ABSTRACT. Key words: Ongole Offspring, Estrous, Estrous Synchronization, PGF 2 α, Parities

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

PENGARUH PARITAS TERHADAP PERSENTASE ESTRUS DAN KEBUNTINGAN SAPI PERANAKAN ONGOLE YANG DISINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F 2 Α (PGF 2 Α)

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. hari. Dalam perkembangannya, produktivitas kerbau masih rendah dibandingkan dengan sapi.

RESPON KECEPATAN TIMBULNYA ESTRUS DAN LAMA ESTRUS PADA BERBAGAI PARITAS SAPI BALI SETELAH DUA KALI PEMBERIAN PROSTAGLANDIN F2α (PGF2α)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Estrus Setelah Penyuntikan Kedua PGF 2α. Tabel 1 Pengamatan karakteristik estrus kelompok PGF 2α

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN ESTRO-PLAN (PGF-2Α SINTETIS) TERHADAP PENYERENTAKAN BERAHI SAPI BALI DI KABUPATEN PINRANG SULAWESI SELATAN

ONSET DAN LAMA ESTRUS KAMBING KACANG YANG DIINJEKSIPROSTAGLANDINF2α PADA SUBMUKOSA VULVA

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

MATERI DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

RESPON PENYUNTIKAN HORMON CAPRIGLANDIN PGF2 ERHADAP SINKRONISASI BERAHI INDUK SAPI BALI DI KABUPATEN BANTAENG SULAWESI SELATAN

Pemantauan dan Pengukuran Proses Layanan Purna Jual. Kegiatan Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal. Kepala BIB Lembang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p Online at :

Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture Lampung University Soemantri Brojonegoro No.1 Gedung Meneng Bandar Lampung ABSTRACT

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

SINKRONISASI ESTRUS MELALUI MANIPULASI HORMON AGEN LUTEOLITIK UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI REPRODUKSI SAPI BALI DAN PO DI SULAWESI TENGGARA

Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi (The Performance of Estrus and Fertility Rate of Timor Bali Cow Inseminated)

MATERI DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB I PENYERENTAKAN BERAHI

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di kecamatan Botupingge, Kabupaten Bone

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

LEMBAR PERSETUJUAN ARTIKEL TAMPILAN BIRAHI KAMBING LOKAL YANG BERBEDA UMUR HASIL SINKRONISASI MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN F2 DI KABUPATEN BONE BOLANGO

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

PERBAIKAN FERTILITAS MELALUI APLIKASI HORMONE GONADOTROPIN PADA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POST-PARTUM DI TIMOR BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB V INDUKSI KELAHIRAN

GAMBARAN AKTIVITAS OVARIUM SAPI BALI BETINA YANG DIPOTONG PADA RUMAH PEMOTONGAN HEWAN (RPH) KENDARI BERDASARKAN FOLIKEL DOMINAN DAN CORPUS LUTEUM

PENDAHULUAN Latar Belakang

5 KINERJA REPRODUKSI

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental Peranakan Ongole (SimPO)

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

HASIL DAN PEMBAHASAN

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

PENGARUH PERLAKUAN SINKRONISASI BERAHI TERHADAP RESPON BERAHI PADA SAPI BALI INDUK PASCA MELAHIRKAN

SKRIPSI. PERFORMAN REPRODUKSI INDUK SAPI BALI PASCA SINKRONISASI ESTRUS MENGGUNAKAN PROSTAGLANDIN (PGF 2α ) DAN HUMAN CHORIONIC GONADOTROPIN (hcg)

PENGARUH JENIS SINKRONISASI DAN WAKTU PENYUNTIKAN PMSG TERHADAP KINERJA BERAHI PADA TERNAK KAMBING ERANAKAN ETAWAH DAN SAPERA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA KEBUNTINGAN (CONCEPTION RATE) PADA SAPI POTONG SETELAH DILAKUKAN SINKRONISASI ESTRUS DI KABUPATEN PRINGSEWU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat desa dengan keadaan desa yang alami dan mampu memberikan suplai

PEMACUAN KEAKTIFAN BERAHI MENGGUNAKAN HORMON OKSITOSIN PADA KAMBING DARA ESTRUS ACTIVITY INDUCTION OF YOUNG GOAT BY OXYTOCIN

2. Mengetahui waktu timbulnya dan lamanya estrus pada setiap perlakuan penyuntikan yang berbeda. Manfaat Penelitian

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

PENGARUH BERBAGAI DOSIS PROSTAGLANDIN (PGF2α) TERHADAP KARAKTERISTIK ESTRUS PADA DOMBA GARUT

Pengaruh Pemberian Prostaglandin F2 Alpha Terhadap Waktu Kemunculan Birahi dan Keberhasilan Inseminasi Buatan Sapi Brahman Cross (Bx) Heifers

