SUPREMASI HUKUM DALAM MEKANISME IMPEACHMENT BERDASARKAN UUD 1945

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi

IMPEACHMENT WAKIL PRESIDEN. Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.

SEKILAS TENTANG PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) Oleh: Seger Widyaiswara Madya pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG HAK MENYATAKAN PENDAPAT DPR DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMAKZULAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEWENANGAN MEMUTUSKAN PENDAPAT DPR TENTANG DUGAAN. PELANGGARAN PRESIDEN dan /atau WAKIL PRESIDEN ABSTRAC

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

MAHKAMAH KONSTITUSI. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 19 Juni 2008

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Ilham Imaman Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala. Andri Kurniawan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB XIII AMANDEMEN UNDANG UNDANG DASAR 1945

TUGAS KEWARGANEGARAAN LATIHAN 4

BAB I PENDAHULUAN. 1.4 Metode penelitian

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL I. UMUM

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 72/PUU-X/2012 Tentang Keberadaan Fraksi Dalam MPR, DPR, DPD dan DPRD

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

Kewenangan MPR Dalam Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PENDAHULUAN. (untuk selanjutnya disingkat UUD 1945 ) mengamanatkan bahwa negara

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Info Lengkap di: buku-on-line.com 1 of 14

TINDAK PIDANA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA SEBAGAI ALASAN PEMBERHENTIAN PRESIDEN DARI JABATANNYA (PEMAKZULAN)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

KONSTITUSI DAN RULE OF LAW

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

UNDANG-UNDANG DEWAN PERWAKILAN MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan hukum secara konstitusional yang mengatur pertama kalinya

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR. TAHUN. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

Apa Presiden Ketua Parpol. Membahas, sang, Demo 2 Desember. Menu makanan untuk komunikasi politik dengan Ormas Keagamaan & Parpol:

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGISIAN DAN MASA JABATAN HAKIM KONSTITUSI 1 Oleh: Muchamad Ali Safa at 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

MPR dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan ( People s Consultative Assembly in Constitutional System)

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 8/PUU-VIII/2010 Tentang UU Penetapan Hak Angket DPR Hak angket DPR

IMPLIKASI YURIDIS SISTEM PEMILIHAN UMUM PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN SECARA LANGSUNG TERHADAP PROSES IMPEACHMENT

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DAERAH DALAM PELAKSANAAN APBD DIATUR DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

LEMBAGA LEMBAGA NEGARA. Republik Indonesia

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

KARAKTERISTIK PENGAWASAN YANG DIMILIKI OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS UNDANG-UNDANG DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM MENURUT UU NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Oleh: Anak Agung Ngr. Wisnu Wisesa Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak


KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PROSES PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA DI INDONESIA OLEH: RENY KUSUMAWARDANI

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lembaga Kepresidenan dalam Sistem Presidensial

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UU 22/2003, SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Komisi Yudisial. R. Herlambang Perdana Wiratraman Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga 25 Juni 2008

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ara urut ut UUD 1945 Hasil Amandemen

I. UMUM

Transkripsi:

SUPREMASI HUKUM DALAM MEKANISME IMPEACHMENT BERDASARKAN UUD 1945 Oleh : Hermayanti, SH.MH Abstract One component of the establishment of the rule of law in the State under the law determined by the substance of the law itself. In the sense that the substance of the law should include arrangements to ensure that the law which supreme. In connection with that, the mechanism of impeachment against the president and / or vice president by the 1945 Constitution many people do not fully guaranteeing the rule of law, is this so? This paper attempts to discuss particular aspects of the legal substance of the impeachment mechanism Key Note : Rule of Law, Substance Law, Impeachment A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Azas negara hukum menghendaki agar hukum menempati posisi tertinggi (supreme) dalam penyelenggaraan negara. Adanya penegasan tentang prinsip bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, berarti konsitusi kita UUD 1945 telah menempatkan hukum dalam posisi yang supreme dan menentukan dalam system ketatanegaraan Indonesia. Hukum (konstitusi) dibuat untuk membatasi kekuasaan dalam negara. Perkataan konstitusi disini sama dengan power, dan kekuasaan itu sendiri identik dengan politik. Politik itu punya kecenderungan untuk disalahgunakan. Oleh karena itu, agar kekuasaan tidak liar dan tidak disalahgunakan, maka hukum harus mengendalikan kekuasaan itu. Tegasnya hukum harus supreme untuk keperluan pembatasan kekuasaan. Karena kalau hukum tidak supreme, maka pengikut Niccole Machiaelli dengan ajarannya het doel heilight de mid delen, tujuan menghalalkan segala cara akan bertambah panjang. Karena itu dalam praktek atau permainan politik, segala etika politik dan segala aturan permainan atau segala macam aturan hukum haruslah dihormatibdan ditegakkan. 1 Terwujudnya supremasi hukum dalam penyelenggaraan negara ditentukan oleh tiga komponen sistem hukum yang saling komplementer, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Pembentukan substansi hukum (peraturan perundang-undangan) agar berlaku efektif dituntut untuk senantiasa memperhatikan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Pembentukan substansi hukum harus sungguh-sungguh dapat memperkuat Hermayanti,SH.MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 1 Dahlan Thaib, Menegakkaan Prinsip-Prinsip Negara Hukum Analisis dan Tinjauan dari Aspek Ketatanegaraan, dalam Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi (Editor) Kumpulan Makalah dalam Buku Hukum dan Kekuasaan, FH UII Press, Yogyakarta, 1998, hal. 77-78 54

prinsip-prinsip negara hukum, tidak hanya sekedar selimut untuk menutupi penyimpangan dan manipulasi terhadap prinsip-prinsip negara hukum. Selain itu prinsip negara hukum menghendaki bahwa tindakan pemerintah harus selalu sesuai dengan hukum (legaliteid begensel). baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang dikenal dengan azas-azas pemerintahan yang baik (algemene begenselen van behoorlijke bestuur) 2 Konsep negara hukum menghendaki adanya pembatasan kekuasaan yang bertujuan untuk menghindari kesewenang-wenangan pemerintah. Kekuasaan perlu dikendalikan, karena sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton kekuasaan itu cendrung disalahgunakan (power tend to corrupt), maka disinilah peran hukum untuk mengendalikan kekuasaan. Pemikiran ini melandasi pentingnya pembatasan dan mekanisme control yang memungkinkan kekuasaan presiden yang memegang kendali pemerintahan dapat dicabut kembali dengan melalui mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya ini dikenal juga dengan istilah impeachment. Istilah impeachment berasal dari bahasa Inggris yakni to impeach yang berarti menuduh, meragukan, mencurigai. Dalam kamus hukum, impeachment diartikan sebagai tuduhan adanya penyimpangan seorang pejabat pemerintah oleh badan legislative. 3 Dalam hubungan dengan kedudukan kepala negara atau pemerintahan, impeachment berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggung jawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatannya oleh lembaga legislative. Denny Indrayana sebagaimana dikutip Agus Riewanto mengemukakan bahwa, impeachment adalah proses pemberhentian terhadap pemerintah yang dilakukan oleh parlemen. 4 Berkaitan dengan itu, UUD 1945 setelah perubahan menyebutkan secara eksplisit alasan-alasan dan mekanisme presiden dan/atau wakil presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Pengaturan semacam itu dimaksudkan supaya tidak ada lagi penjatuhan eksekutif dengan seenaknya saja seperti yang dilakukan parlemen seperti sebelum konstitusi UUD 1945 diamandemen, dimana presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya berdasarkan alasan-alasan yang bersifat politik dan bukan alasan hukum. Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan system pemerintahan presidensial. Oleh karena itu perubahan ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya semata-mata hanya didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang secara limitative disebutkan dalam konstitusi. Apakah berdasarkan pengaturan tentang impeachment terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam UUD 1945 telah 2 Lihat Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM RI Bersama Sekjend Departemen Kehakiman dan HAM, Jakarta, 2002, hal.3-4 3 Marwah dan Jimmy P., Kamus Hukum, Reality publisher, Surabaya, 2009, hal. 281. 4 Denny Indrayana sebagaimana dikutip oleh Agus Riewanto, Tulisan tentang Alergi Impeachment Presiden, Wacana Suara Merdeka, 2010. 55

