BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Kata kunci : konsep, pemahaman konsep, segitiga.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran problem solving merupakan salah satu model pembelajaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bilangan, (b) aljabar, (c) geometri dan pengukuran, (d) statistika dan peluang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORITIK

09. Mata Pelajaran Matematika A. Latar Belakang B. Tujuan

BAB II KAJIAN TEORI. mengetahui derajat kualitas (Arifin, 2009). Sedangkan menurut. komponen, hubungan satu sama lain, dan fungsi masing-masing dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika, menurut Ruseffendi adalah bahasa simbol; ilmu deduktif

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis. 1. Pengertian Pemahaman Konsep Matematis

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan model pengembangan ADDIE yaitu tahap analysis (analisis),

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. melalui generalisasi dan berfikir abstrak. Konsep merupakan prinsip dasar

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pemecahan. Masalah Kontekstual. Gambar 1. Pemecahan Masalah Realistik (Gravemeijer, 1994)

Diajukan Oleh : IRFAKNI BIRRUL WALIDATI A

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

KTSP Perangkat Pembelajaran SMP/MTs, KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) Mapel Matematika kls VII s/d IX. 1-2

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Resgiana, 2015

PEMBELAJARAN MATEMATIKA di SD

PEMBELAJARAN GEOMETRI BIDANG DATAR DI SEKOLAH DASAR BERORIENTASI TEORI BELAJAR PIAGET

Tita Mulyati. Abstrak elajar menuntut peran serta semua pihak. Pengetahuan bukan sesuatu yang diserap

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan sehari- hari maupun dalam ilmu pengetahuan.

Skripsi Diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Oleh: AMBAR SUSILOWATI A

BAB II KAJIAN TEORI A.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latarbelakang Masalah. Konsep merupakan dasar pembangun kemampuan berpikir siswa untuk

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sistematis dalam menyelesaikan persoalan kehidupan sehari-hari atau dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang mereka temukan dalam kehidupan ialah hal yang sangat. menemukan berbagai pertanyaan mengenai masalah-masalah matematika.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. zaman inilah yang mendorong para pendidik untuk lebih kreatif dalam. nasional (Marsigit dalam Renni Indrasari,2005:1).

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Penalaran Induktif Matematis. yaitu reasoning, dalam Cambridge Learner s Dictionary berarti the

BAB I PENDAHULUAN. mutu pendidikan dari bangsa itu sendiri karena pendidikan yang tinggi dapat

BAB I PENDAHULUAN. yaitu fakta, operasi, konsep, dan prinsip, (2) Berdasar pada perjanjian atau

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

41. Mata Pelajaran Matematika untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. aplikasi dari konsep matematika. Pengenalan konsep-konsep matematika

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. adanya jembatan yang dapat menetralisir perbedaan atau pertentangan tersebut.

42. Mata Pelajaran Matematika untuk Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Tunanetra (SMPLB A)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian Yang Relevan

BAB I PENDAHULUAN. rendahnya kualitas pendidikan baik pendidikan formal, informal maupun

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembelajaran, hal ini menuntut guru dalam perubahan cara dan strategi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Belajar adalah suatu kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Belajar

II. TINJAUAN PUSTAKA. membujuk, menganalisis asumsi dan melakukan penelitian ilmiah. Berpikir kritis

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

KARAKTERISTIK SISWA SD KELAS RENDAH DAN PEMBELAJARANNYA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Peran pendidikan sangat dibutuhkan dalam mempersiapkan dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. (Syarifudin, 2007: 21). Dalam arti luas, pendidikan berlangsung bagi siapapun,

Skripsi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1. Pendidikan Matematika. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban sebagai warga negara yang baik. Pendidikan pada dasarnya merupakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

41. Mata Pelajaran Matematika untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs)

KONSEPSI SISWA KELAS VII SMP NEGERI 2 BANYUBIRU TENTANG SEGIEMPAT

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB II LANDASAN TEORI. A. Pembelajaran SAVI (Somatis, Auditori, Visual, Intelectual)

BAB I PENDAHULUAN. diberikan sejak tingkat pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah di