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Perbedaan Intensitas Berahi pada Generasi Pertama

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kelompok Ternak Manunggal IV Dusun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

PENGARUH PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN TERHADAP PERSENTASE BIRAHI DAN ANGKA KEBUNTINGAN SAPI BALI DAN PO DI KALIMANTAN SELATAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Waktu Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) terhadap Jumlah Korpus Luteum dan Kecepatan Timbulnya Berahi pada Sapi Pesisir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Barat sekitar SM. Kambing yang dipelihara (Capra aegagrus hircus)

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK


TINJAUAN PUSTAKA Domba Garut Gambar 1

POLA ESTRUS INDUK SAPI PERANAKAN ONGOLE DIBANDINGKAN DENGAN SILANGAN SIMMENTAL-PERANAKAN ONGOLE. Dosen Fakultas Peternakan UGM

BAB I. PENDAHULUAN A.

FENOMENA ESTRUS DOMBA BETINA LOKAL PALU YANG DIBERI PERLAKUAN HORMON FSH

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

MATERI DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 1999 sampai dengan

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB IV DIAGNOSA KEBUNTINGAN

PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO. Moh. Nur Ihsan dan Sri Wahjuningsih Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

PERBAIKAN REPRODUKSI PADA INDUK SAPI POTONG MELALUI PENYERTAKAN BERAHI DENGAN HORMON ESTRO-PLAN DI SULAWESI SELATAN. Daniel Pasambe dan A.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. TINJAUAN PUSTAKA. tidak vital bagi kehidupan tetapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu

Tatap muka ke 13 & 14 SINKRONISASI / INDUKSI BIRAHI DAN WAKTU IB

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

PENGARUH JENIS PENGENCER TERHADAP MOTILITAS DAN DAYA TAHAN HIDUP SPERMATOZOA SEMEN CAIR SAPI SIMMENTAL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Simmental, antara lain warna bulu penutup badan bervariasi mulai dari putih

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto

TEKNIK DAN MANAJEMEN PRODUKSI BIBIT SAPI BALI DI SUBAK KACANG DAWA, DESA KAMASAN, KLUNGKUNG ABSTRAK

HASlL DAN PEMBAHASAN

Buletin Veteriner Udayana Vol.1 No.2. :83-87 ISSN : Agustus 2009 INDUKSI ESTRUS DENGAN PMSG DAN GN-RH PADA SAPI PERAH ANESTRUS POSTPARTUM

APLIKASI HORMONE PROGESTERONE DAN ESTROGEN PADA BETINA INDUK SAPI BALI ANESTRUS POSTPARTUM YANG DIGEMBALAKAN DI TIMOR BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR

Transkripsi:

RESPON KECEPATAN TIMBILNYA ESTRUS DAN LAMA ESTRUS PADA BERBAGAI PARITAS SAPI PERANAKAN ONGOLE (PO) SETELAH DUA KALI PENYUNTIKAN PROSTAGLANDIN F 2 α (PGF 2 α) The Response of Estrus Onset And Estrous Duration Of Ongole Offspring at The Various Parities After The Injection of Prostaglandin F 2 α (PGF 2 α) Twice Irmaylin S. M. 1), Madi Hartono 2), and Purnama Edy Santosa 2) ABSTRACT The research aimed to: (1) determine the response of estrous onset of Ongole Offspring at the various parities after the injection of prostaglandin F 2 α (PGF 2 α) twice; (2) determine the response of estrous duration of Ongole Offspring at the various parities after the injection of prostaglandin F 2 α (PGF 2 α) twice. The research was held in November until December 2012, located in Punggur District, Central Lampung Regency, Lampung Province. This research used Completely Randomized Design (CRD) with three treatments and four replications. The treatments were Ongole Offspring heifers (P 0 ); Ongole Offspring which have calved once (P 1 ); and Ongole Offspring which have calved twice (P 2 ). The variables observed was performed statistically by analysis of variance on level of 5% or 1%. The result of the research showed that parity was not significantly different (P>0,05) on the estrous onset and the estrous duration of Ongole Offspring at the various parities after prostaglandin F 2 α (PGF 2 α) injection twice. The estrous onset of Ongole Offspring at the various parities after the injection of prostaglandin F 2 α (PGF 2 α) twice P 0, P 1, P 2 in a row were 45,57; 43,26; 52,53 hours, whereas the estrous duration of Ongole Offspring PO P 0, P 1, P 2 in a row were 13,58; 18,65; 15,72 hours. Key words: Ongole Offspring, Estrous, Estrous Synchronization, PGF 2 α, Parities Keterangan: 1) Mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung 2) Dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung PENDAHULUAN Sapi potong merupakan salah satu penghasil daging yang cukup digemari masyarakat. Populasi sapi potong di Provinsi Lampung mengalami peningkatan dari tahun 2007 2011. Berdasarkan data statistik dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, peningkatan populasi sapi tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 49,7% (Tabel 1). Tabel 1. Populasi dan peningkatan sapi potong di Provinsi Lampung dari 2007 2011 Tahun Populasi (ekor) Peningkatan (%) 2007 410.165-2008 425.318 3,70 2009 463.032 8,90 2010 496.066 7,10 2011 742.776 49,70 Sumber: Anonimus (2011) Sapi Peranakan Ongole (PO) terkenal sebagai sapi tipe dwiguna, yaitu tipe pedaging dan tipe pekerja, mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perbedaan kondisi lingkungan, memiliki tenaga yang kuat dan aktivitas reproduksi induknya cepat kembali normal setelah beranak, serta jantannya memiliki kualitas 41

