ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN PENDAPATAN PETANI RINGKASAN EKSEKUTIF

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

Keywords : Crude Palm Oil, Export Levy, Indonesia

Tinjauan Pasar Minyak Goreng

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

Ringsek KER Zona Sumbagteng Tw.I-2009 Ekonomi Zona Sumbagteng Melambat Seiring Dengan Melambatnya Permintaan Domestik

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

Jakarta, 9 Desember Penulis

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

Kondisi Perekonomian Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB 3 METODOLOGI. Kerangka berpikir digunakan untuk memberikan kemudahan dalam

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

Kebijakan Bea Keluar Minyak Kelapa Sawit Indonesia: Siapa Yang Untung?

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

Boks 1. Dampak Pembangunan Industri Hilir Kelapa Sawit di Provinsi Riau : Preliminary Study IRIO Model

Sumber (diolah dari) ; 1. Bank Indonesia, Sipuk-Siabe (2003). 2. Departermen Perindustrian, (2007).

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara produsen beberapa komoditi. primer seperti produk pertanian, perkebunan, dan perikanan serta

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. salah satu bagian penting dalam pembangunan pertanian serta merupakan bagian

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PERKEMBANGAN DAN VOLATILITAS NILAI TUKAR RUPIAH

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Analisis pergerakan..., Adella bachtiar, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian dan perkebunan merupakan sektor utama yang membentuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

VII. DAMPAK BERBAGAI ALTERNATIF KEBIJAKkM-TERHADAP PERDAGANGAN MINYAK SAWlT INDONESIA

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

III. TINJAUAN PUSTAKA

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

Policy Brief Perbaikan Regulasi Lahan Gambut Dalam Mendukung Peran Sektor Industri Kelapa Sawit Indonesia 2017

VI. RAMALAN HARGA DUNIA MINYAK NABATI DAN KERAGAAN INDUSTRI MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

BAB 4 ANALISIS HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KELAPA SAWIT. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

BAB I PENDAHULUAN. interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

2016, No Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, diatur penjualan ke luar negeri dalam jumlah terten

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

Lampiran 1. Lanjutan. Keterangan : *) sementara **) sangat sementara. Sumber : Ditjenbun dan PPKS, 2006

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Crude palm oil (CPO) berasal dari buah kelapa sawit yang didapatkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendiri, demikian halnya dengan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Analisis kebijakan industri minyak sawit Indonesia: Orientasi ekspor dan domestik Edid Erdiman

OUTLOOK KELAPA SAWIT Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2016

PUNGUTAN EKSPOR BIJI KAKAO SEBAGAI ISU KEBIJAKAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

Analisis ekspor karet dan pengaruhnya terhadap PDRB di Provinsi Jambi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULAN. yang sedang berkembang (emerging market), kondisi makro ekonomi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005

2015, No Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

Transkripsi:

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN PENDAPATAN PETANI RINGKASAN EKSEKUTIF I. JUSTIFIKASI DAN TUJUAN KAJIAN 1. Saat ini pemerintah mempunyai instrumen baru dalam kegiatan perdagangan internasional, yaitu pungutan ekspor (PE) yang dilegalisasi pada tanggal 10 September 2005 dengan penerbitan PP No. 35 Tahun 2005. PP ini pada dasarnya sebagai pengganti SK Menteri Keuangan tentang pajak ekspor yang untuk kelapa sawit telah diterapkan sejak tahun 1984. Selain itu, PP ini dimaksudkan untuk melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan yang telah berlaku secara nasional diantaranya UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). 2. Kontroversi yang berkembang sejak pembahasan draf PP hingga penerbitannya pada dasarnya berkisar pada Pasal 2 dan 3. Secara umum stakeholders agribisnis kelapa sawit nasional mengaitkan substansi dari tujuan dan besarnya tarif PE serta HPE dengan dimensi manfaat, keadilan dan kepastian hukum. Setelah mencermati PP tentang PE dalam perspektif pengembangan industri kelapa sawit nasional, terdapat 2 pasal yang perlu dipahami secara mendalam. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 2, tentang tujuan dan Pasal 3 ayat 5 dan 6, tentang besarnya tarif PE dan harga patokan ekspor (HPE). Kedua pasal tersebut masih mengandung pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah penetapannya telah mempertimbangkan nilai manfaat konkrit bagi seluruh stakeholders kelapa sawit nasional, memenuhi rasa keadilan dan memiliki kepastian hukum dalam pelaksanaannya?. 3. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis tentang: tujuan penerapan PE dan besarnya tarif PE dan HPE dengan mempertimbangkan manfaatnya bagi seluruh stakeholders kelapa sawit nasional, beban yang harus ditanggung stakeholders dan kepastian hukum (daya penegakan dan penegakan hukumnya), dan (2) dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), kinerja agribisnis kelapa sawit dan pendapatan petani. VI-281

II. KERANGKA ANALISIS PENERAPAN PE 4. Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan perdagangan internasional berperan sangat penting. Kebijakan perdagangan tersebut pada umumnya diutamakan untuk perluasan pasar internasional dan proteksi bagi pembeli domestik (industri atau rumah tangga). Namun tidak tertutup kemungkinan, kebijakan perdagangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah melalui pajak/pungutan dan terkait dengan kebijakan luar negeri suatu negara atau alasan-alasan politik. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah tentang penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya lebih diutamakan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan proteksi bagi industri dalam negeri penghasil produk turunan CPO, seperti industri minyak goreng dan oleokimia. 5. Dalam aspek legal, pungutan ekspor yang dimaksudkan dalam PP No. 35 tahun 2005 adalah pungutan ekspor yang dikenakan atas barang ekspor tertentu, termasuk CPO dan produk turunannya. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PE untuk CPO dan produk turunannya termasuk PNBP yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam. Masih berdasarkan UU tersebut, sesuai jenisnya PNBP dari PE ini dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang meliputi penelitian dan pengembangan teknologi, pendidikan dan pelatihan, pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu dan pelestarian sumber daya alam. Dengan ketentuan ini, maka pungutan ekspor berbeda dengan pajak ekspor masa lalu. Penerimaan negara dari pajak ekspor tidak jelas rincian penggunaannya. 6. Penerapan PE pada CPO dan produk turunannya mengandung konsekuensi yang menguntungkan dan merugikan. Secara potensial, pihak yang diuntungkan dari penerapan PE adalah pembeli dalam negeri (industri hilir minyak sawit), pemerintah dan pesaing ekspor Indonesia untuk produkproduk tersebut. Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena penerapan PE akan menekan harga CPO dan produk turunannya di pasar dalam negeri. Penerimaan negara akan meningkat sesuai dengan besarnya tarif, harga dan volume ekspor. Penerapan PE cenderung menurunkan volume ekspor, sehingga pengekspor luar negeri diuntungkan karena pengurangan ekspor VI-282

