BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menimbulkan komplikasi kesakitan (morbiditas) dan kematian

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Indonesia saat ini berada pada ranking kelima negara

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

BAB I PENDAHULUAN. (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis complex (Depkes RI, 2008). Tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB dapat disembuhkan dengan pengobatan

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. TB sudah dilakukan dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk yang paling banyak dan paling penting (Widoyono, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis dan dapat disembuhkan. Tuberkulosis

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff,H, 2006). Penyakit ini juga

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. World. Health Organization (WHO) dalam Annual report on global TB

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I. Treatment, Short-course chemotherapy)

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit TB paru di Indonesia masih menjadi salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. mencanangkan TB sebagai kegawatan dunia (Global Emergency), terutama

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Melalui pembangunan kesehatan diharapkan akan tercapai

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang. Badan kesehatan dunia, World Health Organitation

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium

BAB 1 PENDAHULUAN. karena penularannya mudah dan cepat, juga membutuhkan waktu yang lama

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan. masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia.

Endang Basuki dan Trevino Pakasi Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (World

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis faktor-faktor..., Kartika, FKM UI, 2009

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan dalam masyarakat (Depkes RI, 2009). pembangunan berkelanjutan yang diberi nama Sustainable Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan termasuk salah satu sasaran Millennium Development Goals (MDGs) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Mikobakterium tuberculosis dan kadang-kadang oleh Mikobakterium bovis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang


BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis, sejenis bakteri berbentuk batang (basil) tahan asam

BAB I PENDAHULUAN. jiwa dan diantaranya adalah anak-anak. WHO (2014) mengestimasi

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) menyatakan TB sebagai suatu problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency) karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit TB paru tidak terkendali, ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, serta sebagai penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh penyakit infeksi (Depkes RI, 2002). Pada tahun 2006, terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB secara global. Diperkirakan 1,7 juta orang (25/100.000) meninggal karena TB. Menurut data WHO tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat ke-3 penyumbang kasus TB terbesar di dunia setelah India dan China. TB di Indonesia bahkan telah menjadi penyebab kematian ketiga, setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan lainnya. Jumlah kasus baru sekitar 539.000 setiap tahunnya dan jumlah kematian sekitar 101.000 per tahun (Depkes RI, 2007). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,

maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2009). Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (costefective). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes RI, 2007). Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan terjadi penderita tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Sulianti, 2007). Berdasarkan laporan Subdit TB Depkes RI tahun 2010, proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB pada tahun 2000-2010 triwulan 1 terendah pada tahun 2002 sebesar 50% dan tertinggi pada tahun 2004 sebesar 65%. Pada tahun 2010 angka ini menunjukkan sebesar 61% (masih dibawah target yang

diharapkan yaitu 65%). Hal ini menunjukkan masih perlu memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif). Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia telah diakui keberhasilannya dalam pengendalian TB, hal ini dibuktikan dalam laporan Global Report Update tahun 2009 bahwa Indonesia berhasil menurunkan posisinya dari posisi 3 menjadi posisi ke 5 sebagai negara dengan jumlah pasien TB terbanyak di dunia. Selain itu dari data Global Report juga bisa dilihat keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kematian akibat TB dari 348/hari (Global Report GR, 2002), 300/hari (GR, 2007), 250/hari (GR, 2009), dan 169/hari (GR, 2010). Selain itu target cakupan penemuan kasus TB atau case detection rate sebesar 70% sudah tercapai karena Indonesia telah mencapai 77,3%, demikian pula target keberhasilan pengobatan atau success rate yang ditetapkan 85%, kita sudah mencapai 89,6%. Target Millenium Development Goals atau MDGs untuk pengendalian TB adalah prevalensi TB menurun menjadi 222 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB menurun sampai 46 per 100.000 di tahun 2015. Berdasarkan Global Report tahun 2010, prevalensi TB di Indonesia adalah 285 per 100.000 penduduk, sedangkan angka kematian TB telah turun menjadi 27 per 100.000 penduduk. Artinya, target MDGs untuk angka prevalensi TB diharapkan akan tercapai pada 2015, sedangkan target angka kematian TB sudah tercapai (Kemenkes RI, 2011).

