BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PERBEDAAN KUALITAS HIDUP ANTARA PENDERITA HIPERTROPI KONKA INFERIOR PRA DAN PASCA OPERASI REDUKSI KONKA METODE RADIOFREKUENSI

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

Mr rinto, 22 thn KU : discharge hidung kental dan kekuningan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

Penatalaksanaan Epistaksis

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

KUALITAS HIDUP MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN DENGAN RINITIS ALERGI DAN FAKTOR- FAKTOR YANG BERPENGARUH LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Universitas Sumatera Utara

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB II KAJIAN PUSTAKA. eksternus (hidung luar) dan cavum nasi. Hidung luar menonjol pada garis tengah di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 4 METODE PENELITIAN. 3. Ruang lingkup waktu adalah bulan Maret-selesai.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

BAB 3 METODE PENELITIAN

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia telah mendorong lahirnya era industrialisasi. Dalam

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

I. PENDAHULUAN. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care harus memastikan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan insulin, baik total ataupun sebagian. DM menunjuk pada. kumpulan gejala yang muncul pada seseorang yang dikarenakan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Tujuan

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Hidung Gambar 2.1 Anatomi Dinding Lateral Hidung (Netter, 2014) 20 Kavum nasi atau yang sering disebut sebagai rongga hidung memiliki bentuk seperti terowongan yang dipisahkan oleh septum nasi pada bagian tengahnya sehingga akan menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi ini mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding lateral, medial, superior dan inferior. 21,22 Dinding lateral hidung mempunyai struktur-struktur penting yaitu konka nasalis, orifisium duktus lakrimal dan ostium sinus. 23 Konka nasalis terbagi atas empat struktur yaitu konka suprema, konka superior, konka media dan konka inferior. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Berdasarkan ukurannya konka inferior merupakan konka terbesar bila 5

bawah. 5 Konka nasalis mempunyai segmen yang terbagi atas 3 segmen http://repository.unimus.ac.id dibandingkan dengan ketiga struktur konka lainnya dan terletak paling yaitu segmen anterior atau head, segmen media atau body dan segmen posterior atau tail. 24 Konka suprema, superior dan media merupakan bagian dari labirin etmoid. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada labirin etmoid dan tulang maksila. Diantara tiap konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga kecil atau yang sering disebut sebagai meatus. Berdasarkan letaknya terdapat tiga macam meatus yaitu meatus superior, media dan inferior. Meatus superior merupakan muara dari sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis. Meatus media merupakan muara dari sinus frontalis, sinus maksilaris dan sinus etmoidalis anterior, sedangkan meatus inferior merupakan muara dari duktus nasolakrimalis. 25 Konka berperan penting dalam sistem fisiologi hidung. Hal ini dikarenakan struktur konka terdiri atas lapisan mukosa pada bagian luar dan lapisan tulang pada bagian dalam. 4,5,26 Lapisan mukosa konka merupakan mukosa respiratory (mukosa pernapasan) yang tersusun atas epitel kolumnar pseudostratified bersilia yang mengandung sel goblet 10%. Epitel mukosa konka ini dipisahkan dari lamina propria oleh lamina basalis. 4,27 Bagian medial dari epitel mukosa konka lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian lateralnya, dikarenakan pada bagian tengah lebih sering terkena aliran udara. 24 Mukosa konka juga mengandung sedikit limfosit, sedikit arteri, kelenjar seromukus dan sinus venous pada dinding lateral konka. 6 Lapisan tulang konka tersusun atas tulang cancellous. 27 Bagian anterior lapisan tulangnya lebih tebal dari bagian posterior. Ketebalan lapisan tulang secara histologi rata-rata yaitu 1,2 mm. 28 6