CPO dan produk turunannya oleh Indonesia merupakan peluang pasar bagi mereka. 7. Sedangkan pihak yang dirugikan dari penerapan PE adalah produsen kelapa sawit dan CPO nasional, pembeli (importir) CPO dan produk turunannya di luar negeri, penyedia jasa di pelabuhan dan pemasok input perkebunan kelapa sawit serta negara. PE akan menekan harga di pasar dalam negeri sehingga menimbulkan disinsentif berproduksi bagi produsen CPO dan produk turunannya. Hal ini dapat berwujud pengurangan penggunaan input sehingga pemasok input juga mengalami imbas kerugian produsen. Khusus untuk kasus CPO, pengusaha penghasil CPO akan menekan harga tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan petani. Jadi secara implisit, TBS juga terkena pungutan ekspor, meskipun petani tidak mengekspor. Selanjutnya, penurunan produksi CPO dan produk turunannya menyebabkan ekspor CPO dan produk turunannya turun. Penurunan ekspor ini mengakibatkan kebutuhan importir di luar negeri tidak terpenuhi. Bahkan, apabila penerapan PE oleh Indonesia ini menimbulkan guncangan harga di pasar internasional, maka importir akan membeli CPO dan produk turunannya dengan harga lebih tinggi dari pada tanpa PE. Penurunan volume ekspor ini juga berarti merugikan pelaku bisnis di pelabuhan dan negara juga kehilangan devisa. III. TINJAUAN KRITIS TERHADAP PP 35 TAHUN 2005 8. Tujuan pengenaan PE untuk barang ekspor tertentu, seperti CPO dan produk turunannya (Pasal 2 ayat 2) adalah untuk (i) menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, (ii) melindungi kelestarian sumber daya alam, (iii) mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor tertentu, dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri. 9. Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan keadilan dari PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas, maka penetapan tujuan PE ini semata-mata hanya memperhatikan kepentingan pembeli domestik dan kepentingan negara (pemerintah) yang dilihat secara parsial. Kepentingan produsen, yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan VI-283

produk turunannya terabaikan. Tidak ada pernyataan dalam tujuan yang relevan dengan kepentingan produsen, penyedia jasa bisnis dan pemasok input. Sedangkan kepentingan pelestarian sumber daya alam malahan mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan sebagai tujuan kedua. 10. Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit sehingga industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya dengan harga rendah (terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi terselubung bagi industri hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut, negara dapat mengumpulkan penerimaan negara bukan pajak. Perolehan penerimaan negara ini tidak dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE. Dengan perhitungan sederhana, akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak pertengahan 1998 hingga akhir tahun 2003 mencapai sekitar Rp. 6,85 Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat mungkin dicapai dengan penetapan formula penerimaan ekspor dengan komponen yang terdiri dari volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan ekspor, tarif PE dan nilai kurs Rupiah. 11. Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam dapat dikatakan terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa sawit. Dalam pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari produkproduk kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan kelapa sawit. Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga apabila tidak dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes yang sering muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam adalah karena kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal ini pembangunan perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks pencapaian tujuan, lantas bagaimana PE dapat melindungi kelestarian sumber daya alam?. Pencantuman tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam sekaligus dapat diartikan sebagai pembenaran atas adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. VI-284

12. Masih dalam konteks tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE mengakomodasi kepentingan produsen yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya? Produsen menanggung beban PE dan tidak ada pernyataan tujuan yang melindungi kepentingan produsen. Sebagai suatu kebijakan publik selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap seluruh stakeholders. 13. Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP No.35 Tahun 2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa keadilan bagi stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku jasa bisnis berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya. Tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum jelas kepastian hukumnya tentang bagaimana mencapainya. Tarif PE, HPE dan nilai kurs berpotensi sebagai sumber distrorsi 14. Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai Pasal 3, tarif PE ditetapkan secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan rumus: Tarif PE x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs. Tarif atas PE CPO dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi 60%. Besarnya tarif PE dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Besarnya HPE ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri Teknis terkait, seperti Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya memberi pertimbangan dan/atau usul atas penetapan besarnya tarif dan HPE. Formulasi di atas pada dasarnya tidak merubah ketentuan PE yang berlaku sebelumnya. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan data perkembangan pengenaan PE untuk CPO dari bulan Juli 1998 hingga Maret 2005 (Tabel 1). 15. Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 3% untuk tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 1% untuk crude olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO) dan Refined Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan Menteri Keuangan pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE VI-285

masih belum ditentukan oleh Menteri Perdagangan. Menurut Menteri Perdagangan, sesuai aturan yang berlaku selama ini, kalau belum ada penetapan HPE yang baru, maka HPE yang lama masih berlaku. Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005, HPE CPO dan produk turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang saat ini berkisar US$ 420 per ton. Tabel 1. Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya Tahun PE HPE Harga Nilai Kurs (%) (US$/ton) (US$/ton) (RP/US$) Juli 98-Feb 99 60 610 650 14.550 Feb 99-Juni 99 40 535 535 8.850 Juni 99-Juli 99 30 365 440 8.171 Juli 99-Sept 99 10 260 312 6.873 Sept 99-Feb 2001 5 190 335 8.250 Feb 2001-Juni 2002 3 160 175 9.598 Juni 2002-Maret 3 160 429 9.750 2005 Sumber: Rosediana (2005) 1 16. Belum ditetapkannya PE untuk CPO dan produk-produk turunannya tidak terlepas dari penetapan besarnya nilai tarif PE dan HPE. Permasalahannya berkisar pada pilihan antara (i) tarif PE turun dari 3% menjadi katakanlah 1% dengan HPE disesuaikan dengan harga pasar di Rotterdam atau (ii) tarif PE tetap 3% dengan HPE juga tetap US$ 160 per ton. Saat ini tarif PE CPO telah ditetapkan 3%, sehingga perdebatan antara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan pemerintah tinggal pada besarnya HPE. 17. Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk tarif PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan (i) sifatnya hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi mengguncang pasar CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar CPO domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk 1 Rosediana, S. (2005). Peranan Industri Minyak Sawit Dalam Perekonomian Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia: Menuju Kesinambungan Sosial Ekonomi yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 28 September 2005. VI-286

program dan kegiatan pengembangan industri perkelapasawitan nasional dan target PNBP. Butir (iii) ini sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan HPE disamping memperhitungkan kepentingan pelaku jasa bisnis dan keuntungan perusahaan dan petani kelapa sawit. Untuk itu, kajian dan simulasi penetapan tarif PE dan HPE sangat diperlukan. Penyempurnaan PP 18. Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE, khususnya Pasal 2 dan 3 maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu disempurnakan pada aspek-aspek: (i) memberi perhatian terhadap manfaat pengenaan PE bagi pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii) menciptakan keadilan dengan memperhatikan kepentingan stakeholders, terutama petani secara proporsional, dan (iii) memberi kepastian hukum dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya penegakan dari ketentuanketentuan yang ditetapkan dan implementasi penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dimaksud. SK Menteri dan pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005, bukannya menjadi sumber diskresi dari PP tersebut. III. ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PE CPO (PP NO 35/2005) 19. Ada tiga analisis dampak yang dilakukan yaitu: (1) dampak terhadap Produk Domestik Bruto; (2) dampak terhadap agribisnis kelapa sawit; dan (3) dampak terhadap pendapatan petani. Ada tiga skenario kebijakan PE (pungutan ekspor) CPO yaitu: a. PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku, b. PE sebesar 3 persen dari harga CPO dunia yang berlaku, c. PE sebesar 3 persen dari HPE (harga patokan ekspor) dimana HPE berada sekitar 1/3 dari harga dunia atau setara dengan PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku. 20. Saat ini pemerintah telah menetapkan PE atas CPO sebesar 3 persen dari HPE CPO. Namun besaran HPE atas CPO belum ditetapkan. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi berkaitan dengan PE CPO yaitu: (1) VI-287

