BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB VII RENCANA. 7.1 Mekanisme Pembangunan Rusunawa Tahapan Pembangunan Rusunawa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

3.3 KONSEP PENATAAN KAWASAN PRIORITAS

dua benua dan dua samudera. Posisi unik tersebut menjadikan Indonesia sebagai

SISTEM DRAINASE PERMUKAAN

BAB IV PANDUAN KONSEP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

IDENTIFIKASI KERUSAKAN AKIBAT BANJIR BANDANG DI BAGIAN HULU SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LIMAU MANIS ABSTRAK

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (2006) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

AIR Banjir dan Permasalahannya Di kota medan

BAB I PENDAHULUAN. permukaan bumi yang luasnya 510 juta km 2, oleh karena itu persediaan air di

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TANAH DASAR, BADAN JALAN REL DAN DRAINASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

Persepsi Masyarakat terhadap Permukiman Bantaran Sungai

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini, masalah lingkungan telah menjadi isu pokok di kota-kota

PEDOMAN PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN (Permen PU 06/2007)

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan kawasan kawasan permukiman kumuh. Pada kota kota yang

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

BAB I PENDAHULUAN. musim hujan, mengingat hampir semua kota di Indonesia mengalami banjir.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. Persiapan Matang untuk Desain yang Spektakuler

OP-003 PENERAPAN KONSEP PERMUKIMAN HIJAU PADA PERMUKIMAN DI WILAYAH DAS KRUENG MEUREUDU UNTUK MITIGASI BANJIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses pengangkutan dan pengendapan sedimen tidak hanya tergantung pada

4.17 PERENCANAAN DAN PEMETAAN GARIS SEMPADAN KALI SEMEMI

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN Uraian Umum

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

TUJUAN DAN KEBIJAKAN. 7.1 Program Pembangunan Permukiman Infrastruktur Permukiman Perkotaan Skala Kota. No KOMPONEN STRATEGI PROGRAM

meningkat. Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan deras, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Tinjauan Umum

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Hal ini terungkap mengingat bahwa negara indonesia adalah salah

Pranata Pembangunan Pertemuan 1 Pembangunan di Kawasan Hijau. Sahid Mochtar, S.T., MT. Ratna Safitri, S.T., M.Ars.

BAB I PENDAHULUAN. Surakarta yang merupakan kota disalah satu Provinsi Jawa Tengah. Kota

BAB IV KONSEP DAN STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS PERMUKIMAN KUMUH

BAB II DESKRIPSI DAERAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dan pembangunan yang pesat di Kota Surabaya menyebabkan perubahan

RENCANA PENATAAN LANSKAP PEMUKIMAN TRADISIONAL

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Umum 1.2 Latar Belakang

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

MENGELOLA AIR AGAR TAK BANJIR (Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, Kamis Kliwon 3 Nopember 2011)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM 1.2 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

BAB V KONSEP DAN PROGRAM DASAR PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan.

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

BAB 2 EKSISTING LOKASI PROYEK PERANCANGAN. Proyek perancangan yang ke-enam ini berjudul Model Penataan Fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Bantul terletak pada Lintang Selatan dan 110

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

BAB 1 PENDAHULUAN. Partisipasi 1 Masyarakat dalam Pengurangan..., Andhip Whenda Polisa, 2015

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan menjawab sasaran yang ada pada bab pendahuluan. Makam merupakan salah satu elemen penting pembentuk sebuah

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI

BAB I PENDAHULUAN. kualitatif. Suatu saat nanti, air akan menjadi barang yang mahal karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS. 4.1 ANALISIS FUNGSIONAL a) Organisasi Ruang

PERENCANAAN MITIGASI BENCANA LONGSOR DI KOTA AMBON Hertine M. Kesaulya¹, Hanny Poli², & Esli D. Takumansang³

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

V. GAMBARAN UMUM. Penelitian ini dilakukan di dua kelurahan di bantaran Sungai Krukut yaitu,

Kata Pengantar. Yogyakarta, Desember Tim Penyusun. Buku Materi Teknis Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi BWP Sedayui

