari populasi sesuai kriteria bibit. 25. Penjaringan adalah serangkaian kegiatan untuk memeroleh ternak sapi dan kerbau betina produktif yang akan dijadikan ternak bibit dari hasil seleksi.

6 26. Pembibitan adalah serangkaian kegiatan pembudidayaan untuk menghasilkan bibit sapi dan kerbau sesuai pedoman pembibitan ternak yang baik. 27. Pemuliaan ternak yang selanjutnya disebut pemuliaan adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun guna mencapai tujuan tertentu. 28. Bibit ternak yang selanjutnya disebut bibit adalah ternak sapi dan kerbau yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan. 29. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UPT atau nama lain adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas yang menyelenggarakan dan membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di Provinsi Sulawesi Selatan. 30. Rumah Penyembelihan Hewan yang selanjutnya disingkat RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat menyembelih hewan. 31. Tempat Penyembelihan Hewan yang selanjutnya disingkat TPH adalah tempat kegiatan penyembelihan hewan 32. Tim Pembina Provinsi adalah kelompok kerja dari unsur Dinas yang merupakan bagian unit produksi dan kesehatan hewan. 33. Kartu Identitas Ternak adalah kartu yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk yang digunakan dalam pengaturan ternak untuk mencatat keterangan-keterangan yang perlu tentang seekor ternak dan status kepemilikannya. 34. Setiap orang adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang melakukan kegiatan dibidang pertenakan. 35. Peternak adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang melakukan kegiatan dibidang peternakan. 36. Perusahaan Peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak

7 berbadan hukum yang melakukan kegiatan dibidang peternakan. 37. Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Daerah ini guna menemukan tersangkanya. 38. Penyidik adalah penjabat yang berwenang melakukan penyidikan. BAB II ASAS, MAKSUD, DAN TUJUAN Bagian Kesatu Asas Pasal 2 Pengendalian Penyembelihan Ternak Betina Produktif dan Pengeluaran Ternak diselenggarakan berdasarkan asas: a. pengayoman; b. kesejahteraan hewan; c. kemanusiaan; d. keseimbangan; e. keserasian; f. keselarasan; g. ketertiban; dan h. kepastian hukum. Bagian kedua Maksud Pasal 3 (1) Maksud Pengendalian Penyembelihan Ternak Betina Produktif untuk; a. mempertahankan sumber daya ternak yang ada baik secara kualitas maupun kuantitas; dan b. meningkatkan populasi ternak. (2) Maksud pengendalian pengeluaran ternak untuk mempertahankan populasi Ternak.

8 Bagian ketiga Tujuan Pasal 4 Pengendalian Penyembelihan Ternak Betina Produktif dan Pengeluaran Ternak bertujuan untuk: a. mempertahankan populasi Ternak Betina Produktif; dan b. mengurangi perpindahan ternak dalam keadaan hidup keluar dari Daerah. BAB III PENGIDENTIFIKASIAN STATUS REPRODUKSI TERNAK Pasal 5 (1). Setiap peternak wajib melakukan identifikasi ternak. (2). Identifikasi ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menetapkan ternak betina produktif. (3). Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di: a. peternakan hewan; b. pasar hewan; c. RPH; dan d. TPH. (4) Tata cara pelaksanaan identifikasi ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. Pasal 6 Identifikasi Ternak Betina Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan sesuai kriteria: a. reproduksi melahirkan kurang dari 5 (lima) kali; b. berumur di bawah 8 (delapan) tahun; c. tidak cacat fisik; d. fungsi organ reproduksi normal; dan e. memenuhi persyaratan kesehatan hewan. Pasal 7 (1). Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 menjadi dasar penentuan: a. ternak betina produktif; atau b. ternak betina tidak produktif.

9 (2) Ternak Betina Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dijadikan indukan untuk pengembangbiakan. (3) Ternak betina tidak produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan penggemukan untuk dijadikan ternak potong. Pasal 8 Tata cara pelaksanaan identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. BAB IV PENYELEKSIAN TERNAK Pasal 9 (1) Pemerintah Daerah melakukan penyeleksian ternak. (2) Penyeleksian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menentukan Ternak Betina Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. (3) Penyeleksian ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan pada : a. hasil pemuliaan; b. hasil pengujian; dan c. pengkajian ternak. Pasal 10 Penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan oleh: a. Dokter Hewan Berwenang; atau b. Petugas berwenang. Pasal 11 (1). Penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), dilakukan sesuai kriteria: a. ternak asli; b. ternak lokal; c. sehat dan bebas dari penyakit hewan menular; dan d. performa memenuhi kriteria bibit. (2). Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c didasarkan pada:

10 a. rumpun hewan; b. umur hewan; dan c. kesuburan hewan. Pasal 12 Hasil seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dijadikan dasar untuk penentuan: a. Ternak betina produktif; dan b. Ternak betina yang dapat dikembangbiakkan. Pasal 13 Tata cara pelaksanaan penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 12, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. BAB V PENJARINGAN TERNAK BETINA PRODUKTIF Pasal 14 (1) Pemerintah Daerah serta Kabupaten dan Kota sesuai lingkup kewenangan masing-masing melakukan penjaringan Ternak Betina Produktif. (2) Penjaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap: a. dokumen kepemilikan ternak yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau Lurah; b. surat keterangan kesehatan hewan dari Dokter Hewan; dan c. performa ternak sesuai dengan surat keterangan dari Dokter Hewan Berwenang atau Petugas Berwenang. (3) Ternak betina produktif hasil penjaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberi tanda. (4) Pelaksanaan penjaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib didukung oleh: a. pengelola RPH; b. pengelola TPH; dan c. peternak. (5) Tata cara pelaksanaan penjaringan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

11 Pasal 15 (1) Hasil penjaringan Ternak Betina Produktif dapat ditampung di: a. kelompok peternak; b. Perusahaan Peternakan; dan c. UPT. (2) Peternak dan perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ditunjuk oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. (3) Tata cara penjaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. BAB VI SERTIFIKASI TERNAK Pasal 16 (1) Setiap peternak wajib melakukan sertifikasi terhadap ternak. (2) Sertifikasi terhadap ternak menghasilkan sertifikasi ternak. (3) Sertifikat Ternak dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi ternak atau bibit (4) Lembaga sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa lembaga terakreditasi. (5) Apabila lembaga sertifikasi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum terbentuk, Gubernur menunjuk Dokter Hewan Berwenang atau Petugas Berwenang untuk melakukan sertifikasi. (6) Tata cara pelaksanaan sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. BAB VII PEMBIBITAN TERNAK Pasal 17 (1) Pemerintah Daerah melakukan penjaringan terhadap ternak betina produktif. (2) Hasil penjaringan terhadap ternak betina produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar menentukan bibit ternak.

12 (3) Tata cara penentuan bibit ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. Pasal 18 (1) Pemerintah Daerah mengembangkan usaha pembibitan dan budidaya ternak. (2) Pembibitan dan budidaya ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam bentuk kawasan peternakan. (3) Tata cara pembentukan usaha pembibitan dan budidaya ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. Pasal 19 Pemerintah Daerah melakukan inventarisasi dan dokumentasi atas Sumber Daya Genetik Ternak yang sebaran asli geografisnya lintas Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi. Pasal 20 Inventarisasi dan dokumentasi Sumber Daya Genetik Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilakukan dengan memperhatikan: a. kekayaan keanekaragaman sumber daya genetik hewan; b. pengetahuan tradisional; dan c. kearifan lokal. BAB VIII PENYEMBELIHAN TERNAK BETINA PRODUKTIF Pasal 21 (1) Setiap orang, Peternak dan Perusahaan Peternakan dilarang menyembelih Ternak Betina Produktif. (2) Larangan penyembelihan ternak betina produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di: a. pasar Ternak: b. RPH; dan c. TPH. (3) Larangan penyembelihan Ternak Betina Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berpedoman pada:

13 a. pengidentifikasian status reproduksi; b. pencatatan seleksi; c. pemeriksaan antemortem; dan d. pengamatan kesehatan hewan. Pasal 22 (1) Larangan penyembelihan Ternak Betina Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikecualikan atas: a. keperluan penelitian; b. pemuliaan; c. pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan; dan d. upacara adat. (2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d apabila pelaksana upacara adat tidak memperoleh ternak jantan. (3) Setiap orang, Peternak dan Perusahaan Peternakan yang akan melakukan penyembelihan ternak betina produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Kabupaten/Kota sesuai lingkup kewenangan masingmasing. Pasal 23 (1) Ternak Betina Produktif yang akan disembelih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan oleh: a. Dokter Hewan Berwenang; atau b. Petugas Berwenang. (2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan di: a. kandang penampungan; b. RPH; atau c. TPH. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 3 (tiga) hari sebelum disembelih. Pasal 24 (1) Setiap orang dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan ternak betina produktif sakit dan/atau cacat.