pemerintah menetapkan besaran HPE sebesar 1/3 dari harga CPO dunia yang berlaku yang berarti setara dengan PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku; (2) pemerintah merevisi besaran PE dari 3 persen menjadi 1 persen, tetapi HPE ditetapkan sebesar harga CPO dunia yang berlaku. Produk Domestik Bruto 21. Pungutan Ekspor atas CPO menyebabkan, harga ekspor untuk CPO yang diterima produsen menurun (disinsentif) yang selanjutnya berdampak pada konstraksi kegiatan industri sawit maupun usahatani kelapa sawit. Namun demikian, PE atas CPO menyebabkan harga CPO untuk industri hilir dalam negeri menurun sehingga menciptakan insentif bagi industri tersebut. Dampak selanjutnya adalah ekspansi kegiatan industri hilir CPO dalam negeri. Selain itu, PE atas CPO akan meningkatkan penerinaan PNBP negara sebagai dana pembangunan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi nasional. 22. Dampak kontraksi dan ekspansi dari penerapan PE tersebut secara umum akan tercermin dari PDB. Apabila PDB meningkat mengidentifikasikan bahwa PE tersebut berdampak positif terhadap perkembangan ekonomi nasional, tetapi sebaliknya jika PDB menurun. Dari Tabel 1 tersebut terlihat bahwa penerapan PE akan menyebabkan penurunan PDB disemua skenario. Dampak penerapan PE 3 persen terhadap penurunan PDB lebih besar dibanding PE 1 persen. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan PE ternyata tidak mampu mengakselerasi kegiatan industri hilir dalam negeri yang menciptakan nilai tambah lebih besar untuk mengkompensasi kehilangan nilai tambah akibat konstraksi dari penerapan PE pada kegiatan agribisnis kelapa sawit. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah tidak menerapkan PE terlalu tinggi dibanding yang berlaku sekarang. VI-288

Tabel 2. Dampak Pungutan Ekspor (PE) terhadap kinerja Agribisnis Kelapa Sawit dan Ekonomi Nasional (%)*) Peubah 0% menjadi 1%**) 0% menjadi 3%**) 1% menjadi 3%**) Produktivitas Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Produktivitas Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Produktivitas Swasta 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Luas Menghasilkan Negara (0.00008934) (0.00026593) (0.00017659) Luas Menghasilkan Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Luas Menghasilkan Swasta (0.00512994) (0.01538651) (0.01025710) Serapan T. Kerja Negara 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Serapan T. Kerja Rakyat 0.000000000 0.000000000 0.000000000 Serapan T. Kerja Swasta (0.00067432) (0.00134864) (0.00067432) Harga CPO dalam Negeri (0.00142792) (0.00285584) (0.00142794) Konsumsi CPO dalam Negeri 0.00000551 0.00001653 0.00001102 Vol. Ekspor CPO Indonesia (0.01126562) (0.03379339) (0.02253031) Nilai Ekspor CPO Indonesia (0.02294849) (0.06882694) (0.04588898) Vol. Ekspor CPO Malaysia 0.00000389 0.000011666 0.00000777 Produksi CPO Indonesia (0.00678744) (0.02035882) (0.01357231) Nilai Tambah CPO Indonesia (0.00341154) (0.01023309) (0.00682178) Produk Domestik Bruto Indonesia (0.00000413) (0.00001031) (0.00000619) Keterangan : *) Model yang digunakan adalah model ekonometrik persamaan simultan yang terdiri dari Blok produksi, konsumsi dan perdagangan. **) 0, 1, 3 % besaran Pungutan Ekspor (PE) dalam % x harga CPO dunia; dan PE 1% setara dengan PE 3% x HPE (Harga Patokan Ekspor) yang berlaku saat ini sekitar US$ 160 per ton. ( ) tanda dalam kurung menunjukkan penurunan atau pengurangan. Daya Saing CPO Inonesia vs Malaysia 23. Pengenaan PE akan meningkatkan harga ekspor CPO Indonesia di pasar dunia, sementara harga ekspor CPO Malaysia tetap akibatnya daya saing CPO Indonesia menurun terhadap CPO Malaysia. Hal ini tercermin dari meningkatnya volume ekspor CPO Malaysia sementara volome ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan pada semua skenario. 24. Makin tinggi Pengenaan PE atas CPO Indonesia, makin tinggi pula volume ekspor CPO Malaysia. Oleh karena itu, disarankan agar tingkat PE atas CPO Indonesia tidak terlalu besar agar pangsa pasar CPO Indonesia tidak direbut oleh CPO dari Malaysia. VI-289

Agribisnis Kelapa Sawit 25. Hasil analisis dampak pengenaan PE terhadap kinerja agribisnis kelapa sawit disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis tersebut dapat dirangkum sebagai berikut : a. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 1 persen dari harga CPO dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, maka produksi CPO Indonesia mengalami penurunan karena luas tanaman yang menghasilkan menurun, volume ekspor menurun lebih besar dibanding kenaikan konsumsi domestik. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan terjadi pada perkebunan negara dan swasta, sedangkan perkebunan rakyat tidak terjadi. Penurunan luas tanaman yang menghasilkan pada perkebunan negara dan swasta sebagai respon penurunan harga Tandan. Dampak dari penurunan luas tanaman yang menghasilkan tersebut menyebabkan penyerapan tenaga kerja pada usahatani kelapa sawit menurun. Penurunan volome ekspor akan berdampak pada penurunan penerimanan devisa negara dari ekspor CPO. Walaupun terjadi peningkatan penerimaan negara dari PE, namun secara keseluruhan PDB nasional mengalami penurunan. b. Apabila pemerintah memberlakukan PE sebesar 3 persen dari harga CPO dunia yang berlaku dibanding PE sebesar 0 persen, arah dampaknya sama dengan pemberlakuan PE 1 persen, tapi dampaknya lebih besar pada PE 3 persen. c. Kesimpulan yang bisa diambil dari hasil analisis tersebut adalah bahwa pengenaan PE berdampak pada penurunan luas tanaman menghasilkan yang selanjutnya berdampak pada penurunan kesempatan kerja, dan penurunan produksi CPO. Tambahan penenerimaan pemerintah dari PE ternyata tidak mampu menaikkan pertumbuhan PDB justru sebaliknya, sehingga penerapan PE kurang menguntungkan dilihat dari aspek kinerja ekonomi makro. Apabila pemerintah tetap menerapkan kebijakan PE CPO maka disarankan untuk menerapkan PE sebesar 3 persen dengan HPE 1/3 dari harga CPO dunia yang berlaku. VI-290