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

Transkripsi:

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1 Kesimpulan Kesimpulam dari penelitian ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian berdasarkan hasil observasi, pemeparan, identifikas, dan analisis, seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya mengenai permukiman yang berada pada kawasan meander memiliki kerentanan-kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan yang hanya berada pada tepian sungai. Penelitian tersebut mengarahkan bagaimana pola atau penataan suatu permukiman yang memiliki nilai kerentanan yang tinggi. 1. Karakteristik kawasan meander sangat mempengaruhi kondisi permukiman yang ada. Kawasan meander merupakan kawasan yang sangat rentan terhadap banjir, terlebih pada lokasi penelitian kali ini terdapat pertemuan dua sungai, antara sungai Progo dan sungai Pabelan. Meander secara langsung mempengaruhi arah pertumbuhan permukiman serta integrasi dari aksesibilitas dan aktivitas pada kawasan. Pola permukiman, infrastruktur jalan, fasilitas umum atau pendukung, sangat berpengaruh besar pada area yang rentan akan bencana. Dari analisis dan pembahasan sebelumnya, telah dinyatakan dan digambarkan bahwa zona-zona yang ada pada Desa Progowati memiliki nilai kerentanan yang bervariatif. Hal ini disebabkan kerena pola permukiman, sirkulasi jalan serta kondisi lingkungan yang membedakan dan yang mendukung nilai tingkat kerentanan pada kawasan penelitian. Berbedan-perbedaan ini lah yang membentuk karakteristik kerentanan bencana pada tiap zona berbeda-beda, begitu pula dengan resiko dan arahan yang akan diberikan pada tiap zona pun juga berbeda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa elemen atau kondisi permukiman, pola permukiman, sirkulasi jalan, drainase jalan dan fasilitas umum memiliki peranan penting yang bersifat dinamis atau aktif. Sedangkan penyelesaian yang berhubungan dengan alam seperti pembuatan talud dan tanggul merupakan bentuk desain pasif. 2. Karakteristik pola permukiman pada kawasan meander dapat di amati dari kejadian yang terjadi tiap tahunnya. Dapat dijelaskan dengan melihat hubungan antara sungai, pola 147

permukiman, topografi serta sirkulasi jalan yang ada. Secara keseluruhan dari apa yang terjadi beberapa tahun terakhir, dapat disimpulkan bahwa, kerentanan terbentuk karena : a. Pola aliran dan kelokan sungai meander b. Permukiman yang berada pada garis sempadan sungai c. Kelandaian topografi yang mempermudah masuknya air dari luapan sungai d. Sistem drainase yang buruk sehingga meningkatkan genangan akibat terjebaknya air hujan dan luapan yang masuk ke area permukiman e. Infrastrktur jalan yang tidak tertata dan ter arah. Berdasarkan temuan penelitian, kerentanan dan nilai resiko bencana paling tinggi terdapat pada zona 1, dimana zona 1 terdapat atau memiliki titik pertemuan antara sunga Progo dan sungai Pabelan. Dengan demikian dapat dikatakan kerentanan dan resiko bencana disebabkan oleh faktor alam, atau kondisi air sungai yang meluap disaat musim penghujan. Semakin meningkatnya jumlah permukiman pada zona 1 maka akan semakin rentan dan semakin tinggi pula nilai resiko bencana banjir yang terjadi pada zona 1. Di dukung pula dengan drainase yang kurang baik yang pada akhirnya menangkap air, baik dari luapan sungai ataupun air hujan, dan membuat genangan yang merugikan masyarakat pada zona tersebut. 148