Namun demikian tentunya permasalahan dalam pengendalian TB masih sangat besar, dan Indonesia masih berkontribusi sebesar 5,8% dari kasus TB yang ada di dunia. Dengan masih adanya sekitar 430.000 pasien baru per tahun dan angka insiden 189/100.000 penduduk serta angka kematian akibat TB sebesar 61.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk, TB masih menjadi tantangan dalam masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kemenkes RI, 2011). TB paru merupakan communicable disease, dimana kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan dokter dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada masyarakat luas. Diagnosa yang tepat, pemilihan obat serta pemberian obat yang benar dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya (Asti, 2006). Riskesdas tahun 2010 melaporkan bahwa cakupan OAT nasional adalah sebesar 83,2%. Dari 94,6% penderita yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan mengambil OAT, terdapat 21,9 % penderita yang tidak patuh, 59,0% mendapat obat selesai > 6 bulan, 19,3% tidak lengkap < 5 bulan, dan 2,6% tidak berobat. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi tahun 2010, Kabupaten Dairi memiliki angka suspect TB paru sebanyak 1.409 kasus dengan jumlah penderita TB paru sebanyak 162 orang, dan angka kesembuhan 60,8%. Pada tahun 2009 ditemui 158 penderita TB paru dari 1.335 suspect, dengan angka kesembuhan 58,6%. Pada tahun 2008 ditemui 133 penderita TB paru dari 1.185 suspect, dengan angka kesembuhan 56%.

Data pada Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi tahun 2010 juga menunjukkan bahwa terdapat 19,75% dari penderita TB paru yang diobati di seluruh Puskesmas di Kabupaten Dairi tidak melanjutkan pengobatan sampai selesai (tidak patuh berobat). Sementara itu berdasarkan data Bidang Pelayanan Medik RSUD Sidikalang tahun 2010, TB paru merupakan jenis penyakit yang berada pada peringkat pertama dari 10 jenis penyakit terbesar yang ditemukan di poliklinik RSUD Sidikalang. Jumlah kunjungan penderita TB paru di klinik penyakit dalam RSUD Sidikalang pada tahun 2010 adalah sebanyak 4.723 orang (19,75%), dengan jumlah penderita TB paru sebanyak 98 orang. Sementara jumlah penderita TB paru rawat jalan yang mendapat pengobatan di klinik DOTS RSUD Sidikalang tahun 2010 adalah sebanyak 71 orang. Selain itu, jumlah kunjungan pasien TB paru yang rawat inap sepanjang tahun 2010 sebanyak 1.404 orang (11,60%). Berdasarkan data ternyata penyakit TB paru merupakan penyebab nomor satu (1) kematian pasien rawat inap di RSUD Sidikalang setelah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yaitu sebesar 15,75%. Tingkat kepatuhan berobat penderita TB paru rawat jalan di RSUD Sidikalang pada tahun 2007 sebesar 34,4% yang tidak patuh berobat, 35,8% pada tahun 2008, 35,6% pada tahun 2009, dan 38,3% pada tahun 2010. Ketidakpatuhan untuk berobat secara teratur bagi penderita TB paru tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Kebanyakan penderita tidak datang selama fase intensif karena tidak adekuatnya motivasi terhadap kepatuhan berobat dan kebanyakan penderita merasa enak pada akhir fase intensif dan merasa tidak perlu kembali untuk pengobatan (Simamora, 2004).

Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah. Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti melalui pengamatan dan wawancara terhadap 25 orang penderita TB paru yang berobat ke poli penyakit dalam RSUD Sidikalang, bahwa sebagian besar (>50%) penderita TB paru belum mengetahui faktor penyebab penyakitnya, upaya pencegahan dan prinsip pengobatan TB paru. Berdasarkan keterangan dari penderita TB paru, sebanyak 11 orang (44%) mengatakan tidak rutin berobat oleh karena malas untuk melakukan kontrol ke rumah sakit. Hal ini disebabkan karena jarak antara tempat tinggal dengan rumah sakit yang cukup jauh sehingga memerlukan biaya yang cukup besar untuk biaya transportasi. Selain alasan tersebut, penderita TB paru juga mengatakan bosan mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama, kurang merasakan efek kesembuhan, sehingga merasa pesimis dan ragu akan kesembuhan penyakitnya. Hasil survei awal diperoleh juga data bahwa sebanyak 17 orang (68%) tidak pernah mendapat penjelasan dari petugas kesehatan tentang kondisi penyakitnya. Beberapa penderita pernah menanyakan kondisi kesehatannya kepada petugas kesehatan, tetapi jawaban dari petugas kesehatan dianggap kurang memuaskan, dan cenderung kurang menanggapi keluhan penderita.