Pendapatan Petani 24. Diperkirakan kalau tarif ekspor tetap 3% sementara HPE mengikuti harga CPO dunia di Rotterdam yang terus tinggi seperti pada September mencapai US$ 420 per ton, maka pungutan ekspor yang menjadi beban eksportir naik cukup tinggi menjadi US$ 7,8 per ton atau kalau dirupiahkan sebesar Rp78 per kg. Karena beban PE dapat dialihkan ke petani, maka beban pungutan ekspor yang besar itu sebagian diantaranya akan dibebankan pengusaha kepada petani. Diperkirakan dengan pungutan ekspor sebesar Rp78 per kg CPO, maka harga tandan buah segar (TBS) di petani kemungkinan dikurangi Rp15-Rp20 per kg. Hitungan ini diperoleh dari asumsi untuk mendapatkan 1 kg CPO jumlah TBS-nya harus 5 kg (asumsi: rendemen minyak dalam TBS 20%). Selanjutnya, kalau harga TBS di petani saat ini sebesar Rp650 per kg, maka harga beli pasti berkurang. Jika tarif ekspor hanya 1% dan HPE disesuaikan dengan harga jual CPO di Rotterdam, maka pungutan ekspor masih tetap rendah yakni US$ 4,20 per ton, sehingga tidak berpengaruh pada pendapatan petani. IV. REKOMENDASI KEBIJAKAN 25. Hasil analisis kuantitatif menunjukkan bahwa penerapan PE atas CPO berdampak pada penurunan Produk Domestik Bruto, daya saing CPO Indonesia dibanding Malaysia di pasar dunia, kinerja agribisnis kelapa sawit dan pendapatan petani. 26. Apabila pemerintah tetap menerapkan PE atas CPO untuk meningkatkan penerimaan PNBP, maka disarankan agar tingkat PE tidak terlalu tinggi. Apabila tingkat PE sebesar 3 persen, maka HPE disarankan sebesar 1/3 dari harga CPO dunia yang berlaku. Namun jika tingkat PE sebesar 1 persen, maka HPE disarankan sebesar harga CPO dunia yang berlaku. VI-291

VI-292

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN PENDAPATAN PETANI Nizwar Syafa at, Bambang Dradjat, Ketut Kariyasa, Supena Friyatno, Mohamad Maulana PENDAHULUAN Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Pertama, sebagai bahan utama minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat, CPO memainkan peran penting dalam menentukan tingkat inflasi. Kedua, industri palm oil menyerap lebih dari dua juta orang tenaga kerja. Ketiga, ekspor CPO merupakan sumber devisa negara yang telah menghasilkan lebih dari satu juta USD sejak tahun 1997 hingga kini. Luas areal tanam kelapa sawit yang pada tahun 1988 mencapai 862 ribu hektar, meningkat menjadi sekitar 4 juta hektar pada tahun 2002. Peningkatan areal tanam sekitar 11 persen per tahun ini, berdampak pada peningkatan produksi CPO sebesar 10 persen per tahun, dari 342 ribu ton pada tahun 1988 menjadi 7,97 juta ton tahun 2002. Sementara itu, penggunaan CPO sebagai bahan utama minyak goreng juga meningkat tajam sekitar 10 persen per tahun. Industri CPO juga memainkan peran penting di pasar internasional. Laju pertumbuhan produksi CPO merupakan yang tertinggi diantara kategori minyak lainnya yang dikonsumsi. Bahkan CPO telah diprediksi akan melewati perdagangan minyak kedele yang selama paling banyak diperdagangkan di pasar dunia. Dengan strategisnya posisi CPO dalam perekonomian, pemerintah telah merilis kebijakan untuk mengoptimalkan pembangunan industrinya. Salah satu kebijakan penting tersebut adalah kebijakan pajak ekspor yang pertama dimplementasikan pada bulan Agustus 1994 untuk menstabilkan dan mengamankan pasokan dan harga. Pajak ekspor yang pada awalnya dikenakan pada CPO berkisar antara 40-60% yang dihitung secara berbeda berdasarkan harga CPO internasional dan harga patokan ekspor. Sejak 4 Juli 1987 sampai Februari 1998, pajak ekspor turun menjadi 5% dari harga CPO. Kemudian, selama masa krisis ekonomi yang menyebabkan harga CPO meningkat tajam dan depresiasi Rupiah, pemerintah melarang ekspor CPO diawal tahun 1998. Kondisi ini menyebabkan perubahan kabijakan pajak ekspor yang sangat drastis, yaitu VI-293

peningkatan pajak ekspor dari 5% menjadi 60% yang kemudian turun lagi menjadi 30% pada Juli 1999 dan 4% pada tahun 2002 (Susila, 2004). Saat ini pemerintah mempunyai instrumen baru dalam kegiatan perdagangan internasional, yaitu pungutan ekspor (PE) yang dilegalisasi pada tanggal 10 September 2005 dengan penerbitan PP No. 35 Tahun 2005. PP ini pada dasarnya sebagai pengganti SK Menteri Keuangan tentang pajak ekspor yang untuk kelapa sawit telah diterapkan sejak tahun 1984. Selain itu, PP ini dimaksudkan untuk melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan yang telah berlaku secara nasional diantaranya UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). JUSTIFIKASI DAN TUJUAN Kontroversi yang berkembang sejak pembahasan draf PP hingga penerbitannya pada dasarnya berkisar pada Pasal 2 dan 3. Secara umum stakeholders agribisnis kelapa sawit nasional mengaitkan substansi dari tujuan dan besarnya tarif PE serta HPE dengan dimensi manfaat, keadilan dan kepastian hukum. Setelah mencermati PP tentang PE dalam perspektif pengembangan industri kelapa sawit nasional, terdapat 2 pasal yang perlu dipahami secara mendalam. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 2, tentang tujuan dan Pasal 3 ayat 5 dan 6, tentang besarnya tarif PE dan harga patokan ekspor (HPE). Kedua pasal tersebut masih mengandung pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah penetapannya telah mempertimbangkan nilai manfaat konkrit bagi seluruh stakeholders kelapa sawit nasional, memenuhi rasa keadilan dan memiliki kepastian hukum dalam pelaksanaannya?. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis tentang: tujuan penerapan PE dan besarnya tarif PE dan HPE dengan mempertimbangkan manfaatnya bagi seluruh stakeholders kelapa sawit nasional, beban yang harus ditanggung stakeholders dan kepastian hukum (daya penegakan dan penegakan hukumnya), dan (2) dampaknya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), kinerja agribisnis kelapa sawit dan pendapatan petani. VI-294

