4 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian

III. METODA PENELITIAN

Lampiran 1 Data metode Joback

RASIO MOL DAN RASIO ENERGI PROSES PRODUKSI BIODIESEL MINYAK JELANTAH SECARA NON-KATALITIK DENGAN REAKTOR KOLOM GELEMBUNG

III. METODOLOGI PENELITIAN

c. Kenaikan suhu akan meningkatkan konversi reaksi. Untuk reaksi transesterifikasi dengan RD. Untuk percobaan dengan bahan baku minyak sawit yang

KAJIAN DAUR ULANG PANAS PADA PRODUKSI BIODIESEL SECARA NON-KATALITIK BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI FURQON

METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Minyak bumi merupakan bahan bakar fosil yang bersifat tidak dapat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Produksi Biodiesel

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK BIJI NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI DALAM KOLOM PACKED BED. Oleh : Yanatra NRP.

LAPORAN SKRIPSI PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS PADAT BERPROMOTOR GANDA DALAM REAKTOR FIXED BED

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Reaksi Transesterifikasi Multitahap-Temperatur tak Seragam untuk Pengurangan Kadar Gliserol Terikat

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Skema pressurized water reactor ( September 2015)

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

BAB 2 DASAR TEORI. Universitas Indonesia. Pemodelan dan..., Yosi Aditya Sembada, FT UI

METANOLISIS MINYAK KOPRA (COPRA OIL) PADA PEMBUATAN BIODIESEL SECARA KONTINYU MENGGUNAKAN TRICKLE BED REACTOR

Analisis Rasio Energi Daur Ulang Panas pada Produksi Biodiesel Secara Non-Katalitik

BAB 4 ANALISA KONDISI MESIN

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan Penelitian. Prosedur Penelitian

IV. METODOLOGI PENELITIAN

ATK I DASAR-DASAR NERACA MASSA ASEP MUHAMAD SAMSUDIN, S.T.,M.T.

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar

Gambar 11 Sistem kalibrasi dengan satu sensor.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN

REAKTOR KIMIA NON KINETIK KINETIK BALANCE R. YIELD R. STOIC EQUILIBRIUM R. EQUIL R. GIBBS CSTR R. PLUG R.BATCH

kimia KTSP & K-13 TERMOKIMIA I K e l a s A. HUKUM KEKEKALAN ENERGI TUJUAN PEMBELAJARAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

TUGAS AKHIR BIDANG STUDI KONVERSI ENERGI

Gambar 3.1. Plastik LDPE ukuran 5x5 cm

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

KINETIKA REAKSI DAN OPTIMASI PEMBENTUKAN BIODIESEL DARI CRUDE FISH OIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. penjemuran. Tujuan dari penjemuran adalah untuk mengurangi kadar air.

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini besarnya jumlah konsumsi energi di Indonesia terus mengalami

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Mesin pengering merupakan salah satu unit yang dimiliki oleh Pabrik Kopi

BAB IV PEMILIHAN SISTEM PEMANASAN AIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

WATER TO WATER HEAT EXCHANGER BENCH BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Tujuan Pengujian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJI EKSPERIMENTAL KARAKTERISTIK TERMODINAMIKA DARI PEMANASAN REFRIGERANT 12 TERHADAP PENGARUH PENDINGINAN

SKRIPSI KINERJA REAKTOR KOLOM GELEMBUNG TIPE KONTINYU UNTUK PRODUKSI BIODIESEL SECARA NON-KATALITIK. Oleh: ROSITA RIRIS P.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Data Percobaan dan Analisis Data

Lampiran 1. Perhitungan kebutuhan panas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Potensi dan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia [1]

Bab I Pendahuluan - 1 -

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi

PERPINDAHAN PANAS PIPA KALOR SUDUT KEMIRINGAN

NME D3 Sperisa Distantina BAB V NERACA PANAS

Tugas Perancangan Pabrik Kimia Prarancangan Pabrik Amil Asetat dari Amil Alkohol dan Asam Asetat Kapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Nama : Nur Arifin NPM : Jurusan : Teknik Mesin Fakultas : Teknologi Industri Pembimbing : DR. C. Prapti Mahandari, ST.