mencerminkan terwujudnya supremasi hukum? Hal ini perlu dikaji lebih lanjut, karena banyak kalangan yang meragukannnya. B. Permasalahan Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini membahas tentang apakah mekanisme impecment terhadap presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan ketentuan UUD 1945 telah sepenuhnya menjamin terwujudnya supremasi hukum dalam proses impeachment tersebut?. Dalam hal ini pembahasan dikhususkan hanya pada aspek substansi sistem hukum terkait dengan mekanisme impecment terhadap presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan UUD 1945. C. Mekanisme Impeachment Terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden Berdasarkan UUD 1945 Sesuai dengan pengertian tentang impeachment yang dikemukakan diatas bahwa impeachment adalah mekanisme pemberhentian presiden dan/wakil presiden melalui penilaian dan keputusan politik di parlemen. Meskipun istilah impeachment tidak tercantum secara limitative, namun maknanya terkandung dalam pasa 7A dan 7B UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945, mekanisme impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut dilakukan oleh tiga lembaga, yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi (MK) dan MPR. DPR menyampaikan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR, namun sebelum diajukan ke MPR terlebih dahulu DPR harus mengajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk mengadili, memeriksa dan memutus pendapat DPR tersebut. Berikut dikemukakan mekanisme impeachment tersebut berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait : 1. Pengajuan Usul Oleh DPR berdasarkan Alasan-Alasan Yang ditentukan Dalam UUD 1945 Usulan pemberhentian Presiden diajukan oleh DPR didasarkan pada dua alasan sebagaimana diatur dalam pasal 7A UUD 1945, yaitu: 1. Telah melakukan pelanggaran hukum 2. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden Alasan pelanggaran hukum yang dimaksud meliputi (1) penghianatan terhadap negara, (2) korupsi, (3) penyuapan, (4) tindak pidana berat lainnya dan (5) perbuatan tercela. Kelima jenis perbuatan melanggar hukum tersebut dan bagaimana proses pemberhentiannya sehingga seorang presiden dan/atau wakil presiden dapat dinyatakan terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum dan dapat diberhentikan dari jabatannya, diatur lebih lanjut dalam Undang- Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkama Konstitusi. Berkaitan dengan pelanggaran hukum tersebut dalam Pasal 10 ayat (3) dijelaskan sebagai berikut : Penghianatan terhadap Negara, yaitu tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagai mana diatur dalam Undang-undang. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi dan penyuapan sebagaimana diatur dalam Undang-undang 56

Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan tindak pidana penjara 5 tahun atau lebih. Perbuata tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden dan/atau wakil presiden. Dari penjelasan yang dikemukakan tersebut penjelasan terhadap penghianatan negara, korupsi dan penyuapan dan tindak pidana berat lainnya dapat dipahami dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan mengenai perbuatan tercela, baik dalam UUD Republik Indonesia tahun 1945 maupun dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tidak ada batasan yang tegas seperti apa perbuatan tercela itu. Yang jelas perbuatan tercela adalah perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden yang karena perbuatannya itu dapat menurunkan martabatnya sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Berkenaan dengan alasan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dikemukakan dalam pasal 10 ayat (3) adalah syarat sebagaimana diatur dalam pasal 6 UUD 1945. Dalam Pasal 6 ayat (1) dikemukakan syarat-syarat untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden yaitu presiden dan/atau wakil presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya. Syarat-syarat lainnya sebagaimana ditentukan dalam pasal 6 ayat (2) diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dalam hal ini adalah syaratsyarat sebagai calon presiden dan/atau wakil presiden yang akan mengikuti pemilihan presiden dan/atau wakil presiden, termasuk persyaratan kelengkapan administrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pemilihan Umum Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebelum diusulkan DPR kepada MPR, terlebih dahulu melewati proses yang cukup panjang dan rumit. Untuk pertama kalinya, DPR melakukan penyelidikan dengan menggunakan hak angket. Selanjutnya DPR menindaklanjutinya dengan menggunakan hak menyatakan pendapat tentang adanya dugaan bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai presiden dan/atau wakil presiden. Didalam pasal 184 ayat (1) dan (4) UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah melalui adanya yudisial review oleh mahkamah konstitusi, bahwa hak menyatakan pendapat tersebut harus diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota DPR, dan diputuskan dengan persetujuan oleh paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir. Apabila DPR memutuskan menerima usul hak menyatakan pendapat, maka berdasarkan ketentuan pasal 185 dan pasal 186 UUD No. 27 tahun 2009, DPR akan membentuk panitia khusus yang terdiri dari semua unsur fraksi DPR dengan Keputusan DPR. Panitia khusus ini wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus tersebut. Proses selanjutnya apabila DPR pada 57

akhirnya menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa memang telah terjadi pelanggaran hukum, maka DPR dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang mana dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR menyampaikan pendapatnya tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Jadi, setelah adanya pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden melanggar hukum, sebelum diusulkan ke MPR, alasan-alasan dan proses pemberhentian harus diuji dan diperiksa aspek hukum dan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi yang menentukan keabsahan alasan dan proses pemakzulan apakah sesuai dengan hukum dan konstitusi. 5 Permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi tersebut berdasarkan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. 2. Pemeriksaan Oleh Mahkamah Konstitusi atas Pendapat DPR tentang Adanya Dugaan Pelanggaran Hukum oleh Presiden dan/atau wakil Presiden. Setelah Mahkamah Konstitusi menerima pengajuan dari DPR, Pasal 7B ayat (4) menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memeruksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut jelas bahwa permintaan DPR ke Mahkamah Konstitusi tersebut diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus dari segi hukum atas landasan yuridis alasan dan proses impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Persidangan di Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan untuk menjawab dua pertannyaan paling mendasar tentang fakta dan hukum yaitu apakah benar presiden telah melakukan tindakan yang menjadi alasan pemakzulan oleh DPR? Dan apakah proses pengambilan keputusan di DPR sesuai dengan konstitusi. Sebagai sebuah lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi harus memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat DPR mengikuti prinsip-prinsip peradilan dan pembuktian yang berlaku di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Artinya Mahkamah Konstitusi melakukan penilaian kembali atas terbukti tidaknya alasan-alasan pemakzulan presiden dari sisi hukum yang disampaikan DPR. 6 Selanjutnya berdasarkan Pasal 7 ayat (5) UUD 1945, apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR yang menyatakan Presiden dan atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum dan/atau terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/ atau wakil presiden, maka 5 Hamdan Zulfa, Alasan-Alasan Pemakzulan Presiden dan Mekanisme Penyelesaiannya di mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2011, hal. 10 6 Hamdan Zulfa, Op.Cit, hal. 24 58

