BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori agensi merupakan kondisi dimana prinsipal (pemilik atau manajemen

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. didefinisikan sebagai suatu kontrak yang terjadi pada saat prinsipal mulai

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. yaitu fungsi perencanaan (planning), fungsi pelaksanaan (actuating), dan fungsi

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Teori Keagenan merupakan sebuah teori yang membahas mengenai hubungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penelitian ini menggunakan teori keagenan ( agency theory) sebagai teori

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Stoner (1992), Organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggara negara atas kepercayaan yang diamanatkan kepada mereka. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Konsep tentang mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Daerah sebagai salah satu organisasi sektor publik setiap tahun

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dalam operasionalnya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Untuk mencapai

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1977; Nori, 1996) dalam (Putu Novia, dkk: 2015). Mardiasmo (2002) dalam (Putu

PENGANGGARAN SEKTOR PUBLIK

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi menjadi desentralisasi. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 yang telah

S A L I N A N PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 17 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. negara, tidak terkecuali di Indonesia. Baik pada sektor publik maupun pada sektor

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KOTA SURABAYA TAHUN 2010

BUPATI PEKALONGAN PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 serta Undang-Undang

Department of Business Adminstration Brawijaya University

METODE TEKNIK PENYUSUNAN. Lab. Politik dan Tata Pemerintahan, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN GRESIK TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2014 BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Akuntansi dan Sistem Pelaporan Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 79 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL

LAMPIRAN PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR LAMPIRAN NOMOR : 40 TAHUN 2012 LAMPIRAN TANGGAL : 30 MEI 2012

PERUBAHAN APBD PERTEMUAN 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. buku-buku ilmiah, publikasi umum, dan artikel jurnal. Adapun kajian pustaka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (suplementer) dan saling terkait antar dokumen kebijakan. (APBD) merupakan dokumen yang saling berkaitan.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON UTARA NOMOR 1 TAHUN 2015 SISTEM PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

- 2 - Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);

BAB I PENDAHULUAN. secara mandiri. Masing-masing daerah telah diberikan kekuasaan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Purnomo (2015) melakukan penelitian tentang Penilaian Kinerja Berbasis

SISTEM DAN PROSEDUR PENYUSUNAN KEBIJAKAN UMUM APBD DAN PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA

Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG MEKANISME TAHUNAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG,

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi sektor publik merupakan organisasi yang menjalankan

BUPATI SEMARANG PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 61 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2012

BUPATI LOMBOK BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan di masing-masing unit kerja pada organisasi/lembaga. Penganggaran

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Anggaran sektor publik merupakan suatu instrumen perencanaan,

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan yang baik karena merupakan proses penentuan kebijakan dalam rangka

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Penganggaran dalam organisasi sektor publik merupakan tahapan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi termasuk institusi pendidikan dalam melaksanakan

WALIKOTA BEKASI PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2017

2015 PENGARUH PARTISIPASI PENYUSUNAN ANGGARAN TERHADAP SENJANGAN ANGGARAN DENGAN BUDGET EMPHASIS SEBAGAI VARIABEL MODERASI

BAB I PENDAHULUAN. yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN 2013

SIKLUS ANGGARAN PEMERINTAH DAERAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR TAHUN 2014 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2015

LEMBAR KUESIONER. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas kesediaan anda mengisi kuesioner ini.

BAB I PENDAHULUAN. digerakkan oleh sektor bisnis (Privat) dan sektor publik (entitas publik).

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran merupakan rencana yang dinyatakan dalam unit moneter yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan atau lebih (Mikesell, 2007) dalam Widhianto (2010). Kenis (1979) koordinasi, komunikasi, evaluasi kerja, serta motivasi.

BUPATI KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

Abstrak. Kata kunci: senjangan anggaran, partisipasi penganggaran, kepercayaan diri, komitmen organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

S A L I N A N PERATURAN BUPATI PEKALONGAN NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI PANDEGLANG PROVINSI BANTEN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

-1- PETUNJUK TEKNIS PERENCANAAN PEMBIAYAAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG KETAHANAN PANGAN PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA I.

NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG POKOK-POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Organisasi pemerintah daerah merupakan lembaga yang menjalankan roda

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

[A.1] PENYUSUNAN KUA DAN PPAS. 1. Berdasarkan Peraturan Gubernur tentang RKPD dan Peraturan Menteri Dalam

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

WALIKOTA SURABAYA SALINAN

PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2011 BUPATI SEMARANG,

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 76 TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak, dan kewajiban. Setiap satuan kerja baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Hubungan agensi muncul ketika salah satu pihak (prinsipal) menyewa pihak

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dengan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengendalian organisasi karena pengukuran kinerja diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penganggaran sektor publik terkait dengan proses penentuan jumlah

STRUKTUR, PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD

SISTEM DAN PROSEDUR PENYUSUNAN KEBIJAKAN UMUM PERUBAHAN APBD DAN PRIORITAS DAN PLAFON ANGGARAN SEMENTARA PERUBAHAN APBD

BUPATI BANYUMAS PERATURAN BUPATI BANYUMAS NOMOR 31 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM DAN PROSEDUR PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS

GUBERNUR SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, rumusan masalah,

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. serta tujuan jangka pendek dan jangka panjang (Hansen dan Mowen, 2001).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan panitia, pengumpulan dan pengklasifikasian data, pengajuan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru.

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2015

BUPATI BARRU PERATURAN BUPATI BARRU NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN BARRU TAHUN 2014 BUPATI BARRU,

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1 Akuntansi Sektor Publik Pengertian Akuntansi Sektor Publik Bastian (2006:15) Mardiasmo (2009:2) Abdul Halim (2012:3)

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Landasan Teori dan Konsep 2.1.1. Teori Keagenan Teori agensi merupakan kondisi dimana prinsipal (pemilik atau manajemen puncak) membawahi agen (karyawan atau manajer yang lebih rendah) untuk melaksanakan kinerjanya yang efisien. Teori ini secara umum mengasumsikan prinsipal bersikap netral terhadap risiko sementara agen bersikap menolak usaha dan risiko. Teori keagenan telah diasumsikan bahwa setiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan pribadi, sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Manajer sebagai agen termotivasi untuk memaksimalkan kebutuhan ekonomi dan psikologis, antara lain dalam hal investasi, memperoleh pinjaman, dan kontrak kompensasi (Purwanti, 2013). Praktik budgetary slack dalam perspektif teori keagenan dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan antara agen dengan prinsipal yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya (Novia, 2015). 2.1.2. Teori Atribusi Teori atribusi merupakan sebuah teori yang mempelajari bagaimana seseorang menginterpretasikan suatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya. Teori ini diterapkan dengan menggunakan variabel tempat pengendalian intern dan eksternal. Tempat pengendalian internal adalah perasaan yang dialami oleh 14

seseorang mengenai kemampuannya untuk mempengaruhi kinerja serta perilakunya secara personal melalui kemampuan, keahlian, dan usahanya, sedangkan tempat pengendalian eksternal adalah perasaan yang dimiliki oleh seseorang bahwa perilakunya dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar kendalinya (Lubis, 2011:90). Teori atribusi dapat menjelaskan mengenai kapasitas individu yang dimiliki oleh individu penyusun anggaran pada organisasi publik. Kapasitas individu yang dimiliki oleh pelaksana anggaran akan dipengaruhi oleh kombinasi antara keyakinan terhadap kemampuan dalam mencapai target serta kesulitankesulitan yang dialami dalam mencapai target anggaran. 2.1.3. Pengertian Anggaran Anggaran adalah suatu rencana kuantitatif (satuan jumlah) periodik yang disusun berdasarkan program yang telah disahkan. Anggaran (budget) merupakan rencana tertulis mengenai kegiatan suatu organisasi yang dinyatakan secara kuantitatif untuk jangka waktu tertentu dan umumnya dinyatakan dalam satuan uang, tetapi dapat juga dinyatakan dalam sautuan barang/jasa. Anggaran merupakan alat manajemen dalam mencapai tujuan (Ester, 2009). 2.1.4. Penganggaran Sektor Publik Menurut Mardiasmo (2002:62) anggaran publik berisi rencana kegiatan yang direpresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan berapa biaya atas rencana- 15

rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja) dan berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan). Mardiasmo (2002:66) mengatakan anggaran sektor publik dibagi menjadi dua, yaitu anggaran operasional dan anggaran modal. Anggaran operasional digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintahan, serta anggaran modal menunjukkan rencana jangka panjang dan belanja atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, dan sebagainya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, mencantumkan tahapan penyusunan APBD sebagai berikut: Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah yaitu, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah. Berdasarkan RKPD, pemerintah daerah kemudian menyusun KUA (Kebijakan Umum Anggaran). KUA memuat target pencapaian kinerja pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasari. Berdasarkan KUA yang telah disepakati, Pemda dan DPRD menyusun PPA (Prioritas Plafon Anggaran). KUA dan PPA yang telah disepakati kemudian dituangkan kedalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh pihak Kepala Daerah dan pimpinan DPRD. Berdasarkan nota kesepakatan tersebut pemerintah daerah menerbitkan surat edaran tentang pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD). RKA-SKPD memuat pernyataan mengenai Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi). 16

Rencana kerja dan anggaran masing-masing SKPD yang telah dievaluasi oleh tim anggaran pemerintah daerah selanjutnya dirangkum menjadi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). RAPBD ditetapkan menjadi APBD setelah mendapatkan persetujuan bersama dari pemerintah daerah dan DPRD paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dimulai. 2.1.5. Anggaran dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah telah mengeluarkan berbagai instrumen hukum untuk mendukung reformasi penganggaran daerah. Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Permendagri Nomor 13 Tahun 2006; Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005; dan Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 sebagai pedoman penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Lembaga-lembaga yang berperan penting dalam perencanaan dan penganggaran daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) adalah Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Kepala daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan praktek-praktek penyimpangan pengelolaan keuangan negara. Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan proses penyusunan APBD di organisasi sektor publik untuk tatakelola pemerintahan, merupakan salah satu penanggulangan yang dilakukan pemerintah 17

pusat. Proses pembangunan ini melibatkan pengambilan kebijakan pemerintahan, pelaksanaan kegiatan pemerintahan, dan dalam tahap tertentu melibatkan masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan pelayanan publik. (Novia, 2015). 2.1.6. Prinsip Penyusunan Anggaran dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berdasarkan Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Tahun anggaran daerah meliputi masa satu tahun terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Prinsip penyusunan APBD berdasarkan pada Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 adalah: pertama, APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah daerah; kedua, APBD harus disusun secara tepat waktu sesuai dengan tahapan dan jadwal; ketiga, penyusunan APBD dilakukan secara transparan, yaitu memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi yang seluasluasnya tentang APBD; keempat, penyusunan APBD harus melibatkan partisipasi masyarakat; kelima, APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan; keenam, substansi APBD dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya. 18

2.1.7. Budgetary Slack Budgetary slack adalah proses penganggaran yang ditemukan adanya distorsi secara sengaja dengan menurunkan pendapatan yang dianggarkan dan meningkatkan biaya yang dianggarkan (Suartana, 2010:137). Senjangan anggaran merupakan perbedaan antara anggaran yang dinyatakan dan estimasi anggaran atau perbedaan antara rencana dan realisasi. Menurut Ikhsan dan Ishak (2005:176), menyatakan slack merupakan penggelembungan anggaran. Slack merupakan selisih antara sumber daya yang sebenarnya diperlukan untuk secara efisien menyelesaikan suatu tugas dan jumlah sumber daya yang lebih besar yang diperlukan bagi tugas tersebut. Salah satu faktor penyebab terjadinya kesenjangan anggaran adalah kekakuan dalam mengontrol anggaran (Sancita, 2014). 2.1.8. Partisipasi Anggaran Pertisipasi adalah suatu proses pengambilan keputusan bersama oleh dua bagian atau lebih pihak di mana keputusan tersebut akan memiliki dampak masa depan terhadap Agen yang membuatnya. Anggaran merupakan rencana yang ditulis berisi kegiatan dalam organisai dimana dinyatakan dengan cara kuantitatif serta digunakan satuan uang atau moneter dalam periode tertentu (Purmita, 2014). Partisipasi anggaran merupakan keterlibatan individu dalam pelaksanaan proses penyusunan anggaran, tugas kerja yang harus dilaksanakan untuk periode tertentu. Partisipasi anggaran yaitu tingkat pengaruh dan keterlibatan yang dirasakan oleh individu dalam proses perancangan anggaran (Milani, 1975). Partisipasi penganggaran adalah proses yang menggambarkan individu-individu terlibat dalam penyusunan anggaran dan mempunyai pengaruh terhadap target 19