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III PERANCANGAN SISTEM

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

BAB I PENDAHULUAN. Konsumsi plastik dalam kehidupan sehari-hari semakin meningkat selama

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR

BAHAN BAKAR KIMIA. Ramadoni Syahputra

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F

BAB II LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

TUTORIAL III REAKTOR

BAB III METOLOGI PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN

1 Energi. Energi kinetic; energy yang dihasilkan oleh benda bergerak. Energi radiasi : energy matahari.

Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) VIII

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai Maret 2013 di

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi, serta dibidang

AZAS TEKNIK KIMIA (NERACA ENERGI) PRODI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Pemodelan Distribusi Suhu pada Tanur Carbolite STF 15/180/301 dengan Metode Elemen Hingga

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

MODIFIKASI PROSES IN SITU ESTERIFIKASI UNTUK PRODUKSI BIODIESEL DARI DEDAK PADI

I. PENDAHULUAN. Dibagi menjadi: biofuel (5%), panas bumi (5%), biomasa nuklir, tenaga air dan tenaga angin (5%), batu bara cair (2%)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Sujawi Sholeh Sadiawan, Nova Risdiyanto Ismail, Agus suyatno, (2013), PROTON, Vol. 5 No 1 / Hal 44-48

Gbr. 2.1 Pusat Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng

BAB III PROSES PERPINDAHAN KALOR DESTILASI DAN ANALISA

Gambar 2. Profil suhu dan radiasi pada percobaan 1

SKRIPSI UJI PERFORMANSI DAN ANALISA TEKNIK ALAT EVAPORATOR VAKUM. Oleh: ASEP SUPRIATNA F

SINTESIS DAN INTEGRASI PROSES KIMIA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bahan Penelitian Pada penelitian ini refrigeran yang digunakan adalah Yescool TM R-134a.

Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin. Galuh Renggani Wilis, ST.,MT

Transkripsi:

27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Alat Penukar Panas Alat penukar panas yang dirancang merupakan tipe pipa ganda dengan arah aliran fluida berlawanan. Alat penukar panas difungsikan sebagai pengganti peran kondensor, dengan memperlakukan metanol masuk sebagai fluida pendingin bagi produk yang keluar dari reaktor yang merupakan fluida panas. Pipa yang dibuat terdiri dari dua macam yaitu pipa yang difungsikan sebagai tempat aliran fluida panas (produk) yang berada di bagian dalam dan pipa yang difungsikan sebagai tempat aliran fluida dingin (metanol) yang berada di bagian luar menyelimuti pipa bagian dalam. Seluruh bahan menggunakan stainless steel SS 316 yang mempunyai nilai konduktivitas termal sebesar 13.99 W m -1-1 bertujuan untuk menghambat terjadinya korosi karena bahan fluida yang digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah minyak dan metanol. Pipa dalam (fluida panas) dibuat dengan ukuran panjang 0.50 cm, diameter 0.01905 m (0.75 inch), dan tebal 0.0015 m. Bentuk pipa fluida panas ditampilkan pada Gambar 6. Gambar 6 Pipa saluran fluida panas. Pipa luar (fluida dingin) berukuran panjang 0.35 m, diameter 0.0381 m (1.50 inch), dan tebal 0.0030 m. Gambar 7 menunjukan bentuk pipa saluran fluida dingin. Penggabungan antara kedua pipa menggunakan las argon sehingga lebih rapih dan tidak terjadi kebocoran karena lebih rapat dan padat. Gambar 8 merupakan gambar alat penukar panas secara keseluruhan (digabung). Nepel, elbow, dan T-socket digunakan sebagai penghubung alat penukar panas dan sistem

28 pada alat yang sudah ada dengan tambahan pipa stainless steel yang berdiameter sama dengan antar sistem yang akan dihubungkan. Desain dan Gambar alat secara keseluruhan terdapat pada Lampiran 3 dan 4. Gambar 7 Pipa saluran fluida dingin. Gambar 8 Alat penukar panas hasil rancangan. Penentuan dimensi berdasarkan ketersediaan tempat dan perhitungan saat perancangan menggunakan laju alir fluida pendingin (metanol) 142.2 gram jam -1 (3 ml menit -1 ) dan fluida panas (produk) 167.9 gram jam -1 (hasil penelitian Joelianingsih 2008b) serta berbentuk uap sehingga bidang kontak dengan fluida pendingin diharapkan lebih efektif. Namun, pada pelaksanaan uji fungsional dengan aplikasi dilapangan justru hal tersebut menjadi kendala karena variabel pengukuran menggunakan tiga laju alir metanol yaitu 1.5, 3.0, dan 4.5 ml menit -1 sehingga mempengaruhi kinerja alat penukar panas. Alat penukar panas yang

