BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Individu yang memasuki sekolah menengah pertama pada umumnya berada

BAB I PENDAHULUAN. Usia Sekolah Menengah Atas pada umumnya berada pada rentang usia

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bagian ini diuraikan secara lengkap mengenai pendekatan dan metode

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebut dengan tata tertib. Siswa dituntut untuk menaati tata tertib sekolah di

2015 PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI BERDASARKAN PROFIL

Selamat membaca, mempelajari dan memahami materi Rentang Perkembangan Manusia II

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

SELAMAT MEMBACA, MEMPELAJARI DAN MEMAHAMI MATERI ELEARNING RENTANG PERKEMBANGAN MANUSIA I

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan

BAB I P E N D A H U L U A N. Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

I. PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan yang terjadi pada bangsa kita saat ini sangatlah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

PERKEMBANGAN MORAL: TEORI PIAGET & KOHLBERG

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal dalam Keluarga dengan Pemahaman Moral pada Remaja. Sry Ayu Rejeki Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu sendi kehidupan. Melalui pendidikan,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BABI PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masyarakat dikejutkan dengan persoalan-persoalan yang

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 Ayat (1) tentang

BAB I PENDAHULUAN. bersifat fisik maupun rohani (Ahid, 2010: 99). Beberapa orang juga

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Para ahli pendidikan pada umumnya sepakat bahwa pendidikan

UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 6:

ASSALAMU ALAIKUM WR.WB.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada hakikatnya manusia merupakan individu ciptaan Tuhan Yang

BAB III METODE PENELITIAN

SKRIPSI IDENTIFIKASI FAKTOR PENYEBAB KENAKALAN REMAJA PADA SISWA SMP PGRI 4 KOTA JAMBI. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL DENGAN PERKEMBANGAN MORAL PADA MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA (UMS)

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. No. Skripsi : 091/S/PPB/2013 pertengahan dan akhir masa anak-anak.

BAB II LANDASAN TEORI. A. Prilaku Moral. mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam kegiatan. Dalam hal ini yang diproritaskan adalah pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

Kemandirian sebagai Tujuan Layanan Bimbingan dan Konseling Kompetensi SISWA yang dikembangkan melalui layanan bimbingan dan konseling adalah kompetens

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. Rentang kehidupan individu mengalami fase perkembangan mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. adalah aset yang paling berharga dan memiliki kesempatan yang besar untuk

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan merupakan usaha sadar agar manusia dapat mengembangkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi.

I. PENDAHULUAN. positif dan negatif pada suatu negara. Orang-orang dari berbagai negara

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB III METODE PENELITIAN. A. Pendekatan, Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. Bab satu memaparkan latar belakang masalah pembahasan masalah,

PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu upaya menyiapkan manusia

BAB I PENDAHULUAN. biasanya seseorang menjadi mahasiswa pada kisaran usia tahun. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dan kesempatan yang ada. Tujuan pendidikan yaitu untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan kehidupan manusia, begitu pula dengan proses perkembangannya.

saaaaaaaa1 BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,

ETIKA. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Sementara rekomendasi hasil penelitian difokuskan pada upaya sosialisasi hasil

BAB I PENDAHULUAN. Erni Purnamasari, 2015 PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP ETIKA PADA SISWA KELAS XI MIA 4 DAN XI IIS 2 SMA NEGERI 14 KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

I. PENDAHULUAN. Kenakalan remaja merupakan salah satu masalah dalam bidang pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori atribusi ini dikembangkan oleh Kelley pada tahun 1967, kemudian dilanjutkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gejolak dalam dirinya untuk dapat menentukan tindakanya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dewi Melati, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Pertemuan 1 TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas tentang : (1) Latar Belakang, (2) Rumusan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kunci keberhasilan dan kesuksesan seseorang

PERKEMBANGAN AFEKTIF

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang matang akan menciptakan generasi-generasi yang cerdas baik cerdas