Tabel 6.1 : Banjir Akibat Luapan Air Hujan Sumber : Analisis penulis 149

Gambar 6.1 : Analisis Area Rentan Banjir Sumber : Analisis Penulis 150

Tabel 6.2 : Rangkuman Kesimpulan Analisis Jumlah dan Lantai Bangunan Sumber : Analisis penulis Zona/Blok Element Zona 1 Zona 2 Zona 3 Luas Area 63.871 m² 132.460 m² 73.669 m² Jumlah Rumah 125 rumah 227 rumah 117 rumah Bangunan 2 Lantai 15 rumah 20 rumah 22 rumah Bangunan 1 Lantai 110 rumah 207 rumah 95 rumah Dilalui Banjir 52 rumah 26 rumah - rumah Tabel 6.3 : Rangkuman Kesimpulan Analisis Mata Pencaharian Sumber : Analisis penulis Zona/Blok Mata Pencaharian Zona 1 Zona 2 Zona 3 Petani 221 jiwa 253 jiwa 157 jiwa Buruh Tani 382 jiwa 437 jiwa 272 jiwa Buruh Bangunan 212 jiwa 230 jiwa 143 jiwa PNS/TNI/ABRI 160 jiwa 80 jiwa 50 jiwa Pedagang 26 jiwa 131 jiwa 88 jiwa Pengangguran 5 jiwa 19 jiwa 8 jiwa Tabel 6.4 : Rangkuman Kesimpulan Analisis Jumlah Peduduk Sumber : Analisis penulis Zona/Blok Usia Zona 1 Zona 2 Zona 3 0-14 tahun 383 jiwa 510 jiwa 381 jiwa 15-49 tahun 693 jiwa 792 jiwa 494 jiwa 50 tahun 313 jiwa 358 jiwa 224 jiwa Jumlah 1.006 jiwa 1.150 jiwa 718 jiwa 151

Tabel 6.5 : Rangkuman Kesimpulan Analisis Presentase Resiko Bencana Sumber : Analisis penulis Zona/Blok Element Zona 1 Zona 2 Zona 3 Luas / Kapasitas Area 63.871 m² 132.460 m² 73.669 m² Area Terkena Banjir 20.309 m² 10.147 m² 4.034 m² Area Rentan 8.868 m² 7.049 m² 6.343 m² Jumlah Rumah 125 rumah 227 rumah 117 rumah Dilalui Banjir 52 rumah 26 rumah - rumah Menghiting resiko bencana di suatu wilayah berdasarkan pada penilaian bahaya, kerentanan dan kapasitas di wilayah tersebut. Menghitung resiko bencana menggunakan persamaan sebagai berikut : Risk (R) = H x V C Keterangan: R :ResikoBencana H :Bahaya V :Kerentanan C :Kapasitas Resiko Zona 1 = 20.309 m² x8.868 m² 63.871 m² = 2.819 m² Resiko Zona 2 = 10.147 m² x7.049 m² 132.460 m² = 539 m² Resiko Zona 3 = 4.034 m² x6.343 m² 73.669 m² = 347 m² 152

Karakteristik Kawasan Setelah melakukan penialain resiko bencana, yang harus dilakukan adalah melakukan tindakan untuk mengurangi resiko bencana tersebur. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk mengurangi kerentanan dan menambah kapasitas sebuah daerah. Tabel 6.16 : Rangkuman Kesimpulan Analisis pada ke Tiga Zona Sumber : Analisis penulis Kawasan Penelitian Zona 1 Zona 2 Zona 3 Fungsi Kawasan dan Tata Guna Lahan Permukiman Permukiman Permukiman View/ Citra Kawasan dan Arah Orientasi fasad Orientasi fasad Orientasi fasad Orientasi Massa Bangunan menghadap ke menghadap ke menghadap ke jalan jalan jalan Ruang Terbuka Persawahan & Persawahan Persawahan Perkebunan Bentuk dan Massa Bangunan Kelas Rendah Kelas Sedang Kelas Sedang Aksesibilitas dan Konektivitas Terdapat 1 jalur Terdapat 1 jalur Terdapat 1 jalur utama, untuk utama, untuk utama, untuk angkutan umum, angkutan umum, angkutan umum, pribadi roda 2 & pribadi roda 2 & pribadi roda 2 & 4 4 4 Infrastruktur (-) Lampu Jalan (-) Lampu Jalan (-) Lampu Jalan (-) Signage (-) Signage (-) Signage (-) Kotak (-) Kotak (-) Kotak sampah sampah sampah (-) Street (-) Street (-) Street Furniture Furniture Furniture 153