anggaran dan perlunya penghargaan atas pencapaian target anggaran tersebut (Brownell, 1982). 2.1.9. Asimetri Informasi Asimetri Informasi dalam konteks teori keagenan, merupakan suatu keadaan dimana bawahan memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan atasannya. Agen dapat mengambil keuntungan dari asimetri tersebut untuk kepentingan pribadinya (Nohria, 1996). Purwanti (2013) mengatakan asimetri informasi terjadi karena adanya perbedaan dalam perolehan informasi dan risiko perkiraan antara kedua pihak yang bertransaksi. Menurut Hobson, et al. (2011) asimetri informasi didefinisikan sebagai perbedaan dalam informasi yang dimiliki oleh agen dan prinsipal. Senjangan anggaran dapat menimbulkan dilema moral karena memungkinkan bawahan untuk mengekstrak sumber daya berlebih melalui caracara menipu, dan perilaku seperti melanggar norma-norma sosial umum. Penilaian moral menggambarkan tekad apakah suatu tindakan yang secara moral benar atau salah. 2.1.10. Kapasitas Individu Kapasitas individu pada dasarnya terbentuk dari proses pendidikan secara umum, baik melalui pendidikan formal dan informal. Individu yang berkualitas adalah individu yang memiliki pengetahuan. Terlibat dalam proses penganggaran, maka individu yang memiliki pengetahuan yang cukup dapat mengalokasikan sumber daya secara optimal, dan dengan demikian dapat mengurangi senjangan anggaran (Yuhertina, 2011). 20

Hapsari (2011) menyatakan kapasitas individu dapat diukur melalui pengetahuan, pelatihan, jenis kelamin, dan pengalaman yang dimiliki oleh pembuat anggaran. Pengetahuan, pelatihan, jenis kelamin, dan pengalaman yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Pengetahuan yang dimiliki oleh pembuat anggaran sangat berpengaruh terhadap keputusan-keputusan yang akan diambil, bagaimana memanfaatkan sumber daya yang ada secara efektif. 2) Pelatihan merupakan berbagai pendidikan non formal yang diperoleh pembuat anggaran dalam meningkatkan kapasitasnya sebagai pembuat anggaran. 3) Gender atau jenis kelamin karyawan yang menjabat dalam perencanaan anggaran. 4) Pengalaman terkait dengan peran serta individu dalam penyusunan anggaran. Pengalaman menentukan pengambilan keputusan untuk penyusunan anggaran yang lebih baik dengan banyaknya memiliki pengalaman kerja penyusunan anggaran. 2.1.11. Kejelasan Sasaran Anggaran Kejelasan sasaran anggaran merupakan sejauh mana tujuan anggaran ditetapkan secara jelas dan spesifik dengan tujuan agar anggaran tersebut dapat dimengerti oleh orang yang bertanggungjawab atas pencapaian anggaran tersebut. Kejelasan sasaran anggaran memberikan kepastian kepada pelaksana anggaran untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan maupun kegagalan selama melaksanakan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang 21

telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan ketidakjelasan sasaran anggaran akan menyebabkan kebingungan, tekanan dan ketidakpuasan dalam bekerja. Adanya sasaran anggaran yang jelas, penyusun anggaran maupun pelaksana anggaran akan memilki informasi yang cukup mengenai sasaran-sasaran anggaran yang akan dicapai daripada tidak adanya kejelasan sasaran anggaran (Kridawan dan Amir, 2014). 2.2. Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian yang akan dilakukan ini berdasarkan permasalahan dan tujuannya adalah sebagai berikut: 2.2.1. Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Budgetary Slack Partisipasi anggaran merupakan keterlibatan pelaksanaan pada proses penyusunan suatu anggaran. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sancita (2014) menunjukkan partisipasi anggaran berpengaruh signifikan terhadap Budgetary Slack. Hasil penelitian yang dilakukan Adrianto (2008), Andi (2010), Djasuli (2011), Sandrya (2013), Reno (2013), Erni (2014), Nitiari (2014), dan Novia (2015) menunjukkan variabel partisipasi anggaran berpengaruh positif terhadap senjangan anggaran. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elfi (2013), Wisnu (2014), Srimuliani (2014), Surya (2014), dan Purmita (2014) yang membuktikan partisipasi anggaran berpengaruh negatif terhadap senjangan anggaran. Partisipasi anggaran dapat mempengaruhi tingkat penurunan potensi terjadinya budgetary slack, hal ini ditandai dengan komunikasi yang baik didalam 22

organisasi publik sehingga bawahan dalam organisasi tersebut tidak terdorong untuk menciptakan budgetary slack. Maka hipotesis dalam penelitian ini, yaitu: H 1 : Partisipasi anggaran berpengaruh negatif terhadap budgetary slack. 2.2.2. Pengaruh Asimetri Informasi Terhadap Budgetary Slack Semakin tinggi asimetri informasi yang ada, maka akan semakin tinggi juga budgetary slack yang terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan Dwi dan Lidya (2010) membuktikan information asimetry berpengaruh positif terhadap budgetary slack. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Surya (2014), Purmita (2014), dan Wisnu (2014) menunjukkan asimetri informasi berpengaruh positif terhadap budgetary slack. Hipotesis antara asimetri informasi dengan budgetary slack dapat dihipotesiskan sebagai berikut: H 2 : Asimetri informasi berpengaruh positif terhadap budgetary slack. 2.2.3. Pengaruh Kapasitas Individu Terhadap Budgetary Slack Individu yang berkualitas adalah individu yang memiliki cukup pengetahuan akan mampu mengelola sumber daya secara optimal, dengan demikian dapat memperkecil budgetary slack. Hasil penelitian yang dilakukan Budi (2009) menunjukkan kapasitas individu berpengaruh negatif terhadap budgetary slack. Berbeda dengan hasil penelitian Shinta (2006) dan Hapsari (2011) kapasitas individu berpengaruh positif terhadap budgetary slack. Hipotesis antara kapasitas individu dengan budgetary slack sebagai berikut: H 3 : Kapasitas individu berpengaruh positif terhadap budgetary slack. 23

2.2.4. Pengaruh Kejelasan Sasaran Anggran Terhadap Budgetary Slack Hasil penelitian yang dilakukan Kridawan dan Amir (2014) dan Adi (2014) kejelasan sasaran anggaran berpengaruh positif signifikan terhadap senjangan anggaran. Berbeda dengan hasil penelitian Krisna (2014), dan Triadhi (2013) menunjukkan kejelasan sasaran anggaran berpengaruh negatif terhadap senjangan anggaran. Sasaran anggaran yang jelas, penyusun anggaran maupun pelaksana anggaran akan memiliki informasi yang cukup mengenai sasaran-sasaran anggaran yang akan dicapai daripada tidak adanya kejelasan sasaran anggaran. Sehingga kejelasan sasaran anggaran akan berpengaruh terhadap penurunan senjangan anggaran. Hubungan antara kejelasan sasaran anggaran dengan budgetary slack dapat dihipotesiskan sebagai berikut: H 4 : Kejelasan sasaran anggaran berpengaruh negatif terhadap budgetary slack. 24