METODOLOGI I. Kerangka Analisis Penerapan PE Dalam perekonomian suatu negara, kebijakan perdagangan internasional berperan sangat penting. Kebijakan perdagangan tersebut pada umumnya diutamakan untuk perluasan pasar internasional dan proteksi bagi pembeli domestik (industri atau rumah tangga). Namun tidak tertutup kemungkinan, kebijakan perdagangan tersebut ditujukan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah melalui pajak/pungutan dan terkait dengan kebijakan luar negeri suatu negara atau alasan-alasan politik. Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah tentang penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya lebih diutamakan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah dan proteksi bagi industri dalam negeri penghasil produk turunan CPO, seperti industri minyak goreng dan oleokimia. Dalam aspek legal, pungutan ekspor yang dimaksudkan dalam PP No. 35 tahun 2005 adalah pungutan ekspor yang dikenakan atas barang ekspor tertentu, termasuk CPO dan produk turunannya. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PE untuk CPO dan produk turunannya termasuk PNBP yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam. Masih berdasarkan UU tersebut, sesuai jenisnya PNBP dari PE ini dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang meliputi penelitian dan pengembangan teknologi, pendidikan dan pelatihan, pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu dan pelestarian sumber daya alam. Dengan ketentuan ini, maka pungutan ekspor berbeda dengan pajak ekspor masa lalu. Penerimaan negara dari pajak ekspor tidak jelas rincian penggunaannya. Penerapan PE pada CPO dan produk turunannya mengandung konsekuensi yang menguntungkan dan merugikan. Secara potensial, pihak yang diuntungkan dari penerapan PE adalah pembeli dalam negeri (industri hilir minyak sawit), pemerintah dan pesaing ekspor Indonesia untuk produk-produk tersebut. Industri hilir minyak sawit diuntungkan karena penerapan PE akan menekan harga CPO dan produk turunannya di pasar dalam negeri. Penerimaan negara akan meningkat sesuai dengan besarnya tarif, harga dan volume ekspor. Penerapan PE cenderung menurunkan volume ekspor, sehingga pengekspor luar negeri diuntungkan karena pengurangan ekspor CPO dan produk turunannya oleh Indonesia merupakan peluang pasar bagi mereka. VI-295

Sedangkan pihak yang dirugikan dari penerapan PE adalah produsen kelapa sawit dan CPO nasional, pembeli (importir) CPO dan produk turunannya di luar negeri, penyedia jasa di pelabuhan dan pemasok input perkebunan kelapa sawit serta negara. PE akan menekan harga di pasar dalam negeri sehingga menimbulkan disinsentif berproduksi bagi produsen CPO dan produk turunannya. Hal ini dapat berwujud pengurangan penggunaan input sehingga pemasok input juga mengalami imbas kerugian produsen. Khusus untuk kasus CPO, pengusaha penghasil CPO akan menekan harga tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan petani. Jadi secara implisit, TBS juga terkena pungutan ekspor, meskipun petani tidak mengekspor. Selanjutnya, penurunan produksi CPO dan produk turunannya menyebabkan ekspor CPO dan produk turunannya turun. Penurunan ekspor ini mengakibatkan kebutuhan importir di luar negeri tidak terpenuhi. Bahkan, apabila penerapan PE oleh Indonesia ini menimbulkan guncangan harga di pasar internasional, maka importir akan membeli CPO dan produk turunannya dengan harga lebih tinggi dari pada tanpa PE. Penurunan volume ekspor ini juga berarti merugikan pelaku bisnis di pelabuhan dan negara juga kehilangan devisa. II. Sumber Data, Lokasi dan Waktu Penelitian Kajian ini menggunakan data sekunder. Sumber data adalah lembaga/instansi yang terkait dengan data/informasi yang dibutuhkan dalam kajian ini antara lain seperti Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian dan Kantor Pemasaran Bersama PT. Perkebunan Nusantara, dan hasil kajian yang dilakukan oleh peneliti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dan Lembaga Riset Perkebunan Nasional. III. Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah metode metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1995). Analisis Deskriptif memberikan informasi mengenai sekumpulan data dan mendapatkan gagasan untuk keperluan analisis selanjutnya, jika diperlukan analisis ini meliputi penyusunan ukuran pemusatan, ukuran penyebaran, label, diagram dan grafik. Akan tetapi jika dari hasil analisis ini VI-296

sudah dapat diambil kesimpulan yang tepat maka tidak perlu menganalisis dengan cara yang lebih rumit. (Clark and Schkade, 1983). Profit Loss Analysis Profit Loss Analysis digunakan mengetahui berapa besar perubahan keuntungan atau kerugian yang diperoleh para petani dengan diberlakukannya pungutan ekspor terhadap produk CPO. Profit Loss Analysis ini dihitung dengan menggunakan rumus : 1) HPE = TR TC... (1) HPE = P.Q - ( TC dimana : n i= 1 n + P )...... (2) i= 1 i X i HPE = Harga Patokan Ekspor (USD/unit atau Rp/unit) TR = total penerimaan TC = total biaya P = harga per unit Q = jumlah unit P I = harga komponen biaya operasional X I = jumlah komponen biaya operasional 2) Local CPO Price = Tender KPB Price - PPN Local Transport Price... (3) Dimana : Tender KPB Price = harga lelang CPO oleh KPB ex Kuala Lumpur bulan Oktober 2005 (USD/unit atau Rp/unit). PPN = Pajak Pertambahan Nilai = 10% x TR Local Transport Price (Rp). 3) Profit Loss Analysis = HPE Local CPO Price Jumlah Pungutan Ekspor Untuk jumlah pungutan ekspor dihitung dengan cara : Tarif Pungutan Ekspor x Jumlah Ekspor x HPE x Nilai Kurs Rp terhadap USD...... (4) VI-297

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Luas dan Produksi Kelapa Sawit Melalui berbagai upaya pengembangan, baik yang dilakukan oleh perkebunan besar, proyek-proyek pembangunan maupun swadaya masyarakat, perkebunan kelapa sawit telah berkembang sangat pesat. Pada tahun 1968, luas areal yang baru 120 ribu ha menjadi 5.743 ribu ha pada tahun 2003. Selain dari pertumbuhan areal yang cukup besar tersebut, hal lain yang lebih mendasar lagi adalah penyebarannya, yang semula hanya ada pada 3 propinsi saja di Sumatera, tetapi saat ini telah tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Sumatera masih memiliki areal terluas di Indonesia, yaitu mencapai 75,98% diikuti Kalimantan dan Sulawesi, masing-masing 20,53% dan 2,81%. Komposisi pengusahaan kelapa sawit juga mengalami perubahan, yaitu dari sebelumnya hanya perkebunan besar, tetapi saat ini telah mencakup perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.827 ribu ha (34,9%), perkebunan negara seluas 645 ribu ha (12,3%) dan perkebunan besar swasta seluas 2.765 ribu ha (52,8%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Sejalan dengan perkembangan areal, produksi kelapa sawit juga mengalami peningkatan, dari hanya 181 ribu ton CPO pada tahun 1968 menjadi 9,8 juta ton pada tahun 2003 (Tabel 1), dengan komposisi Perkebunan rakyat (PR) memberi andil produksi CPO sebesar 3.645 ribu ton (37,12%), perkebunan besar negara (PBN) sebesar 1.543 ribu ton (15,7 %) dan perkebunan besar swasta (PBS) sebesar 4.627 ribu ton (47,13%). Produksi tersebut dicapai pada tingkat produktivitas PR sekitar 2,73 ton CPO/ha atau setara 13,65 ton TBS (tandan buah segar)/ha, PBN 3,14 ton CPO/ha atau setara 15,70 ton TBS/ha dan PBS 2,58 ton CPO/ha atau sekitar 12,90 ton TBS/ha. Produksi tersebut akan terus meningkat di masa datang, yang berasal dari tanaman belum menghasilkan (TBM) saat ini dan dari pengoptimalan tanaman menghasilkan (TM) yang telah ada. Perkebunan kelapa sawit juga telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia dengan perbandingan 85,55% Sumatera, 11,45% Kalimantan, 2%, Sulawesi, dan 1% wilayah lainnya. Produktivitas perkebunan kelapa sawit di Sumatera relatif lebih tinggi VI-298

