BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut WHO (1970), Keluarga Berencana adalah program yang bertujuan

dokumen-dokumen yang mirip
14 KRITERIA MISKIN MENURUT STANDAR BPS ; 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang.

PENGARUH NILAI DAN JUMLAH ANAK P ADA KELUARGA TERHADAP NORMA KELUARGA KECIL BAHAGIA DAN SEJAHTERA (NKKBS) Dr. FAZIDAH A. SIREGAR

RPJMD Kab. Temanggung Tahun I X 92

KONSEP KELUARGA SEJAHTERA. OLEH Ns.HENNY PERMATASARI, M.Kep. Sp. Kom

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia setelah Republik Rakyat China, India, Amerika Serikat dan kemudian

KONSEP KELUARGA SEJAHTERA DAN KELUARGA MANDIRI. Ns. WIDYAWATI, S.Kep, M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Soekanto, 1995:431 (dalam Atika, 2011) proses pembangunan

BUPATI WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOGIRI NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. beberapa kelompok wanita selama masa reproduksinya. Indikator Anak Lahir Hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk yang sangat tinggi dan sangat padat. Di dunia, Indonesia berada pada posisi

I. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. mencitrakan (to describe), menerangkan sifat bumi, serta menganalisa gejalagejala

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 21/1994, PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. tinggi. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk pada bulan Agustus 2010 jumlah

3. Seluruh ayggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian. 6. Paling kurang satu orang aggota keluarga berumur 15 tahun ke atas

PEMAHAMAN PASANGAN USIA SUBUR PARITAS RENDAH (PUSMUPAR) TERHADAP NORMA KELUARGA KECIL, BAHAGIA DAN SEJAHTERA (NKKBS)

BAB I PENDAHULUAN. besar jiwa pada tahun 2010, laju pertumbuhan tinggi yaitu sebesar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu masalah kependudukan yang dihadapi

BAB I PENDAHULUAN. 248,8 juta jiwa dengan pertambahan penduduk 1,49%. Lajunya tingkat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai penyebab banyaknya jumlah

Konsep Keluarga Sejahterah

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tidak segera mendapatkan pemecahannya. Jumlah penduduk yang besar dapat. menimbulkan dampak terhadap kesejahteraan setiap keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya laju pertumbuhan penduduk merupakan salah satu masalah yang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa negara kita sedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang memiliki banyak masalah kependudukan yang

Membangun dan Membina Keluarga Sejahtera Mandiri

BAB 1 PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini adalah keluarga.

Tata cara pelaksanaan pendataan dan pemetaan Keluarga MELALUI POSDAYA

BAB I PENDAHULUAN. Visi Program Keluarga Berencana Nasional adalah Keluarga Berkualitas 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. Penduduk sebagai determinan pembangunan harus mendapat perhatian yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesuai Undang undang No.17 Tahun 2007

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penjarangan kelahiran (Depkes RI, 1999; 1). dan jarak anak serta waktu kelahiran (Stright, 2004; 78).

I. PENDAHULUAN. atau pasangan suami istri untuk mendapatkan tujuan tertentu, seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. kematian ibu, selain dari Asuhan Antenatal, Persalinan Bersih dan Aman dan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang muncul di seluruh dunia, di samping isu tentang global warning, keterpurukan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. KB, keinginan dalam memiliki sejumlah anak, serta nilai anak bagi PUS.

BAB II SEJARAH DAN KONDISI UMUM DESA PAMIRITAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Pada saat ini Keluarga Berencana (KB) telah dikenal hampir di

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 153 TAHUN 2014 TENTANG GRAND DESIGN PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan hingga saat ini juga masih mengalami hambatan hambatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. berkualitas maka pemerintah memiliki visi dan misi baru. Visi baru pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. telah disepakati dalam Dokument Millennium Declaration yang dituangkan sebagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Akseptor Keluarga Barencana (KB) adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang menggunakan salah satu alat/obat kontrasepsi (BKKBN, 2007)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut World Health Organisation (WHO) expert committee 1997: keluarga

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 153 TAHUN 2014 TENTANG GRAND DESIGN PEMBANGUNAN KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandar Lampung merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung. Kota Bandar

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Keperaatan. Disusun oleh : SUNARSIH J.