A. LATAR BELAKANG MASALAH

KONSEPSI MAHASISWA TENTANG TEKANAN HIDROSTATIS

BAB II LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. atau bukti-bukti baru dalam lapangan pendidikan dan menguji fakta-fakta lama,

BAB II KAJIAN TEORITIK. sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pembelajaran yang menekankan

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR. A. Kajian Pustaka

II. TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan

A. LATAR BELAKANG MASALAH

PEMBELAJARAN TRIGONOMETRI BERORIENTASI FILOSOFI KONSTRUKTIVISTIK

BAB I PENDAHULUAN. Mata pelajaran matematika wajib diberikan kepada semua peserta didik mulai

BAB II KAJIAN TEORI. Rahmawati, 2013:9). Pizzini mengenalkan model pembelajaran problem solving

, 2015 PENGARUH PENGGUNAAN MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SMP

PENGETAHUAN KONSEPTUAL DAN PROSEDURAL DALAM PEMBELAJARAN PERKALIAN BILANGAN PECAH DESIMAL BERDASARKAN PAHAM KONSTRUKTIVISME PADA SISWA SD KELAS V

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, dan mampu mengkomunikasikan

BAB II KAJIAN TEORITIK. dalam diri peserta didik untuk belajar secara aktif, kreatif, efektif,

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini pembangunan di Indonesia antara lain diarahkan untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan kemampuan untuk memperoleh informasi, memilih informasi dan

Meilantifa, Strategi Kognitif Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu. Strategi Konflik Kognitif Pada Pembelajaran Persamaan Linier Satu Variabel

mengobservasi, membandingkan, menemukan kesamaan-kesamaan dan 3. Aktivitas-aktivitas peserta didik sepenuhnya didasarkan pada pengkajian.

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Prakonsep Menurut Soedjadi (1995) pra konsep adalah konsep awal yang dimiliki seseorang tentang suatu objek. Didalam proses pembelajaran setiap siswa sudah mempunyai pengetahuan awal dari pengalaman dan pembelajaran yang sudah didapat sebelumnya. Pengetahuan awal siswa dipakai sebagai pegangan guru dalam pembelajaran selanjutnya sehingga pengetahuan awal atau prakonsep diartikan sebagai konsep yang dimiliki siswa sebelum proses pembelajaran berlangsung, meskipun mereka sudah pernah mendapatkan pelajaran tersebut sebelumnya (Suparno, 2005). Contoh prakonsep dalam matematika misalnya: Ketika kita akan mempelajari sistem persamaan linier maka kita terlebih dahulu memahami konsep aljabar. 2. Konsep Ormrod (2008) menyatakan bahwa konsep merupakan cara mengelompokkan dan mengkategorikan secara mental berbagai objek atau peristiwa yang mirip dalam hal tertentu. Konsep merupakan inti pemikiran kita, beberapa ahli memandangnya sebagai unit pikiran yang paling kecil (Ferrari dan Elik, 2003). Selain itu, konsep juga kadang-kadang memadatkan berbagai macam informasi menjadi sebuah entitas tunggal karena itu dapat mengurangi beban memori kerja yang kapasitasnya memang terbatas (Bruner, 1996; Ormrod 2008). Ormrod juga berpendapat bahwa siswa tidak sepenuhnya memahami suatu konsep sampai mereka dapat mengidentifikasi baik contoh maupun yang bukan contoh dari konsep itu dengan tingkat keakuratan tinggi. Piaget (Ormrod, 2008) menggagaskan tentang anak-anak makin mampu berfikir tentang gagasan-gagasan abstrak seiring semakin bertambah usianya. Kecenderungan ini tercermin dalam perkembangan konsep mereka (Gagne, 1985; Liu dkk 2001). Bagian yang penting dari menguasai konsep adalah mempelajari keterkaitannya dengan konsepkonsep lain. Heruman (2010) memaparkan pembelajaran yang ditekankan pada konsep-konsep matematika yaitu: 1) Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut; 2) 5

6 Pemahaman Konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika; 3) Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika. Selain itu cara mengajarkan konsep menurut Panjaitan (2012) ada empat cara yang pertama adalah dengan cara membandingkan obyek matematika yang termasuk konsep dan yang tidak termasuk konsep. Sebagai contoh, ketika membahas pengertian segitiga siku-siku, seorang guru dapat memaparkan gambar bangun datar yang merupakan segitiga siku-siku dan yang bukan segitiga siku-siku. Cara yang kedua adalah dengan pendekatan deduktif, dimana proses pembelajarannya dimulai dari definisi dan diikuti dengan contohcontoh dan yang bukan contohnya. Ketika membahas pengertian atau konsep segitiga siku-siku; seorang guru SD dapat memulai proses pembelajarannya dengan mengemukakan definisi bahwa: Segitiga sikusiku adalah suatu segitiga yang salah satu sudutnya berbentuk siku-siku. Dengan definisi atau pengertian itu sang guru lalu membahas contoh segitiga siku-siku dan yang bukan segitiga siku-siku. Hal ini dapat dilakukan dengan tanya jawab, sehingga para siswa dapat menentukan mana yang termasuk segitiga siku-siku dan mana yang bukan beserta sebab-sebabnya. Cara yang ketiga adalah dengan pendekatan induktif, dimulai dari contoh lalu membahas definisinya. Cara yang terakhir adalah dengan kombinasi deduktif dan induktif, dimulai dari contoh lalu membahas definisinya dan kembali ke contoh, atau dimulai dari definisi lalu membahas contohnya lalu kembali membahas definisinya. Konsep juga mempunyai tingkat pencapaian konsep, Klausmeier (Dahar, 2011) menghipotesiskan bahwa ada empat tingkatan pencapaian konsep, yaitu tingkat konkret, tingkat identitas, tingkat klasifikasi, dan tingkat formal. Tingkat konkret dapat disimpulkan bahwa seseorang telah mencapai konsep pada tingkat konkret apabila seseorang itu mengenal suatu benda yang telah dihadapinya. Siswa harus dapat memperlihatkan benda itu dan dapat membedakan benda itu dari stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya. Selanjutnya siswa harus menyajikan benda itu sebagai suatu gambaran mental dan menyimpan gambaran mental itu.

7 Tingkat identitas seseorang akan mengenal suatu objek: a) sesudah selang waktu; b) bila orang itu mempunyai orientasi ruang (spatial orientation) yang berbeda terhadap objek itu; atau c) bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra yang berbeda, misalnya mengenal suatu bola dengan cara mnyentuh bola itu bukan melihatnya. Tingkat klasifikasi siswa mengenal persamaan (equivalence) dari dua contoh yang berbeda dari kelas yang sama. Walaupun siswa itu tidak dapat menentukan kriteria atribut ataupun menentukan kata yang dapat mewakili konsep itu, ia dapat mengklasifikasikan contoh dan noncontoh konsep, sekalipun contoh dan noncontoh itu mempunyai banyak atribut yang mirip. Tingkat formal siswa harus dapat menentukan atribut-atribut yang membatasi konsep. Selain itu siswa dapat memberi nama konsep, mendefinisikan konsep itu dalam atribut-atribut kriterianya, mendiskriminasi dan memberi nama atribut-atribut yang membatasi, dan mengevaluasi atau memberikan secara verbal contoh dan noncontoh konsep. 3. Konsepsi Konsepsi menurut Berg (1991) adalah tafsiran perorangan terhadap banyak konsep berbeda-beda. Saptono (Finatri dkk., 2007) mendefinisikan konsepsi sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan maupun konsep yang diperoleh dari pendidikan formal. Konsepsi siswa menurut PMR (Pendekatan Matematika Realistik) sebagai berikut (Daryanto dkk, 2012): a. Siswa mempunyai seperangkat konsep alternatif tentang ide ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik

8 Selain itu penelitian Driver (Sutriyono, 1999) tentang konsepsi siswa mengenai berbagai obyek peristiwa menunjukkan ciri-ciri umum pemahaman siswa dan menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi konsepsi, diantaranya : a. Pemikiran siswa bersifat personal Setiap siswa mempunyai konsepsi tentang berbagai hal secara berbeda atau bersendirian. Semua itu bergantung pada pengalaman dan pembentukan pengetahuan berdasarkan corak pemikiran yang dipunyai siswa tersebut. Setiap siswa mengadakan pengabstrakan reflektif secara berbeda-beda atau bersendirian berdasarkan corak pemikiran yang dipunyainya, namun perlu disadari bahwa pemikiran siswa bersifat personal tidak berarti bahwa pemikiran itu tidak dipunyai orang lain. b. Ide-ide siswa nampak tidak koheren Siswa seringkali mempunyai beberapa konsepsi yang berbeda tentang suatu hal atau gejala tertentu. Konsepsi yang berbeda itu digunakan untuk menjelaskan atau meramalkan dalam konteks yang berbeda-beda pula. Seringkali konsepsi yang berbeda-beda itu membawa pertentangan bila dipandang dari acuan ilmuwan. Tentu saja tidak mengherankan mengapa sering terjadi penjelasan berbeda dari siswa yang berbeda untuk satu fenomena yang sama. c. Ide siswa bersifat stabil Sering dijumpai bahwa sekalipun siswa telah mengikuti pelajaran dari guru, pemikirannya tidak berubah (bersifat stabil). Meskipun pengajar telah mencoba untuk mengubahnya sesuai dengan konsep ilmuwan. Hal ini dikarenakan corak pemikiran yang dipunyai siswa tersebut begitu kuat sehingga banyak konteks akan selalu diasimilasi secara sama. d. Pemikiran siswa banyak didominasi oleh persepsi Banyak pemikiran siswa masih didominasi oleh hal yang teramati secara langsung berdasarkan pengalaman yang dilihatnya. e. Pusat perhatian siswa terbatas

9 Banyak kasus para siswa hanya memperhatikan aspekaspek tertentu saja dari suatu peristiwa. Pusat perhatian tergantung pada hal-hal yang kelihatan mencolok. 4. Kontruktivisme Kontruktivisme menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan (konstruksi) orang itu sendiri (Suparno, 2001). Konstruktivisme lebih menekankan pada perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam (Suparno, 1997). Fosnot (Suparno,1997) memaparkan Konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif si pelajar. Nik Aziz (Sutriyono, 2012) juga menjelaskan konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan matematika perlu dibangun atau dikonstruksi sendiri oleh individu melalui tiga aktivitas dasar yang terdiri dari pelibatan aktif, refleksi, dan pengabstrakan. Pembelajaran, konstruktivisme memandang sebagai suatu proses sosial (wacana) membangun pengetahuan (yang ilmiah) yang dipengaruhi oleh pengetahuan awa, pamdangan, dan keyakinan peserta didik serta pengaruh pendidik (Tobin et al., 1994; Gunstone, 2002; Suratno,2008). Selain itu, pembelajaran konstruktivisme dapat dipahami sebagai teori tentang pembentukan makna yang di dalamnya berisi penjelasan tentang hakikat pengetahuan dan bagaimana manusia belajar (Saptono, 2011). Pembelajaran konstruktivisme peran guru tidak sekadar menjadi pemberi pengetahuan namun guru berperan sebagai pemandu, fasilitator, dan rekan penjelajah yang mendorong pembelajar untuk bertanya, menantang, dan memformulasikan gagasan-gagasan, pendapat-pendapat dan kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri (Saptono, 2011). Berikut prinsip-prinsip teori konstruktivisme menurut Driver (Suparno, 1997) adalah a) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri baik secara personal atau sosial, b) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kepada siswa kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, c) siswa aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan konsep ilmiah, dan d) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.

10 5. Konsep Kesebangunan dan Kekongruenan Gambar 2.1 Peta Konsep Kesebangunan bangun datar terdiri dari dua bangun datar yaitu dua bangun datar kongruen dan dua bangun datar sebangun. Berikut syarat-syarat dua bangun datar sebangun dan dua bangun datar kongruen: a. Syarat dua bangun datar dikatakan sebangun : 1) Mempunyai sudut-sudut yang bersesuaian sama besar 2) Panjang sisi-sisi yang bersesuaian dari kedua bangun itu memiliki perbandingan senilai Gambar 2.2 Dua Bangun Datar yang Sebangun b. Syarat dua bangun datar dikatakan kongruen 1) Mempunyai bentuk ukuran sama 2) Mempunyai sisi-sisi yang bersesuaian sama panjang 3) Mempunyai sudut-sudut yang bersesuaian sama besar Gambar 2.3 Dua Bangun Datar yang Kongruen

11 c. Sifat-sifat segitiga sebangun 1) Sisi-sisi yang bersesuaian sebanding (S-S-S) 2) Sudut-sudut yang seletak sama besar (Sd-Sd-Sd) 3) Satu sudut sama besar dan kedua sisi yang mengapitnya sebanding (S-Sd-S) d. Sifat-sifat segitiga kongruen 1) Sisi-sisi yang bersesuaian sama panjang 2) Sudut-sudut yang bersesuaian sama besar e. Syarat segitiga kongruen 1) Sisi-sisi yang bersesuaian sama panjang (S-S-S) 2) Dua sisi yang bersesuaian sama panjang dan dua sudut yang diapitnya sama besar (S-Sd-S) 3) Dua sudut yang bersesuaian sama besar dan sisi yang berada di antaranya sama panjang (Sd-S-Sd) 4) Dua sudut yang bersesuaian sama besar dan sisi yang berada dihadapannya sama panjang (Sd-Sd-S) B. Penelitian yang relevan Sehubungan dengan masalah yang akan diteliti, terlebih dahulu mencari dan menemukan penelitian yang relevan untuk mendukung penelitian yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan Kesumawati (2008) yang berjudul Pemahaman Konsep Matematik dalam Pembelajaran Matematika dengan tujuan pencapaian dalam menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. Hasil dari penelitian tersebut yakni pemahaman konsep merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pembelajaran matematika. Pemahaman konsep matematik juga merupakan landasan penting untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian yang dilakukan Nuraeni (2013) dengan judul Konsepsi Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Banyubiru tentang Segiempat dengan tujuan untuk mengetahui konsepsi siswa SMP tersebut. Penelitian ini menghasilkan konsepsi siswa tentang segiempat berbeda-beda antara siswa satu dengan yang lain. Siswa tidak dapat menggeneralisasikan konsep bangun datar segiempat. Siswa tidak dapat menyatakan bahwa persegi bagian dari kelompok belah ketupat dan persegi panjang, belah ketupat bagian dari kelompok layang-layang, serta belah ketupat dan persegi panjang bagian dari

12 jajargenjang. Siswa dalam menentukan bangun-bangun datar yang termasuk dalam jenis bangun segiempat tertentu masih banyak yang hanya terpaku kepada bentuk gambar, bukan ciri-ciri bangun segiempat yang dimaksud. Penelitian yang dilakukan Ardhianingsih (2008) dengan judul Pemahaman Siswa Kelas V SD tentang Bangun Datar dan Bangun Ruang bertujuan untuk mengetahui konsep-konsep dalam bangun datar dan bangun ruang. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penjelasan siswa tentang bangun ruang dan bangun datar yang diberikan secara tertulis seringkali tidak diikuti dengan penjelasan figuratif yang tetap. Hasil penelitian banyak juga ditemui bahwa penjelasan tertulisnya benar tapi penjelasan figuratifnya tidak sesuai. Sebaliknya penjealsan figuratifnya benar tetapi penjelasan tertulisnya kurang tepat. Penjelasan tertulis saja tidak cukup bagi seorang guru untuk meyakinkan bahwa siswa sudah paham dengan konsep yang diberikan. Penelitian ini fokus pada konsepsi siswa tentang kesebangunan dan kekongruenan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya tentang kesebangunan dan kekongruenan yang sebagian besar berorientasi pada PTK atau membandingkan antar kedua model pembelajaran atau lebih yang kurang membahas tentang konsepsi kesebangunan dan kekongruenan. Penelitian ini adalah penitian deskriptif kualitatif dengan teknik yang digunakan wawancara semi terstruktur dengan tujuan menggali konsepsi siswa tentang kesebangunan dan kekongruenan. Subyek penelitian ini adalah 6 siswa kelas IX SMP Negeri 2 Salatiga.