dibandingkan dengan di Kalimantan dan Sulawesi. Disamping CPO, perkebunan kelapa sawit juga menghasilkan minyak inti sawit yang pada tahun 2003 mencapai tidak kurang dari 2,1 juta ton (Tabel 2). Tabel 1. Produksi Minyak Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan, 1991-2003. Tahun Perkebunan Rakyat Produksi Minyak Sawit (ribu ton) Perkebunan Milik Negara Perkebunan Besar Swasta Jumlah 1991 413 1.360 884 2.657 1992 699 1.489 1.077 3.266 1993 582 1.469 1.370 3.421 1994 839 1.572 1.597 4.008 1995 1.001 1.614 1.864 4.479 1996 1.133 1.707 2.058 4.898 1997 1.293 1.800 2.287 5.380 1998 1.648 1.857 2.435 5.640 1999 1.544 1.846 2.615 6.005 2000 1.978 1.971 3.632 7.581 2001 2.801 1.606 4.690 9.097 2002 3.134 1.643 5.243 10.020 2003 3.649 1.673 5.361 10.683 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian (2004). Tabel 2. Produksi Minyak Inti Sawit Indonesia Menurut Pengusahaan Pada 1991-2003. Tahun Perkebunan Rakyat Produksi Inti Sawit (ribu ton) Perkebunan Negara VI-299 Perkebunan Swasta Jumlah 1991 85 285 181 551 1993 105 288 209 602 1994 196 384 362 942 1997 279 423 526 1.229 1999 357 440 595 1.393 2000 396 453 726 1.575 2001 560 369 938 1.868 2002 627 378 1.049 2.053 2003 730 385 1.072 2.187 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian (2004).

Perkembangan Ekspor dan Harga Minyak Sawit Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan mendesak Indonesia juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina dan Jepang. Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil, CPO dan beberapa produk oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit Indonesia 1988-2000 meningkat dengan laju 13,5%/tahun (Tabel 3). Tabel 3. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit dan Inti Sawit, 1990 2002. Ekspor Tahun Minyak sawit Minyak Inti Sawit Volume (ton) Nilai (ribu US$) Volume (ton) Nilai (ribu US$) 1990 815.580 203.507 158.303 44.182 1991 1167.689 335.481 136.322 42.754 1992 1.030.272 356.494 222.541 109.841 1993 1.632.012 582.629 275.225 110.188 1994 1.631.203 717.811 340.504 177.583 1995 1.265.024 747.414 311.399 187.267 1996 1.671.957 825.415 341.318 235.168 1997 2.967.589 1.446.100 502.979 294.255 1998 1.479.278 745.277 347.009 195.447 1999 3.298.987 1.114.242 597.843 347.975 2000 4.110.027 1.087.278 578.825 239.120 2001 4.903.218 1.080.906 581.926 146.259 2002 6.333.708 2.092.404 73.846 256.234 Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian (2003). Impor minyak sawit umumnya dalam bentuk olein dari Malaysia (Tabel 4). Impor ini biasanya terjadi pada waktu harga dunia tinggi dimana terjadi rush export dari Indonesia. Dalam keadaan demikian biasanya pemerintah menggunakan mekanisme pajak ekspor untuk menjamin pasokan dalam negeri yang besarnya pernah mencapai 60%. Dengan pajak ekspor 60%, praktis seluruh pasokan Indonesia diserap oleh pasar domestik, dan tidak ada kelebihan ekspor dari menjual di dalam negeri. VI-300

Tabel 4. Volume dan Nilai Impor Minyak Sawit dan Inti Sawit Indonesia, 1988-1997. Tahun Minyak sawit Impor Minyak Inti Sawit Volume (ton) Nilai (ribu US$) Volume (ton) Nilai (ribu 1988 302.190 120.422 490 US$) 247 1989 412.392 224.904 61 35 1990 26.183 7.662 530 304 1991 37.874 13.891 17.493 7.803 1992 308.743 113.511 17.222 12.097 1993 151.939 63.671 3.327 1.944 1994 123.637 55.715 13.917 7.988 1995 49.785 48.113 4.239 3.277 1996 107.553 61.173 3.132 2.735 1997 91.680 55.456 3.159 3.011 1998 17.618 8.459 554 526 1999 1.648 543 1.209 1.004 2000 4.350 4.020 3.638 2.404 2001 141 60 4.974 2.464 2002 9.499 3.267 2.362 1.478 Sumber : Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan (2003). Perkembangan harga minyak sawit (CPO) di pasar domestik dan internasional sejak tahun 1988 sampai dengan 2002 menunjukkan kecenderungan yang menaik (Tabel 5). Pergerakan harga minyak sawit di pasar internasional ditransmisikan ke pasar domestik (border price dan whole sale price) melalui mekanisme pasar. Secara umum pergerakan harga minyak sawit domestik searah dengan perkembangan harga minyak sawit di pasar internasional. Selain itu, harga minyak sawit juga mempunyai fluktuasi musiman (Gambar 1). Dalam semester 1, harga pada bulan Januari biasanya adalah paling tinggi kemudian turun melandai dalam Februari sampai Mei. Dalam semester 2, penurunan harga yang paling tajam terjadi pada Mei-Juli/Agustus dan naik sampai dengan bulan Januari. VI-301

Tabel 5. Harga Rata-Rata Minyak Sawit di Pasar Domestik dan Internasional 1988 2003. Tahun Harga Lokal (Rp/kg) Harga Ekspor (US $ / ton) Tahun Harga Lokal (Rp/kg) Harga Ekspor (US $ / ton) 1988 502 463 1996 1.275 532 1989 552 524 1997 1.148 545 1990 531 280 1998 1.424 678 1991 655 333 1999 3.943 438 1992 728 291 2000 2.979 310 1993 728 407 2001 2.412 276 1994 694 525 2002 2.049 389 1995 988 649 2003 2.840 449 Sumber : Laporan mingguan Bank Indonesia dan BPS 2003. 110 105 100 95 90 107 102 102 102 102 99 93 93 95 98 103 104 85 JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC faktor musiman Gambar 1. Pola harga CPO Neraca Minyak Kelapa Sawit Untuk Penggunaan Domestik Hingga saat ini, konsumsi minyak sawit domestik diperkirakan sekitar 50%- 60% dari produksi dan penggunaannya sebagian besar untuk pangan (80%-85%) sedangkan untuk industri oleokimia relatif masih kecil (15%-20%). Menurut perkiraan, pertumbuhan konsumsi minyak sawit dalam negeri adalah sekitar 11,5 %/tahun. Pertumbuhan konsumsi untuk oleopangan adalah 12%, lebih besar dibandingkan pertumbuhan konsumsi untuk oleokimia (10%). Dengan perkiraan VI-302