semen yang baik (Masito, 2010). Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas sapi PO adalah melalui pengelolaan reproduksi. Deteksi estrus merupakan salah satu hal penting dalam pengelolaan reproduksi. Kurangnya pemahaman atau kesalahan dalam mendeteksi estrus akan menimbulkan kesulitan, bahkan kegagalan dalam melakukan perkawinan. Estrus yang serentak pada sejumlah ternak betina akan memudahkan proses perkawinan, sehingga menjadi lebih efektif dan efisien (tenaga dan biaya). Sinkronisasi estrus merupakan upaya untuk menyeragamkan terjadinya estrus pada ternak sapi sehingga dalam satu kelompok induk, proses partus dapat diatur pada rentang waktu tertentu. Sinkronisasi estrus dilakukan untuk menghemat waktu dan mempermudah pelaksanaan deteksi estrus. Penggunaan hormon reproduksi merupakan kunci pelaksanaan sinkronisasi estrus. Preparat hormon yang terbukti sangat efektif pada hampir semua hewan ternak adalah preparat prostaglandin dalam bentuk prostaglandin F 2 α (Toelihere, 1985). Menurut Sihombing (1997), paritas adalah frekuensi ternak melahirkan anak ternak. Hafez (2000) menjelaskan bahwa paritas pertama adalah ternak betina yang telah melahirkan anak satu kali atau pertama. Demikian juga untuk kelahirankelahiran yang akan datang disebut paritas kedua dan seterusnya. Daya reproduksi ternak pada umumnya dipengaruhi terutama oleh lama kehidupan reproduktif dan frekuensi beranak (Toelihere, 1985). Bangsa, paritas dan gangguan hormonal dapat mempengaruhi lamanya estrus (Toelihere, 1993). Kecepatan timbulnya estrus dan lama estrus pada paritas ternak yang berbeda dapat dijadikan pedoman waktu yang tepat bagi pelaksanaan IB. Namun, pengetahuan tentang pengaruh paritas ternak terhadap respon kecepatan timbulnya estrus dan lama estrus setelah pemberian PGF 2 α masih sedikit karena studi mengenai hal tersebut belum banyak dilakukan. MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan 12 ekor sapi PO betina yang dikelompokkan menjadi 3 yaitu paritas 0 (P 0 ) = belum pernah beranak; paritas 1 (P 1 ) = sudah beranak satu kali; dan paritas 2 (P 2 ) = sudah beranak dua kali, dengan kondisi tubuh yang baik, sehat, memiliki organ reproduksi yang normal, serta tidak dalam keadaan bunting. Bahan lain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah hormon PGF 2 α sintetis (Juramate ) 20 ml, yang mengandung bahan aktif Cloprostenol 250 μg/ml dosis 500 µg/ekor dengan aplikasi 2 ml/ekor, alkohol, sabun cair, air bersih, dan kapas. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Rancangan Acak Lengkap (RAL), terdiri dari tiga perlakuan perlakuan yaitu paritas ternak yang terdiri dari (P 0 ), (P 1 ), (P 2 ) dan setiap paritas ternak diulang empat kali. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pengukuran lingkar dada (LD), pemeriksaan kebuntingan (PKB) dengan palpasi rektal, penyuntikan PGF 2 α dengan menggunakan preparat hormon Cloprostenol (Juramate ) dengan dosis 2 ml/ekor secara intramuskuler (i.m.) yang dilakukan dua kali (penyuntikan I dan II) dengan selang waktu 11 hari, serta pengamatan gejala estrus yang dilakukan setelah penyuntikan II, pengamatan kecepatan timbulnya estrus yang dilakukan tiga kali (pagi, siang, dan sore) selama tiga hari setelah penyuntikan II sampai dengan timbulnya gejala estrus, dan pengamatan lama estrus yang dilakukan tiga kali (pagi, siang, dan sore) selama tiga hari setelah timbulnya gejala estrus sampai sampai menghilangnya gejala estrus. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengukuran Lingkar Dada (LD) Lingkar dada (LD) merupakan salah satu dimensi tubuh yang dapat digunakan sebagai indikator mengukur pertumbuhan dan perkembangan ternak. LD sapi diukur pada tulang rusuk paling depan, persis pada belakang kaki depan, dengan menggunakan pita ukur (Awaluddin dan Panjaitan, 2010). Pengukuran LD ini dilakukan untuk mengetahui perkiraan bobot tubuh agar sapisapi yang digunakan memiliki bobot tubuh yang homogen/seragam. Cara untuk memperkirakan bobot tubuh sapi berdasarkan LD sapi yaitu dengan menggunakan rumus Schoorl. Hal ini didukung oleh Widodo (2011) yang mengatakan bahwa bobot tubuh sapi dapat 42