29 diharapkan berperan sebagai pengganti kondensor tidak mampu menurunkan suhu produk hingga suhu yang diharapkan (30 ). Skema letak pengukuran suhu dengan termokopel pada jalur produk keluar dari reaktor ditampilkan Gambar 9 dan rata-rata perubahan suhunya dalam Tabel 5. 3 2 4 5 1 6 10 11 9 13 8 12 7 Gambar 9 Letak pengukuran suhu produk dari reaktor sampai alat penukar panas. Tabel 5 Perubahan suhu fluida pada alat penukar panas dan pipa jalur produk Titik pengukuran Laju alir metanol (ml/menit) suhu 1.5 3.0 4.5 1 118.82 123.69 134.65 2 93.28 99.39 116.25 3 64.90 65.02 84.45 Satuan Keterangan 4 64.45 64.92 65.29 5 63.60 64.51 64.95 6 62.13 61.70 63.87 7 42.82 56.43 59.17 8 41.12 40.22 39.16 9 55.71 56.04 57.84 10 54.90 53.49 53.02 11 56.10 55.88 55.38 Produk masuk Produk keluar Metanol masuk Metanol keluar 12 47.10 51.54 51.04 13 28.79 28.68 28.91 Lingkungan

30 Gambar 11, 12, dan 13 menunjukan profil perubahan suhu disepanjang alat penukar panas pada setiap laju alir metanol. Menurut Holman (1995) bahwa alat penukar panas dengan sistem aliran berlawanan arah (counter flow) akan mendapatkan suhu keluar fluida dingin yang lebih tinggi dari suhu keluar fluida panas dari alat penukar panas sehingga dianggap lebih baik dari alat penukar panas dengan aliran searah (parallel flow), seperti yang ditampilkan dalam Gambar 10. Hasil pengukuran suhu saat penelitian mendapatkan pada laju alir metanol 1.5 ml menit -1 suhu keluar fluida dingin dapat lebih tinggi dari suhu keluar fluida panas pada alat penukar panas, bahkan suhu keluar fluida panas cenderung mendekati suhu masuk fluida dingin. Hal ini dimungkinkan karena pada kolom pipa fluida dingin metanol masih memenuhi kolom tersebut saat produk (fluida panas) masuk, sedangkan produk masuk dengan laju alir yang rendah sehingga suhunya dapat lebih cepat diturunkan oleh metanol cair yang memenuhi kolom pipa metanol (fluida dingin). Oleh karena itu, saat produk keluar dari alat penukar panas suhunya mendekati suhu metanol masuk. Namun, hal itu tidak terjadi pada laju alir metanol 3.0 dan 4.5 ml menit -1. Gambar 10 Profil suhu pada aliran berlawanan arah.

31 70.0 T ha T hb 60.0 Suhu ( ) 50.0 40.0 30.0 20.0 T cb T ca 10.0 0.0 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 Panjang APP (cm) Aliran produk Aliran MeOH Gambar 11 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 1.5 ml menit -1. T hb Suhu ( ) T ca 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 Panjang APP (cm) Aliran produk Aliran MeOH T ha T cb Gambar 12 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 3.0 ml menit -1. T hb Suhu ( ) 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 T ha T cb T ca 10.0 0.0 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 Panjang APP (cm) Aliran produk Aliran MeOH Gambar 13 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 4.5 ml menit -1.

32 Profil suhu pada laju alir metanol 3.0 dan 4.5 ml menit -1 menunjukan suhu fluida dingin yang keluar dari alat penukar panas masih lebih rendah dibandingkan dengan suhu fluida panas yang keluar dari alat penukar panas. Hal ini menunjukan alat penukar panas belum mampu melakukan pertukaran panas antar fluida melalui dinding pemisah yang diharapkan sesuai teori. Namun, sudah cukup baik dalam menukarkan panas dalam sistem. Berdasarkan data suhu yang dihasilkan alat penukar panas, maka dapat dihitung efektifitas alat penukar panas dari setiap laju alir metanol. Gambar 14 menunjukan efektifitas alat penukar panas. Efektifitas (%) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 92 25 19 1.5 3.0 4.5 Laju alir MeOH (ml menit -1 ) Gambar 14 Efektifitas alat penukar panas. Berdasarkan Gambar 14 semakin bertambahnya laju alir metanol maka efektifitas alat penukar panas semakin menurun. Pada laju alir metanol 1.5 ml menit -1, alat penukar panas mampu mendinginkan seluruh uap hasil reaksi karena perlakuan masih dibawah nilai rancangan sehingga nilai efektifitas masih tinggi. Sedangkan pada laju alir 3.0 dan 4.5 ml menit -1 alat penukar panas tidak mampu mendinginkan seluruh uap hasil reaksi. Perhitungan efektifitas alat penukar panas berdasarkan penentuan fluida panas yang mempunyai beda suhu maksimum, karena menurut Holman (1995) fluida yang mungkin mengalami beda suhu maksimum ialah fluida yang mempunyai nilai m C minimum, karena neraca energi mensyaratkan bahwa energi yang diterima oleh fluida yang satu mesti sama dengan energi yang dilepas oleh fluida yang lain. Apabila fluida yang memiliki m C yang lebih besar ditetapkan sebagai fluida yang mengalami beda suhu

