BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu penyebab kekurangan gizi pada anak adalah kemiskinan. Memperbaiki gizi di masa awal kehidupan manusia dapat membangun fondasi yang kuat dalam membantu individu, keluarga dan bangsa untuk keluar dari kemiskinan (Barker, 2007). Periode window of opportunity berkisar dari sebelum kehamilan sampai umur anak sekitar dua tahun. Jika calon ibu kekurangan gizi dan berlanjut hingga ibu hamil, janin pun akan kekurangan gizi. Hal ini dapat menimbulkan beban ganda masalah gizi, yakni anak kurang gizi, lambat berkembang, mudah sakit, kurang cerdas, serta ketika dewasa kegemukan dan berisiko terkena penyakit degeneratif (Soekirman et al., 2010). Di Indonesia, bayi merupakan kelompok dengan prevalensi tinggi yang mengalami defisiensi zat gizi mikro, kondisi underweight dan stunting (Administrative Committee on Coordination/Sub Committee on Nutrition, 2000). Stunting adalah kondisi kronis yang memperlihatkan akumulasi pertumbuhan yang rendah sebelum atau sesudah kehamilan karena asupan makanan yang kurang atau kesehatan. Stunting merupakan kegagalan pertumbuhan dengan defisit dalam panjang badan menurut umur <-2 z-skor berdasarkan rujukan baku pertumbuhan World Health Organization (WHO, 2006). Hal ini berhubungan dengan kekurangan mikronutrien, kegemukan, dan penyakit kronis disebabkan oleh multifactor seperti pendidikan, demografi, pertanian, dan area pedesaan (Taguri et al., 2008). Kerangka konsep WHO (2005) menyimpulkan faktor-faktor risiko yang dapat diintervensi adalah konsumsi makanan tidak sehat, aktifitas fisik rendah, dan penggunaan tembakau. Prevalensi stunting mengalami peningkatan secara bermakna pada umur >8 tahun yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan dengan ekonomi yang rendah, pendidikan orang tua yang rendah, saudara kandung yang lebih banyak, dan lingkungan rumah dengan perokok (Mushtaq et al., 2011). 1
2 Indonesia masih mengalami masalah stunting. Secara nasional, prevalensi stunting pada balita sebesar 36,80% tahun 2007 dan mengalami penurunan sebesar 1,20% sehingga menjadi 35,60% tahun 2010 (Kemenkes, 2010) dan sebesar 37,2% meliputi 18% pendek dan 19,2% sangat pendek (Kemenkes 2013). Prevalensi stunting balita di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 27,60% tahun 2007 dan mengalami penurunan sebesar 5,10% menjadi 22,50% tahun 2010 (Kemenkes RI, 2010). Walaupun terjadi penurunan prevalensi balita pendek, persentase balita pendek di Indonesia masih cukup tinggi dan jika tidak ditanggulangi secara efektif akan menambah permasalahan gizi di Indonesia dan berdampak buruk bagi generasi penerus karena banyak penelitian yang membuktikan bahaya stunting bagi masa depan anak (Kemenkes, 2010). Data sekunder Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2011 menunjukkan prevalensi stunting balita di Kota Yogyakarta sebesar 15,11%. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan permasalahan persentase rumah tangga bebas asap rokok di DIY baru mencapai 44,6%, tertinggi di Kota Yogyakarta (52,1%) dan terendah di Gunungkidul (40,2%). Dari hasil tersebut, tidak mengherankan jika persentase perokok pasif cukup tinggi karena perokok biasa merokok di dalam rumah. Jika dilihat dari statusnya, perokok rumah tangga didominasi suami/kepala rumah tangga (Dinkes Yogyakarta, 2011). Pada penelitian Semba et al. (2006) yang berjudul Parental smoking is associated with increased risk of child malnutrition among poor urban families in Indonesia yang dilakukan pada lebih dari 175.000 keluarga miskin perkotaan di Indonesia menunjukkan tiga dari empat kepala keluarga (73,8%) yang disurvei adalah perokok aktif. Belanja mingguan untuk membeli rokok menempati peringkat tertinggi (22%), lebih besar dari pengeluaran makanan pokok yaitu beras (19%), sementara pengeluaran untuk telur dan ikan masing-masing hanya 3% dan 4%. Disamping memperburuk derajat kesehatan, belanja rokok pada keluarga miskin mengalihkan pengeluaran kebutuhan esensial ke pembelian barang adiktif sehingga memperkecil peluang untuk keluar dari kemiskinan.