BAB I Tinjauan Umum Etika

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia sekolah Menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja yang berkisar antara 12-15 tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan bahwa secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah bayangbayang orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial yang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini. Yusuf (2009: 21) mengemukakan bahwa tugas perkembangan merupakan harapan sosial-masyarakat dalam arti setiap kelompok diharapkan menguasai keterampilan tertentu yang penting dan memperoleh perilaku yang disetujui berbagai usia sepanjang rentang kehidupan. Tugas perkembangan remaja diantarnya; menerima fisiknya sendiri, mencapai kemandirian emosional, mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal, mampu bergaul dengan teman sebaya atau orang lain secara wajar, menerima dirinya sendiri dan memilki kepercayaan terhadap kemmapuan sendiri, memperoleh self-control (kemampuan

2 mengendalikan diri sendiri), bertingkah laku yang bertanggungjawab, memilih dan mmepersiapkan karier, menhgamalkan ajaran agama yang dianutnya. Yusuf (2005: 72) kematangan remaja belumlah sempurna jika belum memiliki kode moral yang dapat diterima secara universal. Karena pada dasarnya tugas perkembangan remaja yang paling utama adalah memperoleh kematangan nilai moral untuk membimbing perilakunya. Perkembangan penalaran moral pada masa remaja tidak hanya ditentukan oleh kematangan berpikir (kognitif), tetapi juga ditentukan oleh kematangan sosial. Maksudnya kemampuan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Keluarga merupakan salah satu lingkungan sosial yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan moral pada remaja. Keluargalah yang pertama kali memperkenalkan nilai-nilai bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap orang lain. Salah satu sumber moral yang penting adalah agama. Agama menjadi pedoman bagi orangtua untuk mengajarkan nilai-nilai baik terhadap anaknya. Sekarang tergantung keluarga, bagaimana keluarga dapat mensosialisasikan nilainilai moral secara baik kepada anaknya, sehingga anak dapat menerima dan menginternalisasikan pada dirinya. Kohlberg (Duska dan Whelan, 1982: 111) mengemukakan meskipun banyak faktor yang dapat menimbulkan kenakalan remaja (delinquency), tetapi tingkatan penalaran moral yang tinggi sekurang-kurangnya berfungsi sebagai penghambat tingkah laku delinquent. Oleh karena itu, untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya dapat ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral yang

3 tampak, tetapi harus melihat pada penalaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kohlberg (Duska dan Whelan, 1982) mengenai moral, menunjukkan bahwa terdapat tahapan perkembangan moral. Adapun dasar perbedaan antar tahap adalah cara seseorang dalam memberikan penalaran terhadap masalah-masalah moral atau disebut pula sebagai penalaran moral, yaitu pertimbangan yang mendahului munculnya suatu tindakan atau perilaku, dan di dalamnya terdapat tanggapan atas kesesuaian tindakan dengan adat istiadat, nilai-nilai dan tatacara kehidupan yang bisa menentukan baik buruknya perilaku, diterima atau tidaknya dalam kehidupan sosial. Linda Adim Miyati (2008: 70) melakukan penelitian untuk mengukur penalaran moral pada siswa yang duduk di bangku SMA, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat penalaran moral siswa yang berada di tingkatan konvensional yang berada di tahapan ke empat, dimana siswa sebanyak 12 orang (21, 43 %) berada pada tahap empat artinya siswa sudah dapat memahami bahwa aturan aturan yang berlaku di sekolah, salah satu misalnya dalam bentuk tata tertib. Akhir-akhir ini, kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai penyimpangan moral yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Tawuran pelajar, perkelahian antar genk, perilaku seks bebas, gaya hidup tidak beraturan menjadi beberapa contoh kelunturan moral di kalangan generasi muda kita. Di kalangan pejabat, praktek korupsi masih merupakan persoalan yang sangat