33 maksimum, maka tentu fluida yang lain akan mengalami perubahan suhu yang lebih besar dari maksimum, dan ini tidak mungkin terjadi. Berkurangnya produk yang dihasilkan berdampak pada kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi dalam sistem produksi. Hal ini akan dibuktikan dengan perhitungan menggunakan rasio energi dalam sistem. 4.2 Rasio Energi Produksi Biodiesel Metode non-katalitik yang digunakan pada penelitian ini adalah superheated methanol vapor (SMV) yaitu dengan mengalirkan uap metanol sampai kondisi super panas (290 ) didalam reaktor yang telah diisikan palm olein dan dikondisikan pada suhu 290 dengan sistem semi batch. Percobaan dilakukan dengan 3 perlakuan laju alir metanol yaitu 1.5, 3.0, dan 4.5 ml menit -1, rata-rata hasil metil ester (biodiesel) yang didapatkan pada 3 perlakuan tersebut secara berturut-turut 3.65 g jam -1, 1.64 g jam -1, dan 2.14 g jam -1. Secara keseluruhan hasil reaksi ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6 Hasil reaksi biodiesel non-katalitik dengan berbagai laju alir metanol Laju alir metanol Keterangan (ml menit -1 ) Satuan 1.5 3.0 4.5 Metanol masuk 71.19 142.38 213.57 g jam -1 Produk 74.95 144.09 215.80 g jam -1 Metil ester 3.65 1.64 2.14 g jam -1 Gliserol 0.41 0.21 0.28 g jam -1 Metanol yang tidak bereaksi 70.89 142.24 213.38 g jam -1 Hasil analisis kadar metil ester menggunakan GC-MS pada laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 ml menit -1 secara berturut-turut adalah 72.8%, 74.4%, dan 78.0%. Kadar metil ester dan gliserol yang dihasilkan dalam produk masih rendah karena sebagian produk tidak bereaksi secara sempurna, hal itu tampak pada hasil percobaan yaitu masih ditemukannya monogliserida (ditampilkan pada Gambar 15) karena sifatnya yang tidak mudah bereaksi dan lebih stabil. Warabi et al. (2004) menyatakan bahwa monogliserida merupakan komponen antara dalam reaksi yang paling stabil sehingga dipercaya sebagai tahap penentu laju reaksi dan keberhasilan dari suatu reaksi transesterifikasi.

34 Metil Ester Gliserol Monogliserida Gambar 15 Produk hasil reaksi yang masih mengandung monogliserida. Kadar metil ester dalam produk akan berdampak pada beberapa perhitungan salah satunya rasio molar, yang merupakan perbandingan antara minyak dan metanol dalam satuan mol. Rasio molar minyak terhadap metanol sebesar 506, 2229, dan 2563 (mol mol -1 ) pada laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 ml menit -1. Tingginya rasio molar disebabkan karena penggunaan sistem semi batch yang terus mengalirkan metanol dalam minyak yang sudah dalam jumlah tetap di dalam reaktor. Penggunaan metanol dalam jumlah banyak merupakan konsekuensi dari metode non-katalitik yang digunakan. Oleh karena itu, dibutuhkan metanol dalam jumlah yang melebihi keseimbangan rasio stokiometrinya karena selain sebagai reaktan dan fluida pembuat gelembung reaksi, disebutkan Hong et al. (2009) bahwa metanol juga berfungsi agar reaksi tetap dapat berjalan ke ruas kanan sehingga reaksi dapat terbentuk. Hal ini mengakibatkan penggunaan energi pada produksi biodiesel juga perlu diperhatikan, yang telah umum digunakan adalah dengan menghitung rasio energi. Tabel 7 menunjukan data penggunaan dan kandungan energi dalam produksi biodiesel non-katalitik. Tabel 7 Data penggunaan dan kandungan energi Kandungan Energi Laju alir metanol (ml menit -1 ) 1.5 3.0 4.5 Keterangan Palm olein (MJ) 0.137 0.062 0.081 Input Metanol (MJ) 0.006 0.003 0.004 Input Listrik (MJ) 9.58E-04 1.01E-03 1.10E-03 Proses Kimia (MJ) 5.81E-07 2.60E-07 2.25E-07 Proses Panas (MJ) 5.52E-05 1.09E-04 1.63E-04 Proses Biodiesel (MJ) 0.151 0.068 0.088 Output Rasio energi (MJ MJ -1 ) 7.85 2.98 2.87 Rasio energi (MJ MJ -1 ) 1.05 1.03 1.02 Sigalingging (2008)