3 Hampir separuh anak-anak di dunia terpapar oleh rokok mulai dari membakar tembakau hingga menghirup asap tembakau di dalam rumah. Anakanak juga berisiko tinggi terpapar asap rokok. Asap rokok selama kehamilan terhubung dengan berat badan lahir rendah, sementara merokok selama kehamilan terhubung dengan berat badan dan tinggi badan yang lebih rendah. Namun, masih terbatas bukti mengenai paparan ibu yang merokok dan asap rokok pada pertumbuhan fisik pada anak-anak <5 tahun. Hal ini sangat penting untuk mengidentifikasi faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan fisik anak dikarenakan TB/U yang rendah di awal masa anak-anak berhubungan dengan perkembangan motorik terganggu, fungsi kognitif dan prestasi sekolah yang tidak bagus (Kyu et al., 2009). Masalah stunting apabila tidak ditanggulangi akan membentuk siklus stunting yang tidak akan putus sehingga perlu dicari upaya pemecahan dalam mengatasi stunting pada anak balita dengan melihat faktor yang merupakan faktor risiko terhadap kejadian stunting. Salah satu faktor sebagai faktor resiko terhadap stunting yaitu berasal dari faktor lingkungan yaitu konsumsi rokok orang tua. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai konsumsi rokok orang tua sebagai faktor risiko terhadap kejadian stunting pada anak 6-24 bulan di Kota Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah konsumsi rokok orang tua merupakan faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6 24 bulan di Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisa konsumsi rokok orang tua sebagai faktor risiko kejadian stunting pada anak usia 6 24 bulan di Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat kepada : 1. Manfaat bagi Pemerintah Daerah
4 Sebagai dasar dalam melakukan intervensi pengambilan kebijakan penanggulangan stunting di Kota Yogyakarta. 2. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan Memberikan informasi bagi peneliti selanjutnya tentang konsumsi rokok sebagai faktor risiko terhadap kejadian stunting di Kota Yogyakarta. 3. Manfaat bagi peneliti Sebagai dasar pengetahuan meningkatkan wawasan ilmiah dan pengalaman dalam melakukan penelitian mengenai konsumsi rokok hubungannya dengan kejadian stunting. E. Keaslian Penelitian Penelitian yang sejenis tentang konsumsi rokok orang tua dengan kejadian stunting adalah sebagai berikut : 1. Semba et al. (2006) Paternal Smoking is associated with increased risk of child malnutrition among poor urban families in Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik hubungan antara orang tua yang merokok, kurang gizi pada anak dan pengeluaran rumah tangga. Desain yang digunakan adalah stratified multistage cluster sample pada sistem surveilans gizi di Indonesia. Hasil penelitian Semba et al adalah pada rumah tangga yang ayahnya merokok, pengeluaran untuk konsumsi rokok sebesar 22% per minggu per kapita dari pengeluaran rumah tangga, lebih rendah untuk konsumsi makanan jika dibandingkan dengan rumah tangga yang ayahnya tidak merokok. Persamaan penelitian terletak pada variabel bebas dan variabel antara yaitu karakteristik orang tua yang merokok dan pengeluaran rumah tangga. Perbedaannya terletak pada subyek penelitian yaitu penelitian ini adalah anak usia 6-24 bulan sementara pada penelitian Semba et al. (2006) pada keluarga miskin berumur 0 59 bulan. 2. Irwanti (2011) yang berjudul Konsumsi Rokok dan Asupan Zat Gizi Balita Pada Rumah Tangga Miskin Kota Yogyakarta. Tujuan penelitian Irwanti (2011) adalah mengetahui perbedaan asupan zat gizi energi dan protein balita berdasarkan konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di