B. Hipertrofi Konka Inferior 1. Definisi Istilah hipertropi konka pertama kali diperkenalkan pada tahun 1800 yang diartikan sebagai pembesaran mukosa hidung pada konka. Hal ini berkaitan dengan bertambahnya ukuran sel mukosa konka. Hiperplasia konka berkaitan dengan bertambahnya jumlah sel mukosa konka. 4 Hipertropi konka dapat terjadi secara unilateral atau bilateral. Hipertropi konka unilateral berhubungan dengan deviasi kongenital atau deviasi septum kontralateral sebagai kompensasi untuk melindungi mukosa hidung dari pengeringan akibat aliran udara berlebih. 29 Hipertropi konka bilateral disebabkan oleh peradangan hidung sebagai akibat dari alergi dan non-alergi, pemicu lainnya adalah lingkungan (seperti debu dan tembakau) dan kehamilan. 7,27 2. Etiologi Terdapat dua faktor penting yang dapat berpengaruh terhadap keadaan dari membran mukosa konka yaitu faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang berpengaruh yaitu adanya kelainan anatomik seperti deviasi septum, alergi dan gangguan vasomotor. 1,2 Faktor eksogen antara lain yaitu suhu udara, polusi, kelembapan udara, asap rokok, parfum, bahan-bahan iritan diketahui dapat merangsang kelenjar-kelenjar di hidung menjadi lebih hiperaktif sehingga mudah mengalami infeksi berulang dan iritasi. 3 3. Patogenesis Penyebab umum dari terjadinya hipertropi konka inferior adalah infeksi berulang pada hidung dan sinus serta iritasi kronis mukosa hidung yang disebabkan oleh asap rokok dan bahan iritan industri. 3 Rhinitis alergi, rhinitis non alergi atau yang sering disebut sebagai rinitis vasomotor, dan penggunaan tetes hidung yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan terjadinya penyakit hipertropi konka inferior. Kasus septum deviasi, pada sisi hidung kontralateral dapat terjadi 7

hipertropi konka inferior dan media. Hal ini merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk memperkecil luasnya rongga hidung. 5,30 Rangsangan yang berlangsung berulang dan lama terhadap membran mukosa hidung akan mengakibatkan penebalan pada mukosa konka dan pelebaran pada pembuluh darah mukosa terutama pleksus kavernosus konka. Struktur lapisan epitel mukosa konka akan berubah menjadi kuboid bertingkat, silia menghilang dan jumlah sel goblet meningkat apabila hal tersebut dibiarkan dalam jangka waktu panjang. Lapisan submukosa akan terjadi edema, infiltrasi sel plasma, sel bulat dan fibroblas serta pleksus kavernosus konka mengalami pelebaran sementara otot polosnya mengalami atrofi. 3 4. Patofisiologi Hipertropi konka merupakan suatu istilah yang menunjukkan adanya perubahan mukosa hidung pada konka inferior. 4 Penyebabnya adalah peradangan kronik yang disebabkan oleh infeksi bakteri primer dan sekunder. Penyebab non bakteri seperti sebagai lanjutan dari rhinitis alergi, rhinitis vasomotor dan kompensasi septum deviasi kontralateral juga dapat menyebabkan hipertropi konka inferior. 5,30 Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sudah tersensitasi alergen sebelumnya dan dimediasi oleh suatu mediator kimia ketika terjadi infeksi berulang dengan alergen tersebut. Perjalanan penyakit dari rhinitis alergi ini diawali dengan tahap sensitisasi dan kemudian dilanjutkan dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Tahap provokasi atau reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak pertama dengan alergen hingga 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang terjadi selama 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam setelah terpapar alergen (fase hiperreaktivitas) dan dapat terjadi selama 24-48 jam. 31,32 8

Th2. 31,32 Sel Th2 akan memproduksi berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, http://repository.unimus.ac.id Tahap sensitisasi terjadilah kontak pertama antara tubuh dengan alergen. Alergen yang terinspirasi bersama dengan udara pernapasan akan terdeposit di permukaan mukosa hidung kemudian akan di fagosit oleh makrofag atau monosit yang berfungsi sebagai sel penyaji antigen antigen presenting cell (APC), selanjutnya di dalam endosom antigen diproses membentuk fragmen peptida yang berukuran pendek dan berikatan dengan molekul ( human lupus antibody) HLA kelas II membentuk kompleks major histocompatibility complex (MHC) kelas II yang dipresentasikan oleh sel T helper (Th0), kemudian sitokin akan dilepaskan oleh sel penyaji seperti interleukin 1 (IL -1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk melakukan proses proliferasi menjadi Th1 dan IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan mengaktifkan sel limfosit B dengan pengikatan oleh reseptor yang berada di permukaan sel limfosit B sehingga immunoglobulin E (IgE) dapat diproduksi. IgE yang terdapat pada sirkulasi darah akan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mediator (sel mastoid atau sel basofil) dan menjadikan kedua sel tersebut aktif. Proses ini menghasilkan sel mediator tersensitisasi yang terpapar oleh alergen yang sama sehingga disebut sebagai tahap sensitisasi. Hal ini berarti bahwa individu tersebut telah menjadi hipersensitif terhadap alergen tertentu. 31,32 Mukosa yang telah tersensitisasi tersebut apabila terpapar kembali oleh alergen yang sama, maka kedua rantai IgE tersebut akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan terjadinya degranulasi sel basofil dan mastosit. Hal ini mengakibatkan mediator kimia yang sudah terbentuk preformed mediators seperti histamin menjadi terlepas. Selain itu, terdapat pula newly formed mediators seperti prostaglandin D2 (PGD2), leukotrient C4 (LTC4), leukotrient D4 (LTD4), berbagai sitokinin (IL 3, IL 4, IL 5, IL 6), bradikinin, granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), platelet activating factor (PAF) 9