Tabel 6.7 : Elemen Faktor Kesuksesan Kawasan Permukiman Sumber : Analisis penulis 154

6.2 Rekomendasi Pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan kawasan permukiman produktif harus didasarkan keseimbangan ekologis yang dititik beratkan pada kelestarian tanah dan air yang menyangkut water resource management, nilai-nilai estetika daerah fisik kritis. Kendala yang dihadapi pada kenyataannnya adalah permukiman yang dibangun mendekati garis sempadan sungai. Untuk menjaga kelestarian tanah dan air harus ditentukan secara tegas yaitu: a. Daerah-daerah yang sama sekali tidak boleh didirikan bangunan (jalur hijau) b. Daerah-daerah yang boleh dibangun pada permukiman dengan kepadatan rendah. 6.2.1 Faktor Fisik a. Penataan Permukiman Dalam menentukan arahan desain, perlu diperhatikan berdasarkan faktor-faktor kerentanan, dari faktor-faktor tersebut dapat dicari sebuah kesimpulan dan arahan untuk memperbaiki faktor-faktor kerentanan pada kawasan, atau sebaliknya, fakto-faktor tersebut tidak dapat diperbaiki kembali. Gambar 6.2 : Analisis Tata Permukiman Zona 1 Sumber : Analisis penulis 155

Jika di tarik garis sempadan 15 m maka akan terlihat pada gambar di sebelah kiri, bahwa hunian eksisting yang ada saat ini dapat dinyatakan dalam zona aman (gambar sebelah kanan). Secure menyatakan bahwa hunian tidak ada yang melewati garis sempadan sungai. Dilihat dari faktor tata permukiman dan garis sempadan sungai, seharusnya permukiman dapat berkembang pada area merah, yang artinya aman resiko kebencanaan. Tetapi perlu diingat bakwa faktor-faktor yang lain masih memiliki peran dan kemungkinan untuk menjadikan faktor yang aman tersebut menjadi tidak aman. Gambar 6.3 : Analisis Tata Permukiman Zona 2 Sumber : Analisis penulis Dilihat dari gambar diatas bahwa zona 2 bukan merupakan zona aman, karena seperti tertera diatas pada lingkaran yang menunjukan bahwa permukiman pada area tersebut melewati batas aman jika ditarik garis sempadan sungaii 15 m. Penyelesaian dari masalah tersebut adalah merelokasi hunian ketempat yang lebih baik, ketempat yang masih terletak pada area aman. 156

Gambar 6.4 : Analisis Tata Permukiman Zona 3 Sumber : Analisis penulis Gambar analisis diatas menunjukan zona mana yang berada dalam zona aman atau tidak jika dilihat dari persebaran permukiman dengan garis sempadan sungai, dimana sempadan sungai adalah 15 m. Zona 1 dan zona 3 seluruh permukiman masih dalam area aman, sedangkan zona 2 ada beberapa hunian yang berasa dalam area tidak aman, sehingga bangunan tersebut harus di relokasi ke tempat yang lebih aman dari bencana. Untuk membatasi area permukiman, sempadan sungai dan sungai, memerlukan arahan dan zona yang jelas. Hal ini dikarenakan, terdapat posisi dan batasan yang jelas kemana permukiman dapat berkembang. Permukiman dapat berkembang dan tumbuh sesuai kebutuhan tanpa harus khawatir akan adanya ancaman bahaya. Garis sempadan sungai pun tetap akan dapat dimanfaatkan sebagai ruang resapan dan barier jika ais sungai meluap, selain itu dapat mempermudah aliran air yang terperangkap pada permukiman menuju sungai dan dapat mengalir dengan baik. Berikut gambaran pembagian development area, sempadan sungai dan area sungai. 157