diketahui berdasarkan LD sapi dengan menggukan rumus Schoorl. Rata-rata perkiraan bobot tubuh sapi PO berdasarkan lingkar dada (LD) disajikan pada Tabel 2. Hasil perhitungan dengan rumus Schoorl menunjukkan bahwa perkiraan bobot tubuh pada sapi dara (P 0 ), beranak satu kali (P 1 ), dan beranak dua kali (P 2 ) berturut-turut 314,69; 307,90; 303,67 kg. Tabel 2. Perkiraan bobot tubuh (BT) sapi berdasarkan lingkar dada (LD) dengan menggunakan rumus Schoorl Perlakuan LD ( cm) BT (kg) Rata-rata BT (kg) P0U1 162 338,56 P0U2 152 302,76 314,69 P0U3 145 278,89 P0U4 162 338,56 P1U1 151 299,29 P1U2 140 262,44 307,90 P1U3 159 327,61 P1U4 163 342,25 P2U1 153 306,25 P2U2 151 299,29 303,67 P2U3 155 313,29 P2U4 150 295,84 Rata-rata 153,58 308,75 Koefisien Keragaman 8,67% Berdasarkan Tabel 2, koefisien keragaman bobot sapi tersebut sedang, yaitu 8,67%. Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafiah (1991) yang menyatakan bahwa jika nilai koefisien keragaman 5 10%, maka nilai koefisien keragaman percobaan tersebut tergolong dalam kriteria sedang dan pada kondisi homogen. B. Pemeriksaan kebuntingan (PKB) Pemeriksaan kebuntingan (PKB) pada sapi adalah upaya yang digunakan untuk mengetahui dan memperoleh keterangan tentang status reproduksi pada seekor sapi atau sekumpulan ternak sapi (Ternouth, 1983 dalam Ernawati, 1985). PKB pada penelitian ini dilakukan sebelum penyuntikan PGF 2 α. PKB ini dilakukan melalui palpasi rektal karena cara ini mudah dan sederhana. Menurut Arthur (1975) dalam Ernawati (1985), metode terbaik yang digunakan di dalam pelaksanaan pemeriksaan kebuntingan pada sapi adalah eksplorasi manual melalui rektal. Ditambahkan oleh Salisbury dan VanDemark (1985) bahwa PKB melalui palpasi rektal adalah cara yang paling sederhana. Hal ini didukung oleh Hafez (1980) dalam Ernawati (1985) yang menyatakan bahwa metode PKB melalui palpasi rektal merupakan metode yang umum dan praktis digunakan. Metode ini dapat memberikan banyak keterangan secara cepat dan pasti hewan dalam keadaan bunting atau infertil. Hasil pemeriksaan kebuntingan (PKB) dan kondisi kesehatan reproduksi sapi melalui palpasi rectal disajikan padatabel 3. 43