BAB 1 PENDAHULUAN. berkesinambungan. Masalah reproduksi di Indonesia mempunyai dua dimensi,

III. METODOLOGI PENELITIAN. PENELITIAN YANG PENELITI LAKUKAN INI ADALAH KAJIAN MENGENAI KESEJAHTERAAN

Tingkat pertumbuhan sekitar 1,48% per tahun dan tingkat kelahiran atau Total

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. produksi akan mengakibatkan terjadinya tekanan- tekanan pada sector penyediaan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk yang relatif tinggi, penyebaran penduduk yang tidak merata, kualitas. penduduk yang harus ditingkatkan (Saifuddin, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. maka 10 tahun lagi Indonesia akan mengalami ledakan penduduk. wilayah terpadat ke dua se-diy setelah Sleman (BPS, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. adanya permasalahan kependudukan, karena Indonesia merupakan negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pernikahan dini banyak terjadi pada kelompok masyarakat miskin yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap keluarga umumnya mendambakan anak, karena anak adalah harapan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana (KB). sejahtera. Sejalan dengan arah kebijakan Rencana Pembangunan Jangka

SALINAN NOMOR TENTANG. dan. Menimbang. Dasar : 1. Negara. Provinsi. Bangkaa. Indonesia Tahun Belitung (Lembaran 4268); Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan berkelanjutan, karena di samping sebagai pelaksana pembangunan, penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN. kualitas pelayanan kesehatan. Kematian ibu masih merupakan masalah besar yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Istilah motivasi berasal dari bahasa Latin, yakni movere yang. Menurut Sadirman (2007), motivasi adalah perubahan energi diri

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 5 TAHUN

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. kependudukan. Sejak 2004, program keluarga berencana (KB) dinilai berjalan

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. Keterangan: 1. Kecamatan Gebang 2. Kecamatan Kandanghaur 3. Kecamatan Pelabuhanratu 4. Kecamatan Pangandaran

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang dengan berbagai. masalah. Masalah utama yang dihadapi di Indonesia adalah dibidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penelitian yang ditulis Hernawati tentang Upaya Meningkatkan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 1982 dikatakan bahwa salah

BAB I PENDAHULUAN. dan misi Program KB Nasional. Visi KB itu sendiri yaitu Norma Keluarga

BAB II TINJUAN PUSTAKA. saudara laki-laki dan perempuan, serta pemelihara kebudayaan bersama.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan Keluarga Berkualitas Tahun Keluarga yang berkualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan Negara (Irianto, 2014).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia per tahun selama 2 tahun terakhir adalah sebesar 1,49% (Profil

BAB I PENDAHULUAN. Masalah penduduk di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar, pertambahan

BAB I PENDAHULUAN. Kelahiran, perkawinan serta kematian merupakan suatu estafet kehidupan

I. PENDAHULUAN. penduduk Indonesia sebanyak jiwa dan diproyeksikan bahwa jumlah ini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2009 TENTANG PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai 229 juta jiwa. Dimana terjadi peningkatan jumlah

I. PENDAHULUAN. tinggi dan tidak terkendalikan akan berpengaruh terhadap semakin menurunnya

Tata Cara Pelaksanaan Pendataan & Pemetaan Keluarga melalui Posdaya. Oleh : Ir. Mintartio M.Si Ir. Yannefri Bachtiar, M.Si

TIGA PULUH DUA TAHUN PERJALANAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA NASIONAL DI PROPINSI BENGKULU (1972 SAMPAI DENGAN 2010)

BAB I PENDAHULUAN. Pengendalian pertumbuhan dan jumlah penduduk, memiliki peran terhadap

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Program Keluarga Berencana 2.1.1. Pengertian Keluarga Berencana Menurut WHO (1970), Keluarga Berencana adalah program yang bertujuan membantu pasangan suami istri untuk: (1) mendapatkan objektif-objektif tertentu, (2) menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, (3) mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan, (4) mengatur interval diantara kehamilan, (5) mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami isteri, (6) menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hartanto, 2002). Moechtar (1998) mengatakan Keluarga Berencana adalah suatu usaha menjarangkan atau merencanakan jumlah anak dan jarak kehamilan dengan memakai kontrasepsi. Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga berencana adalah usaha-usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun individu untuk mengatur jarak kelahirannya dengan menggunakan alat dan metode kontrasepsi. 2.1.1. Pengertian Keluarga Berencana Secara umum tujuan dari keluarga berencana adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan juga tujuan nasional pada umumnya (Soetjiningsih, 1995).