14 (2) Penentuan terjadinya perbuatan yang menyebabkan ternak betina produktif sakit atau cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan oleh : a. Dokter Hewan Berwenang; atau b. Petugas Berwenang. (3) Ternak betina produktif sakit dan/atau cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang disembelih. Pasal 25 (1) Pemerintah Daerah mencegah penyembelihan ternak betina produktif. (2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. sosialisasi kepada: 1. masyarakat; 2. peternak; 3. pedagang ternak; dan 4. penyembelih/jagal. b. komunikasi, informasi dan edukasi kepada : 1. masyarakat; 2. peternak; 3. pedagang ternak; dan 4. penyembelih/jagal. c. intensifikasi pemeriksaan yang akan disembelih; dan d. mengoordinasikan secara efektif dengan pemerintah Kabupaten/Kota. (3) Tata cara pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. BAB IX PENGELUARAN TERNAK Pasal 26 (1) Setiap Orang, Peternak dan Perusahaan Peternakan dilarang memindahkan ternak dalam keadaan hidup keluar dari Daerah. (2) Pemerintah Daerah berwenang melakukan pencegahan terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

15 (3) Pencegahan pengeluaran Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara: a. sosialisasi kepada: 1. masyarakat; 2. Peternak; dan 3. pedagang Ternak. b. komunikasi, informasi dan edukasi kepada: 1. masyarakat; 2. Peternak; dan 3. pedagang Ternak. c. intensifikasi pemeriksaan ternak yang akan dikeluarkan; dan d. mengoordinasikan secara efektif dengan pemerintah Kabupaten/Kota. (4) Tata cara pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. Pasal 27 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikecualikan, apabila untuk keperluan: a. penelitian dan pengembangan Ternak; b. pemuliaan Ternak; c. pembibitan Ternak; d. budidaya Ternak; dan e. kebutuhan Ternak Daerah. (2) Setiap orang yang akan mengeluarkan/memindahkan ternak dari Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin kepada Pemerintah Daerah. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a. mendapatkan rekomendasi pengeluaran ternak dari Kepala Dinas yang membidangi urusan pemerintahan di bidang peternakan dan kesehatan hewan; b. ketersediaan kebutuhan Ternak di Daerah; c. rekomendasi pemerintah daerah tujuan; dan d. surat keterangan pemasukan/penggunaan hewan dari pemerintah daerah tujuan.

16 Pasal 28 (1) Pemerintah Daerah mencegah Pengeluaran Ternak. (2) Pencegahan Pengeluaran Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara pemeriksaan di: a. alat pengangkutan; b. cek point; c. pelabuhan; dan d. pasar ternak. (3) Pencegahan Pengeluaran Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan cara pemeriksaan dokumen terkait. (4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi: a. kartu ternak; b. surat keterangan kesehatan hewan; c. surat keterangan pengeluaran ternak; dan d. rekomendasi pengeluaran ternak. (5) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, diterbitkan oleh dinas/satuan kerja yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten dan Kota. (6) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, untuk Ternak yang akan dikeluarkan dari Daerah Provinsi diterbitkan oleh Dinas. BAB X KESEJAHTERAAN HEWAN Pasal 29 (1) Setiap orang atau perusahaan peternakan Penyembelihan Ternak wajib memperhatikan aspek kesejahteraan hewan. (2) Kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menerapkan prinsip kebebasan hewan berupa bebas: a. dari rasa lapar; b. dari haus; c. dari rasa sakit;. d. cedera; e. dari penyakit;

17 f. dari ketidaknyamanan; g. dari penganiayaan; h. dari penyalahgunaan; i. dari rasa takut; dan j. untuk mengekspresikan perilaku alami. (3) Prinsip kebebasan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterapkan di tempat: a. penangkapan; b. penanganan; c. pengandangan; d. pemeliharaan; e. perawatan; f. pengangkutan; g. penggunaan dan pemanfaatan; dan h. penyembelihan. (4) Tata cara penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. BAB XI PEMBIAYAAN Pasal 30 (1) Biaya pelaksanaan pengendalian penyembelihan ternak betina produktif dan pengendalian pengeluaran ternak dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. (2) Pemerintah Kabupaten/Kota mengalokasikan anggaran pelaksanaan pengendalian penyembelihan ternak betina produktif dan pengendalian pengeluaran ternak sesuai lingkup urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. (3) Tata cara pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