Gambar 6.5 : Konsep Arahan Desain Development Area Sumber : Analisis penulis Perlunya penataan kawasan yang dapat mengembalikan identitasnya sebagai kota tepian sungai yang memiliki karakter sebagai kota yang terikat dengan kondisi topografinya. Penataan permukiman di bantaran sungai dengan mempertahankan pola massa bangunan seperti yang ada tetapi dengan penghentian pembangunan baru ke arah sungai dan penghentian pertumbuhan permukiman baru pada sisi bantaran sungai. Pengembangan sistem kota permukiman tepian sungai yaitu memperbaki tampilan bangunan dengan arah orientasi bangunan ke sungai. Bagi bangunan yang terletak di bantaran sungai mempunyai dua arah orientasi yaitu ke sungai dan ke daratan. Mengarahkan tampilan bangunan dua muka yaitu orientasi darat dan sungai untuk permukiman di tepian sungai Progo dan sungai Pabelan. Hal ini dilakukan untuk lebih meningkatkan potensi sungai agar tidak menjadi area belakang dan mengurangi kesan tidak menarik. Orientasi kawasan tertuju ke sungai. Bangunan berorientasi ke sungai untuk memberi view yang baik dari arah sungai dan fasade bangunan dibuat ke arah sungai dan tampilan sungai tersebut dapat tampak dan terlihat dari daratan. Menghentikan pertumbuhan permukiman baru di tepi sungai dan pemindahan perumahan di bantaran sungai secara bertahap pada daerahdaerah yang memungkinkan. Namun, ternyata partisipasi masyarakat patut diapresiasi. Dalam upaya relokasi dan pembongkaran bangunan, masyarakat yang bertempat tinggal di sepanjang sungai mendukung sepenuhnya upaya tersebut, mereka bahkan rela untuk direlokasi. Ada kejelasan 158

batas antara sungai dan daratan. Aksesebilitas dua arah, dari sungai ke darat dan dari darat ke sungai. Ada hubungan antara jalan darat beserta fasilitas publiknya dengan sungai dengan pola Gambar 6.6 : Bangunan Preservasi Sumber : Analisis Penulis 159

Gambar 6.7 : Placemaking Layout Sumber : Analisis Penulis 160

Gambar 6.8 : Layout Masterplan Sumber : Analisis Penulis 161

Gambar 6.9 : Konsep Build Form Sumber : Analisis Penulis b. Penataan Infrastruktur Jalan Jalan desa adalah jalan yang dapat dikategorikan sebagai jalan dengan fungsi lokal di daerah pedesaan. Arti fungsi lokal daerah pedesaan yaitu : 1. Sebagai penghubung antar desa atau ke lokasi pemasaran 2. Sebagai penghubung hunian/perumahan 3. Penghubung desa ke pusat kegiatan yang lebih tinggi tingkatnya (kecamatan) 4. Sebagai jalur evakuasi jika terjadi bencana Manfaat ditingkatkan/dibangunnya jalan desa untuk masyarakat pedesaan antara lain : 162

1. Memperlancar hubungan dan komunikasi dengan tempat lain, 2. Mempermudah pengiriman sarana produksi ke desa, 3. Mempermudah pengiriman hasil produksi ke pasar, baik yang di desa maupun yang di luar, dan 4. Menigkatkan jasa pelayanan sosial, termasuk kesehatan, pendidikan, dan penyuluhan. Dalam pembangunan infrastruktur jalan, jika dibiarkan air hujan terus menerus tergenang dan melewati permukaan jalan akan mengakibatkan rusak kembalinya atau tidak bertahan lamanya kondisi jalan yang telah dibangun tersebut. Pertimbangan drainase diperlukan pada jalan, karena air mempunyai pengaruh yang buruk untuk jalan, antara lain yaitu : Jalan menjadi jelek jika badan jalan tidak cepat kering sehabis hujan Jalan akan mudah terputus (pavement erosions) bila air dibiarkan melintangi permukaan jalan Jalan menjadi rusak bila air dibiarkan mengalirdi tengah jalan Jalan menjadi bergelombang bila fondasi jalan tidak kering 163