dan lain sebagainya. Proses pelepasan histamin tersebut inilah yang kemudian disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC). 31,32 Histamin yang terlepas akan merangsang mukosa pada dinding lateral hidung (konka) dan terjadi pengeluaran inter cellular adhesion molecule 1 (ICAM 1) sehingga menyebabkan penebalan mukosa atau sering disebut sebagai hipertropi. Histamin juga akan merangsang reseptor histamin 1 (H1) yang terdapat pada ujung saraf vidianus sehingga menyebabkan munculnya gejala bersin dan sensasi rasa gatal (pruritus) pada hidung. Histamin juga menyebabkan hipersekresi dan peningkatan permeabilatas kapiler pada kelenjar mukosa dan sel goblet sehingga sekresi hidung (lendir) berlebihan atau disebut sebagai rhinorrhea. Akibat dari sekresi hidung yang berlebihan akan menimbulkan obstruksi saluran napas. Obstruksi saluran napas akan mempengaruhi fungsi penghidu, menyebabkan lendir jatuh ke tenggorokan ( post nasal drip) dan kesulitan bernapas saat tidur sehingga akan menyebabkan gangguan pola tidur. Adanya lendir pada saluran napas dapat membawa alergen masuk kedalam tuba eustacius sehingga menyebabkan gangguan fungsi tuba. 31,32 Rhinitis vasomotor merupakan penyakit idiopatik yang bersifat non-alergi yang disebakan oleh karena kelainan neuro vaskuler pembuluh darah pada mukosa hidung. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya rhinitis vasomotor adalah faktor fisik, endokrin, psikis dan obat-obatan. Mukosa hidung yang terus terpapar oleh faktor-faktor tersebut akan mengakibatkan adanya reaksi hipersensitivitas. 33 Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus salivatori superior menuju ganglion sphenopalatina kemudian membentuk n.vidianus yang akan menginervasi kapiler darah dan kelenjar eksokrin, apabila terdapat rangsangan maka akan terjadi pelepasan vasoaktif intestinal peptida dan ko-transmitter asetilkolin yang mengakibatkan dilatasi arteriola dan kapiler darah serta sekresi hidung berlebihan 10

(rhinorrhea) sehingga terjadi kongesti hidung. Rhinitis vasomotor juga bisa disebabkan oleh karena ketidakseimbangan dari impuls sarat otonom di mukosa hidung yang mengakibatkan peningkatan aktivitas sistem parasimpatis. 33 5. Manifestasi Klinik Gejala utama dari hipertropi konka inferior adalah sumbatan hidung kronik, sekret hidung yang berlebihan, kental dan mukopurulen. Biasanya sekret hidung mukopurulen ditemukan didasar rongga hidung dan diantara konka inferior dan septum. Beberapa penderita hipertropi konka inferior juga mengeluhkan gangguan penghidu, adanya sakit kepala, kepala terasa berat, rasa kering pada faring, adanya post nasal drip, gangguan fungsi tuba dan penurunan produktivitas kerja. 1,6,7 Konka akan tampak membengkak dan berwarna merah pada tahap awal pemeriksaan, kemudian apabila sudah terdiagnosis terjadi hipertropi konka maka mukosa konka menebal dan apabila ditekan tidak melekuk. Hipertropi konka dapat terjadi sebagian ataupun seluruh bagian dari konka inferior. Hipertropi dapat pula terjadi pada konka media namun jarang. 6,28 6. Diagnosis Penderita hipertropi konka inferior dapat didiagnosis dengan cara melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologi dan rhinomanometry. Anamnesis yang dilakukan haruslah cermat terutama untuk mengetahui adakah riwayat sumbatan hidung sebagai akibat dari hipertropi konka serta untuk mengetahui keluhan lainnya. 3,7 Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan rinoskopi anterior dan posterior. Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat menilai ukuran pembesaran konka dengan melihat septum nasi dan dinding lateral hidung. Obat vasokonstriktor lokal dapat diberikan bila diperlukan supaya memperluas jangkauan pandangnya. Pemeriksaan rinoskopi posterior dapat menilai batas 11