Tabel 3. Hasil pemeriksaan kebuntingan (PKB) dan kondisi kesehatan reproduksi sapi melalui palpasi rektal Sapi Kebuntingan Gangguan Reproduksi Bunting Tidak Bunting Ada Tidak Ada P0U1 - - P0U2 - - P0U3 - - P0U4 - - P1U1 - - P1U2 - - P1U3 - - P1U4 - - P2U1 - - P2U2 - - P2U3 - - P2U4 - - Berdasarkan hasil PKB dengan palpasi rektal, dapat diketahui bahwa sapi-sapi yang digunakan dalam penelitian ini tidak dalam kondisi bunting dan memiliki kondisi kesehatan reproduksi yang baik. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya gangguan reproduksi pada sapi-sapi tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Nanang dan Yayan (2011) bahwa dalam pelaksanaan sinkronisasi estrus dengan PGF 2 α, sapi yang digunakan tidak boleh dalam keadaan bunting dan harus mempunyai alat reproduksi yang baik. Dengan demikian, sapi-sapi yang digunakan dalam penelitian ini memenuhi persyaratan untuk dilakukan sinkronisasi estrus dengan PGF 2 α. C. Penyuntikan PGF 2 α Penelitian ini dilakukan dengan metode dua kali penyuntikan PGF 2 α (penyuntikan I dan penyuntikan II) dengan selang 11 hari. Metode dua kali penyuntikan ini dilakukan karena penyuntikan I diberikan pada fase siklus estrus yang tidak diketahui. Dengan selang 11 hari antara penyuntikan I dan II, maka sapi-sapi tersebut akan mencapai fase siklus estrus yang sama pada hari ke-11 saat penyuntikan II, yaitu fase luteal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hunter (1995) bahwa pada sebagian besar dari siklus estrus alami tidak terpengaruh oleh perlakuan itu. Maka dari itu, dua kali penyuntikan analog PGF 2 α diperlukan agar menyerentakkan fase siklus estrus semua hewan dalam suatu kawanan jika perlakuan itu diberikan pada fase siklus estrus yang tidak diketahui. Dalam pelaksanaan penyuntikan I dan II, preparat PGF 2 α diberikan dengan dosis yang sama pada setiap sapi percobaan yaitu dosis 500 µg/ekor atau 2 ml/ekor karena sapi-sapi tersebut memiliki bobot tubuh yang seragam (Tabel 2). Preparat PGF 2 α diberikan secara intramuskuler (i.m.) karena pemberian secara i.m. cukup mudah dilakukan dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Hal ini sesuai dengan pendapat Solihati (2005) yang menyatakan bahwa PGF 2 α dapat diberikan secara intramuskuler (i.m.) dengan menggunakan dosis yang besar, maupun secara intrauterin (i.u.) dengan dosis yang jauh lebih rendah tetapi diperlukan keahlian khusus. Pemberian secara intramuskuler sangat mudah dilakukan sehingga merupakan metode yang umum dilakukan. Setelah dilakukan penyuntikan PGF 2 α, sapi-sapi tersebut tidak ada yang mengalami keguguran. Ini berarti PKB melalui palpasi rektal, yang dilakukan sebelum penyuntikan PGF 2 α, terbukti akurat karena dilakukan dengan keterampilan yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury dan VanDemark (1985) yang mengungkapkan bahwa cara yang dapat dipercaya untuk pemeriksaan kebuntingan yaitu dengan 44

meraba alat reproduksi melewati dinding rektal (palpasi rektal), yang hasilnya tergantung pada keterampilan dan pengalaman pemeriksa. D. Gejala Estrus Sapi yang sedang estrus akan menunjukkan gejala-gejala seperti menaiki atau diam jika dinaiki sapi lain, gelisah, nafsu makan menurun, vulva membengkak, kemerahan, dan keluar lendir transparan (Aksi Agraris Kanisius, 1991). Gejala estrus pada berbagai paritas sapi PO berdasarkan hasil pengamatan secara visual setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengamatan gejala estrus secara visual pada berbagai paritas sapi PO setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α Gejala Estrus P0 P1 P2 U1 U2 U3 U4 U1 U2 U3 U4 U1 U2 U3 U4 Gelisah Sering kencing - Bersuara khas - - Menggosok - - - - badan Mata berbinar Vulva bengkak & merah Keluar lendir - dari vulva Menaiki sapi - - - - - - - lain Diam dinaiki - - - - - - sapi lain Keterangan: : menunjukkan respon gejala estrus - : tidak menunjukkan respon gejala estrus Gejala estrus seperti: gelisah, mata berbinar, vulva merah dan bengkak ditunjukkan oleh semua sapi. Gejala estrus seperti: sering kencing, bersuara khas, menggosok-gosokkan badan, dan keluar lendir dari vulva diperlihatkan oleh hampir semua sapi (8 11 ekor). Sementara itu, tingkah laku menaiki sapi lain dan diam bila dinaiki sapi lain hanya diperlihatkan oleh beberapa sapi (5 6 ekor). Hasil ini menunjukkan bahwa penyuntikan PGF 2 α cukup efektif untuk menggertak timbulnya respons estrus. Menurut Kune dan Solihati (2007), perbedaan gejala estrus lebih disebabkan oleh faktor individu yang mungkin lebih berhubungan dengan pola hormonal terutama level hormon estrogen yang berperan dalam merangsang estrus. Gejala-gejala estrus yang terlihat cukup jelas tersebut kemungkinan karena sapi-sapi tersebut berada dalam kondisi kesehatan reproduksi yang sama, pemberian pakan dengan kuantitas dan kualitas nutrisi yang sama, serta tempat pemeliharaan yang sama. Hasil PKB menunjukkan bahwa sapi-sapi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kondisi kesehatan reproduksi yang baik atau tidak memiliki gangguan/penyakit (Tabel 3). Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutan (1988) dan Toelihere (1981) yang dikutip oleh Yusuf (1990), timbulnya gejalagejala estrus banyak dipengaruhi oleh kondisi tubuh individu itu sendiri, faktor lingkungan, dan faktor pakan. E. Kecepatan Timbulnya Estrus Kecepatan timbulnya estrus merupakan interval waktu yang diamati sejak perlakuan sampai timbulnya gejala estrus (Haryani, 2002). Pada penelitian ini, pengamatan kecepatan timbulnya estrus (jam) dilakukan sejak penyuntikan II sampai timbulnya gejala-gejala estrus. Rata-rata kecepatan timbulnya estrus pada berbagai paritas sapi PO setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α disajikan padatabel 5. 45