Gambar 6.10 : Sirkulasi dan Linkage Sumber : Analisis Penulis 164

Gambar 6.11 : Patern Linkage Sumber : Analisis Penulis 165

Gambar 6.12 : Analisis Linkage dan Jalur Evakuasi Sumber : Analisis penulis Adanya kuldesak menjadikan akses jalan pada zona tersebut menjadi rentan, karena jika terjadi bencana, warga akan kesulitan mencari jalur evakuasi sehingga terdapat korban disaat bencana tiba. Linkage yang baik harus di rencanakan dan membentuk sebuah jalur evakuasi yang baik pula. Jalan-jalan kuldesak dapat di desain menjadi bulb culdesac atau linier trought street hal ini untuk mempermudah bagi warga untuk evakuasi dengan jalur evakuasi yang lebih baik. Gambar 6.13 : Arahan Desain Jalan Kuldesak Sumber : Analisis penulis 166

c. Sistem Drainase Pedesaan Beberapa penggal jalan pada kawasan tersebut mengalami genangan yangcukup lama, genangan tersebut berasal dari hujan yang tidak dapat teraliri dengan baik. Kondisi tanah lempung yang memperlambat air meresap mengakibatkan genangan semakin tinggi dan kondisi jalan pun semakin rusak dan becek. Air yang tergenang seharusnya tidak terjadi jika terdapat drainase atau saluran air yang dapat mengalirkan air dari jalan menuju sungai. Kondisi tanah lempung mengharuskan drainase terolah dengan baik pada kawasan tersebut. Gambar 6.15 : Kondisi Drainase Jalan Eksisting Sumber : Survey Lapangan Penentuan bentuk badan jalan disarankan sebagai berikut : Pada kondisi biasa badan jalan dibuat miring ke saluaran tepi dengan kemiringan badan jalan 4-5%. Untuk daerah relatife datar, badan jalan dibuat seperti punggung sapi (lebih tinggi ± 6-8 cm di bagian tengah) dengan catatan bila punggung sapi sudah terlihat dengan mata telanjang berarti sudah cukup miring untuk drainase. Pada tikungan jalan dibuat miring ke dalam dengan kemiringan maksimal 10% dan perlebaran perkerasan dibagian dalam tikungan demi keamanan dan kenyamanan. 167

Gambar 6.16 : Ukuran dan Kemiringan Drainase Sumber : Perencanaan Sistem Drainase Jalan Departemen PU Sistem drainase permukaan berfungsi untuk mengendalikan limpasan air hujan di permukaan jalan dan daridaerah sekitarnya agar tidak merusak konstruksi jalan, seperti kerusakan karena air banjir yang melimpas di atas perkerasan jalan atau kerusakan pada badan jalan akibat erosi. Sistem drainase jalan harus meperhitungkan debit pengaliran dan saluran samping jalan yang memanfaatkan saluran samping jalan tersebut untuk menuju badan air atau resapan buatan. Suatu sistem drainase permukaan jalan terdiri atas kemiringan melintang perkerasan dan bahu jalan, saluran samping jalan, rainase lereng dan goronggorong. Gambar 6.17 : Tipikal Sistem Drainase Jalan Sumber : Perencanaan Sistem Drainase Jalan Departemen PU 168

Suatu sistem drainase jalan pada daerah yang memiliki perkerasan yang bersifat lolos air ataupun retak yang memungkinkan air untuk terserap ke dalam badan jalan, maka sistem drainase yang digunakan seperti gambar dibawah. Gambar 6.18 : Sistem Drainase yang Diberlakukan pada Kondisi Infiltrasi Tinggi Sumber : Perencanaan Sistem Drainase Jalan Departemen PU Gambar 6.19 : Area Luapan Air Sungai dan Kondisi Jalan Eksisting Sumber : Survey lapangan Serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangj dan atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan ke badan air atau tempat peresapan buatan bangunan sistem drainase dapat terdiri atas saluran penerima, saluran pembawa air berlebih, saluran pengumpul dan badan air penerima. 169