pemisah antara konka kanan dan kiri serta ujung posterior konka media dan konka inferior. 5 Berdasarkan letaknya, ukuran pembesaran konka anterior terbagi atas tiga yaitu 1) pembesaran konka inferior mencapai garis yang terbentuk antara middle nasal fosa dengan lateral hidung, 2) pembesaran konka inferior melewati sebagian dari kavum nasi, dan 3) pembesaran konka inferior mencapai nasal septum. 34 Berdasarkan derajatnya, ukuran pembesaran konka terbagi atas empat yaitu 1) Normal, apabila konka inferior tidak ada kontak dengan septum atau dasar hidung, 2) Hipertropi ringan, apabila terjadi kontak dengan septum, 3) Hipertropi sedang, apabila terjadi kontak dengan septum dan dasar hidung, dan 4) Hipertropi berat apabila terjadi kontak dengan septum, dasar hidung dan kompartemen superior sehingga akan terjadi sumbatan hidung total. 30 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita hipertropi konka inferior yaitu pemeriksaan radiologi, rhinomanometry dan pemeriksaan peak nasal inspiratory flow ( PNIF). Pemeriksaan radiologi tidak harus dilakukan untuk menilai sumbatan hidung. Pemeriksaan rhinomanometry dan PNIF dapat gunakan untuk menentukan besarnya aliran udara dan tahanan dalam rongga hidung. 5 7. Penatalaksanaan a. Medikamentosa Penatalaksanaan dengan medikamentosa bertujuan untuk mengatasi faktor etiologi dan sumbatan hidung dengan cara memperkecil ukuran konka. 28 Sinus venosus akan mengalami pengisian pada kasus pembesaran konka akut. Pemberian dekongestan topikal dapat mengurangi pembesaran konka. Terapi medikamentosa lain yang dapat diberikan antara lain kortikosteroid, sel mast stabilizer, antihistamin, dan imunoterapi. 4,11 Pemberian dekongestan baik secara lokal maupun sistemik efektif dalam mengobati sumbatan hidung karena hipertropi konka, 12

namun penggunaan dekongestan sistemik oral dapat menimbulkan efek samping berupa palpitasi dan kesulitan tidur. 35 Penggunaan dekongestan topikal dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan terjadinya rinitis medikamentosa ( rebound nasal congestion) dan takifilaksis. 11,35,36 Pemberian kortikosteroid juga efektif dalam mengobati sumbatan hidung, namun dapat menyebabkan terjadinya hidung berdarah, krusta dan mukosa hidung mengering. Kortikosteroid juga dapat mengurangi hiperresponsif saluran respirasi dan menekan terjadinya perdarahan tetapi proses mekanisme dan target seluler belum dapat diketahui. 11 b. Operatif Jaringan ikat telah terbentuk pada kasus kronik. Hal ini disebabkan oleh proses inflamasi kronik yang tidak dapat tertangani oleh terapi medikamentosa setelah 2 bulan pengobatan. Tindakan operatif atau pembedahan sangat dianjurkan apabila hal tersebut terjadi. 2,37 Teknik pembedahan reduksi konka secara garis besar terbagi atas dua kelompok yaitu turbinoplasty dan turbinectomy. Turbinopasty adalah teknik reduksi konka yang mempertahankan agar mukosa hidung tetap utuh, sedangkan turbinektomi adalah teknik reduksi konka yang memotong bagian konka yang mengalami pembesaran. Teknik reduksi konka yang menjadi pilihan saat ini adalah teknik turbinoplasty dengan menggunakan teknik mikrodebrider dan teknik termal seperti dengan radiofrekuensi atau koblasi. Keunggulan dari teknik pembedahan reduksi konka radiofrekunsi adalah mukosa tetap utuh, dapat dilakukan dalam anastesi lokal dan suhu panas yang dihasilkan pada lapisan submukosa berkisar antara 60-90 C. 12,13 Tujuan utama dilakukannya tindakan operatif ini yaitu untuk menghilangkan sumbatan hidung dan mempertahankan fungsi 13