Tabel 5. Respon kecepatan timbulnya estrus pada berbagai paritas sapi PO setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α Paritas Ulangan Total P 0 P 1 P 2 --------------------------------jam----------------------------------------------- 1 45,17 42,08 53,42 140,67 2 47,95 43,17 63,12 154,24 3 48,12 41,42 48,28 137,82 4 41,05 46,38 45,28 132,71 Jumlah 182,29 173,05 210,10 565,44 Rata-rata 45,57 43,26 52,53 47,12 Berdasarkan hasil analisis ragam, tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) di antara ketiga paritas terhadap kecepatan timbulnya estrus pada sapi PO setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme kerja preparat PGF 2 α (Juramate ) yang efektif dalam melisiskan CL pada berbagai paritas sapi PO. Hal ini sesuai pernyataan Toelihere (1985) bahwa PGF 2 α menghambat aliran darah secara drastis ke ovarium dan menyebabkan regresi CL. Ditambahkan oleh Louis et al. (1972), dalam Burhanuddin et al. (1992), regresi CL tersebut diikuti oleh penurunan hormon progesteron yang berarti hilangnya hambatan terhadap FSH dan LH, diikuti oleh pematangan folikel dan timbulnya estrus. Selain itu, tidak adanya perbedaan yang nyata pada kecepatan timbulnya estrus tersebut kemungkinan disebabkan oleh metode dua kali penyuntikan PGF 2 α dengan selang 11 hari antara penyuntikan I dan II, sehingga sapi-sapi berada dalam fase siklus estrus yang sama secara serentak saat penyuntikan II (fase luteal). Hal ini didukung oleh Hunter (1995) yang menyatakan bahwa pada sebagian besar dari siklus estrus alami tidak terpengaruh oleh perlakuan itu. Maka dari itu, dua kali penyuntikan analog PGF 2 α diperlukan agar menyerentakkan fase siklus estrus semua hewan dalam suatu kawanan jika perlakuan itu diberikan pada fase siklus estrus yang tidak diketahui. Tidak adanya perbedaan yang nyata pada kecepatan timbulnya estrus tersebut mungkin juga disebabkan oleh metode penyuntikan PGF 2 α yang dilakukan dengan cara (i.m.) dan dosis yang sama (500 µg/ekor atau 2 ml/ekor ) pada sapi-sapi yang memiliki bobot tubuh yang seragam (Tabel 2). Hal ini diduga mengakibatkan PGF 2 α larut dalam lemak dan diangkut oleh darah menuju ovarium untuk meregresi CL dalam waktu yang hampir bersamaan. Sesuai dengan pendapat Tagama (1995) bahwa PGF 2 α yang disuntikkan akan memasuki aliran darah menuju ovarium. Akibat aksi dari PGF2α tersebut akan terjadi vasokonstriksi, sehingga aliran darah menuju ovarium mengakibatkan suplai makanan yang dibutuhkan ovarium akan berkurang bahkan terhenti dan CL yang fungsional meluluh atau regresi. Hancurnya CL tersebut menyebabkan terhentinya sekresi hormon progesteron yang akan diikuti dengan naiknya FSH untuk merangsang pertumbuhan folikel dan terjadinya estrus. Hal lain yang mungkin menyebabkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada kecepatan timbulnya estrus tersebut adalah kondisi tubuh sapi. Berdasarkan hasil PKB melalui palpasi rektal (Tabel 3), sapi-sapi yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kondisi kesehatan reproduksi yang baik (tidak berpenyakit). Metode dua kali penyuntikan PGF 2 α (dengan cara dan dosis yang sama) pada sapi-sapi dengan kondisi kesehatan yang sama ini mungkin mengakibatkan respon timbulnya estrus yang sama pula. Hal ini sesuai dengan pendapat Hastono (2000) yang menyatakan bahwa hal-hal yang mempengaruhi waktu timbulnya estrus antara lain metode sinkronisasi estrus, tingkat prolifikasi dan juga kondisi tubuh ternak. 46