tersebut, maka neraca minyak kelapa sawit Indonesia dalam lima tahun terakhir bergerak dari surplus ke arah keseimbangan, identik dengan neraca dunia (Tabel 6). Tabel 6. Neraca Minyak Sawit Indonesia dan Dunia, 1998-2002. No Uraian 1998 1999 2000 2001 2002 1 Stok Awal Indonesia 510 700 860 750 975 Dunia 3,203 2,688 3,701 4,015 4,098 2 Produksi Indonesia 5,640 6,250 6,950 8,030 9,020 Dunia 17,154 20,625 21,874 23,921 25,033 3 Ekspor 4 Impor Indonesia 2,002 3,319 4,140 4,940 6,380 Dunia 11,417 14,172 15,217 17,688 19,545 Indonesia 18 2 0 0 9 Dunia 11,528 13,939 15,215 17,569 19,300 5 Konsumsi Indonesia 2,832 2,895 2,927 2,857 2,933 Dunia 17,663 19,493 21,589 23,742 24,952 6 Stok Akhir Indonesia 700 860 750 975 700 Dunia 2,688 3,701 4,015 4,098 3,935 7 (Stok Awal + Produksi + Impor) (Stok Akhir + Konsumsi + Ekspor) atau Penawaran-Permintaan Indonesia 633 (122) (7) 8 (8) Dunia 117 (114) (31) (24) (0) Sumber : Oil World (2004). Tinjauan Kritis Terhadap PP 35 Tahun 2005 Tujuan pengenaan PE untuk barang ekspor tertentu, seperti CPO dan produk turunannya (Pasal 2 ayat 2) adalah untuk (i) menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, (ii) melindungi kelestarian sumber daya alam, (iii) mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor tertentu, dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri. VI-303

Mencermati tujuan di atas, maka sesungguhnya dimensi manfaat dan keadilan dari PP ini patut dipertanyakan. Dari uraian tentang PE di atas, maka penetapan tujuan PE ini semata-mata hanya memperhatikan kepentingan pembeli domestik dan kepentingan negara (pemerintah) yang dilihat secara parsial. Kepentingan produsen, yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya terabaikan. Tidak ada pernyataan dalam tujuan yang relevan dengan kepentingan produsen, penyedia jasa bisnis dan pemasok input. Sedangkan kepentingan pelestarian sumber daya alam malahan mendapatkan perhatian khusus yang dinyatakan sebagai tujuan kedua. Dalam CPO dan produk-produk turunannya, tujuan pertama, ketiga dan keempat merupakan pernyataan yang bias ke industri hilir kelapa sawit sehingga industri hilir dapat memperoleh CPO dan produk turunannya dengan harga rendah (terjangkau) dan stabil. PE menjadi instrumen proteksi terselubung bagi industri hilir kelapa sawit. Sejalan dengan tujuan tersebut, negara dapat mengumpulkan penerimaan negara bukan pajak. Perolehan penerimaan negara ini tidak dinyatakan sebagai tujuan pengenaan PE. Dengan perhitungan sederhana, akumulasi PNBP dari kelapa sawit sejak pertengahan 1998 hingga akhir tahun 2003 mencapai sekitar Rp. 6,85 Trilyun. Kedua tujuan ini secara otomatis sangat mungkin dicapai dengan penetapan formula penerimaan ekspor dengan komponen yang terdiri dari volume ekspor, harga ekspor atau harga patokan ekspor, tarif PE dan nilai kurs Rupiah. Tujuan kedua melindungi kelestarian sumber daya alam dapat dikatakan terlalu ambigious untuk kasus PE pada produk-produk kelapa sawit. Dalam pemahaman pecinta lingkungan, pertumbuhan yang pesat dari produk-produk kelapa sawit akan mendorong ekspansi pembangunan perkebunan kelapa sawit. Ekspansi ini akan mengeksploitasi sumber daya alam sehingga apabila tidak dikendalikan akan mengganggu kelestarian lingkungan. Protes yang sering muncul berkaitan dengan kelapa sawit dan sumber daya alam adalah karena kelapa sawit ditanam dengan mengkonversi hutan. Untuk hal ini pembangunan perkebunan kelapa sawit diklaim sebagai pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam konteks pencapaian tujuan, lantas bagaimana PE dapat melindungi kelestarian sumber daya alam?. Pencantuman tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam sekaligus dapat diartikan VI-304

sebagai pembenaran atas adanya masalah kelestarian sumber daya alam dalam kaitannya dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Masih dalam konteks tujuan, pertanyaan lain adalah bagaimana PE mengakomodasi kepentingan produsen yaitu perusahaan perkebunan dan petani kelapa sawit, penyedia jasa bisnis dan pemasok input CPO dan produk turunannya? Produsen menanggung beban PE dan tidak ada pernyataan tujuan yang melindungi kepentingan produsen. Sebagai suatu kebijakan publik selayaknya memperhatikan dampaknya terhadap seluruh stakeholders. Dengan memahami uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa tujuan pengenaan PE pada CPO dan produk-produk turunannya sesuai PP No.35 Tahun 2005 belum menerapkan dengan baik nilai manfaat dan rasa keadilan bagi stakeholders terutama produsen CPO termasuk petani dan pelaku jasa bisnis berkaitan dengan perdagangan CPO dan produk-produk turunannya. Tujuan untuk melindungi kelestarian sumber daya alam juga masih belum jelas kepastian hukumnya tentang bagaimana mencapainya. Tarif PE, HPE dan Nilai Kurs Berpotensi Sebagai Sumber Distrorsi Dalam kasus CPO dan produk-produk turunannya, sesuai Pasal 3, tarif PE ditetapkan secara advalorem. Jumlah pungutan ekspor dihitung berdasarkan rumus: Tarif PE x Jumlah ekspor x Harga Patokan Ekspor (HPE) x Nilai Kurs. Tarif atas PE CPO dan produk-produk turunannya ditetapkan paling tinggi 60%. Besarnya tarif PE dan nilai kurs ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Besarnya HPE ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Sedangkan Menteri Teknis terkait, seperti Menteri Pertanian dan Menteri Perindustrian, hanya memberi pertimbangan dan/atau usul atas penetapan besarnya tarif dan HPE. Formulasi di atas pada dasarnya tidak merubah ketentuan PE yang berlaku sebelumnya. Sebagai ilustrasi dapat disampaikan data perkembangan pengenaan PE untuk CPO dari bulan Juli 1998 hingga Maret 2005 (Tabel 7). Saat ini, ketentuan Menteri yang sudah diterbitkan baru tarif PE, yaitu 3% untuk tandan buah segar dan inti (biji) kelapa sawit dan CPO, dan 1% untuk crude olein (RBD Olein), Refined Bleached Deodorized Palm Oil (RBD PO) dan Refined Bleached Deodorized Olein (RBD Olein). Nilai kurs ditetapkan Menteri Keuangan pada saat pembayaran PE dilakukan. Besarnya HPE masih belum ditentukan oleh Menteri Perdagangan. Menurut Menteri Perdagangan, sesuai aturan yang berlaku VI-305