fisiologis hidung. 5 Teknik pembedahan yang ideal memang tidak ada, setiap teknik memiliki keunggulan dan kelemahan seperti adanya kompilkasi jangka pendek dan panjang. Komplikasi jangka panjang yaitu perdarahan dan rinitis atropi. 2,38 B. Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi 1. Definisi Radiofrekuensi didefiniskan sebagai teknik operasi reduksi konka yang mempertahankan agar mukosa hidung tetap dalam keadaan utuh ( turbinoplasty). 12,13 Teknik ini dilakukan dengan cara mengantarkan energi radiofrekuensi atau elektrik eksogen untuk menggumpalkan jaringan lunak pada lapisan submukosa. Tujuan dari teknik ini adalah mengendalikan nekrosis koagulatif lapisan submukosa yang nantinya akan menyebabkan fibrosis, berkurangnya volume jaringan dan kontraktur. Teknik lain yang dapat digunakan selain teknik radiofrekunsi adalah elektrokauter monopolar dan elektrokauter bipolar. 39 2. Indikasi dan Kontraindikasi Operasi reduksi konka metode radiofrekuensi umumnya direkomendasikan untuk lima kondisi yaitu; 40 1) hidung tersumbat dan rinore yang berkaitan dengan hipertropi konka inferior, 2) hidung tersumbat yang disebabkan oleh hipertropi konka inferior dengan septum deviasi, 3) sleep apnea dengan peningkatan resistensi hidung dan kesulitan untuk mengenakan masker hidung continuous positive airway pressure (CPAP), 4) penderita hipertropi konka inferior yang menjalani operasi septoplasty, rhinoplasty atau bedah sinus endoskopi, 5) penderita rinitis medikamentosa yang membutuhkan terapi tambahan. Kontraindikasi absolut untuk dilakukannya operasi reduksi konka metode radiofrekuensi tidak ada, namun pada pasien dengan alat bantu perangkat elektronik seperti pacu jantung, harus dinonaktifkan sementara waktu ketika operasi reduksi konka metode 14

terjadi. 43 Deposit kolagen mulai terjadi pada hari ke-12, kemudian http://repository.unimus.ac.id radiofrekuensi berlangsung. 41 Pasien dengan penyakit sistemik berat seperti hipertensi dan diabetes melitus dibutuhkan perawatan khusus sebelum menjalani operasi reduksi konka metode radiofrekuensi serta perlu penghentian terapi antikoagulan selama 72 jam sebelum operasi berlangsung. 42 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan dari operasi reduksi konka radiofrekuensi adalah sebagai berikut: 42 a. Kelaianan hidung yang parah atau kelainan septal b. Rhinitis alergi atau infeksi akut c. Infeksi saluran pernapasan aktif 3. Cara Kerja Cara kerja dari metode reduksi konka ini adalah dengan menghambat kongesti kavernosus dari konka inferior tanpa merusak fungsi dari mukosa hidung dan struktur lain di kavum nasal dengan cara melewatkan tip pada bagian atas permukaan konka, maka akan mengirimkan energi radiofrekuensi tinggi, impuls yang kuat namun memberikan kerusakan pada jaringan yang minimal. Energi radiofrekuensi yang dihantarkan yaitu 460 Hz yang akan membuat ion sel dalam jaringan tereksitasi sehingga suhu akan meningkat 60-90 C, sementara itu pada suhu sekitar 49,5 C proses denaturasi protein telah setelah tiga minggu akan terbentuk jaringan fibrosis, jaringan parut dan penurunan volume jaringan. Efeknya menekan reseptor saraf trigeminal cabang aferen sehingga menghambat sistem parasimpatis cabang aferen. Hal ini akan mengurangi efek rinore dan dan kongesti hipertropi konka. 43 Operasi reduksi konka metode radiofrekuensi ini juga mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulannya adalah dapat mempertahankan mukosa, dapat dilakukan dalam anastesi lokal dan tidak menimbulkan efek samping klinis dalam jangka pendek namun 15