18 BAB XII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Pembinaan Pasal 31 (1) Gubernur melakukan pembinaan terhadap pengendalian penyembelihan ternak betina produktif dan pengeluaran ternak. (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berkoordinasi Bupati/Walikota dan instansi vertikal terkait. (3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara: a. sosialisasi; b. koordinasi; c. informasi; dan d. edukasi. Bagian Kedua Pengawasan Pasal 32 (1) Gubernur melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pengendalian penyembelihan Ternak Betina Produktif dan Pengeluaran Ternak. (2) Pengawasan terhadap pelaksanaan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), secara teknis dilakukan oleh kepala Dinas. (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atau dikoordinasikan dengan Bupati/Walikota dan instansi vertikal terkait. (4) Pengawasan terhadap pelaksanaan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam bentuk: a. monitoring; b. evaluasi; dan c. laporan.

19 Pasal 33 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c, disampaikan oleh Kepala Dinas kepada Gubernur. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan. (3) Laporan pelaksanaan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), di Kabupaten/Kota disampaikan oleh kepala SKPD Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan urusan Peternakan dan kesehatan hewan kepada Bupati atau Walikota. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan. (5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditembuskan kepada Gubernur. Pasal 34 Tata cara pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, sampai dengan Pasal 33, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. BAB XIII KOORDINASI DAN KERJASAMA Pasal 35 (1) Pengendalian Penyembelihan Ternak Betina Produktif dan Pengeluaran Ternak dilaksanakan oleh Gubernur dengan melakukan koordinasi bersama Bupati/Walikota. (2) Teknis pengendalian melalui koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Dinas dan satuan kerja Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan dan membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan serta instansi terkait. (3) Pengendalian Penyembelihan Ternak Betina Produktif dan Pengeluaran Ternak oleh Pemerintah Daerah dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama dengan pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.

20 (4) Tata cara pelaksanaan koordinasi dan kerjasama pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. BAB XIV PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 36 (1) Setiap Orang, Peternak dan Perusahaan Peternakan berhak berperan serta dalam pengendalian penyembelihan Ternak Betina Produktif dan pengeluaran Ternak. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan pada: a. identifikasi, status reproduksi, seleksi penjaringan dan pembibitan; b. deteksi dini pengeluaran ternak betina produktif; dan c. pemberdayaan bagi masyarakat Peternak. (3) Tata cara peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur. BAB XV SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 37 (1) Setiap Orang, Peternak dan Perusahaan Peternakan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 22 ayat (3), Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) diancam sanksi administratif. (2) Ancaman sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; dan/atau c. pencabutan izin usaha. (3) Tata cara penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

21 BAB XVI KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 38 (1) Penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Penyidik. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. penyidik umum. b. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (3) Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebagai berikut: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda dan/atau bahan bukti lain; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan saksi ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada penyidik, penuntut umum, tersangka atau keluarganya; i. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (4) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikan tersebut kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali yang ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

22 BAB XVII KETENTUAN PIDANA Pasal 39 (1) Setiap Orang, Peternak dan Perusahaan Peternakan yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) diancam sanksi pidana berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundangundangan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan. (3) Setiap orang, peternak atau perusahaan peternakan yang melakukan perbuatan dan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), dan Pasal 26 ayat (1), selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). (4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah pelanggaran. BAB XVIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 40 (1) Pemerintah Daerah berwenang memasukkan Ternak dari luar Daerah. (2) Memasukkan Ternak dari luar Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimaksudkan untuk ketersediaan pasokan sesuai kebutuhan. menjaga (3) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama dengan Setiap Orang dalam rangka pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam rangka: a. penyelamatan Ternak Betina Produktif; dan b. penggemukan ternak. (5) Ketentuan dan tata cara mengenai pemasukan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur.

23 Pasal 41 Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan. Pasal 42 Dalam rangka penerapan efektif Peraturan Daerah ini, maka Kabupaten/Kota dalam menyusun dan menetapkan pengaturan, termasuk yang telah ditetapkan tentang pengendalian penyembelihan Ternak Betina Produktif dan pengeluaran Ternak menyesuaikan dan menselaraskan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. Pasal 43 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Ditetapkan di Makassar pada tanggal, 5 Oktober 2016 GUBERNUR SULAWESI SELATAN Diundangkan di Makassar pada tanggal, 6 Oktober 2016 SEKRETARIS DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN, ttd ABDUL LATIF ttd SYAHRUL YASIN LIMPO LEMBARAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2016 NOMOR 4 NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN: (4/208/2016)