BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aceh adalah sebuah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur (UU RI No 11 Tahun 2006, Pasal 1 ayat 2). Aceh merupakan daerah provinsi yang terletak di Semenanjung Pulau Sumatera. Masyarakat Aceh dalam sejarahnya yang cukup panjang telah lama berkenalan dengan Agama Islam dan menjadikan Agama Islam sebagai pedoman hidupnya. Agama Islam telah menjadi bagian dari kehidupan mereka, sehingga dalam praktek kehidupannya sangat bertumpu dengan syari at, adat dan juga tunduk serta taat kepada Syari at Islam serta memperhatikan ketetapan atau fatwa ulama. Penghayatan mereka terhadap ajaran Agama Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian diakumulasikan lalu disimpulkan menjadi Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putro Phang, Reusam Bak Laksamana yang artinya, Hukum Adat di 1
tangan pemerintah dan Hukum Syariat ditangan Islam. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari (Perda No 5, 2000). Syari at Islam merupakan sebuah sistem hukum Islam sebagaimana sistem hukum lainnya, yang mencakup perdata, pidana, dagang, keluarga, peradilan dan sebagainya. Dalam pemahaman masyarakat muslim Aceh bahwa Syari at Islam dan adat diibaratkan dengan pepatah Adat Ngoen Hukom Lagee Zat Ngoen Sipeut yang artinya bahwa adat dan hukum seperti zat dan sifat yang mempunyai makna bahwa di Aceh hukum Islam dan adat yang berlaku dalam masyarakat benar-benar telah menyatu, sehingga tidak dapat dipisahkan lagi, sudah seperti zat sesuatu benda dengan sifat benda itu sendiri. Bahkan struktur sosial dan pemerintah masyarakat Aceh disesuaikan dengan wacana Syariat Islam. Apalagi pada masa Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, masyarakat Aceh semakin mengindentikkan dirinya dengan Syari at Islam (Majid, 2007:2). Keberhasilan syariat bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah pelanggar yang dicambuk, berapa qanun yang sudah dihasilkan, atau masih ada atau tidak pelanggaran. Keberhasilan syariat yang paling penting adalah kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau kriminalitas. Kesadaran masyarakat merupakan bentuk kepatuhan masyarakat terhadap aturan qanun yang mereka aplikasikan kedalam pola kehidupan, pergaulan dan tingkah laku mareka sehari-hari. Jadi, syariat juga 2
memerlukan pendekatan rasio yang memadai, bukan hanya mengedepankan dorongan emosional keagamaan (Halim, 2009). Eratnya hubungan antara agama Islam dan adat, menjadi bukti sejarah dan bagian dari jati diri masyarakat Aceh. Selain itu, adanya kenyataan historis tentang kerajaan kerajaan Islam yang dulunya berjaya di Aceh, dan pernah secara formal menerapkan Syari at Islam (Isa, 2013:169).Pelaksanaan Syari at agama Islam di Aceh secara yuridis baru benar-benar diakui dan dilembagakan melalui undang-undang (selanjutnya ditulis dengan UU) Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Pelaksanaan Syari at Islam yang dimaksudadalah sebagai bentuk perwujudan kewenangan khusus bagi Aceh dibidang penyelenggaraan kehidupan beragama dengan tetap menjadi kerukunan hidup antar umat beragama, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2000 oleh DPRD Aceh tentang Pelaksanaan Syari at Islam (Pamulutan, 2012:2). Syari at Islam yang menjadi dambaan masyarakat Aceh sejak dulu, kini telah terwujud dan berjalan di bumi Serambi Mekkah, pemerintah secara yuridis telah memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Aceh untuk menentukan sendiri jalannya pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan Syari at Islam. Pada saat ini Aceh telah menyusun beberapa Qanun (Peraturan Daerah) yang mengatur tentang pelaksanaan Syari at Islam, antara lain : Qanun (Peraturan Daerah) Provinsi Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam, Qanun (Peraturan Daerah) 3