4 mengerikan di Indonesia. Masyarakat secara umum pada akhirnya kehilangan rujukan keteladanan, sehingga krisis moral semakin meluas. Maraknya tawuran pelajar yang brutal, keras dan anarkis tak luput dari lepasnya fungsi kontrol sekolah terhadap moral siswanya. Pentingnya pendidikan moral terhadap anak didik kita juga didasarkan pada pentingnya iman, akhlaq dan moral. Hal ini penting sekali dalam kehidupan anak-anak didik kita terutama yang berkaitan dengan agama, setiap agama pasti mendidik agar anak-anak kita selalu bermoral baik dalam segala hal tingkah laku. Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan pada tanggal 14 Maret 2011, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat persoalan di kelas VIII SMPN 16 Bandung seperti 1) 30 % (rata-rata 13 orang) dari jumlah siswa disetiap kelas ada siswa yang tawuran antar siswa kelas VIII SMP Negeri 16 Bandung dengan siswa SMP Pelita, 2) salah satu siswa yang melakukan pelanggaran norma asusila, 3) sebanyak 5 orang siswa meroko di dalam kelas ketika jam pelajaran sedang berlangsung. Bentuk bimbingan yang dapat diberikan kepada siswa untuk membantu meningkatkan penalaran moral siswa ialah bimbingan pribadi-sosial, karena bimbingan pribadi-sosial merupakan bimbingan yang dapat membantu para siswa dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah sosial pribadi seperti masalah pergaulan, penyelesaian konflik, penyesuaian diri dan sebagainya (M. Surya 1988:47). Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal, menghadapi krisis moral yang tampak di kalangan remaja (siswa), pendidikan memiliki misi untuk

5 mengembangkan berbagai nilai yang perlu dihayati secara nyata dalam proses pembelajaran, dan bimbingan dan konseling sangat diperlukan sebagai media untuk membantu siswa dalam mengembangkan penalaran moral, sehingga siswa memiliki perilaku yang sarat dengan nilai moral dan dapat bertindak berdasarkan pertimbangan dan tanggung jawab subjektif. Bimbingan konseling di sekolah memiliki peranan penting membantu peningkatan penalaran moral para siswanya. Bimbingan yang diberikan merupakan moral yang menjadi bagian bimbingan pribadi sosial dalam membantu meningkatkan penalaran moral, upaya yang dilakukan antara lain dengan membuat program bimbingan yang dapat menciptakan lingkungan tertentu bagi siswa yang dapat membantu peningkatan penalaran moralnya. Suherman & Sudrajat (Adimiyati, 2008:13). Program bimbingan yang disusun secara baik dan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa memberikan banyak keuntungan, baik bagi siswa yang mendapat layanan maupun bagi konselor sekolah atau staf bimbingan yang melaksanakan, keuntungannya siswa satu dengan siswa yang lainnya mendapatkan bimbingan yang seimbang, baik dalam kesempatan maupun dalam jenis layanan, sedangkan bagi konselor sekolah antara lain adalah dapat menyusun program kerja yang jelas, terencana dan operasioanl. Sebelum menyusun program dan memberikan bimbingan yang efektif terhadap siswa, guru pembimbing perlu mengetahui gambaran penalaran moral siswa. Pengukuran tahap penalaran moral siswa menjadi dasar untuk menggambarkan penalaran moral siswa Sekolah Menengah Pertama.

6 Bimbingan pribadi-sosial secara khusus memberikan pelayanan dalam rangka mengembangkan pribadi siswa melalui berbagai layanan bantuan dalam bidang layanannberupa layanan dasar, layanan responsif, layanan perencanaan individual dan dukungan sistem. Keempat layanan tersebut tertuang secara komprehensif dalam sebuah program bimbingan. Program bimbingan pribadi sosial selain diharapkan dapat membantu siswa dalam meningkatkan penalaran moral siswa, juga diharapkan dapat membantu mengatasi permasalahan yang bersifat pribadi akibat dari ketidakmampuannya dalam meningkatkan penalaran moralnya. B. Rumusan Masalah Siswa sekolah menengah pertama merupakan masa remaja dengan segala bentuk perubahan dan permasalahan terutama dalam bidang pribadi dan sosial yang harus dihadapi dalam menuju kedewasaan, dalam hal ini membutuhkan lingkungan dan sarana yang tepat guna membimbing dan mengarahkan kemampuan serta kompetensi yang ada pada diri remaja tersebut. Latar belakang yang diungkapkan di atas menggambarkan pentingnya bimbingan pribadi-sosial berdasarkan penalaran moral siswa. Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan utama penelitian ini adalah, Bagaimana rumusan program bimbingan pribadi-sosial yang layak untuk dilaksanakan berdasarkan profil penalaran moral siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)? Untuk lebih memperjelas permasalah yang dimunculkan maka dikemukakan pertanyaan penelitian, yaitu sebagai berikut :