35 Kadar metil dalam perhitungan rasio energi diasumsikan 97% sehingga sudah masuk standar SNI. Rasio energi yang didapatkan berdasarkan definisi RE 1 pada persamaan (26) adalah sebesar 7.85, 2.98, dan 2.87 untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 ml menit -1. Penggunaan definisi RE 1 pada persamaan (26) dalam perhitungan rasio energi dimaksudkan untuk mengetahui besarnya nilai energi yang terkandung dalam produk (biodiesel) setelah dikurangkan dengan kandungan energi yang terdapat pada bahan baku, dan dengan memperhitungkan nilai energi proses diharapkan mendapat nilai rasio energi bersih serta mempermudah pemahaman tentang energi yang dikandung suatu produk dibandingkan energi proses yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Menurut Morris (2005) rasio energi berhubungan erat dengan penyediaan bahan baku dan proses produksi. Nilai rasio energi yang tinggi pada hasil penelitian disebabkan tidak diperhitungkannya energi dalam penyediaan bahan bakunya, sebagai contoh energi pengolahan lahan, penanaman, dan pemanenan serta proses sampai terbentuknya bahan baku. Nilai embedded energy pada peralatan produksi juga tidak diperhitungkan. Hasil penelitian hanya memperhitungkan nilai kandungan energi pada bahan (palm olein) yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Energi proses yang diperhitungkan pun hanya energi yang digunakan untuk mendukung terjadinya proses produksi, tanpa memperhitungkan berapa besar energi yang digunakan untuk menghasilkan energi tersebut. Gambar 16 menampilkan rasio energi hasil penelitian berdasarkan definisi RE 1 pada persamaan (26). Rasio Energi 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 7.85 2.98 2.87 1.5 3.0 4.5 Laju alir MeOH (ml menit -1 ) Gambar 16 Rasio energi hasil penelitian berdasarkan definisi RE 1 pada persamaan (26).

36 Perhitungan rasio energi dengan definisi RE 2 pada persamaan (27) dimaksudkan untuk membandingkan dengan penelitian Sigalingging (2008). Hasilnya didapatkan nilai sebesar 1.05, 1.03, dan 1.02 untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 ml menit -1. Rasio energi yang didapatkan pada setiap laju alir metanol mencapai nilai 1 artinya energi yang dikandung produk (biodiesel) sama dengan energi yang digunakan untuk menghasilkan biodiesel. Hasil perhitungan rasio energi dengan metode dan persamaan yang sama (RE 2 ) yang digunakan oleh Sigalingging (2008) yaitu pada laju alir metanol 3.0 ml menit -1 didapatkan nilai 1.02, berarti menunjukan nilai yang lebih besar dibandingkan rasio energi yang didapat oleh Sigalingging (2008) yaitu 0.84. Hal ini berarti daur ulang panas yang diterapkan dalam sistem mampu meningkatkan efisiensi energi proses. Secara keseluruhan perbandingan rasio energi antara hasil penelitian penulis dengan Sigalingging (2008) ditampilkan pada Gambar 17. Diagram batang dalam garis kotak putus-putus merupakan hasil penelitian ini. 1.5 Rasio Energi 1.0 0.5 1.05 1.03 1.02 0.84 0.98 0.0 1.5 3.0 4.5 a b 1.5, 3.0, 4.5 merupakan hasil penelitian, (a) Minyak sawit metode nonkatalitik, (b) Minyak sawit metode katalitik (Sigalingging 2008) Gambar 17 Perbandingan rasio energi hasil penelitian penulis dan Sigalingging (2008) berdasarkan definisi RE 2 pada persamaan (27). Beberapa peneliti mendefinisikan rasio energi berbeda, Yadav et al. (2010) menyatakan rasio energi merupakan perbandingan antara energi yang dikandung oleh produk (output) dengan energi yang digunakan dalam proses produksi (dituliskan dalam RE 4 pada persamaan (29)). Oleh sebab itu, rasio energi yang didapatkan oleh Pleanjai dan Gheewala (2009), Pradhan et al. (2008), dan Yadav et

