BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Temulawak termasuk salah satu jenis tumbuhan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Temulawak sudah lama dimanfaatkan oleh mereka untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai rempah-rempah di obat tradisional. Curcuma berasal dari kata Arab, kurkum yang berarti kuning. Xanthorrhiza berasal dari kata Yunani, xanthos yang berarti kuning dan rhiza berarti umbi akar. Jadi, Curcuma xanthorrhiza Roxb. berarti akar kuning (Hayati, 2003). Dalam pengertian kimia, senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donors). Secara biologis, pengertian antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal atau meredam dampak negatif oksidan dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa dihambat. Penggunaan senyawa antioksidan semakin berkembang, baik untuk makanan maupun untuk pengobatan seiring dengan bertambahnya pengetahuan tentang aktivitas radikal bebas (Winarsi, 2007). Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan (unpaired electron). Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Target 1
utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta unsur DNA termasuk karbohidrat (Winarsi, 2007). Antioksidan dalam tubuh bermanfaat untuk mencegah reaksi oksidasi yang ditimbulkan oleh radikal bebas baik berasal dari metabolisme tubuh maupun faktor eksternal lainnya. Berdasarkan asalnya, antioksidan terdiri atas antioksidan yang berasal dari dalam tubuh (endogen) dan luar tubuh (eksogen). Adakalanya sistem antioksidan endogen tidak cukup mampu mengatasi stres oksidatif yang berlebihan. Stres oksidatif merupakan keadaan saat mekanisme antioksidan tidak cukup untuk memecah spesies oksigen reaktif (ROS). Oleh karena itu, diperlukan antioksidan eksogen untuk mengatasinya (Kukic, et al., 2006). Berdasarkan penelitian Halim, et al. (2012), hasil pengujian skrining fitokimia ekstrak temulawak dalam pelarut air menunjukkan bahwa di dalam ekstrak temulawak terdapat triterpenoid, fenol, flavonoid, dan saponin. Senyawa fenol dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan, antitumor, antivirus dan antibakteri yang signifikan. Temulawak mengandung polifenol berupa campuran senyawa diarilheptanoid, yakni kurkumin, demetoksi kurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Keberadaan gugusan fenolik pada ketiga senyawa tersebut dilaporkan menyebabkan aktivitas antioksidan yang kuat pada sistem biologis, sehingga dapat mencegah penyakit-penyakit yang berhubungan dengan reaksi peroksidasi (Ahsan, et al., 1999). Senyawa fenol merupakan senyawa yang memiliki paling sedikit satu cincin aromatik yang berikatan dengan satu atau lebih gugus OH. Kapasitas antioksidan dari senyawa fenolik 2
disebabkan oleh disumbangkannya atom hidrogen dari gugus hidroksil (OH) aromatik kepada radikal bebas (Duthie dan Crozier, 2000). Penggunakan temulawak sebagai bahan obat salah satunya adalah sebagai jamu, sediaan obat yang bahan dasarnya berupa simplisia, cara pembuatannya masih sangat sederhana yaitu dengan cara diseduh dengan air (Moelyono, 2007). Temulawak juga dapat dijadikan produk minuman fungsional (memiliki manfaat kesehatan). Sebagai minuman temulawak dapat dibuat menjadi minuman instan, misalnya Sari Temulawak 85 (PT. Citra Deli Kreasitama), Curcuma Fit (Griya Herba), Instan Temulawak (UD. Maju Sehat Sejahtera). Berdasarkan kebiasaan masyarakat ini, penulis memutuskan untuk menggunakan pelarut air dalam penelitian ini sehingga diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kapasitas antioksidan dari temulawak dalam pelarut air. Metode pengukuran kapasitas antioksidan yang paling umum digunakan adalah metode 2,2-difenil-1-pikrilhidrasil (DPPH). Namun