Provinsi Aceh No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, Qanun (Peraturan Daerah) Provinsi Aceh No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari at Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syi ar Islam, Qanun (Peraturan Daerah) Provinsi Aceh No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun (Peraturan Daerah) Provinsi Aceh No.13 tahun 2003 tentang Maisir dan Qanun (Peraturan Daerah) Provinsi Aceh No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Qanun (Peraturan Daerah) yang telah dikeluarkan tersebut, terdapat diantaranya tiga buah Qanun (Peraturan Daerah) yang mengatur secara khusus mengatur tentang jinayat yakni menyangkut tentang minuman keras (khamar) dan sejenisnya, maisir (perjudian) serta khalwat (mesum) yang isinya terkait erat dengan persoalan etika dan moral (Pamulutan, 2012:3). Salah satu penerapan hukum Islam yang berlaku bagi para pelanggar Qanun (Peraturan Daerah) tersebut akan diberi uqubat (sanksi pidana) berupa hukuman cambuk. Bahkan pada masa keemasan Sultan Iskandar Muda yang memimpin Kerajaan Aceh pernah melakukan eksekusi hukuman rajam terhadap putranya mahkotanya yang bernama Meurah Pupok karena kasus mesum (Isa, 2013:169). Meskipun sudah disahkan sebagai peraturan daerah (qanun), tetapi dalam implementasinya tidak semua daerah menggunakan qanun sebagai rujukan, dan menerapkan hukuman cambuk bagi pelanggar qanun yang telah disebutkan sebelumnya. Hanya beberapa kabupaten/kota yang menerapkan hukuman tersebut yakni Kabupaten Bireuen, Kota Banda Aceh, 4
Kabupaten Pidie, dan Kota Langsa. Kabupaten Bireuen yang tercatat sebagai daerah pertama yang memberlakukan qanun Nomor 13/2003 tentang perjudian (maisir). Belasan warga yang didakwa melanggar Syariat Islam, dihukum cambuk di halaman Masjid Jamik Bireuen dengan disaksikan ribuan warga dan diliput secara besar-besaran oleh wartawan dari berbagai media (Keumala, 2006). Pada tanggal 24 Juni 2005, masyarakat Aceh disuguhi pertunjukan dramatis hukuman cambuk atas 15 orang yang terbukti berjudi. Para penjudi tersebut dicambuk 6-10 kali oleh Mahkamah Syariah di halaman Masjid Jamik Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Mereka tertangkap basah berjudi dengan omset yang tak lebih dari seratus ribu rupiah. Tapi itu sudah cukup membuktikan bahwa mereka melanggar Qanun Propinsi NAD Nomor 13 Tahun 2003 tentang perjudian (maisir). Dalam qanun disebutkan, setiap orang dilarang melakukan perjudian (maisir), dan yang melanggar diancam sanksi cambuk di muka umum sebanyak 6-12 kali (Rumadi, 2005). Bentuk hukuman cambuk ini merupakan bentuk penghukuman baru di dalam perundangan Indonesia yang diharapkan dapat mengurangi tingkat kejahatan atau pelanggaran syari at di Aceh. Maka tidak jarang timbul perbedaan pandangan di masyarakat terkait dengan pelaksanaan hukuman cambuk, baik itu dilihat dari segi Qanun itu sendiri ataupun dilihat dari Hukum Adat setempat. Perbedaan pandangan ini telah terjadi semenjak qanun masih dalam rancangan sampai sekarang. Penegakan qanun Syari at Islam, tidak semua pelanggar diberlakukan dengan hukuman cambuk, 5
misalnya pada qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari at Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syi ar Islam. Dinas Syari at Islam dalam hal ini sebagai penegak hukum Islam khususnya di Kota Langsa hanya memberikan pembinaan bagi pelanggar yang tidak mengenakan pakaian / busana muslim diluar rumah dengan mengadakan razia di beberapa tempat tertentu. Penertiban pelajar pada jam belajar, penertiban warnet dan tempat karaoke, dan penertiban bagi para pedagang makanan / minuman pada bulan suci Ramadhan. Qanun Nomor 12 tahun 2003 tentang minuman Khamar dan sejenisnya yang juga hanya diberikan pembinaan maupun teguran bagi para pelanggar. Berbeda dengan qanun Nomor 11 Tahun 2002 dan Nomor 12 Tahun 2003, terdapat pula 2 (dua) buah qanun yang menerapkan sanksi hukuman cambuk bagi para pelanggarnya yakni qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Perjudian dan qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Pada kedua qanun ini Dinas Syariat Islam bergabung dengan TNI / Polri, Polisi Militer, dan Tokoh Agama melakukan penertiban pelaku perjudian dan penertiban warung / kios / rumah sebagai tempat perjudian dan juga melakukan penertiban pelaku khalwat (mesum), serta penertiban hotel / losmen / rumah sebagai tempat khalwat (mesum). Pelaksanaan qanun Syari at Islam khususnya tentang pelaksanaan hukuman cambuk masih terdapat pendapat Pro dan Kontra di kalangan masyarakat. Sebahagian orang yang mendukung terlaksananya hukuman cambuk, ada kelompok lain yang secara terang-terangan menentang 6