37 al. (2010) lebih besar karena tidak memperhitungkan energi awal yang dikandung oleh bahan baku. Beberapa rasio energi hasil penelitian dengan menggunakan definisi RE 4 ditampilkan pada Gambar 18. Sedangkan menurut Sigalingging (2008) rasio energi adalah perbandingan energi yang dikandung produk biodiesel (output) dengan energi awal yang dikandung bahan baku ditambah energi proses produksi (RE 2 pada persamaan (27)). Pimentel dan Patzek (2005) mendefinisikan rasio energi dengan cara menghitung jumlah kandungan energi biodiesel dibagi dengan jumlah total energi proses dikurangi dengan kandungan energi produk samping, (ditampilkan dalam RE 3 pada persamaan (28)). Perbandingan rasio energi beberapa produksi biodiesel ditampilkan dalam Gambar 18. Diagram batang dengan batas garis putus-putus merupakan hasil perhitungan dengan definisi RE 2 pada persamaan (27), diagram batang dengan batas garis putus titik adalah hasil perhitungan dengan definisi RE 4 pada persamaan (29), dan diagram batang (f) dengan batas garis titik-titik adalah hasil perhitungan dengan definisi RE 3 pada persamaan (28) dan merupakan penelitian Pimentel dan Patzek (2005), mereka melaporkan bahwa energi yang dikandung biodiesel lebih rendah dari energi fosil yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Perhitungan rasio energi pada penelitian ini menggunakan persamaan RE 2, seperti yang digunakan oleh Sigalingging (2008) sehingga dapat langsung membandingkan efektifitas daur ulang panas dalam sistem setelah dilakukan modifikasi pada alat. Penggunaan persamaan RE 1 berdasarkan pertimbangan bahwa bahan baku yang dijadikan biodiesel sudah berupa fase liquid (minyak) yang sudah memiliki kandungan energi dan dapat digunakan secara langsung. Oleh karena itu, memperhitungkan kandungan energi bahan baku merupakan salah satu metode untuk dapat menentukan rasio energi bersih dalam produksi biodiesel.

38 3.0 2.5 2.42 2.55 2.0 Rasio Energi 1.5 1.0 0.84 0.98 1.64 0.79 0.5 0.0 a b c d e f (a) Minyak sawit metode non katalitik (Sigalingging 2008), (b) Minyak sawit metode katalitik (Sigalingging 2008), (c) Minyak sawit (Pleanjai 2009), (d) Kedelai (Pradhan 2008), (e) Karajan (Yadav 2010), (f) Kedelai (Pimentel&Patzek 2005) Gambar 18 Perbandingan rasio energi dengan pengertian yang berbeda pada beberapa produksi biodiesel. Hill et al. (2006) menyimpulkan bahwa biodiesel akan memiliki keuntungan lebih besar ketika proses produksi bahan baku mengkonsumsi energi yang rendah dan energi yang dibutuhkan untuk mengubahnya menjadi biodiesel pun rendah sehingga didapatkan nilai rasio energi yang besar, karena secara umum nilai rasio energi yang semakin besar mengindikasikan suatu proses produksi semakin baik. Dalam arti lain energi yang dihasilkan lebih besar daripada energi yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Nilai rasio energi 1.05, 1.03, dan 1.02 hasil penelitian menunjukan nilai rasio energi positif dan mampu ditingkatkan ketika sistem produksi dapat lebih dioptimalkan dengan mengetahui ketersediaan energi yang dapat diubah menjadi kerja atau kualitas energi yang berada dalam sistem tersebut, hal itu dapat dilakukan dengan melakukan analisis eksergi. 4.3 Analisis Eksergi Eksergi merupakan ukuran kualitas energi atau ukuran ketersediaan energi untuk melakukan kerja, karena dalam perhitungannya menggunakan parameter lingkungan sebagai acuan. Sehingga dapat mengindikasikan jumlah atau besaran kerja yang mampu dilakukan oleh suatu sumber daya dalam lingkungan tertentu. Analisis eksergi dilakukan pada setiap laju alir metanol.