Hartanto (2002) mengatakan bahwa tujuan dari keluarga berenana adalah untuk menyelamatkan ibu dan akan akibat melahirkan pada usia muda, jarak kelahiran yang terlalu dekat dan melahirkan pada usia tua. Saifudin (2003) mengatakan tujuan umum KB yaitu mewujudkan keluarga yang sehat dan sejahtera dalam upaya untuk menjarangkan kelahiran dan membatasi jumlah anak dua orang saja. Upaya ini dapat menyehatkan kondisi sosial ekonomi keluarga. Sedangkan tujuan khusus KB adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk keluarga dalam menggunakan alat kontrasepsi sehingga angka kelahiran bayi dan angka kematian ibu menurun. Dalam usaha untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa, pemerintah telah dan sedang melakukan pembangunan di segala bidang, termasuk usaha-usaha untuk mengatasi masalah kependudukan. Berbagai masalah kependudukan tersebut meliputi antara lain pertumbuhan penduduk yang tinggi, penyebaran penduduk yang tidak merata, penduduk usia muda yang besar, dan kualitas sumber daya manusia yang masih relatif rendah. Untuk mengatasi salah satu masalah kependudukan tersebut, pemerintah sejak Pelita I telah melakukan usaha mendasar melalui program KB (KB), yang kemudian sejak Pelita V berkembang menjadi gerakan KB Nasional. Gerakan KB adalah gerakan masyarakat yang menghimpun dan mengajak segenap potensi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melembagakan dan membudayakan. Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia Indonesia (BKKBN, 1994).

Sesuai dengan program BKKBN (1994), pada dasarnya tujuan Gerakan KB Nasional mencakup 2 (dua) hal yaitu: a. Tujuan kuantitatif yaitu menurunkan dan mengendalikan pertumbuhan penduduk. b. Tujuan kualitatif yaitu menciptakan atau mewujudkan Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Tujuan Gerakan KB ini dapat dirincikan sebagai berikut: a. Menurunkan tingkat kelahiran dengan mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dan potensi yang ada. b. Meningkatkan jumlah peserta program KB dan tercapainya pemerataan serta kualitas peserta program KB yang menggunakan alat kontrasepsi efektif dan mantap dengan pelayanan bermutu. c. Mengembangkan usaha-usaha untuk membantu meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, memperpanjang harapan hidup, menurunkan tingkat kematian bayi dan anak balita serta memperkecil kematian ibu karena resiko kehamilan dan persalinan. d. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah kependudukan yang menjurus ke arah penerimaan, penghayatan dan pengamalan Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera sebagai cara hidup yang layak dan bertanggungjawab. e. Meningkatkan peranan dan tanggung jawab wanita, pria dan generasi muda dalam pelaksanaan upaya-upaya penanggulangan masalah kependudukan.

f. Mencapai kemantapan, kesadaran dan peran serta keluarga dan masyarakat dalam pelaksanaan gerakan KB Nasional sehingga lebih mampu menigkatkan kemandiriannya di wilayah masing-masing. g. Mengembangkan usaha-usaha peningkatan mutu sumber daya manusia untuk meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dalam mempercepat kelembagaan nilai-nilai keluarga kecil. h. Memeratakan penggarapan gerakan KB ke seluruh wilayah tanah air dan lapisan masyarakat perkotaan, pedesaan, transmigrasi, kumuh, miskin dan daerah pantai. i. Meningkatkan jumlah dan mutu tenaga dan atau pengelola gerakan KB yang mampu memberikan pelayanan program KB yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat diseluruh pelosok tanah air dengan kualitas yang tinggi dan kenyamanan yang memenuhi harapan. Sesuai dengan tujuan program KB (BKKBN, 1999), yang menjadi sasaran KB, adalah: a. Pasangan Usia Subur (PUS), yaitu pasangan suami istri yang hidup bersama dalam satu rumah atau tidak, dimana istri berumur antara 15-49 tahun. b. Yang tidak termasuk pasangan usia subur, yaitu semua anggota masyarakat selain dari pasangan usia subur, pemudi-pemudi yang belum menikah, pasangan di atas usia 45 tahun, orang tua dan tokoh masyarakat. c. Sasaran Institusional, yaitu organisasi-organisasi dan lembaga masyarakat baik pemerintah manpun swasta. d. Wilayah yang kurang pencapaian target KBnya.