DPR kembali harus menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian tersebut ke MPR. 3. Pengambilan Keputusan Oleh MPR Keputusan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan usulan DPR dan Keputusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dikemukakan diambil dalam rapat paripurna MPR setelah menerima usulan pemberhentian dari DPR. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 7B ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan tersebut, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR atas usulan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden yang diusulkan oleh DPR yang telah dibuktikan kebenarannya melaui proses hukum di MK, diambil dalam rapat paripurna MPR yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir, setelah Presiden dan/atau wakil presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Sehubungan dengan ini, meskipun pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden telah dibuktikan kebenarannya secara hukum dan melalui proses hukum di Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 tidak mengatur bahwa MPR harus mengikuti Keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah diproses secara hukum tersebut. Karena itu bisa saja terjadi, keputusan MPR mematahkan usulan DPR serta Keputusan MK yang membuktikan adanya pelanggaran hukum oleh Presiden dan atau Wakil Presiden tersebut. Implikasinya Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan. Dengan demikian, permasalahan tentang apakah mekanisme impeachment terhadap presiden dan/atau wakil presiden berdasarkan ketentuan UUD 1945 telah menjamin terwujudnya system hukum? Berdasarkan uraian tentang mekanisme tersebut, terlihat bahwa keputusan politik yang diambil oleh MPR dapat mengabaikan keputusan hukum yang seharusnya menjadi acuan tertinggi dalam proses pengambilan keputusan. MPR adalah lembaga politik, tentu saja keputusan-keputusan MPR sangat mungkin sekali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik, atau kepentingan-kepentingan tertentu yang cenderung mengabaikan proses hukum. Berdasarkan uraian ini terlihat bahwa substansi hukum berkaitan dengan proses impeachment belum mendukung terwujudnya supremasi hukum yang menghendaki bahwa hukumlah yang supreme, namun memberi peluang bahwa keputusan politiklah yang supreme. Kalau itu sampai terjadi, maka tidak ada gunanya proses yang dilakukan DPR dan MK, jika tidak ada komitmen yang kokoh untuk mewujudkan supremasi hukum. Padahal proses yang ditempuh untuk sampai pada keputusan tersebut merupakan proses yang rumit dan panjang, namun bisa menjadi sia-sia akibat kepentingan-kepentingan politik. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya. Jika pada waktu sebelum UUD 1945 diamandemen, kenyataan itu dapat diterima karena MPR adalah lembaga tertinggi negara sebagai pelaksana 59

sepenuhnya kedaulatan rakyat, sekarang kedaulatan rakyat tidak lagi berada sepenuhnya pada MPR. D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa substansi sistem hukum terkait dengan mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum menjamin terwujudnya supremasi hukum, karena keputusan akhirnya tidak didasarkan atas keputusan hukum tetapi didasarkan atas keputusan politis. Hal ini karena dalam proses impeachment tersebut dimungkinkan bagi MPR mengeluarkan keputusan politik yang mengabaikan keputusan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi. 2. Saran a. Agar supremasi hukum dalam proses impeachment dapat diwujudkan, maka perlu kiranya dilakukan perubahan konstitusi yang menentukan bahwa keputusan akhir dalam pengambilan keputusan tentang pemberhentian presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya semata-mata hanya dilandasi atas keputusan hukum dan bukan keputusan politis. Dengan kata lain, keputusan akhir tidak lagi ditentukan oleh MPR sebagai lembaga politis. b. Jika pengambilan keputusan akhir masih melibatkan MPR, maka perlu kiranya dirumuskan pengaturan dalam konstitusi yang mengikat MPR secara rinci tentang alasan-alasan yang jelas bagi MPR untuk tidak mengikuti keputusan hukum yang dilakukan oleh MK, sehingga keputusan MPR meskipun merupakan keputusan politis tapi dilandasi oleh aturan hukum yang tegas. Sehingga jika ketika DPR memang betul-betul menganggap presiden atau wakil presiden bersalah berdasarkan bukti-bukti yang kuat, maka harus ada komitmen yang kuat dari awal untuk mengawal proses impeachment tersebut, sehingga supremasi hukum dapat ditegakkan, dan mekanisme impeachment yang rumit dan memakan waktu yang panjang tidak menjadi sia-sia. E. Daftar Pustaka Hamdan Zulfa, Alasan-Alasan Pemakzulan Presiden dan Mekanisme Penyelesaiannya di Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2011 Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi (editor), Hukum dan Kekuasaan, FH UII, Yogyakarta, 1998 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Kamus Hukum oleh Marwah dan Jimmi P, Penerbit Reality Publiser, Surabaya, 2009 Kamus Bahasa Inggris oleh Desi Anwar, Penerbit Amelia, Surabaya, 2003 60