Hasil penelitian Erawatyningsih (2009) bahwa keteraturan/kepatuhan berobat penderita TB paru ditentukan oleh perhatian tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan, penjelasan kepada penderita, kalau perlu mengunjungi ke rumah serta tersedianya obat paket TB paru. Petugas kesehatan perlu meningkatkan penyuluhan untuk meningkatkan pemahaman dan memberikan motivasi bagi penderita agar penderita dan keluarga dapat memahami tentang penyakit TB paru, cara pencegahan dan akibat dari tidak teraturnya menjalankan pengobatan, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita untuk datang berobat. Petugas harus memberikan penjelasan secara rinci, berlaku simpatik dan ramah, serta empati. Menurut Bart dalam Niven (2002), berbagai aspek komunikasi antara pasien dengan petugas kesehatan mempengaruhi tingkat ketidaktaatan, misalnya informasi dengan pengawasan yang kurang, ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan petugas kesehatan, ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan. Salah satu strategi untuk meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara dokter maupun perawat dengan pasien. Kualitas interaksi antara petugas kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatkan interaksi petugas kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh tenaga kesehatan. Dengan komunikasi, seorang tenaga

kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi (Niven, 2002). Menurut Murwani (2009) komunikasi menjadi penting karena: 1) dapat merupakan sarana terbina hubungan yang baik antara pasien dan tenaga kesehatan, 2) dapat melihat perubahan perilaku yang terjadi pada individu atau pasien, 3) dapat sebagai kunci keberhasilan tindakan kesehatan yang telah dilakukan, 4) dapat sebagai tolak ukur kepuasan pasien, dan 5) dapat sebagai tolak ukur komplain (keluhan) tindakan dan rehabilitasi. Pasien cenderung menunjukkan kepuasan lebih besar pada tenaga kesehatan yang memberikan mereka kesempatan berbicara, memberikan waktu untuk mendengarkan, memberikan penjelasan tentang penyakit dan pengobatan yang harus dilakukan, serta menunjukkan kepedulian, dibandingkan tenaga kesehatan yang berlaku sebaliknya. Semakin besar kepuasan yang dirasakan oleh pasien cenderung dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan yang berlangsung rutin dengan tenaga kesehatan tersebut. Kepuasan pasien juga ditunjukkan pada kepatuhannya terhadap anjuran dan saran dari tenaga kesehatan (Alven, 2008). Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak berhubungan dengan pasien karena itu mereka mempunyai beban dan tanggung jawab yang berat. Terutama di rumah sakit, tenaga perawat merupakan tenaga yang paling banyak kontak dan berinteraksi dengan pasien, sehingga pasien cenderung menilai dan

mengamati apa yang mereka lakukan. Aspek yang sering dinilai pasien adalah perilaku perawat. Perilaku yang diharapkan adalah perilaku asertif yaitu kegiatan perawat atas sesuatu yang berkaitan dengannya dalam memberikan pelayanan, diwujudkan dalam bentuk gerak dan ucapan secara asertif (Morrison, 2009). Dalam dunia keperawatan, komunikasi perawat yang diarahkan pada pencapaian tujuan untuk menyembuhkan pasien dikenal dengan komunikasi terapeutik (Purwanto, 1994). Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa komunikasi terapeutik perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Palestin (2002) bahwa secara statistik terdapat pengaruh yang bermakna setelah pemberian komunikasi terapeutik terhadap kepatuhan berobat penderita Diabetes Melitus. Kemudian penelitian yang dilakukan Kristina (2004) tentang pengaruh komunikasi terhadap perilaku kepatuhan berobat penderita pulpitis di poli gigi Puskesmas Pucang Sewu Kota Surabaya dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan kepatuhan berobat pada penderita pulpitis. Bertitik tolak dari masalah tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi.

1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: bagaimana pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2011. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2011. 1.4. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah ada pengaruh komunikasi terapeutik (sikap perawat, isi informasi, dan teknik komunikasi) terhadap kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis paru rawat jalan di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi tahun 2011. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang promosi kesehatan yang berkaitan dengan komunikasi terapeutik dan pengaruhnya terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru.

2. Perawat Sebagai bahan pembelajaran dan sumber informasi yang dapat membantu perawat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang berhubungan dengan penanganan penyakit TB paru melalui penerapan komunikasi terapeutik terhadap penderita TB paru. 3. Rumah Sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi RSUD Sidikalang bahwa pentingnya komunikasi terapeutik yang berdampak pada kepatuhan penderita TB paru dalam menjalankan program pengobatan, sehingga dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan dari ketidakpatuhan berobat yaitu angka kesembuhan rendah, angka kematian tinggi, angka kekambuhan tinggi, terjadinya penularan dan terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).