2.1.3. Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera Apabila laju pertumbuhan penduduk tidak dapat dikendalikan pada batas tertentu dan tidak diimbangi pertumbuhan ekonomi yang memadai maka akan terjadi penurunan kualitas hidup manusia. Menurut Siregar (2003), konsekuensi pertumbuhan penduduk yang melebihi pertumbuhan ekonomi antara lain: a. Bertambahnya beban hidup keluarga, masyarakat dan bangsa. b. Penyediaan fasilitas ekonomi harus lebih besar untuk dapat hidup dengan layak. c. Bertambahnya angkatan kerja. d. Tuntutan perluasan lapangan pekerjaan. Dengan alasan tersebut maka program KB di Indonesia harus dilaksanakan secara intensif untuk menanamkan fertilitas dan membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera di masyarakat memberikan norma yaitu: 1. Norma jumlah anak yang sebaiknya dimiliki 2 (dua) anak. 2. Norma jenis kelamin anak, laki-laki atau perempuan sama saja. 3. Norma saat yang tepat seorang wanita untuk melahirkan, umur 20-30 tahun. 4. Norma pemakaian alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. 5. Norma usia yang tepat untuk menikah, untuk wanita, 20 tahun. 6. Norma menyusui anaknya sampai umur 2 tahun (BKKBN, 1999).

Perkembangan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera memerlukan strategi yang tepat dengan memperhatikan tipologi budaya dan karakteristik masyarakat sasaran. 2.1.4. Akseptor KB Akseptor KB adalah wanita pasangan usia subur yang menggunakan salah satu alat kontrasepsi. Ada lima macam jenis kontrasepsi, yaitu: a. Akseptor aktif Akseptor yang ada pada saat ini menggunakan salah satu cara/alat kontrasepsi untuk menjarangkan kehamilan atau mengakhiri kesuburan. b. Akseptor KB aktif kembali Pasangan usia subur yang telah menggunakan selama tiga bulan atau lebih yang tidak diselingi oleh kehamilan dan kembali menggunakan cara/alat kontrasepsi baik dengan cara yang sama maupun berganti cara setelah berhenti / istirahat paling kurang tiga bulan berturut-turut dan bukan karena hamil. c. Akseptor KB baru Akseptor yang baru pertama kali menggunakan cara kontrasepsi, atau menjadi akseptor setelah melahirkan atau abortus. d. Akseptor KB ideal Akseptor aktif yang mempunyai anak tidak lebih dari 2 orang dan berumur kurang dari 45 tahun.

e. Akseptor lestari Peserta KB yang tetap memakai cara kontrasepsi dengan benar untuk waktu lebih dari 10 tahun dan tidak pernah diselingi kelahiran (BKKBN, 1985). 2.1.6. Faktor yang berhubungan dengan Keikutsertaan PUS dalam Program KB Menurut Bertrand (1980) yang dikutip oleh Agus (2004) menyatakan ada tiga faktor yang memhubungani pemakaian kontrasepsi oleh Pasangan Usia Subur (PUS), yaitu: sosio demografi, sosio psikologi serta pemberi pelayanan KB (provider). Faktor sosio demografi terdiri dari: umur, jenis kelamin, jumlah keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan/ pendapatan. Faktor sosio psikologis terdiri dari kepercayaan terhadap nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. 2.1.7. Hambatan Dalam Penerimaan Program KB Menurut Siregar (2003), beberapa alasan dan faktor mengapa program KB belum diterima oleh seluruh masyarakat antara lain: a. Nilai-nilai Agama Bagi para pemeluk agama, merencanakan jumlah anak adalah menyalahi kehendak Tuhan. Kita tidak boleh mendahului kehendak Tuhan apalagi mencegah kelahiran anak dengan menggunakan alat kontrasepsi supaya tidak hamil. Langkah utama untuk mengatasi hal ini adalah menemui tokoh-tokoh atau ulama dari agama tersebut untuk menjelaskan bahwa merencanakan keluarga untuk membantu Keluarga Kecil adalah tidak bertentangan dengan Agama.