Gambar 6.20 : Ukuran dan Kemiringan Drainase Sumber : Perencanaan Sistem Drainase Jalan Departemen PU Pertimbangan yang paling sederhana dari masalah drainase adalah : Jalan kawasan perbukitan diusahakan mengikuti punggung bukit karena jalan yang mengikuti punggung bukit tidak akan mengalami masalah drainase sebab air tidak perlu melintangi jalan. Jalan yang dibuat pada lereng bukit harus ada galian dan timbunan, selokan pinggir jalan, talud, gorong-gorong dan bangunan pelengkap lainnya. Jalan yang dibangun di lembah (cekungan) sebaiknya dihindari karena kemungkinan jalan tidak bisa dikeringkan. Disaat musim penghujan, permukaan air sungai Pabelan akan meningkat, selain dikarenakan curah hujan yang tinggi ditambah pula dengan kiriman air dari hulu. Sehingga area meander yang merupakan area berkelok akan merasakan dampak yang lebih besar. Kecepatan air yang makin tinggi akan menerjang area permukiman yang terdapat pada area tersebut. Kondisi infrastuktur jalan yang kurang baik juga sangat mempengaruhi jalur evakuasi warga. Jalan yang tergenang oleh luapan akan menutup akses warga dalam menyelamatkan diri, sehingga warga terisolasi. 170

Gambar 6.21 : Arahan Desain Infrastruktur Jalan Sumber : Analisis penulis Gambar 6.22 : Arahan Desain Infrastruktur Jalan Menggunakan Talud Sumber : Analisis penulis 171

Gambar 6.23 : Saluran Drainase Sumber : Analisis Penulis 172

Dari analisis kawasan dan rekomendasi yang dijelaskan sebelumnya, dapat di simpulkan beberapa arahan desain yang dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan melihat faktor kerentanan, penyebab bencana dan kondisi lingkungan pada permukiman dan kawasan diketahui bahwa kurangnya drainase pada lokasi, sehingga mengakibatkan sulirnya air hujan yang turun mengalir menuju sungai, dan tergenang dan menyebabkan banjir. Drainase atau saluran iar baiknya berada sepanjang jalan dan di setiap sisi permukiman yang ada, melihat kondisi tanah dan kelerengan pada kawasan penelitian. Aliran air yang baik akan mengurangi resiko kerentanan pada kawasan. Gambar 6.24 : Arahan Desain Drainase pada Kawasan Penelitian Sumber : Analisis Penulis 173

Gambar 6.25 : Arahan Desain Infrastruktur Jalan Menggunakan Barier Sumber : Analisis penulis Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi luapan air sungai. Jika dilihat dari kondisi jalan eksisting, jalan desa itupun sering mengalami genangan disaat curah hujan yang tinggi, hal tersebut diakibatkan drainase yang kurang baik pada area jalan, dan kondisi tanah yang kurang mendukung dalam penyerapan air. Maka dibutuhkan beberapa bantuan untuk air, baik air hujan ataupun air luapan sungai untuk mengalir dengan baik dan tidak menggenang dan menggangu permukiman yang terdapat pada area tersebut. 174