39 Analisis eksergi pada produksi biodiesel dapat digunakan untuk mengevaluasi penggunaan bahan baku dan komponen proses produksinya seperti besarnya arus listrik dan material alat yang digunakan. Dikatakan dalam Talens et al. (2007) bahwasanya eksergi berisi substansi yang dapat dijadikan indikator untuk menentukan kemungkinan pengaruh yang berbahaya terhadap manusia dan lingkungan, karena semakin jauh eksergi dari kesetimbangan maka semakin mengindikasikan potensi reaksi yang tidak terkontrol sehingga memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Dalam kaitannya dengan hal ini Knothe et al. (2005) menyatakan biodiesel masih lebih aman terhadap lingkungan daripada petrodiesel karena biodiesel lebih mudah terurai dalam tanah dan air, dalam arti lain petrodiesel mempunyai laju degradasi penguraian dalam tanah dan air lebih rendah dibandingkan biodiesel. Mittelbach (2004) pun mengatakan walaupun secara kualitas petrodiesel lebih unggul dibuktikan dengan nilai kalornya yang lebih tinggi sehingga untuk menempuh jarak yang sama dibutuhkan lebih banyak biodiesel akan tetapi dari sudut pandang emisi akibat pembakaran, biodiesel memiliki nilai lebih rendah sehingga pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia masih lebih aman daripada petrodiesel. Besarnya kualitas eksergi dilihat dari nilai efisiensi eksergi. Penentuan efisiensi eksergi untuk sistem keseluruhan dan/atau komponen individual yang membentuk sistem merupakan bagian utama analisis eksergi. Analisis yang komprehensif suatu sistem termodinamika melibatkan baik analisis energi maupun analisis eksergi agar diperoleh gambaran kerja sistem secara lengkap (Basri 2010). Talens et al. (2007) mengatakan bahwa efisiensi eksergi dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara eksergi yang dapat dimanfaatkan dalam suatu proses dan total eksergi yang digunakan untuk terbentuknya proses tersebut. Efisiensi eksergi hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar 19.

40 25 Efisiensi Eksergi (%) 20 15 10 5 0 19.59 19.93 19.23 18.52 16.27 2.43 2.98 1.34 0.42 0.78 1.15 1.5 3.0 4.5 Laju Alir (ml menit -1 ) Evaporator Superheater Reaktor APP 10.48 Gambar 19 Efisiensi eksergi setiap subsistem pada produksi biodiesel secara non-katalitik. Berdasarkan Gambar 19 efisiensi eksergi pada sistem evaporator dan superheater semakin meningkat seiring dengan bertambahnya laju alir metanol, sedangkan pada sistem reaktor dan alat penukar panas semakin menurun pada setiap kenaikan laju alir metanol. Hal ini disebabkan pada sistem evaporator, dan superheater penggunaan energi elemen pemanas semakin termanfaatkan untuk menguapkan dengan bertambahnya laju alir metanol sehingga lebih efisien dalam hal penggunaan energi. Namun, masih banyak energi yang belum dapat termanfaatkan dalam subsistem tersebut. Pada reaktor terdapat palm olein yang berbentuk cair dan uap panas metanol yang suhunya dijaga pada suhu 290, sehingga penggunaan energi elemen pemanas dapat lebih maksimal dimanfaatkan. Akan tetapi, dalam reaktor juga terdapat penambahan energi dari reaksi kimia pembentukan biodiesel. Secara akumulatif semakin bertambahnya laju alir metanol pemanfaatan energi dalam reaktor semakin rendah. Begitupun pada alat penukar panas yang disebabkan karena kemampuan alat dalam menurunkan suhu produk dari reaktor, sehingga semakin bertambahnya laju alir metanol maka efisiensi eksergi alat penukar panas semakin menurun. Konsumsi energi listrik pada setiap laju alir metanol ditampilkan dalam Gambar 20, 21, dan 22.

41 Energi (kj) 9000 8000 7000 y = 10.881x + 1434.5 6000 y = 10.092x + 880.83 5000 4000 3000 y = 7.7796x + 657.55 2000 1000 0 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 Waktu (menit) SH Reactor Evap Linear (SH) Linear (Reactor) Linear (Evap) Gambar 20 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 1.5 ml menit -1. Energi (kj) 9000 8000 7000 6000 y = 11.157x + 1367.2 y = 10.599x + 737.45 5000 4000 3000 y = 8.4571x + 495.63 2000 1000 0 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 Waktu (menit) SH Reactor Evap Linear (SH) Linear (Reactor) Linear (Evap) Gambar 21 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 3.0 ml menit -1. Energi (kj) 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 y = 11.64x + 1441.7 y = 10.148x + 477.3 y = 11.102x + 769.87 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650 Waktu (menit) SH Reactor Evap Linear (SH) Linear (Reactor) Linear (Evap) Gambar 22 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 4.5 ml menit -1.