selama ini, kalau belum ada penetapan HPE yang baru, maka HPE yang lama masih berlaku. Seharusnya, sesuai PP No. 35 Tahun 2005, HPE CPO dan produk turunannya merujuk pada harga internasional, yaitu harga di Rotterdam yang saat ini berkisar US$ 420 per ton. Tabel 7. Tarif PE, HPE, dan Nilai Kurs dari CPO dan Produk Turunannya. Tahun PE (%) HPE (US$/ton) Harga (US$/ton) Nilai Kurs (RP/US$) Juli 98-Feb 99 60 610 650 14.550 Feb 99-Juni 99 40 535 535 8.850 Juni 99-Juli 99 30 365 440 8.171 Juli 99-Sept 99 10 260 312 6.873 Sept 99-Feb 2001 5 190 335 8.250 Feb 2001-Juni 2002 3 160 175 9.598 Juni 2002-Maret 2005 3 160 429 9.750 Sumber: Rosediana (2005) 2 Belum ditetapkannya PE untuk CPO dan produk-produk turunannya tidak terlepas dari penetapan besarnya nilai tarif PE dan HPE. Permasalahannya berkisar pada pilihan antara (i) tarif PE turun dari 3% menjadi katakanlah 1% dengan HPE disesuaikan dengan harga pasar di Rotterdam atau (ii) tarif PE tetap 3% dengan HPE juga tetap US$ 160 per ton. Saat ini tarif PE CPO telah ditetapkan 3%, sehingga perdebatan antara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan pemerintah tinggal pada besarnya HPE. Jika harga net ekspor CPO Indonesia ex Kuala Lumpur berdasarkan nilai absolut PE pada bulan September 2005 sebesar USD 4,80 (PE 1%), menghasilkan HPE sebesar USD 360/MT atau sebesar Rp.3.600,36/kg (Tabel 8). Tarif PE CPO yang saat ini telah ditetapkan pemerintah sebesar 3% menyebabkan harga ekspor turun menjadi Rp. 3.538.36/kg. Hal ini sangat mempengaruhi perhitungan profit loss analysis. Jika PE sebesar 1% dari HPE ex Kuala Lumpur maka keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 23,06/kg sedangkan 2 Rosediana, S. (2005). Peranan Industri Minyak Sawit Dalam Perekonomian Indonesia. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pengembangan Kelapa Sawit di Indonesia: Menuju Kesinambungan Sosial Ekonomi yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 28 September 2005. VI-306

Tabel 8. Perhitungan Profit Loss Analysis Dengan Menggunakan Harga CPO Ekspor dan Tender KPB Ex Kuala Lumpur, Malaysia, Oktober 2005. No. A B Transaction Info Penerimaan Nilai per Unit Satuan Nilai Nilai per Unit Nilai 1 Jumlah MT 5,000 5,000 2 Harga USD 386 386 3 Nilai USD 1,930,000 1,930,000 Biaya 1 Pajak Ekspor 4.80 Per MT (USD) 24,000 11.00 55,000 2 Bongkar Muat 19.00 Per MT (USD) 95,000 19.00 95,000 3 Surveyor USD 1,155 1,155 4 L/C Ekspor - USD - - - 5 Pelabuhan 3,000,000 Rp 3,000,000 3,000,000 3,000,000 6 Asuransi 0.18 % (USD) 3,474 0.18 3,474 7 Penyusutan 0.30 % (USD) 5,790 0.30 5,790 8 Total Biaya (USD) 129,519 160,519 9 Total Biaya Rp 3,000,000 3,000,000 10 Grand Total Biaya 129,819 160,819 C Nilai Tukar Rp 10,000.00 10,000.00 D E F Harga Ekspor Total Nilai Ekspor USD 1,930,000 1,930,000 Total Biaya Ekspor USD 129,819 160,819 Nilai Ekspor Total USD 1,800,181 1,769,181 Harga Ekspor Total USD/MT 360.0 353.84 Dalam Rp (Asli) Rp/kg 3,600.36 3,538.36 Harga CPO Lokal Tender KPB Price incl. PPN Rp 4,097 4,097 PPN 10% Rp 410 410 Tender Price Excl. PPN Rp 3,687 3,687 Transportasi Lokal Rp 110 110 Nett Tender Price Rp 3,577 3,577 FOB incl. PPN Rp 3,987 3,987 Profit and Loss Analysis - Harga Ekspor Bersih 3,600.36 3,538.36 - Harga Dalam Negeri 3,577.30 3,577.30 Profit (Loss) Rp/kg 23.06 (38.94) Total Profit in Rp 115,310,000 (194,690,000) Penerimaan Negara 5,000 MT 240,000,000 5,000 MT 550,000,000 700,000 MT 33,600,000,000 700,000 MT 77,000,000,000 Sumber : Ditjen BP2HP Deptan, 2005, diolah. VI-307

bila PE sebesar 3% maka terdapat kerugian jika melakukan ekspor karena harga lokal lebih tinggi. Kerugian tersebut mencapai Rp. 38.94/kg. Dengan jumlah ekspor sebesar 5000 MT CPO maka total keuntungan ekspor yang dapat ditarik dengan memberlakukan PE sebesar 1% adalah Rp. 115.310.000,00. Sedangkan bila PE sebesar 3% maka total kerugian dapat mencapai Rp. 194.690.000,00. Total penerimaan negara dari PE sebesar 1% untuk skala ekspor 5000 MT mencapai Rp. 240 juta, sedangkan untuk peningkatan PE menjadi 3% maka total penerimaan negara mencapai Rp. 550 juta. Apabila besaran ekspor dihitung berdasarkan ekspor CPO Indonesia ke Rotterdam Belanda sebesar 700.000 MT maka akan menghasilkan pemasukan sebesar Rp. 33,6 milyar untuk PE 1% dan Rp. 77 milyar untuk PE 3%. Dari permasalahan penetapan PE dan HPE di atas, hal penting yang perlu diperhatikan adalah norma apa yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan besarnya tarif PE dan HPE CPO dan produk turunannya. Untuk tarif PE CPO, penentuan besarnya seyogyanya dengan mempertimbangkan (i) sifatnya hanya pungutan, bukan pajak, (ii) tarif yang tinggi berpotensi mengguncang pasar CPO internasional yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar CPO domestik (iii) disesuaikan dengan kebutuhan untuk program dan kegiatan pengembangan industri perkelapasawitan nasional dan target PNBP. Butir (iii) ini sekaligus dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan HPE disamping memperhitungkan kepentingan pelaku jasa bisnis dan keuntungan perusahaan dan petani kelapa sawit. Untuk itu, kajian dan simulasi penetapan tarif PE dan HPE sangat diperlukan. Mencermati analisis PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE, khususnya Pasal 2 dan 3 maka dapat disimpulkan bahwa PP tersebut masih perlu disempurnakan pada aspek-aspek : (i) memberi perhatian terhadap manfaat pengenaan PE bagi pengembangan industri kelapa sawit nasional, (ii) menciptakan keadilan dengan memperhatikan kepentingan stakeholders, terutama petani secara proporsional, dan (iii) memberi kepastian hukum dalam pelaksanaannya melalui perbaikan daya penegakan dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan implementasi penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan-ketentuan dimaksud. SK Menteri dan pertimbangan Departemen Teknis terkait hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam implementasi PP No. 35 Tahun 2005, bukannya menjadi sumber diskresi dari PP tersebut. VI-308