Tidak adanya perbedaan yang nyata pada kecepatan timbulnya estrus tersebut kemungkinan disebabkan oleh status nutrisi yang sama pada masing-masing sapi akibat tidak adanya perbedaan dalam pemberian pakan, sehingga berpengaruh terhadap sekresi hormon. Hal ini sesuai dengan pendapat Achyadi (2009) yang menyatakan bahwa nutrisi sangat berpengaruh terhadap siklus estrus. Faktor nutrisi merupakan faktor yang sangat kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung terhadap fenomena estrus dibanding faktor lainnya. Canfield dan Butler (1990) dalam Haryani (2002) menyatakan bahwa nutrisi merupakan salah satu faktor yang terlibat dalam pengaturan sekresi GnRH dan mendorong frekuensi LH. Kebutuhan energi dan protein tampaknya sangat penting dalam mempertahankan fungsi reproduksi. Tidak adanya perbedaan yang nyata pada kecepatan timbulnya estrus tersebut mungkin juga disebabkan oleh fase pertumbuhan folikel yang tidak berbeda pada masing-masing sapi akibat peran FSH. Hal ini sesuai dengan pendapat Pierson dan Ghinter (1984) dalam Bintara (2001) bahwa perbedaan fase pertumbuhan folikel pada ovarium kemungkinan dapat mengakibatkan variasi timbulnya estrus. Sementara itu, pada penelitian ini, tidak ada variasi timbulnya estrus. Ditambahkan oleh Toelihere (1985), FSH berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf di ovarium. Hal lain yang mungkin menyebabkan perbedaan yang tidak nyata pada kecepatan timbulnya estrus antar individu sapi adalah peningkatan estradiol yang tidak berbeda pada masing-masing ternak. Sebagaimana dijelaskan oleh Zumarni (2012) bahwa perbedaan waktu timbulnya estrus antar individu ternak kemungkinan disebabkan oleh adanya peningkatan estradiol yang berbeda dari masing-masing ternak. Sementara itu, pada penelitian ini, waktu timbulnya estrus tidak berbeda pada masingmasing sapi. Suharto (2003) menambahkan bahwa kualitas dan kuantitas ransum yang baik akan meningkatkan kadar estrogen dalam darah. Kune dan Solihati (2007) menyatakan bahwa estrus dengan intensitas kurang jelas atau sedang, lebih disebabkan oleh faktor individu yang mungkin lebih berhubungan dengan pola hormonal, terutama level hormon estrogen yang berperan dalam merangsang estrus. F. Lama Estrus Lama estrus merupakan interval waktu antara timbulnya estrus sampai dengan selesainya masa estrus (Hastono, 2000). Lama estrus merupakan interval waktu sejak timbulnya gejala-gejala estrus pada ternak sampai menghilangnya gejala-gejala estrus pada ternak sapi. Rata-rata estrus pada berbagai paritas sapi PO setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Respon lama estrus pada berbagai paritas sapi PO setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α Paritas Ulangan Total P 0 P 1 P 2 -------------------------------jam------------------------------------------------ 1 14,12 23,42 15,58 53,12 2 15,08 17,33 17,25 49,66 3 12,17 20,17 15,83 48,17 4 12,93 13,68 14,22 40,83 Jumlah 54,30 74,60 62,88 191,78 Rata-rata 13,58 18,65 15,72 15,98 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lama estrus pada sapi dara (P 0 ), beranak satu kali (P 1 ), dan beranak dua kali (P 2 ) berturut-turut 13,58; 18,65; 15,72 jam. Lama estrus pada masing-masing sapi ini mungkin tidak dipengaruhi oleh PGF 2α. Sebagaimana dinyatakan oleh Maliawan (2002) bahwa pengaruh hormon PGF 2α 47