7 1. Seperti apa profil penalaran moral siswa kelas V-III SMP Negeri 16 Bandung? 2. Bagaimana program Bimbingan Pribadi-sosial yang tepat untuk meningkatkan penalaran moral siswa kelas V-III SMP Negeri 16 Bandung? C. Definisi Operasional Variabel 1. Penalaran Moral Konsep penalaran moral penelitian merupakan adaptasi dari Sunaryo Kartadinata yaitu konsep timbangan moral (moral judgment) yang dikembangkan Kohlberg serta para pengikutnya. Tingkat perkembangan kemampuan dalam menimbang alternatif keputusan dan menentukan kemungkinan arah tindakan yang harus dilaksanakan dalam menghadapi situasi sosial tertentu dinyatakan dalam tingkatan-tingkatan: prakonvensional, konvensional, pasca konvensional. Istilah moral berasal dari kata latin mos (moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai /tata cata kehidupan sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan nilai-nilai/ prinsip moral (Yusuf, 2004). Suseno (Delfia, 2010: 25) dikatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Normanorma moral adalah tolok-tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Menurut Suseno, sikap moral yang sebenarnya disebut moralitas. Suseno (Delfia, 2010 : 25) Ia mengartikan moralitas sebagai sikap hati orang yang terungkap dalam tindakan lahiriah. Moralitas terjadi apabila orang

8 mengambil yang baik karena ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan karena ia mencari keuntungan. Jadi moralitas adalah sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Hanya moralitas lah yang bernilai secara moral. Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa istilah moral adalah ajaran atau pedoman yang bertingkah laku dalam bermasyarakat agar menjadi manusia yang baik dan berakhlak. Kurtines (1984:283) mengemukakan bahwa penalaran moral sebagai kemampuan seseorang dalam menimbang alternatif keputusan dan menentukan kemungkinan arah tindakan yang harus dilaksanakan di dalam menghadapi suatu situasi soaial tertentu. Proses penalaran moral menyangkut kemampuan individu dalam : a. Menimbang kekuatan relatif akan sistem nilai yang berkompetisi didalam suatu situasi b. Memperhitungkan apa yang harus dilakukan dalam suatu situasi atas dasar proritas pertimbangan tertentu c. Merumuskan rencana tindakan atas dasar sistem nilai yang relevan. Penalaran moral dilakukan dengan mengukur tingkat penalaran moral siswa yang menjadi sumber dari penelitian. Tingkat penalaran moral ditentukan dengan melakukan pengukuran pada tahapan mana perkembangan penalaran moral siswa. Pengukuran tersebut dilakukan dengan melihat respon siswa saat dihadapkan kepada suatu situasi dilema. Dilema yang diberikan berupa cerita yang mengandung konflik antara beberapa nilai moral yang harus dipilih. Siswa

9 diminta untuk menentukan bagaimana penyelesaian dilema. Dalam mencari penyelesaian dilema diperlukan penimbangan terhadap beberapa isu moral. Siswa diberi beberapa isu moral yang berisi pertimbangan dari berbagai tahapan yang berbeda. Selanjutnya, siswa diminta untuk memilih salah satu isu moral yang perlu diprioritaskan dalam penyelesaian dilema moral, dengan melihat isu pada tahapan mana yang paling banyak dipilih, dapat diketahui tingkat penalaran moral siswa (Adimiyati 2008: 57-58). Kohlberg (Budiningsih, 2004 : 5) penalaran moral merupakan factor penentu yang melahirkan perilaku moral. Oleh Karena itu untuk mennetukan perilaku moral yang sebenarnya dapat dilakuan melalui penalarannya. Artinya penlaran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilkau moral yang tampak tetapi harus melihat pada penalaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut. Dengan mengukur tingkat penalaran moral akan dapat mengetahiu tinggi rendahnya moral tersebut. Dari kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa penalaran moral adalah kemampuan seseorang dalam menentukan keputusan dalam menghadapi situasi sosial. Lawrence Kohlberg percaya perkembangan moral didasarkan pada penalaran moral dan terbagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut (Adimiyati 2008: 8) : 1. Tingkatan 1. Pra-konvensional. Pada tingkat pra-konvensional individu tidak menunjukan adanya internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral

10 dikendalikan oleh hadiah atau reward dan hukuman eksternal. Pada tahap ini terdiri dari dua tahapan yaitu : a. Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan. Pada tahap orientasi dan hukuman kepatuhan pemikiran moral didasarkan pada hukuman. b. Tahap 2. Individualisme dan tujuan. Pada tahap Individualisme dan tujuan pemikiran moral didasarkan pada reward dan minat pribadi. 2. Tingkatan 2. Konvensional. Pada tahap konvensional individu mematuhi beberapa standar tertentu tetapi standar tersebut merupakan standar orang lain. Pada tahap ini terdiri dari dua tahapan yaitu : a. Tahap 3. Norma interpersonal. Pada tahap norma interpersonal individu menganggap rasa percaya, rasa saying, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian moral. b. Tahap 4. Moralitas system social. Pada tahap Moralitas sistem social penilai moral didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hokum, keadilan dan tugas social. 3. Tingkatan 3. Post Konvensional. Pada tingkatan post konvensional keputusan moral dilahirkan dari hak-hak, norma-norma, atau prinsip-prinsip yang dapat disetujui oleh seluruh individu yang membuat kehidupan masyarakat yang adil dan bermanfaat. a. Tahap 5. Hak komunitas vs individu. Pada tahap Hak komunitas vs individu seseorang memiliki pemhaman bahwa nilai-nilai dan hokum adalah relative dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda dengan orang lain.

11 b. Tahap 6. Prinsip Etis Universal. Pada tahap Prinsip Etis Universal. seseorang sudah membentuk standar moral yang didasarkan pada hak manusia secara Universal. 2. Program bimbingan pribadi sosial Program bimbingan merupakan suatu rencana kegiatan yang dijadikan pedoman atau acuan dalam melalksanakan bimbingan secara jelas terarah serta operasional. Program bimbingan disusun dan diimplementasikan sesuai dengan tuntutan kebutuhan siswa dan lembaga. Program bimbingan yang disusun baik dan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa merupakan hal yang penting untuk membantu siswa dalam mengembangkan penalaran moral siwa. Uman Suherman (2007:59) menyatakan bahwa program bimbingan dan konseling merupakan serangkaian rencana aktivitas layanan bimbingan dan konseling di sekolah, yang selanjutnya akan menjadi pedoman bagi setiap personel dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Secara operasional, program bimbingan pribadi sosial yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan pedoman pelaksanaan kegiatan bimbingan pribadi yang direncanakan secara sistematis, yang dirancang berdasarkan kebutuhan siswa kelas VIII SMP Negeri 16 Bandung tahun ajaran 2011/2012, yang diperoleh dari analisis hasil instrumen penalaran moral yang diberikan pada siswa. Struktur program yang dikembangkan terdiri atas rasional, deskripsi kebutuhan, tujuan, sasaran layanan, pengembangan tema, tahapan atau langkah layanan, peran guru

12 pembimbing, media dan alat pendukung serta evaluasi dalam upaya membantu meningkatkan penalaran moral siswa. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dilakukan oleh penulis terdapat dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Tujuan umum Tujuan secara umum dari penelitian yang dilakukan, adalah tersusunnya program bimbingan pribadi sosial untuk meningkatkan penalaran moral siswa kelas V-III SMP Negeri 16 Bandung. 2. Tujuan khusus Tujuan secara khusus penelitian ini dilakukan, yaitu sebagai berikut : a. Mengetahui profil penalaran moral siswa kelas V-III SMP Negeri 16 Bandung tahun ajaran 2011/2012. b. Menyusun program Bimbingan Probadi-sosial yang tepat untuk meningkatkan penalaran moral siswa kelas V-III SMP Negeri 16 Bandung tahun ajaran 2011/2012. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini, baik untuk guru pembimbing, maupun peneliti selanjutnya, diantaranya sebagai berikut.

13 a. Bagi guru pembimbing, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pemikiran dalam membuat program dan mengupayakan jenis layanan yang dapat diberikan kepada siswa, terutama layanan bimbingan pribadi-sosial yang berkenaan dengan moral, sehingga mampu menstimulasi pribadi-pribadi siswa yang dapat melindungi nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial dan dapat memaknai hakikat dari tindakannya. b. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman untuk mengembangkan penelitian yang lebih luas dengan menambah aspek perbedaan gender, status sosial ekonomi, pola asuh keluarga. F. Asumsi Penelitian Asumsi yang mendasari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penalaran moral yang matang berlangsung seiring dengan perkembangan kognitif (Diandra, 2003:3). 2. Penalaran moral merupakan prediktor dari tindakan moral, dan tingkat penalaran moral yang tinggi sekurang-kurangnya berfungsi sebagai penghambat tingkah laku delinquent (Duska dan Whelan, 1982:111). 3. Komponen kognitif dari imajinasi bertalian dengan kemampuan mengantisipasi berbagai konsekuensi dalam bentuk keputusan moral yang relevan bagi dirinya maupun orang lain (Kurtines, 1984:234). 4. Seseorang pada tahapan penalaran moral yang lebih tinggi, cenderung akan bertindak lebih bertanggung jawab. (Kohlberg dan Candee 1993:92).

14 G. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh profil tahap penalaran moral siswa, sedangkan untuk menganalisis datanya digunakan perhitungan secara statistik. Profil tahap penalaran moral siswa menjadi dasar pertimbangan pengembangan program bimbingan untuk meningkatkan penalaran moral siswa sekolah menengah Pertama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan tujuan menggambarkan profil penalaran moral siswa kelas VIII SMP Negeri 16 Bandung yang kemudian dijadikan sebagai dasar pembuatan program pribadi-sosial untuk meningkatkan penalaran moral siswa kelas VIII SMP Negeri 16 Bandung. Instrumen yang digunakan adalah instrumen pengukuran tingkat penalaran moral siswa yang merupakan adaptasi dari Defining issue Test (DIT) yang dikonstruksi oleh james Rest dan disadur oleh Sunaryo Kartadinata. Definining Isu Test adalah alat ukur timbangan sosial yang bisa diadministrasikan secara kelompok dan dilakukan penyekoran secara objektif James Rest (Sunaryo Kartadinata, 1988: 137). Defining Isu Test terdiri atas enam ceritera dilema sosial yang dikembangkan dari ceritera yang disusun oleh Kohlberg (1958). Setiap ceritera dilema sosial dalam DIT diikuti oleh 12 isyu yang harus dipilih subjek dalam mencari pemecahan dilema tersebut.

15 H. Struktur Organisasi Rancangan penulisan skripsi terdiri dari lima bab, yaitu Bab I mengungkapkan latar belakang masalah, rumusan masalah, Definisi Ovrasional Variabel, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi penelitian, dan metodologi penelitian dan struktur organisasi. Bab II menyajikan konsep teoretis yang terdiri atas konsep penalaran Moral dan program bimbingan pribadi-sosial. Bab III menyajikan lokasi dan populasi penelitian, metode penelitian yang meliputi lokasi dan populasi penelitian, pendekatan dan metode penelitian yang digunakan, definisi operasinal variabel terdiri dari penalaran moral dan program bimbingan pribadi-sosial, penyusunan alat pengumpulan data, analisis data, dan prosedur tahap-tahap penelitian. Bab IV melaporkan hasil penelitian dan pembahasan penelitian. Bab V mendeskripsikan mengenai kesimpulan dan rekomendasi.