BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia yang dianggap sebagai fase kemunduran. Hal ini dikarenakan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan pria dan wanita. Menurut data statistik yang didapat dari BKKBN,

PEMECAHAN MASALAH PADA WANITA SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keluarga juga tempat dimana anak diajarkan paling awal untuk bergaul dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kondisi wanita yang berada di bawah bayang-bayang pria, dewasa ini telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan sebuah kelompok primer yang paling penting dalam

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditahun Menurut data tersebut, diperkirakan 1 dari 5 anak diamerika mengalami

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG SUAMINYA MENGALAMI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dengan kata lain masa dewasa adalah masa di mana seseorang semestinya sudah

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. suami-istri yang menjalani hubungan jarak jauh. Pengertian hubungan jarak jauh atau

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

2016 HUBUNGAN ANTARA FAMILY RESILIENCE DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA PNS WANITA DI KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan dan mengelola bumi dengan baik. Bekal terakhir inilah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam perkawinan yang memiliki makna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...

PENYESUAIAN PERKAWINAN PADA JANDA YANG MENIKAH LAGI DI KALANGAN ETNIS ARAB

BAB I PENDAHULUAN. merupakan perjanjian yang sakral (mitsaqan ghalidha) antara suami dan istri.

RESILIENSI DI RUMAH TANGGA PADA IBU SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Memiliki keluarga yang utuh dan harmonis merupakan dambaan setiap

BAB I PENDAHULUAN. Obor Indonesia, 1999, p Jane Cary Peck, Wanita dan Keluarga Kepenuhan Jati Diri dalam Perkawinan dan Keluarga, Yogyakarta:

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai orang tua yang memiliki anak, tugas utamanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan alternatif kesempatan kerja bagi daerah-daerah yang kekurangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Jepang merupakan suatu negara modern yang masih terikat kuat oleh nilainilai

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah remaja, dan 85% diantaranya hidup di negara berkembang. Negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing tahap perkembangannya adalah pada masa kanak-kanak, masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Seiring dengan berkembangnya zaman manusia untuk mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. dilahirkan mempunyai hak yang sama tanpa terkecuali. Kehidupan manusia

B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana karakteristik komunikasi interpersonal orang tua tunggal dalam mendidik

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. (tetapi tidak dengan anak laki-laki) yang masih muda. Usia muda menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. satunya ditentukan oleh komunikasi interpersonal suami istri tersebut. Melalui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rini Yuniati, 2013

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab 1. Pendahuluan. Ketika anak tumbuh didalam keluarga yang harmonis, ada satu perasaan yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Harapan Hidup (UHH)/Angka Harapan Hidup (AHH). Namun, dalam bidang kesehatan karena meningkatnya jumlah penduduk lanjut

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ).

BAB II LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah dan memiliki anak adalah salah satu fase yang dialami dalam kehidupan dewasa awal. Alasan utama untuk melakukan pernikahan adalah adanya cinta dan komitmen yang dibagi bersama pasangan,dengan hal ini terbentuklah suatu kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno, 2009). Keluarga merupakan kelompok sosial yang terkecil yang pada umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak, dimana hubungan sosialnya relatif tetap yang didasarkan atas ikatan darah, perkawinan atau orang-orang yang mempunyai hubungan yang baik atau karena adopsi, dimana memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi reproduksi dan memberikan perlindungan kepada anggota keluarga dalam masyarakat. Hubungan dalam keluarga memiliki sistem jaringan yang lebih bersifat interpersonal sehingga masing masing anggota dimungkinkan memiliki intensitas hubungan satu sama lain dan fungsinya akan sulit dirubah dan digantikan orang lain (Bruce, 2003). Menurut Gerald (Ihromi, 1999) pembagian tugas antara istri dan suami memiliki tugas masing-masing dalam keluarga. Akan tetapi seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, peranan ibu tidak lagi hanya pada urusan rumah tangga saja namun ibu harus bekerja di luar rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Ibu dalam menjalankan perannya yang tadinya hanya menjalankan perannya 1

2 sebagai ibu, namun kini ia menjalankan peran sebagai ibu dan peran sebagai kepala keluarga yang dahulunya dijalankan oleh ayah. Gambaran mengenai peran yang harus dilakukan ibu yang menjalani peran sebagai kepala keluarga, dimana peran ayah (suami) berfungsi sebagai kepala keluarga, bertugas mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga, juga sebagai wakil keluarga bila berhubungan dengan masyarakat, melindungi keluarga, bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga, dengan membimbing seluruh anggota keluarga berkembang sesuai dengan keinginannya dan mengawasi pendidikan anak-anaknya. Seorang istri mempunyai fungsi dan peranan mengatur dan mengelola rumah tangga dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak dan membina anak dalam pendidikan, mengurusi kehidupan rumah tangga, kesehatan anak dan suami dan banyak pula yang bekerja untuk membantu mencari nafkah bagi keluarganya. Menurut Bruce (2003) seiring dengan perjalanan waktu orang tua yang dulunya lengkap dapat menjadi tidak lengkap yang disebabkan karena adanya perpisahan, yakni kematian, perceraian, sakit, perang atau bencana alam, sehingga orang tua harus menjalankan peran sebagai orang tua tunggal, dimana hanya terdapat satu orang tua saja dalam menjalankan peran sebagai kepala keluarga dan orang tua tunggal, untuk itu ia harus dapat menjalankan peran dan tanggung jawab secara total baik sebagai ibu sekaligus sebagai ayah. Fenomena ibu yang menjadi orang tua tunggal akan menggantikan peran ayah dan peran ibu sendiri dan menjadi seorang kepala keluarga. Penyebab dari perceraian bermacam-macam yaitu perbedaan prinsip dan ketidak cocokan, kejenuhan karena kehidupan pernikahan dianggap sebagai suatu rutinitas,

3 munculnya pihak ketiga yang berujung pada perselingkuhan, salah satu pasangan tidak mampu memiliki anak/mandul, kekerasan verbal maupun fisik, dan faktor ekonomi. Dampak perceraian pun tidak hanya dialami oleh pasangan suami istri namun dampak terbesar dialami terutama pada anak-anak. Kematian merupakan salah satu realitas kehidupan manusia yang sering tidak terelakkan. Kehidupan sepeninggal pasangan merupakan peristiwa yang dapat mengganggu kehidupan emosional, mengubah hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan setelah ditinggalkan pasangan (Lopata dalam Belsky, 2003). Kehilangan pasangan karena kematian merupakan peristiwa yang lebih dapat menimbulkan stres daripada kehilangan pasangan karena perceraian. Menurut Mitchell (Kasschau, 2000) hal ini dikarenakan individu yang mengalami perceraian masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang telah putus dengan pasangannya dan masih dapat mengharapkan bantuan dari pasangannya terutama dalam masalah yang berkaitan dengan keperluan sekolah anak, pertunangan atau pernikahan anak dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kepentingan anak. Kehilangan pasangan dapat menjadi salah satu fenomena hidup yang menyedihkan bagi seorang wanita. Umumnya wanita akan merasa lebih sulit untuk menerima perasaan kehilangan dan menerima kenyataan bahwa pasangan hidupnya telah tiada dari pada pria. Perasaan sedih dan kesepian yang dirasakan saat kenangan bersama pasangan muncul akan menjadi hal yang mampu membuat wanita semakin terpuruk dalam rasa kehilangan.

4 Amerika Serikat menempati urutan teratas dalam tingkat perceraian karena separuh dari pernikahan di Amerika Serikat berakhir dengan perceraian (Baron & Byrne, 2005). Data Kementerian Agama RI menyebutkan, angka perceraian di Indonesia menunjukkan peningkatan. Data terakhir mencatat terjadinya 250 ribu kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2009. Angka ini setara dengan 10% dari jumlah pernikahan di tahun 2009 sebanyak 2,5 juta. Jumlah perceraian tersebut naik 50 ribu kasus dibanding tahun 2008 yang mencapai 200 ribu perceraian (www.kemenag.go.id). Salah satu realita sosial yang ada disekitar kehidupan masyarakat adalah fenomena keadaan keluarga dengan salah satu orang tua saja atau biasa disebut dengan orang tua tunggal. Orang tua dimana hanya ayah atau ibu saja yang mengasuh dan membesarkan anak-anak mereka sendiri tanpa hadirnya pasangan. Tidak mudah bagi orang tua tunggal dalam menjalani kehidupannya setelah kehilangan salah satu anggota keluarga yaitu suami atau istri, karena segala sesuatu yang harus ditanggung sendiri (Bruce, 2003). Fenomena single parent beberapa dekade terakhir menjadi marak terjadi di berbagai negara di seluruh dunia. Pada tahun 2003, di Australia terdapat 14% keluarga dari keseluruhan jumlah keluarga masuk dalam kategori single parent, sedangkan di Inggris pada tahun 2005 terdapat 1,9 juta single parent dan 91% dari angka tersebut adalah wanita sebagai single parent. Berdasarkan data tersebut dapat memberikan gambaran tingginya keluarga yang berstatus sebagai single parent (Deacon & Firebough dalam Alvita, 2008).

5 Akta Perceraian merupakan dokumen kependudukan yang wajib dimiliki oleh penduduk yang berstatus cerai. Gambar 1 menggambarkan jumlah dan persentase penduduk berstatus cerai yang memiliki akta perceraian di Kota Surakarta. Jumlah Penduduk Dengan Status Cerai 6554 1175 700 986 1719 Laweyan Serengan Pasar kliwon 1974 Jebres Banjarsari Kota Surakarta Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta Tahun 2012 Gambar 1. Jumlah penduduk dengan status cerai di Kota Surakarta Tahun 2012 Prosentase Kepemilikan Akta Perceraian 41% 36% Laweyan 32% 42% Serengan Pasar kliwon 15% Jebres 70% Banjarsari Kota Surakarta Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta Tahun 2012 Gambar 2. Jumlah dan Persentase Kepemilikan Akta Perceraian di Kota Surakarta Tahun 2012

6 Gambar diatas menggambarkan jumlah dan persentase penduduk berstatus cerai hidup dan kepemilikan akta cerai di kota Surakarta. Terlihat bahwa persentase penduduk berstatus cerai yang memiliki akta perceraian sebesar 41,21% dan yang tidak memiliki akta perceraian sebesar 58,79%. Jika dilihat menurut wilayah, maka persentase penduduk berstatus cerai dan memiliki akta perceraian tertinggi berada pada Kecamatan Jebres yaitu 70,10% sedangkan yang terendah di kecamatan Pasarkliwon yaitu 14,815%. Besarnya penduduk cerai hidup yang tidak memiliki akta perceraian diduga penduduk berstatus cerai hidup tidak mencatatkan perceraiannya. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah kota dalam merencanakan suatu program kegiatan seperti penyuluhan akan pentingnya akta perceraian. Bila dilihat menurut jenis kelamin diketahui bahwa penduduk cerai hidup yang memiliki akta perceraian didominasi oleh jenis kelamin perempuan. Dari 4.190 penduduk perempuan yang berstatus cerai hidup terdapat 1.785 jiwa yang memiliki akta perceraian (42,60 %) sedangkan untuk laki-laki dari 2.364 penduduk laki-laki yang berstatus cerai hidup terdapat hanya 916 jiwa yang memiliki akta perceraian (38,75 %).

7 100,00% 80,00% 60,00% 40,00% Laki-laki 20,00% Perempuan 0,00% Belum kawin Kawin Cerai Cerai mati Perempuan Laki-laki Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta,Tahun 2012 Gambar 3.Prosentase Kepala Keluarga Menurut Status Kawin dan Jenis Kelamin, Kota Surakarta, Tahun 2012 Menyajikan jumlah dan proporsi kepala keluarga menurut status kawin dan jenis kelamin. Pada umumnya kepala keluarga berstatus kawin (78,48%), dan pada umumnya laki-laki (93,23%). Kepala keluarga yang berstatus belum kawin hanya 4,15%, meskipun demikian perlu dikaji kembali apakah mereka yang berstatus lajang inimemiliki anggota keluarga atau dia hidup sendirian. Kepala keluarga yang berstatus cerai baik cerai hidup maupun di tinggal mati, persentase perempuan jauh lebih besar dibandingkan laki-laki yaitu masing-masing 11,99% dan 62,94%. Kebiasaan kawin ulang yang cepat dilakukan oleh laki-laki, menyebabkan perbedaan persentase tersebut. Selain itu, perempuan yang berstatus cerai baik hidup maupun mati, mempunyai pertimbangan untuk melakukan kawin ulang terutama apabila mereka telah memiliki anak-anak yang biasanya menjadi tanggungjawab perempuan. Meskipun pada saat ini kecenderungan tersebut sudah mulai menurun tetapi kondisi ini masih terjadi. Faktor

8 yang lain adalah mereka yang di tinggal mati, terjadi pada kelompok umur yang lebih tua, yang menyebabkan perempuan enggan untuk menikah kembali. Dalam administrasi kependudukan, perempuan berstatus kawin yang menjadi kepala keluarga juga diberikan kepada mereka yang berstatus istri kedua, ketiga maupun keempat. Oleh sebab itu proporsi perempuan kepala keluarga yang cukup besar (11,56%), diduga termasuk mereka yang menjadi kepala keluarga ini adalah menjadi isteri kedua, ketiga, dan seterusnya. Disamping itu, terlihat pula adanya kepala keluarga yang berstatus belum kawin (lajang) sebanyak 4,15%. Proporsi kepala keluarga perempuan yang belum kawin lebih tinggi daripada kepala keluarga laki-laki. Biasanya kepala keluarga yang berstatus belum kawin merupakan anggota keluarga yang menggantikan orang tua yang meninggal, atau kepala keluarga tersebut hidup sendirian. Karakteristik kepala keluarga akan lebih menarik jika dikaitkan juga dengan kelompok umur. Dari tabel. 2 terlihat bahwa mayoritas keluarga di Kota Surakarta dikepalai oleh kepala keluarga yang berumur antara 30-59 tahun. Ini menunjukkan bahwa Kota Surakarta merupakan keluarga yang berada pada kelompok produktif dan yang menarik adalah adanya kepala keluarga pada kelompok umur di bawah 15 tahun yaitu 0,003%, walaupun persentasenya kecil namun perlu menjadi perhatian pemerintah kota dikaitkan dengan wajib belajar bagi anak usia sekolah.

9 Tabel 1 Jumlah dan Proporsi Kepala Keluarga Menurut Kelompok Umur dan Status Kawin, Kota Surakarta, Tahun 2012 Klp Umur Belum kawin Kawin Cerai Ditinggal mati Jumlah N % N % N % N % N % (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)(10) (11) (12) < 15 4 0,07 0 0,00 0 0,00 0 0,00 4 0,003 15-19 24 0,39 24 0,02 1 0,02 3 0,01 52 0,04 20-24 218 3,58 1.553 1,35 34 0,66 12 0,06 1.817 1,24 25-29 493 8,10 8.143 7,07 267 5,19 53 0,26 8.956 6,10 30-34 603 9,90 16.052 13,93 638 12,41 149 0,73 17.442 11,88 35-39 706 11,59 16.898 14,66 760 14,78 374 1,84 18.738 12,76 40-44 793 13,02 17.497 15,18 805 15,66 743 3,65 19.838 13,51 45-49 871 14,30 16.740 14,52 864 16,80 1.500 7,36 19.975 13,60 50-54 884 14,52 15.247 13,23 754 14,66 2.505 12,29 19.390 13,20 55-59 741 12,17 11.826 10,26 508 9,88 3.297 16,18 16.372 11,15 60-64 277 4,55 5.289 4,59 207 4,03 2.833 13,90 8.606 5,86 65-69 226 3,71 3.361 2,92 137 2,66 2.693 13,22 6.417 4,37 70-74 133 2,18 1.718 1,49 87 1,69 2.510 12,32 4.448 3,03 >75 117 1,92 902 0,78 80 1,56 3.706 18,19 4.805 3,27 Jumlah 6.090 100,00 115.250 100,00 5.142 100,00 20.378 100,00 146.860 100,00 Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta,Tahun 2012 Setiap orang tua memiliki peran yang besar dalam perkembangan anak mulai sebelum lahir hingga menuju kedewasaan. Peran sebagai ayah dan ibu tidak akan dapat terlaksana dengan baik apabila terjadi perpisahan dalam keluarga baik perceraian, kematian akibat sakit, bencana alam,dan perang. Bagi keluarga sosok ayah merupakan kepala keluarga yang dihormati anak serta isteri sehingga menjadi panutan keluarga. Istri yang ditinggalkan oleh suami, harus berperan sebagai ibu dan sekaligus sebagai ayah bagi anak-anaknya (Bruce, 2003). Hal ini berarti tanggung jawab ibu akan bertambah, ia harus mencari nafkah sendiri, mengambil keputusan-keputusan penting sendiri dan sekian banyak tugas-tugas yang harus dilaksanakan sebagai orang tua tunggal. Perubahan besar yang harus

10 dijalankan, peran ibu sekaligus sebagai ayah yang senantiasa berjuang menjadi tulang punggung keluarga dan panutan anak anaknya. Walau ayah tidak ada namun tetap ibu sebagai orang tua tunggal tetap menjalankan peranan dengan baik dengan didukung anak-anak untuk dapat bersama-sama mencapai hidup harmonis dan selaras dengan perubahan peran dan status (Bruce, 2003). Menurut Cox (2002), bagi perempuan yang menjalankan peran sebagai orang tua tunggal akan menghadapi begitu banyak permasalahan. Selain permasalahan ekonomi, orang tua tunggal biasanya menghadapi isolasi sosial. Pekerjaan, pemeliharaan rumah, dan tugas pengasuhan anak biasanya menjadikan orang tua tunggal memiliki waktu yang sangat sedikit untuk berinteraksi dengan lingkungannya, atau aktivitas-aktivitas lain yang dapat membangun dirinya. Ketiadaan orang dewasa lain didalam rumah yang dapat diajak berinteraksi dapat menimbulkan perasaan kesepian dan ketidak berdayaan. Isolasi emosional dari keterpisahan, bercerai, atau orang tua yang tidak menikah dapat meningkat karena adanya stigma sosial terhadap status tersebut. Siebert (2005) menjelaskan bahwa individu yang resilien dapat mengatasi perasaan dengan baik saat ditimpa masalah bahkan sulit untuk diterima. Saat sakit dan stess individu tersebut dapat kembali dan menemukan cara untuk keluar dengan baik dari masalah yang dihadapi serta bangkit kembali setelah terjatuh dan tidak putus asa sehingga dapat menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Ketika tekanan hidupnya terjadi secara intens dan cepat, maka orang tua tunggal perlu mengembangkan kemampuan dirinya secara maksimal untuk melewatinya secara

11 efektif. Untuk menjaga kesinambungan hidup secara optimal, maka kebutuhan akan kemampuan untuk menjadi resiliensi sungguh menjadi semakin penting. Orang tua tunggal yang memiliki tingkat kemampuan resiliensi yang tinggi akan mampu segera bangkit dan memulihkan dirinya dan keadaan. Namun orang tua tunggal dengan tingkat kemampuan resiliensi rendah akan cenderung membutuhkan waktu yang agak lama untuk mampu menerima dan bangkit dari cobaan hidup tersebut. Hal ini berkaitan dengan faktor resiko dan faktor protektif yang dimiliki seseorang dalam menghadapi kondisi-kondisi sulit dalam hidupnya (Siebert, 2005). Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalahnya adalah bagaimana resiliensi di dalam sebuah rumah tangga pada ibu sebagai orang tua tunggal. Oleh karena itu penulis memilih judul untuk penelitiannya adalah Resiliensi di Rumah Tangga pada Ibu Sebagai Orang Tua Tunggal. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk memahami lebih dalam dan mendeskripsikan resiliensi di rumah tangga pada ibu sebagai orang tua tunggal. C. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan akan diketahui ketangguhan seorang ibu sebagai orang tua tunggal untuk terus berjuang dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya dalam menggantikan peran seorang kepala keluarga dan dari hasil tersebut dapat diambil manfaat:

12 1. Bagi informan, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menghadapi dan menangani setiap masalah yang muncul didalam rumah tangga, sehingga diharapkan informan mampu menemukan jalan keluar yang cepat dan tepat. 2. Bagi anak, dapat dijadikan pertimbangan untuk bisa memahami dan membantu ibu sebagai orang tua tunggal, sehingga keberadaan anak mampu mendukung produktivitas dan keberlangsungan ibu sebagai orang tua tunggal didalam rumah tangga. 3. Bagi peneliti lain dengan memilih variabel lain yang mempengaruhi resiliensi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritik bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan untuk memperkaya khasanah ilmu psikologi khususnya psikologi sosial karena hasil penelitian ini memberi penjelasan tentang resiliensi di rumah tangga pada ibu sebagai orang tua tunggal.