d. Ruang Terbuka Gambar 6.26 : Konsep Ruang Terbuka Sumber : Analisis Penulis e. Fasilitas Penunjang Pentingnya fasilitas umum atau fasilitas penunjang dalam menghadapi bencana dapat dirasakan ketika bencana tiba dan tidak ada sarana dan prasana yang mewadahi yang dapat membantu warga masyarakat dalam menyelamatkan diri. Fasilitas penunjang yang sangat dibutuhkan warga disaat terjasi bencana antara lain adalah signage. Signage sangat diperlukan sebagai media evakuasi warga. Jalur evakuasi pada sebuah area harus berfungsi berdasarkan prosedur evakuasi dengan memberikan kemudahan pada orang yang membacanya agar dapat memahami informasi yang tertera pada jalur evakuasi tersebut. Kebanyakan orang tidak mengetahui dan memahami apa informasi yang diberikan dari adanya jalur evakuasi. Maka dari itu, perancangan jalur evakuasi harus 175

dibuat semenarik mungkin agar mudah dibaca dengan tidak mengurangi kelengkapan informasi yang terdapat didalamnya. Gambar 6.27 : Signage Evakuasi Bencana Sumber : www.google.com Gambar 6.28 : Peta Jalur Evakuasi Bencana Sumber : www.google.com 176

Gambar 6.29 : Konsep Fasilitas Pendukung Sumber : Analisis Penulis Signage berperan penting untuk proses mitigasi bencana, disaat curah hujan tinggi dan tanda-tanda bencana muncul warga dapat perlahan-lahan mengikuti signage pada jalur evakuasi untuk mendapat penyelamatan atau mengurangi kerugian. Pada kawasan bencana seperti kawasan penelitian kali ini sangat diperlukan signage. Tanda-tanda signage juga bermacam-macam seperti titik kumpul, penunjuk jalur evakuasi, dan lain sebagainya. 6.2.2 Faktor Sosial a. Faktor Usia Masyarakat Jumlah penduduk Desa Progowati per Desember 2012 adalah 4148 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki adalah 2056 orang dan jumlah penduduk perempuan adalah 2092 orang. 177

Total jumlah kepala keluarga di Desa Progowati adalah 1153 kepala keluarga. Berikut adalah jumlah penduduk menurut usia. Tabel 6.8 : Jumlah Penduduk Menurut Usia Sumber : Arsip Desa Progowati 2012 Mayoritas pendudk desa Progowati adalah usia remaja 15-49 tahun, sehingga sebelum terjadi bencana dapat diberikan pengarahan dan pendalaman tentang cara mengatasi dan mitigasi yang benar pada para remaja. Dan disaat terjai bencana dapat memberikan pertolongan kepada anak-anak dan lansia. Tetapi jika dilihar dari perbandingan antara anakanak, remaja, dan lansia; 1,2:1,9:0,8 perbandingan tersebut tidak seimbang dan memiliki nilai kerentanan yang tinggi. Anak-anak dan lansia memiliki keterbatasan dalam penyelamatan diri dan pengertian tentang kebencanaan sehingga jika dibandingkan dengan remaja yang ada menjadi; 2,1:1,9. Jumlah anak-anak dan lansia memiliki jumlah lebih banyak dibandingkan jumlah remaja, sehingga tidak seluruh lansia dan anak-anak dapat ter backup oleh jumlah remaja atau dewasa b. Mitigasi Bencana Menurut Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No 33 Tahun 2006 Tentang Pedoman Umum Mitigasi Bencana. Ada empat hal penting dalam rnitigasi bencana, yaitu 1) tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana; 2) sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana; 3) mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara penyelamatan diri jika bencana timbul, dan 4) pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancarnan bencana. Dalam Pasal 1 berisikan : Kegiatan Mitigasi Bencana di daerah dilaksanakan untuk mengetahui potensi bencana yang ada di daerah dan melakukan upaya antisipasi penanganannya. Pasal 2 : Pemerintah Daerah dalam melaksanakan mitigasi bencana dilakukan secara berjenjang melalui struktur kelembagaan Satuan Koordinasi Pelaksana Penanganan Bencana, Satuan Pelaksana Penanganan Bencana, Unit Operasi Penanganan Bencana dan Kepala Desa/Lurah. 178

Tabel 6.9 : Koordiasi Mitigasi Bencana Banjir Sumber : Analisis Penulis 179

180

181