42 Perhitungan sistem alat penukar panas didasarkan pada aliran metanol, semakin meningkatnya laju alir metanol yang digunakan maka produk yang direaksikan dan keluar dari reaktor semakin banyak akan tetapi kemampuan alat penukar panas terbatas sehingga tidak mampu mendinginkan keseluruhan produk yang keluar dari reaktor. Selain dikarenakan penggunaan voltase pada pemanas yang tidak sesuai atau masih terlalu tinggi sehingga masih cukup besar panas yang tidak termanfaatkan, sistem isolasi yang tidak sempurna juga ikut berkontribusi sehingga sebagian energi panas masih dapat mengalir ke lingkungan. Kotas (1985) dalam Basri (2010) menyatakan bahwa eksergi suatu aliran tunak (steady flow) dari suatu zat adalah sama dengan jumlah kerja maksimum yang dapat diperoleh bila aliran tersebut dibawa dari keadaan awalnya ke keadaan mati (dead state) melalui suatu proses yang mana arus tersebut hanya berinteraksi dengan lingkungannya. Sekali suatu sistem berada dalam kesetimbangan dengan lingkungannya, maka sistem tersebut tidak mungkin lagi untuk menggunakan energi dalam sistem tersebut untuk menghasilkan kerja. Kondisi seperti ini mengindikasikan eksergi dari suatu sistem telah dimusnahkan sepenuhnya. Pemusnahan eksergi ini disebut juga sebagai irreversibilitas. Irreversibilitas merupakan ukuran untuk mengetahui besarnya potensial kerja yang hilang dalam suatu proses, karena menggambarkan ketidakmampubalikkan energi dalam suatu sistem sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi. Semakin besar nilai irreversibilitas dari masukannya maka mengindikasikan semakin rendah kualitas energi dalam sistem tersebut. Hasil perhitungan irreversibilitas ditampilkan dalam Tabel 8. Tabel 8 Irreversibilitas setiap unit subsistem Laju Alir Metanol Irreversibilitas subsistem (kw) (ml/menit) Evaporator Superheater Reaktor APP 1.5 2.59E-01 3.36E-01 4.36E-01 6.32E-05 3.0 2.75E-01 3.50E-01 3.60E-01 1.16E-04 4.5 3.28E-01 3.66E-01 3.76E-01 2.31E-04

43 Tabel 9 Eksergi masuk setiap subsistem Laju Alir Metanol Eksergi masuk subsistem (kw) (ml/menit) Evaporator Superheater Reaktor APP 1.5 2.56E-01 3.35E-01 3.51E-01 7.89E-05 3.0 2.82E-01 3.53E-01 4.45E-01 1.39E-04 4.5 3.38E-01 3.70E-01 4.62E-01 2.58E-04 Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 8 potensi kerja yang hilang dalam setiap subsistem masih cukup besar dari laju eksergi yang masuk dalam sistem (Tabel 9). Menurut Basri (2010) irreversibilitas dapat diklasifikasikan menjadi irreversibilitas internal dengan sumber utama gesekan, ekspansi tak tertahankan, pencampuran, reaksi kimia serta irreversibilitas eksternal yang timbul akibat pindah panas melalui beda suhu hingga. Hal inilah yang menjadikan irreversibilitas dalam sistem produksi biodiesel non-katalitik masih cukup tinggi, terutama pada konsumsi listrik melalui komponen pemanas, pada komponen ini membutuhkan energi yang cukup besar dalam pengoperasiannya. Oleh sebab itu, dibutuhkan optimasi untuk menentukan besaran energi yang digunakan dalam sistem produksi biodiesel non-katalitik ini terutama pada penggunaan voltase energi listrik dalam mencapai suhu yang diharapkan. Faktor gesekan pada alat penukar panas tidak dapat diabaikan karena menurut Bejan et al. (2006) dan Basri (2010) irreversibilitas yang diakibatkan gesekan selama perpindahan panas dalam alat penukar panas sangat mempengaruhi besarnya energi yang dapat dimanfaatkan sehingga menyebabkan besarnya pemusnahan eksergi (exergy destruction) yang berakibat pada semakin rendahnya efisiensi eksergi alat penukar panas. Hal itu pula yang memungkinkan efisiensi eksergi alat penukar panas pada sistem produksi biodiesel non-katalitik ini menjadi semakin rendah dengan meningkatnya laju alir metanol karena gesekan yang terjadi di dalam semakin besar. Bagaimanapun efisiensi eksergi pada produksi biodiesel non-katalitik metode superheated methanol vapor (SMV) masih rendah sehingga masih perlu untuk ditingkatkan lagi dengan berbagai optimasi pada setiap subsistem sehingga diharapkan dapat mencapai efisiensi eksergi optimum dan lebih meningkatkan rasio energi.