diduga hanya sampai pada proses regresi CL karena dengan cepat hormon tersebut mengalami deaktivasi total di dalam paruparu dan hati, sehingga pengaruhnya terhadap lama estrus pada ternak sudah tidak ada. Selanjutnya, lama estrus berlangsung secara alami yaitu dengan adanya hormon estrogen yang tinggi yang dihasilkan oleh ovarium. Hal ini diperkuat oleh Hafez (2000) yang menyatakan bahwa PGF 2α tidak dapat disimpan dalam jaringan karena waktu paruhnya sangat pendek karena metabolismenya yang cepat dalam sirkulasi darah, paru-paru, ginjal, dan jaringan lainnya. Berdasarkan hasil analisis ragam, tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) di antara ketiga paritas terhadap lama estrus pada sapi PO setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α. Hal ini diduga karena sapi-sapi tersebut memiliki kesamaan kondisi tubuh. Hasil PKB melalui palpasi rektal (Tabel 3) menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut tidak memiliki gangguan reproduksi, sehingga mekanisme fisiologik berjalan dengan normal pada setiap sapi. Hal ini didukung oleh pendapat Hastono (2000) yang menyatakan bahwa lama estrus dipengaruhi oleh kondisi individu ternak. Ditambahkan oleh Toelihere (1985), organ reproduksi yang normal melingkupi penyerentakan dan penyesuaian banyak mekanisme fisiologik yang mengontrol siklus estrus. Hal lain yang mungkin menyebabkan perbedaan yang tidak nyata pada lama estrus tesebut adalah status nutrisi yang sama pada masing-masing sapi akibat tidak adanya perbedaan dalam pemberian pakan. Nutrisi mempengaruhi kerja otak untuk merangsang kelenjar dalam mensekresikan hormon reproduksi. Sebagaimana dinyatakan oleh Achyadi (2009) yang menyatakan bahwa nutrisi sangat berpengaruh terhadap siklus estrus. Faktor nutrisi merupakan faktor yang sangat kritis, dalam arti baik pengaruh langsung maupun pengaruh tidak langsung terhadap fenomena estrus dibandingkan dengan faktor lainnya. Hal ini didukung oleh Toelihere (1985) yang mengemukakan bahwa makanan diperlukan untuk fungsi endokrin yang normal. Makanan tampaknya mempengaruhi sintesa dan pelepasan hormon dari kelenjar endokrin. Tidak adanya perbedaan yang nyata pada lama estrus tersebut mungin disebabkan oleh sekresi FSH dan LH dengan konsentrasi yang sama akibat kesamaan status nutrisi dan kondisi tubuh pada masing-masing sapi. FSH dan LH dengan konsentrasi yang sama tersebut mungkin mengakibatkan pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf yang tidak berbeda pada masing-masing sapi. Folikel de Graaf yang matang akan menghasilkan hormon estrogen (estradiol) yang berperan dalam timbulnya gejala estrus. Hal ini didukung oleh Toelihere (1985) yang menyatakan bahwa FSH berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf di ovarium. Pada fase Estrus, folikel de Graaf membesar dan menjadi matang. Folikel yang matang ini akan pecah dan menghasilkan ovum setelah estrus berakhir. Potensi relatif FSH dan LH pada berbagai ternak mungkin bertanggung jawab dalam lamanya estrus. LH bekerja sama dengan FSH dalam pematangan folikel dan pelepasan estrogen. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan paritas tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecepatan timbulnya estrus dan lama estrus pada sapi PO setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α (Juramate ) dan kecepatan timbulnya estrus setelah dua kali penyuntikan PGF 2 α, pada sapi PO P 0, P 1, P 2 berturut-turut adalah 45,57; 43,26; 52,53 jam, sedangkan lama estrus pada sapi PO P 0, P 1, P 2 berturut-turut 13,58; 18,65; 15,72 jam. Saran 1. Tidak perlu memperhatikan paritas sapi dalam melakukan sinkronisasi estrus dengan hormon PGF 2 α. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jenis sapi yang berbeda, hormon PGF 2 α dengan merek dagang yang berbeda, atau dosis PGF 2 α yang berbeda sehingga pengetahuan dan pemahaman menjadi lebih lengkap. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung atas bantuan dan 48

kerja sama selama pelaksanaan Sinkronisasi Estrus di Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah pada November Desember 2012. DAFTAR PUSTAKA Achyadi, K. R., 2009. Deteksi Berahi pada Ternak Sapi. Tesis. Pascasarjana Iinstitut Pertanian Bogor. Bogor Aksi Agraris Kanisius. 1991. Petunjuk Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius. Yogyakarta Anonimus. 2011. Statistik Peternakan. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung Awaluddin dan T. Panjaitan. 2010. Petunjuk Praktis Pengukuran Ternak Sapi Potong. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat Bintara, S. 2001. Manipulasi Pola Gelombang Pertumbuhan Folikel dengan Human Chorionic Gonadotrophin pada Sapi Madura. Buletin Peternakan. Volume 25 (1). Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Burhanuddin, M.R. Toelihere, T.L. Yusuf, I.G.M.A.K. Dewi, I.G.Ng. Jelantik dan P. Kune. 1992. Efektivitas PGF 2 α Dan Hormon Gonadotropin Terhadap Kegiatan Reproduksi Ternak Sapi Bali di Besipa E. Buletin Penelitian Universitas Nusa Cendana. Edisi Khusus Ilmu Ternak. Timor Tengah Selatan. Kupang Ernawati, B.L. 1985. Pemeriksaan Kebuntingan pada Sapi Perah dan Kepentingannya dalam Pengelolaan Reproduksi Sapi Perah. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor Hafez, E.S.E. 2000. Reproduction In Farm Animals. 7 th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Maryland. USA Hanafiah, K.A. 1991. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi Ke-5. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Utara Haryani, R. 2002. Akselarasi Pemunculan dan Penyerentakan Estrus serta Keberhasilan Konsepsi Post-Partum Melalui Induksi Hormon Progestron, PMSG, dan Kombinasinya pada Sapi Bali. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor 49