tidak untuk jangka panjang. Kelemahannya adalah terdapat kemungkinan kerusakan mukosa apabila energi radiofrekuensi yang digunakan terlalu besar. 13 4. Komplikasi Pasca Operasi a. Perdarahan Perdarahan merupakan komplikasi tersering pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi dengan insidensi 1% hingga 2%. Perdarahan ringan biasanya dapat berhenti secara spontan dalam kurun waktu beberapa hari. Perdarahan juga dapat bersifat masif dengan insidensi kurang dari 1% sehingga membutuhkan transfusi darah. Perdarahan ringan dapat ditangani dengan penanganan yang sama seperti pada penatalaksanaan epistaksis, namun apabila perdarahan belum dapat dihentikan, maka perlu diidentifikasi sumber perdarahan. Tampol yang digunakan untuk menyumbat perdarahan pada hidung harus dikeluarkan terlebih dahulu, kemudian berikan nasal dekongestan topikal dengan menggunakan kapas. 44 b. Jaringan parut Pembentukan synechia pasca operasi jarang terjadi, namun apabila mukosa septum yang berada di dekat tepi konka terkelupas setelah reseksi maka synechia dapat terbentuk. Pembentukan synechia ini sulit untuk diprediksi, namun dapat dilakukan monitoring pasca operasi untuk mencegahnya. Synechia yang telah terbentuk dapat ditangani tergantung dari gejala yang timbul. Jaringan synechia ini umumnya dibuang dengan cara insisi namun hal tersebut masih kurang efisien. 44 C. Kualitas Hidup 1. Definisi Kualitas hidup atau Quality of life (QoL) merupakan suatu persepsi penderita mengenai tidak adanya dampak atau adanya dampak minimal yang merugikan dari pengobatan terhadap kemampuan dalam 16

menjalankan fungsi kehidupan atau dapat juga didefinisikan sebagai konsep yang memuat karakteristik fisik dan psikologi secara luas untuk menggambarkan kemampuan individu dalam berperan di lingkungan dan memperoleh kepuasan dari suatu hal yang dilakukan. Sehat bukan hanya berarti tidak ada kelemahan atau penyakit begitupun dengan kualitas hidup. Kualitas hidup bukan hanya berarti tidak ada keluhan saja melainkan bagaimanakah perasaan dan apakah yang diinginkan oleh penderita sebenarnya. 14 Menurut WHO, kualitas hidup merupakan suatu bentuk multidimensional yang terdiri dari tiga dimensi yaitu fisik, mental dan sosial. 15 Masing-masing dari dimensi tersebut dapat diukur dengan penilaian secara subjektif dan objektif. Penilaian secara subjektif dapat diukur dengan melihat persepsi penderita terhadap kesehatannya. Penilaian secara objektif dapat diukur dari status fungsional dan status kesehatan penderita. 14,15 2. Ruang Lingkup Kualitas Hidup Berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh world health organization (WHO) terdapat lima bidang atau domains yang digunakan sebagai tolak ukur dalam penilaian kualitas hidup. Penjelasan dari masing-masing bidang yang termasuk kualitas hidup tersebut yaitu sebagai berikut: 14,15 a) Kesehatan fisik ( physical health) seperti penilaian terhadap kesehatan umum, energi, vitalitas, nyeri, aktivitas seksual, istirahat dan tidur. b) Kesehatan psikologis ( psycological health) seperti penilaian terhadap pola berpikir, pola belajar, konsentrasi dan memori. c) Tingkat aktivitas (level of independence) seperti penilaian terhadap kemampuan mobilitas, komunikasi, aktivitas sehari-hari dan kemampuan kerja. d) Hubungan sosial ( social relationship) seperti penilaian terhadap kemampuan dalam berhubungan sosial, adanya dukungan sosial. 17