pelaksanaan hukuman cambuk, apakah hukuman kurungan badan dan penjara dalam sistem hukum pidana tidak begitu menjadi efek jera bagi para pelaku tindak pidana atau masyarakat yang tidak mengerti tentang pelaksanaan hukuman cambuk. Berbagai macam reaksi muncul di dalam masyarakat terhadap cambuk yang dijadikan sebagai alat pelaksanaan hukuman. Stigma sebagian masyarakat tentang pelaksanaan hukuman cambuk yang dilakukan oleh Dinas Syari at Islam dianggap masih tebang pilih. Menurut sebagian masyarakat, pelaksanaan hukuman cambuk hanya berlaku bagi kaum lemah, tidak berdaya. Namun tidak pernah dilakukan eksekusi hukuman cambuk bagi para pelanggar Dinas Syariat Islam Kota Langsa (2016) menyebutkan bahwa sampai dengan saat ini pelaksanaan Syariat Islam di Kota Langsa telah mendapatkan dukungan penuh dari seluruh komponen masyarakat, walaupun masih terdapat beberapa kendala dalam melaksanakan tugas di lapangan. Dinas Syariat Islam disaat melakukan razia dibantu oleh aparat penegak hukum, seperti Polisi Militer, TNI / Polri, dan Tokoh Agama. Pada tahun 2014, sebanyak 20 orang telah dilakukan eksekusi hukuman cambuk bagi pelanggar qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian). Sebanyak 37 orang telah dilakukan proses hukum cambuk karena melanggar qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Tahun 2015, telah dilakukan eksekusi cambuk terhadap pelanggar qanun Nomor 13 tahun 2003 tentang Maisir (perjudian) yakni sebanyak 27 orang.eksekusi hukuman cambuk bagi pelanggar qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat 7
(Mesum) yakni sebanyak 31 orang. Bulan Januari hingga Maret 2016, Dinas Syariat Islam menyebutkan bahwa sebanyak 21 (dua puluh satu) orang telah menjalani hukuman cambuk, dengan perincian sebanyak 6 (enam) orang pada bulan Januari tahun 2016 dan sebanyak 15 (lima belas) orang pada bulan Maret tahun 2016. Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Di Kota Langsa. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena di atas peneliti ingin mengetahui bagaimanakah Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Di Kota Langsa? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Di Kota Langsa. 1.4 Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan ada dua manfaat yang dapat diambil, diantaranya, yaitu : 1. Manfaat Teoritis 8
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dengan variabel yang berbeda. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai masukan bagi Pemerintah Kota Langsa dalam hal ini adalah Dinas Syariat Islam tentang Implementasi Terhadap Peraturan Daerah (Qanun) Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Hukum Cambuk Di Kota Langsa. b. Sebagai masukan bagi pihak Mahkamah Syariah Kota Langsa, Dinas Syariat Islam Kota Langsa dan Kejaksaan Negeri Kota Langsa tentang Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Di Kota Langsa. c. Sebagai masukan dan informasi bagi masyarakat kota Langsa sehingga dapat mengetahui dan memahami bagaimana Kehidupan Sosial Pelanggar Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat Di Kota Langsa.. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam proposal penelitian ini secara garis besar dikelompokkan dalam tiga bab, dengan uraian sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan 9
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan tentang teori, uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, serta kerangka pemikiran. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tentang tipe penulisan, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan tentang gambaran singkat mengenai keadaan umum lokasi penelitian yakni Kota Langsa. BAB V : ANALISIS DATA Bab ini berisikan tentang hasil temuan dalam bentuk analisis jawaban responden, analisis data. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan juga saran-saran. 10