b. Nilai-nilai budaya (Adat istiadat) Adat kebiasaan atau adat dari suatu masyarakat yang memberikan nilai anak lakilaki lebih dari anak perempuan atau sebaliknya. Hal ini akan memungkinkan satu keluarga mempunyai banyak anak. Bagaimana kalau keinginan untuk mendapatkan anak laki-laki atau perempuan tidak terpenuhi mungkin akan menceraikan istrinya dan kawin lagi agar terpenuhi keinginan memiliki anak lakilaki ataupun anak perempuan. Disini norma adat istiadat perlu diluruskan karena tidak banyak menguntungkan bahkan banyak bertentangan dengan kemanusiaan. c. Nilai-nilai Ekonomi Anak dipandang sebagai tenaga kerja yang dapat membantu meningkatkan ekonomi keluarga sehingga mempunyai banyak anak akan banyak tambahan pendapatan yang akan diperoleh. Hal ini memang suatu kenyataan dan benar, tetapi belum diperkirakan nasib anak itu sendiri apakah anak itu memang bisa diharapkan pendidikannya dan masa depannya. Kalau hal ini dipertimbangkan, mempunyai banyak anak malah menjadi beban dan masalah. 2.2. Nilai Anak Dalam Keluarga Tidak dapat dipungkiri bahwa anak mempunyai nilai tertentu bagi orang tua. Anak yang diibaratkan sebagai titipan Tuhan bagi orang tua memiliki nilai tertentu serta menuntut dipenuhinya beberapa konsekuensi atas kehadirannya. Latar belakang sosial yang berbeda, tingkat pendidikan, kesehatan, adat istiadat atau kebudayaan

suatu kelompok sosial serta penghasilan atau mata pencaharian yang berlainan, menyebabkan pandangan yang berbeda mengenai anak. Anak memiliki nilai universal namun nilai anak tersebut sangat dihubungani oleh faktor sosio kultural dan lain-lain. Yang dimaksud dengan persepsi nilai anak oleh orang tua adalah tanggapan dalam memahami adanya anak, yang berwujud suatu pendapat untuk memiliki diantara pilihan-pilihan yang berorientasi pada suatu hal yang pada dasarnya terbuka dalam situasi yang datangnya dari luar. Pandangan orang tua mengenai nilai anak dan jumlah anak dalam keluarga dapat merupakan hambatan bagi keberhasilan program KB. Di daerah pedesaan anak mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak dapat memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya, selain itu akan merupakan jaminan di hari tua dan dapat membantu ekonomi keluarga. Banyak masyarakat di desa di Indonesia yang berpandangan bahwa banyak anak banyak rejeki. Dari penelitian Mohamad Koesnoe di daerah Tengger dalam Siregar (2003), petani yang mempunyai tanah luas akan mencari anak angkat sebagai tambahan tenaga kerja. Studi lain yang dilakukan oleh proyek Value Of Children (VOC) menemukan bahwa keluarga-keluarga yang tinggal di pedesaan Taiwan, Philipina, Thailand mempunyai anak yang banyak dengan alasan bahwa anak memberikan keuntungan ekonomi dan rasa aman bagi keluarganya. Salah satu dari tahap pertama proyek Value Of Children adalah mengembangkan sistem nitro Hoffman and Hoffman ke dalam suatu kerangka kerja yang lebih luas yang memasukkan semua dimensi nitro anak, termasuk manfaat dan

beban ekonomi, biaya alternatif, manfaat dan beban psikologi atau emosional dan beban sosial. Juga dimasukkan pilihan antara jenis kelamin, suatu dimensi penting yang sering dilupakan dalam penelitian-penelitian ekonomi. Berbagai laporan menggali perbedaan-perbedaan antar sampel nasional dan juga antar kelompok dalam setiap sampel itu. Secara umum disimpulkan bahwa orang tua di desa lebih menitikberatkan manfaat ekonomi dan kegunaan praktis (termasuk tunjangan hari tua) dari anak-anak, sedangkan orang tua di kota (terutama yang berpendidikan tinggi) menekankan aspek emosional dan psikologisnya. Pada negara berkembang di daerah pedesaan beban ekonomi biasanya jauh lebih rendah bila anak tidak sekolah. Pada usia yang sangat dini anak mulai dapat menyokong penghasilan keluarga dengan bekerja di sawah, mengembala ternak dan mengerjakan pekerjaan lain. Dengan bertambahnya usia orang tua, anak-anak dapat memberikan bantuan ekonomi, mungkin dengan bekerja di sawah milik orang tua. Cadwell (1979) dalam Siregar (2003) mengatakan hal ini dengan cara lain yaitu di negara maju, kekayaan mengalir dari orang tua ke anak, sedangkan di negara berkembang sebaliknya kekayaan mengalir dari anak ke orang tua. Jika anak merupakan sumber utama jaminan ekonomi maka masyarakat tersebut akan mengalami fertilitas yang tinggi. Singarimbun (1974) dalam Siregar (2003) melakukan penelitian pada penduduk di sekitar Yogyakarta menunjukkan bahwa jumlah anak yang dianggap ideal 4 dan 5 orang anak. Motivasi untuk mempunyai jumlah anak yang sedikit dan