e) Lingkungan ( environment) seperti penilaian terhadap lingkungan rumah, lingkungan kerja, keamanan, kepuasan kerja. 3. Pengukuran Kualitas Hidup Instrumen pengukuran kualitas hidup perlu mempunyai cakupan, konsep, reliabilitas, validitas dan sensitivitas yang baik. Instrumen tersebut terbagi menjadi dua macam yaitu instrumen umum ( generic scale) dan instrumen khusus ( spesific scale). Instrumen umum adalah instrumen yang dapat digunakan secara umum oleh penderita penyakit kronik untuk mengukur kualitas hidupnya. Instrumen ini berguna untuk menilai secara umum mengenai ketidakmampuan, kemampuan fungsional dan kekhawatiran yang muncul akibat penyakit yang diderita. Salah satu contoh dari instrumen umum ini yaitu medical outcome study (MOS), 36-item short-form health survey (SF-36). Instrumen khusus merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup secara khusus oleh penderita penyakit tertentu, populasi tertentu misalnya pada populasi lansia atau fungsi khusus misalnya fungsi emosional, fungsi penghidu. Salah satu contoh dari instrumen khusus ini adalah sinonasal outcome test-22 (SNOT- 22). 14,15,16 Penilaian kualitas hidup secara subjektif menggunakan parameter kuesioner SNOT-22. SNOT-22 ini merupakan instrumen pengukuran kualitas hidup yang khusus untuk penyakit sinus dan hidung kronik berupa kuesioner yang terdiri dari 22 pertanyaan. Kuesioner tersebut berisi tentang kumpulan pertanyaan yang berkaitan dengan gejala hidung (7 pertanyaan), gejala wajah atau telinga (5 pertanyaan), gangguan tidur (4 pertanyaan) dan perubahan psikologis (6 pertanyaan). 14 Nilai total skor secara keseluruhan akan didapatkan total skor terendah 0 dan skor tertinggi 110 yang akan terbagi menjadi 11 kelompok. 17,45 Minimal clinically important difference (MCID) atau nilai terkecil perbedaan yang dianggap penting dan dapat menjadi patokan dalam mendeteksi kualitas hidup penderita dengan parameter 18

kuesioner SNOT-22 ini adalah skor 8,9. 16 Perubahan persentase parameter kuesioner SNOT-22 pada masing-masing pasien dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 45 4. Hal yang Berpengaruh pada Kualitas Hidup a) Kelainan anatomi hidung Suatu abnormalitas pada hidung yang disebabkan oleh adanya kelainan anatomi. Bentuk dari kelainan anatomi tersebut adalah deviasi septum kontralateral. Kelainan anatomi hidung ini dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari penderita hipertropi konka inferior dikarenakan dapat memperberat gejala yang timbul. 5,30 b) Penyakit sistemik Suatu penyakit yang dapat mempengaruhi kondisi tubuh secara umum. Adanya penyakit sistemik yang tidak terkontrol dapat memicu timbulnya komplikasi perioperatif maupun pasca operatif sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita. Beberapa penyakit sistemik tersebut adalah hipertensi, diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, hipertiroidisme, gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik, asma dan lain sebagainya. 23 c) Operasi reduksi konka lain Tindakan operatif yang bertujuan untuk mengurangi penebalan mukosa konka dan memperbaiki fungsi fisiologis hidung dengan kombinasi teknik lain seperti operasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) atau functional endoscopic sinus surgery (FESS), septoplasty, rhinoplasty, dan lain sebagainya. Adanya kombinasi teknik operasi tersebut dapat mempengaruhi hasil dari tindakan operasi dan kualitas hidup penderita. 12,13 19

E. Kerangka Teori Faktor Eksogen Hipertropi Konka Inferior Faktor Endogen 1. Infeksi berulang 2. Iritasi kronik hidung Vasodilatasi pleksus kavernosus konka Pelepasan mediator kimia (histamin) Penebalan mukosa konka Bersin-bersin Riwayat rhinitis vasomotor Riwayat rhinitis alergi Kelainan anatomi deviasi septum kontralateral Rhinorrhea Hidung tersumbat Kualitas Hidup Menurun 1. Gangguan penghidu 5. Kering pada faring 2. Post nasal drip 6. Produktivitas menurun 3. Sakit kepala 7. Gangguan pola tidur 4. Gangguan fungsi tuba Medikamentosa Operasi Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi Penyakit sistemik Tindakan operasi reduksi konka lain Gambar 2.2 Kerangka Teori Perubahan Kualitas Hidup 20

E. Kerangka Konsep Operasi Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi Kualitas Hidup Pra Operasi Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi Kualitas Hidup Pasca Operasi Reduksi Konka Metode Radiofrekuensi Variabel Perancu 1. Kelainan anatomi 2. Penyakit sistemik 3. Operasi reduksi konka lain Gambar 2.3 Kerangka Konsep F. Hipotesis Terdapat perbedaan kualitas hidup yang signifikan antara penderita hipertropi konka inferior pra dan pasca operasi reduksi konka metode radiofrekuensi. 21