terdapat kelemahan metode DPPH yaitu hanya dapat mengukur senyawa antioksidan yang terlarut dalam pelarut organik, khususnya alkohol. Selain itu, reagen DPPH tidak stabil, sangat rentan terhadap cahaya, udara, tipe pelarut, dan ph. Oleh karena itu, diperlukan teknik penyiapan khusus agar terlindung dan reagen yang baru saat melakukan analisis. Selain itu, kapasitas antioksidan juga dapat ditentukan dengan metode Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) dan 2,2 -azinobis-(3-ethylbenzothiazoline-6-sulfonic acid (ABTS), namun metode FRAP memiliki keterbatasan dimana tidak semua antioksidan dapat mereduksi Fe (III) dalam kurun waktu pengukuran dari 3
FRAP. Beberapa senyawa antioksidan membutuhkan waktu reaksi yang lebih lama sehingga tidak dapat diukur dengan metode FRAP (Apak, et al., 2007). Metode ABTS dan FRAP juga sangat sensitif terhadap cahaya, bahkan pembentukan ABTS memerlukan waktu inkubasi selama 12-16 jam dalam kondisi gelap (Tawaha, et al., 2007). Metode fosfomolibdenum merupakan metode pengukuran kapasitas total antioksidan yang mulai dikembangkan untuk menentukan kapasitas total antioksidan. Metode ini didasarkan pada terjadinya reduksi molibdat dari valensi (VI) menjadi valensi (V) oleh antioksidan, yang dapat terlihat dengan terjadinya perubahan warna menjadi warna hijau, karena terbentuknya kompleks antara Mo (V) dan fosfat dalam suasana asam. Keuntungan metode ini antara lain dapat menghasilkan warna yang stabil, praktis dan mudah pengerjaannya. Untuk sampel yang komposisinya tidak diketahui, digunakan antioksidan lain sebagai pembanding, misalnya vitamin C. Kapasitas antioksidan ditunjukkan dengan kesetaraan 1 gram temulawak dengan kemampuan antioksidan vitamin C. Berdasarkan uraian di atas, penulis memilih untuk melakukan pengukuran kapasitas antioksidan dari temulawak dengan menggunakan metode fosfomolibdenum. Metode ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Melo, et al. (2012), yang melakukan penentuan kapasitas antioksidan pada xilan yang diisolasi dari tongkol jagung dengan menggunakan metode fosfomolibdenum dan diukur secara spektrofotometri sinar tampak. 4
1.2 Perumusan Masalah a. Apakah kapasitas antioksidan dari serbuk simplisia rimpang temulawak, serbuk simplisia rimpang temulawak dengan maserasi dan sediaan jadi temulawak di pasaran dapat ditentukan dengan pereaksi fosfomolibdat secara spektrofotometri sinar tampak? b. Apakah ada perbedaan kapasitas antioksidan antara serbuk simplisia rimpang temulawak, serbuk simplisia rimpang temulawak dengan maserasi dan sediaan jadi temulawak di pasaran? 1.3 Hipotesis a. Kapasitas antioksidan dari serbuk simplisia rimpang temulawak, serbuk simplisia rimpang temulawak dengan maserasi dan sediaan jadi temulawak di pasaran dapat ditentukan dengan pereaksi fosfomolibdat secara spektrofotometri sinar tampak. b. Ada perbedaan kapasitas antioksidan antara serbuk simplisia rimpang temulawak, serbuk simplisia rimpang temulawak dengan maserasi dan sediaan jadi temulawak di pasaran. 1.4 Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui kapasitas antioksidan dari serbuk simplisia rimpang temulawak, serbuk simplisia rimpang temulawak dengan maserasi dan sediaan jadi temulawak di pasaran dapat ditentukan dengan pereaksi fosfomolibdat secara spektrofotometri sinar tampak. b. Untuk mengetahui perbedaan kapasitas antioksidan antara serbuk simplisia rimpang temulawak, serbuk simplisia rimpang temulawak dengan maserasi 5
dan sediaan jadi temulawak di pasaran. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi tentang kapasitas antioksidan pada temulawak sehingga diharapkan dapat mendorong pengembangan lebih lanjut tentang pemanfaatan temulawak dalam bidang farmasi. 6