nilai-nilai tentang anak merupakan aspek yang penting. Kadang-kadang jumlah anak yang diinginkan lebih besar daripada jumlah anak yang mampu dirawat dengan baik. Bagaimanapun juga keputusan untuk menambah anak atau tidak terserah pada keputusan pasangan suami istri dan keputusan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya. Tetapi yang jelas, perubahan sosial mutlak diperlukan untuk mendukung Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera yang dikampanyekan dalam program KB di Indonesia. 2.3. Konsep Keluarga Sejahtera Indikator Keluarga Sejahtera pada dasarnya berangkat dari pokok pikiran yang terkandung di dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1992 disertai asumsi bahwa kesejahteraan merupakan variabel komposit yang terdiri dari berbagai indikator yang spesifik dan operasional. Karena indikator yang yang dipilih akan digunakan oleh kader di desa, yang pada umumnya tingkat pendidikannya relatif rendah, untuk mengukur derajat kesejahteraan para anggotanya dan sekaligus sebagai pegangan untuk melakukan melakukan intervensi, maka indikator tersebut selain harus memiliki validitas yang tinggi, juga dirancang sedemikian rupa, sehingga cukup sederhana dan secara operasional dapat di pahami dan dilakukan oleh masyarakat di desa.

Atas dasar pemikiran di atas, maka indikator dan kriteria keluarga sejahtera yang ditetapkan adalah sebagai berikut : a. Keluarga Pra Sejahtera Adalah keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih dari 5 kebutuhan dasarnya (basic needs) Sebagai keluarga Sejahtera I, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, papan, sandang dan kesehatan b. Keluarga Sejahtera Tahap I Adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal yaitu: 1. Melaksanakan ibadah menurut agama oleh masing-masing anggota keluarga. 2. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 (dua) kali sehari atau lebih. 3. Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. 4. Bagian yang terluas dari lantai rumah bukan dari tanah. 5. Bila anak sakit atau pasangan usia subur ingin program KB dibawa kesarana/petugas kesehatan. c. Keluarga Sejahtera tahap II Yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kriteria keluarga sejahtera I, harus pula memenuhi syarat sosial psykologis 6 sampai 14 yaitu : 6. Anggota Keluarga melaksanakan ibadah secara teratur. 7. Paling kurang, sekali seminggu keluarga menyediakan daging/ikan/telur sebagai lauk pauk.

8. Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru per tahun 9. Luas lantai rumah paling kurang delapan meter persegi tiap penghuni rumah 10. Seluruh anggota keluarga dalam 3 bulan terakhir dalam keadaan sehat 11. Paling kurang 1 (satu) orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun keatas mempunyai penghasilan tetap. 12. Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin. 13. Seluruh anak berusia 5-15 tahun bersekolah pada saat ini. 14. Bila anak hidup 2 atau lebih, keluarga yang masih pasangan usia subur memakai kontrasepsi (kecuali sedang hamil). d. Keluarga Sejahtera Tahap III yaitu keluarga yang memenuhi syarat 1 sampai 14 dan dapat pula memenuhi syarat 15 sampai 21, syarat pengembangan keluarga yaitu : 15. Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama. 16. Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga untuk tabungan keluarga. 17. Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari dan kesempatan itu dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar anggota keluarga 18. Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. 19. Mengadakan rekreasi bersama diluar rumah paling kurang 1 kali/6 bulan. 20. Dapat memperoleh berita dari surat kabar/tv/majalah

21. Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah setempat e. Keluarga Sejahtera Tahap III Plus Keluarga yang dapat memenuhi kriteria I sampai 21 dan dapat pula memenuhi kriteria 22 dan 23 kriteria pengembangan keluarganya yaitu : 22. Secara teratur atau pada waktu tertentu dengan sukarela memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materil. 23. Kepala Keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan/yayasan/institusi masyarakat. f. Keluarga Miskin adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: a. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/ikan/telor. b. Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru c. Luas lantai rumah paling kurang 8 M 2 untuk tiap penghuni. g. Keluarga miskin sekali adalah keluarga Pra Sejahtera alasan ekonomi dan KS - I karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: a. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih. b. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja/ sekolah dan bepergian.

c. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah. Sekitar 56% keluarga di Indonesia masih berada dalam tingkat Pra Sejahtera dan Sejahtera I. Mereka belum tergolong miskin, tetapi baru bisa memenuhi kebutuhan fisik minimal. Pada kondisi tersebut, mereka mudah sekali jatuh menjadi miskin. Dalam Program Pembangunan Keluarga Sejahtera BKKBN, Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I lebih tepat disebut sehagai Keluarga Tertinggal. Karena yang disebut sebagai Keluarga Pra Sejahtera adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, belum mampu melaksanakan ibadah berdasarkan agamanya masing-masing, memenuhi kebutuhan makan minimal dua kali sehari, pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja, sekolah, dan bepergian, memiliki rumah yang bagian lantainya bukan dari tanah, dan belum mampu untuk berobat di sarana kesehatan modern. Keluarga Sejahtera I adalah keluarga yang kondisi ekonominya baru bisa memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya (Tim Gemari, 2006). Sedangkan kriteria yang ditetapkan BPS (Biro Pusat Statistik) tentang garis kemiskinan ialah kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan makan 2.100 kalori perhari perkapita. Menurut kriteria BPS tersebut sekarang tinggal 11,5% penduduk Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, sedangkan menurut kriteria BKKBN adalah 40,33% penduduk Indonesia yang belum sejahtera. Bahkan dari dengar pendapat di DPR-RI terungkap lebih dari 50% penduduk Indonesia masih Pra Sejahtera gara-gara kriteria lantai tanah. Oleh sebab itu kemudian dicanangkanlah

gerakan gotong royong melaksanakan pemelesteran pada rumah-rumah yang masih berlantai tanah. Dalam Pembangunan Keluarga Sejahtera, yaitu upaya menanggulangi kemiskinan pada keluarga-keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I, diperlukan kesabaran yang cukup tinggi. Kepada mereka perlu dilakukan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi yang dilakukan secara berkesinambungan dan terpadu, sehingga mereka mampu mengubah kehidupan menjadi lebih baik. Pada hakekatnya indikator Pendataan Keluarga Sejahtera tersebut menggunakan perumusan konsep "Keluarga Sejahtera" yang lebih luas daripada sekedar definisi kemakmuran atau kebahagiaan. Undang-Undang No. 10 tahun 1992 menyebutkan bahwa Keluarga Sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras. dan seimbang antar anggota, serta antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Hasil pemetaan keluarga di Indonesia mengisyaratkan bahwa kita perlu memusatkan perhatian kepada keluarga-keluarga yang masih berada dalam tahap Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera (KS) I di desa untuk diberdayakan dengan pendekatan pembangunan yang berwawasan kependudukan. Artinya masyarakat, disamping diajak untuk melanjutkan pembinaan Gerakan KB yang telah terlaksana dengan baik itu, sekarang juga harus diajak memberdayakan keluarganya menjadi pelaku pembangunan.

2.4. Pengertian Persepsi Mar at (1981) mengatakan persepsi adalah proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi ini dihubungani oleh faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuannya. Selanjutnya Rakhmat (1985) mengatakan persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dengan demikian, persepsi merupakan penggambaran tentang lingkungan yang menarik perhatian individu yang diolah dalam suatu proses dalam pemikiran atau akal sehingga diperoleh suatu gambaran baru dengan pengertian yang baru. Persepsi adalah proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus di dalam lingkungan (Atkinson, 1991). Chaplin (1999) memandang persepsi sebagai proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indra. Proses perseptual ini dimulai dengan perhatian, yaitu merupakan proses pengamatan selektif. Didalamnya mencakup pemahaman dan mengenali atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian. Faktor-faktor yang memhubungani persepsi menurut Baltus (1983) adalah : 1. Kemampuan dan keterbatasan fisik dari alat indera dapat memhubungani persepsi untuk sementara waktu ataupun permanen. 2. Kondisi lingkungan. 3. Pengalaman masa lalu. Bagaimana cara individu untuk menginterpretasikan atau bereaksi terhadap suatu stimulus tergantung dari pengalaman masa lalunya.

