BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekitar 80-90% wanita mengalami gangguan fisik dan psikis menjelang menstruasi atau disebut juga dengan PMS (premenstrual syndrome). Gangguan tersebut kemungkinan dirasakan oleh wanita yang berusia 12 tahun sampai 50 tahun atau pada permulaan usia pubertas dan berakhir saat menopause (Proverawati, 2009). PMS adalah sekumpulan tanda gejala yang bervariasi yang terjadi selama satu minggu sampai dua minggu sebelum permulaan periode menstruasi. Gejala PMS yang sering dikeluhkan dapat berupa gejala fisik, yaitu timbulnya jerawat, kelembutan payudara, keletihan, perut kembung, kesakitan, dan nyeri, sedangkan gejala psikis saat PMS, yaitu insomnia, mudah marah, dan gelisah. Menurut beberapa perempuan, gejala-gejala tersebut sedikit dirasakan. Namun, bagi beberapa wanita yang lain, gejalagejala tersebut terasa sangat berat dan efeknya dapat memengaruhi fisik dan mental selama periode PMS (Rice, 2013). Gejala psikologis lainnya adalah mudah stress atau depresi (Suparyanto, 2010). Menurut Andika (2013), gejala-gejala PMS dapat diperberat dengan adanya faktor stress. Dalam artikel The Nature of Stress, Hans mengemukakan bahwa respons stress meningkatkan kemampuan seseorang untuk melakukan yang terbaik dalam menghadapi tekanan oleh berbagai macam bentuk stressor. 1
2 Menurut George, kepala bagian pediatrik dan cabang reproduksi Endocrinologi National Institute of Child Health and Human Development (NICHD), mengemukakan bahwa cara merespons stress setiap orang berbedabeda. Setiap individu akan memiliki inisiatif yang sama, namun memiliki perbedaan dalam menanggapinya (Bickerstaff, 2007). Individu perlu melalui proses dalam menyelesaikan situasi yang stressfull atau disebut dengan coping (Khoiroh, 2013). Coping adalah mekanisme seseorang untuk menghadapi suatu masalah, pada umumnya dilakukan dalam dua cara yaitu emotional focused coping yang lebih menghadapi masalah berdasarkan hal-hal yang dirasakan sebagai akibat dari masalah dan problem focused coping yang lebih cenderung melakukan pendekatan terhadap penyebab atau akar masalah (Djohan, 2006). Mekanisme coping terbentuk melalui kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor internal dan eksternal (Kurniawati, 2007). Apabila individu merasa mampu menghadapi dan mengatasi suatu masalah, maka ia cenderung menggunakan problem focused coping. Bila individu merasa tidak mampu mengatasi masalah, maka cenderung menggunakan emotion focused coping. Individu juga akan cenderung menggunakan emotion focused coping bila menilai masalahnya tersebut di luar kendalinya (Lazarus, 1984). Wanita lebih cenderung menggunakan emotion focused coping karena mereka lebih menggunakan perasaan atau emosional sehingga jarang menggunakan logika atau rasio dalam menghadapi sumber stress (Mustafa, 2012).
3 Penelitian oleh Anam dan Himawan (2004), yang berjudul Peran Emotion Focused Coping terhadap Kecenderungan Post-Traumatic Stress Disorder Para Karyawan yang Menyaksikan Peledakan Bom di Depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta Tahun 2004 menunjukkan adanya hubungan yang sangat signifikan antara emotion focused coping dengan kecenderungan post-traumatic stress disorder. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 27 November 2015 pada siswi SMP Negeri 16 Surakarta, dari 10 siswa terdapat 9 siswa yang mengeluhkan gejala PMS dan hanya 1 yang tidak mengalami gejala PMS. Perubahan-perubahan yang dialami tidak hanya pada fisik, namun juga pada emosi dan mood mereka. Gejala umum yang mereka keluhkan adalah nyeri perut, tubuh pegal-pegal, letih, pusing, perasaan lebih sensitif seperti mudah emosi, mudah menangis, dan nafsu makan berkurang. Rerata dari siswi tersebut dapat mengenali tanda gejala PMS adalah sebagai pertanda bahwa akan mengalami menstruasi, namun tidak banyak dari siswi ini yang dapat menyesuaikan diri dengan mudah sehingga pengendalian diri para siswi saat menstruasi juga kurang. Penelitian sejenis oleh Mustafa (2012), yang berjudul Emotion Focused Coping dan Penyesuaian Diri terhadap Sindrom Premenstruasi pada Wanita Bekerja di Mulia Toserba Bantul juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara emotion focused coping dan penyesuaian diri positif pada wanita bekerja. Artinya wanita bekerja yang mengalami PMS melakukan emotion focused coping karena kondisi tersebut di luar kontrolnya
4 sehingga akan memberikan sumbangan efektif terhadap penyesuaian diri positif. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada tempat penelitian, subjek penelitian, jumlah sampel, alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini terdapat tiga macam alat ukur yang mengukur skala penyesuaian diri positif, penyesuaian diri negatif, dan skala emotion focused coping. Teknik analisis statistik penelitian ini menggunakan product moment pearson. Berdasarkan beberapa uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Premenstrual Syndrome dan Emotion Focused Coping pada Siswi SMP. B. Perumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara premenstrual syndrome dan emotion focused coping pada siswi SMP? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan premenstrual syndrome dan emotion focused coping pada siswi SMP. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi premenstrual syndrome pada siswi SMP. b. Mengidentifikasi emotion focused coping pada siswi SMP.
5 c. Menganalisis hubungan premenstrual syndrome dan emotion focused coping pada siswi SMP. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Responden Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada siswi SMP khususnya dan kepada masyarakat umumnya untuk meningkatkan kemampuan emotion focused coping secara tepat sehingga mampu melaksanakan tugasnya masing-masing dengan baik. 2. Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang hubungan premenstrual syndrome dan emotion focused coping pada siswi SMP.