5 Kota Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah cross sectional. Hasil dari penelitian adalah terdapat 77% rumah tangga miskin yang mempunyai setidaknya 1 perokok. Asupan energi dan protein balita tidak berbeda signifikan antara balita yang tinggal dalam rumah tangga miskin dengan perokok dan tanpa perokok, meskipun persentase pengeluaran untuk pangan lebih rendah secara signifikan pada rumah tangga dengan perokok. Persamaan dengan penelitian Irwanti dengan penelitian yang akan dilakukan adalah meneliti konsumsi rokok, pengeluaran rumah tangga dan asupan makanan. Perbedaan penelitian terletak pada subjek dan metode penelitian. Subjek penelitian Irwanti berusia 2-5 tahun, sementara penelitian ini 6-24 bulan dan teknik pengambilan sampel penelitian Irwanti menggunakan quota sampling, sedang penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan non-probability sampling dengan metode concecutive sampling. 3. Mushtaq et al. (2011) dengan judul prevalence and socio-demographic correlates of stunting and thinnes among Pakistani primary school children. Tujuan penelitian Mushtaq et al. (2011) adalah melihat prevalensi dan sosial-demografi yang berhubungan dengan stunting dan gizi kurang pada anak sekolah dasar di Pakistan. Metode yang digunakan adalah cross sectional. Hasil penelitian Mushtaq et al (2011) adalah 8 % anak mengalami stunting dan 10% gizi kurang. Prevalensi stunting mengalami peningkatan secara bermakna pada umur >8 tahun yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan dengan ekonomi yang rendah, pendidikan orang tua yang rendah, saudara kandung yang lebih banyak, dan lingkungan rumah dengan perokok. Persamaan penelitian Mushtaq et al dengan penelitian yang akan dilakukan adalah meneliti mengenai sosio demografi termasuk merokok di dalam rumah berhubungan dengan stunting. Perbedaannya adalah subjek penelitian dan metode penelitian yaitu pada anak sekolah dasar dengan metode multistage cluster sample. 4. Koshy et al. (2010) dengan judul Dose response association of pregnancy cigarette smoke exposure, childhood stature, overweight and
6 obesity. Tujuan penelitian Koshy et al (2010) memeriksa besarnya kombinasi risiko ini terkait efek respon dosis sebagai dasar implikasi mekanisme penyebab potensial. Metode yang digunakan adalah cross sectional. Hasil Rerata skor-z tinggi badan berdasarkan umur lebih rendah diantara ibu perokok berat (P<0,001) dan ayah perokok berat (P<0,01) dibanding bukan perokok. Kelebihan berat badan, obesitas atau postur pendek pada anak semuanya berhubungan dengan ibu perokok berat selama kehamilan (semua P<0,001). Rerata skor-z BMI lebih tinggi pada anak laki-laki dengan ibu perokok (P=0,043). OR penyesuaian untuk postur pendek pada anak perokok berat adalah 2,76 (95% CI 1,21-6,33) dan 4,28 (1,37-23,37) jika kedua orang tua perokok berat. OR penyesuaian untuk obesitas pada anak dari ibu perokok adalah 1,61 (1,19-2,18). Risiko bawaan populasi untuk postur pendek adaah 8,8% (1,1-22,7) untuk ibu perokok berat. Persamaan penelitian Koshy et al (2010) dengan penelitian yang akan dilakukan adalah meneliti mengenai orang tua yang merokok terhadap stunting. Perbedaannya adalah metode yang digunakan adalah cross sectional.