4. Kebutuhan dan keinginan. Ketika seorang individu membutuhkan atau menginginkan sesuatu maka ia akan terus berfokus pada hal yang dibutuhkan dan diinginkannya tersebut. 5. Kepercayaan, prasangka dan nilai. Individu akan lebih memperhatikan dan menerima orang lain yang memiliki kepercayaan dan nilai yang sama dengannya. Sedangkan prasangka dapat menimbulkan bias dalam mempersepsi sesuatu. Menurut Chaplin (1999) persepsi secara umum bergantung pada faktor-faktor perangsang, cara belajar, keadaan jiwa atau suasana hati, dan faktor-faktor motivasional. Maka, arti suatu objek atau satu kejadian objektif ditentukan baik oleh kondisi perangsang maupun faktor-faktor organisme. Dengan alasan sedemikian, persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda juga akan berbeda karena setiap individu menanggapinya berkenaan dengan aspek-aspek situasi tadi yang mengandung arti khusus sekali bagi dirinya. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai persepsi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang melibatkan aspek kognitif dan afektif individu untuk melakukan pemilihan, pengaturan, dan pemahaman serta penginterpretasian rangsang-rangsang indrawi menjadi suatu gambar obyek tertentu secara utuh. Menurut Mar at (1981) ada empat dalil tentang persepsi, antara lain: 1. Persepsi bersifat selektif secara fungsional 2. Obyek dan peristiwa yang berdekatan dalam ruang dan waktu yang sama cenderung ditanggapi dari struktur yang sama.

3. Medan perseptual dan kognitif selalu diorganisasikan dan diberi arti. 4. Sifat-sifat perseptual dan kognitif dari substruktur pada umumnya ditentukan oleh sifat-sifat struktur secara keseluruhan. 2.5. Landasan Teori Pada penelitian ini, landasan teori yang digunakan adalah teori-teori relevan, yang disusun untuk menjelaskan tentang variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini (Riduwan, 2005). Keikutsertaan dalam program KB adalah ikut sertanya WUS dengan menggunakan alat-alat yang direkomendasikan dalam program KB tersebut. Dalam hal ini keikutsertaan tersebut merupakan suatu tindakan nyata untuk menerima dan atau menggunakan alat-alat KB dalam mengikuti program KB tersebut. Persepsi adalah cara pandang PUS dalam memberi sikap terhadap keikutsertaannya dalam program KB. Cara pandang ini mungkin dihubungani oleh berbagai faktor, yang dapat dikategorikan menjadi dua faktor, yaitu faktor sosio demografis dan faktor sosio psikologis. Secara khusus persepsi merupakan faktor sosio psikologis dan merupakan salah satu cara penggambaran terhadap lingkungan dengan karakteristik yang menarik perhatian pasangan usia subur, dimana karakteristik lainnya adalah faktor sosio demografis. Dengan demikian, persepsi individu adalah sesuatu yang diolah melalui suatu proses dalam pemikiran atau akal sehingga diperoleh suatu gambaran baru dan

pengertian baru. Dengan diperolehnya suatu gambaran baru dan pengertian baru tersebut, akan menjadi suatu pendorong atau penghambat dalam mengambil suatu tindakan, dalam hal ini keikutsertaan dalam program KB. 2.6. Kerangka Konsep Keikutsertaan dalam program KB merupakan hasil keputusan WUS, baik secara pribadi maupun secara bersama-sama dengan suami atau keluarga. Keikutsertaan ini bukan merupakan suatu keputusan yang diambil begitu saja oleh wanita usia subur, tertapi dihubungani oleh sejumlah faktor yang berada di dalam lingkungan maupun luar lingkungan pasangan usia subur. Variabel-variabel yang merupakan objek dalam penelitian ini, dikumpulkan dan dihubungkan satu dengan yang lainnya dalam bentuk bagan sesuai dengan tujuan penelitian, sebagai kerangka konsep penelitian. PERSEPSI PUS TENTANG PROGRAM KB Faktor Sosio demografis a. Umur b. Jenis kelamin c. Tingkat pendidikan d. Pekerjaan e. Penghasilan/ pendapatan f. Jumlah keluarga Keikutsertaan PUS dalam Program KB Faktor Sosio psikologis a. Nilai-nilai agama b. Nilai-nilai budaya Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian