TINJAUAN PUSTAKA. jalur hijau yang terpadu pada teluk-teluk, delta, muara sungai sampai menjorok. kea rah pedalaman dan garis pantai (Dephut, 1997).

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

TINJAUAN PUSTAKA. wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

TINJAUAN PUSTAKA. didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

BAB I PENDAHULAUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosschen (hutan

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 04 TAHUN 2002 TENTANG LARANGAN DAN PENGAWASAN HUTAN MANGROVE DI KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

TINJAUAN PUSTAKA. di sepanjang garis pantai perairan tropis dan mempunyai ciri-ciri tersendiri yang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove sering kali disebut dengan hutan bakau. Akan tetapi sebenarnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

I. PENDAHULUAN. Hampir 75 % tumbuhan mangrove hidup diantara 35ºLU-35ºLS (McGill, 1958

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ari Luqman, 2013

Oleh. Firmansyah Gusasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

TINJAUAN PUSTAKA. komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap kadar garam. Ekosistem mangrove

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Mangrove Ekosistem mangrove adalah sumberdaya alam yang memiliki tempat tumbuh yang spesifik. Ekosistem mangrove tumbuh di zona pantai (berlumpur) yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut dan tidak terpengaruh oleh iklim. Ekosistem mangrove merupakan jalur hijau yang terpadu pada teluk-teluk, delta, muara sungai sampai menjorok kea rah pedalaman dan garis pantai (Dephut, 1997). Menurut Kusmana (2002), pengertian mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Ekosistem mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu system yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut (Kusmana dkk, 2003). Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsure biologis penting yang

fundamental, yaitu daratan air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki cirri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Departemen Kehutanan, 1992). Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana dkk (2003), ekosistem mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan rekasi tanah anaerob. Adapun menurut Aksornkoae (1993), ekosistem mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis. Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan No.60/Kpts/Dj/1978, yang dimaksud dengan ekosistem mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut yaitu tergenang air laut pada waktu pasang surut dan bebas dari genangan pada waktu surut (Onrizal dan kusmana, 2004). Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove Menurut Kusmana dkk (2003) fungsi mangrove dapat dikategorikan ke dalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologis/ekologis dan fungsi ekonomis seperti : a. Fungsi fisik - Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil. - Mempercepat perluasan lahan - Mengendalikan intrusi air laut

- Melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angina kencang. - Mengolah limbah organik b. Fungsi biologis/ekologis - Tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (Spawing ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya. - Tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung. - Sumber plasma nutfah. c. Fungsi ekonomis - Hasil hutan berupa kayu. - Hasil hutan bakau kayu seperti madu, obat-obatan, minuman, dan makanan, tanin dan lain-lain. - Lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lainnya Menurut Saenger (1983) dalam Onrizal dan Kusmana (2004), ekosistem mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai bahan cadangan untuk transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misalnya, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami. Hasil penelitian yang

dilakukan di Teluk Grajangan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahkan dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule (Pratikto dkk, 2002). Kondisi Mangrove di Indonesia Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 2003. kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradari hutan mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri, 2002). Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat sekitar 47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove. Dalam hutan mangrove, paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus). Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang

rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang kurang stabil dan pasang surut (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau vegetasi mangrove yang merupakan komunitas pantai tropis. Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, dan/atau berpasir. Daerah habitat mangrove tergenang air laut secara berkala, setiap hari, atau pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove Akibat dari pemanfaatan pesisir dan lautan akan timbul berbagai permasalahan. Laut sering diperlakukan sebagai penampung sampah kota, limbah industri dan limpasan unsur hara (nutrient). Permasalahan umum yang berkaitan dengan hutan mangrove adalah kecenderungan makin meningkatnya kebutuhan manusia untuk menggunakan daerah hutan mangrove, sehingga mengancam kelestarian vegetasi mangrove tersebut. Pertumbuhan penduduk yang makin meningkat menyebabkan makin terbatasnya lahan untuk budidaya pertanian dan pertambakan (Onrizal dan Kusmana, 2004). Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan menurut Perum Perhutani (1994) dalam Rahmawaty (2006), antara lain: a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah. b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa di tebang.

c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove. d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional. Ruski (1992) dalam Onrizal dan Kusmana (2004) secara nyata mencatat semakin kritisnya kondisi ekosistem mangrove yang masih tersisa di sepanjang pantai utara Jawa. Keadaan ekosistem mangrove ini berada dalam kondisi yang rusak berat dan sangat memprihatinkan. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angina laut, dan perembesan air asin. Sedangkan kearah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh prose salami yang terjadi didarat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun disebabkan karena kegiatan manusia didarat, seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono, 2000). Berdasarkan sejarah perkembangan dan penyebaran penduduk diwilayah pesisir pantai, keinginan untuk membudidayakan ikan dan udang dalam bentuk tambak secara besar-besaran bagi masyarakat pantai tradisional adalah akibat tuntutan perkembangan ekonomi. Mayarakat nelayan yang sebelumnya hidup secara subsisten dan tradisioanal kini sudah banyak yang berubah menjadi petanipetani tambak dan pedagang dengan orientasi keuntungan dan pendapatan setinggi-tingginya. Perkembangan pergaulan dan transformasi kemajuan peradaban manusia dari berbagai benua dan kepulauan yang dialami oleh

masyarakat pantai Indonesia, telah membawa perubahan sikap, kebiasaan dan serta mendorong mereka untuk mengeksploitasi sumberdaya alam pantai dan ekosistem mangrove. Masyarakat tersebut semakin berantusias untuk merombak ekosistem mangrove menjadi tambak ikan dan udang. Pengaruh aktivitas sukusuku pionir tersebut terhadap masyarakat asli untuk mengkonversi kawasan pantai dan ekosistem mangrove semakin meningkat (Dahuri, 2000). Menurut Saptarini, dkk (1996), salah satu faktor sosial ekonomi yang berperan menyebabkan kerusakan mangrove secara langsung maupun tidak adalah faktor penduduk, karena : - Penduduk pantai termasuk golongan yang berpendidikan dan berpendapatan rendah. - Sebagian besar penduduk tidak memiliki lahan sebagai modal usaha. - Pola pemanfaatan sumberdaya yang tidak merata terutama pada daerah yang padat nelayan maka akan semakin kritis sumberdaya hayati perikanannya. - Belum sepenuhnya dapat menerima pembaharuan teknologi perikanan. Keberadaan kehidupan nelayan selama ini dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang terus membelitnya, seperti lemahnya manajemen usaha, rendahnya adopsi teknologi perikanan, kesulitan modal usaha, rendahnya pengetahuan pengelolaan sumberdaya perikanan, rendahnya peranan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan lain sebagainya. Sehingga mengakibatkan kehidupan nelayan dalam realitasnya menunjukkan kemiskinan (Pical, 2003).

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung. Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari. Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis (Perhutani, 1993). Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara petani penggarap dan fihak kehutanan. Sebagai contoh, di daerah Blanakan dan Cikeong Kabupaten Subang telah diadakan kerjasama mina hutan antara pihak perhutani dan masyarakan di sekitar kawasan hutan serta hasilnya cukup baik bagi petani ikan maupun kelestarian hutan mangrove itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan.

Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi.adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak.berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara teknis fungsional menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan menggunakan pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai. Beberapa pedoman tentang pengelolaan hutan mangrove diantaranya: Hindari proses-proses sedimentasi berlebihan, erosi, pengendapan yang dapat merubah sifat kimiawi seperti kesuburan; Pertahankan pola-pola alamiah seperti aktivitas siklus pasut dari perubahan akibat pola pengembangan, termasuk polapola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah; peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan sedimentasi dengan cara mengevaluasinyasecara berkala; Tetapkanlah batas maksimum total hasil panen yang dapat diproduksi sehingga keberlanjutan sumber dayanya dan ekosistemnya dapat dipertahankan; Untuk daerah-daerah

yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan beracun lainnya upaya memiliki rencana penanggulangannya; Hindari semua bentuk kegiatan yang mengakibatkan pengurangan area bakau seperti misalnya penghentian sirkulasi air permukaan (Dahuri et al, 1996). Kelembagaan Menurut Ruttan dan Hayami (1984) dalam Djogo, dkk. (2003), lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Berbicara tentang kelembagaan, atau institusi, umumnya pandangan orang lebih diarahkan kepada organisasi, wadah atau pranata. Organisasi hanyalah wadahnya saja, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan main, etika, kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu sistem. Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo, dkk., 2003). Meskipun secara historis pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan telah cukup memadai. Namun peningkatan terus menerus kualitas teknis dan produktivitas lahan hutan masih cukup relevan untuk

dilakukan saat ini, terutama untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan sumberdaya hutan. Selain itu, masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang banyak disyaratkan oleh pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan skenario redistribusi sumberdaya alam yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini. Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan akses pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat terlaksana (Awang, dkk., 2000). Pada tataran pragmatis, keberadaan kelompok/institusi masyarakat di sekitar kawasan hutan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berbagai institusi lokal baik formal/dengan legitimasi pemerintah), informal (yang hanya memperoleh legitimasi sosial maupun lembaga Adat telah tumbuh dan berkembang cukup lama di masyarakat). Meskipun dari segi konsep dan bentuk lembaga-lembaga tersebut masih sangat beragam, namun dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya mengenai pelestarian peran, manfaat dan fungsi hutan, masyarakat sudah memiliki pola kelembagaan yang berperan mengatur kegiatan, membangun, memanfaatkan dan menjaga sumberdaya hutan. Dalam kehidupan sehari-hari, kelompok/institusi ini memiliki corak yang beragam, baik dalam jenis, bentuk maupun kegiatannya, sesuai dengan yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat (Awang, dkk., 2000).

Hal umum yang dijumpai menyangkut kelembagaan adat di beberapa kelompok masyarakat lokal adalah bahwa peraturan-peraturan adat yang terkait dengan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan seringkali bersifat lisan atau tidak tertulis. Walaupun demikian, adanya karisma seorang Kepala Adat dan penyelesaian permasalahan yang dilakukan secara musyawarah dengan bantuan dewan adat (yang umumnya terdiri dari orang-orang tua berpengalaman atau berpengaruh dalam kelompok masyarakat itu sendiri) telah mampu membuat aturan adat tetap dihormati dan bahkan tetap diberlakukan hingga sekarang ini di beberapa daerah. Oleh karenanya, penyeragaman administrasi pemerintahan desa di seluruh nusantara selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru ataupun dengan semakin banyaknya generasi muda di desa yang berpendidikan lebih tinggi (meskipun dalam sisi tertentu di beberapa tempat telah mampu menyurutkan peran dan fungsi lembaga adat) sejatinya tidak sepenuhnya hilang. Hal tersebut dikarenakan kelembagaan adat masih merupakan kebutuhan dalam mengimbangi dinamika kehidupan masyarakat lokal. Apalagi dalam era desentralisasi dan otonomi daerah, lembaga adat tampaknya tidak lagi hanya menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat lokal, melainkan dapat merupakan sarana ampuh dalam memperjuangkan kembalinya hak penguasaan sumberdaya alam termasuk hutan (Sardjono, 2004). Komponen dan Fungsi Kelembagaan Menurut Babbie (1994) dalam Sardjono (2004), dari sisi sosiologi ada empat komponen utama kelembagaan, yaitu: norma (norms), sanksi (sanctions), nilai (values), dan kepercayaan (beliefs). Norma menekankan pada tingkah laku yang dituntut dari masyarakat secara keseluruhan (tidak terikat dengan status

sosial yang disandang). Sedangkan sanksi, adalah instrument yang terikat pada norma dalam bentuk penghargaan (reward) dan hukuman (punishments). Sanksi diharapkan dapat menjamin terlaksananya norma dimaksud. Nilai, lebih ditekankan pada hal-hal yang lebih disukai (atau yang tidak disukai) dalam rangka menetapkan norma yang dipilih. Nilai akan dijustifikasikan melalui basis kepercayaan yang berkembang di kelompok. Sedangkan pola kelembagaan secara total akan membentuk budaya. Kelembagaan sebenarnya memiliki fungsi penting dalam mengatur hubungan antara manusia dengan sumberdaya alam (termasuk hutan) agar tetap bisa berfungsi lestari, serta menjamin hubungan antar manusia dalam masyarakat (bisa warga satu desa yang sama dan atau antar desa bertetangga) agar tetap harmonis (Sardjono, 2004). Adat suatu masyarakat atau komunitas biasanya diteruskan secara lisan kepada anggota-anggotanya oleh generasi terdahulu. Adat menetapkan apa yang diharuskan, dibenarkan atau diizinkan, dicela atau dilarang dalam situasi-situasi tertentu. Adat dianggap sebagai himpunan norma-norma yang sah yang harus dijadikan pegangan bagi perilaku seseorang. Suatu pola perilaku tertentu adalah sah dan layak apabila sesuai dengan adat. Apa yang menjadi hukum adalah kebiasaan yang sudah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Bilamana terdapat pelanggaran terhadap adat kebiasaan itu, maka sanksi hukum biasanya ditetapkan oleh kepala adat setempat yang bentuk putusannya pun tidak tertulis (Sardjono, 2006).

Penguatan Identitas Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif, kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya hutan. Sistem tata nilai budaya, kelembagaan lokal, dan keterikatan masyarakat desa hutan atas lingkungan sumber daya hutan mengalami kemarginalan. Realita ini memberi perhatian (warning) ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat desa hutan. Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan (revitalitation) dari identitas bersama masyarakat desa hutan. Ada 3 upaya yang dapat segera dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desar hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan (Nugraha dan Murtijo, 2005). Kelembagaan masyarakat desa hutan dalam bentangan sejarah terbukti mampu mengatur keteraturan, ketertiban, keamanan, dan keharmonisan, akan tetapi seiring masuknya budaya modernisasi dan penyeragaman kelembagaan tingkat nasional berdampak pada terpinggirkannya peran kelembagaan lokal masyarakat. Bahkan, dalam dua dekade terakhir kelembagaan lokal masyarakat telah mengalami kematian obor. Masyarakat desa hutan kehilangan arah melangkah untuk menapak jalan kehidupan yang pasti. Kebijakan struktural kelembagaan dari pemerintah pusat mengakibatkan tercerai berainya sistem kelembagaan masyarakat desa hutan yang berakar pada sistem tata nilai budaya lokal. Bercermin pada realita tersebut, maka langkah prioritas yang segera harus dilakukan untuk mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan adalah

penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal. Hal ini didasarkan oleh sisi positif kelembagaan lokal masyarakat, yaitu berakar pada sistem tata nilai budaya masyarakat lokal, struktur kelembagaan yang demokratis, tingkat partisipasi yang tinggi, dan selaras dengan nafas desentralisasi. Atas dasar itu, upaya yang segera dapat dipersiapkan untuk menghidupkan kembali kelembagaan lokal sebagai wujud aktualisasi kembali masyarakat desa hutan, adalah : (1) identifikasi kelembagaan lokal yang pernah ada, (2) merevitalisasi kelembagaan lokal dengan mengadopsi aspek positif kelembagaan sekarang, (3) sosialisasi kelembagaan, dan (4) penerapan akulturasi kelembagaan di masyarakat (Nugraha dan Murtijo, 2005).