BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi, 25% dari penduduk dunia pernah menderita masalah kesehatan jiwa, 1% diantaranya adalah gangguan jiwa berat, potensi seseorang mudah terserang gangguan jiwa memang tinggi, setiap saat 450 juta orang di seluruh dunia terkena dampak permasalahan jiwa, saraf maupun perilaku. Ronosulistyo (2008) menyebutkan, prevalensinya sekitar 11% dari total penduduk dewasa di Indonesia. Persentase gangguan kesehatan jiwa itu akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya beban hidup masyarakat Indonesia. Dari survei awal yang dilakukan, diketahui jumlah pasien penderita gangguan jiwa yang dirawat di Rumah sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2009 berkisar 14.306 jiwa, dari jumlah tersebut 1929 pasien dirawat inap, 12.377 pasien dirawat jalan, dan 1581 pasien yang dirawat inap mengalami halusinasi (Laporan Rekam Medik Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, 2009). Gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gangguan jiwa ringan (Neurosa) dan gangguan jiwa berat (Psikosis). Psikosis ada dua jenis yaitu psikosis organik, dimana didapatkan kelainan pada otak dan psikosis fungsion
tidak terdapat kelainan pada otak. Psikosis salah satu bentuk gangguan jiwa merupakan ketidakmampuan untuk berkomunikasi atau mengenali realitas yang menimbulkan kesukaran dalam kemampuan seseorang berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu gejala psikosis yang dialami penderita gangguan jiwa adalah yang merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi (Maramis, 2005). Halusinasi dapat didefenisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus (Varcarolis dalam Yosep, 2009). Halusinasi dibedakan dari distorsi atau ilusi yang merupakan tanggapan salah dari rangsang yang nyata ada. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), 70% pasien mengalami jenis halusinasi audiotorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinai pengecapan, taktil dan penciuman. Pasien merasakan halusinasi sebagai sesuatu yang amat nyata, paling tidak untuk suatu saat tertentu (Kaplan, 1998). Menurut Thomas (1991) halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan gangguan jiwa, dimana halusinasi sering diidentikkan dengan skizofrenia. Dari seluruh skizofrenia, 70% diantaranya mengalami halusinasi, gangguan jiwa lain yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan Manik Depresif dan Delirium (Purba, Eka, Mahnum, Hardiyah, 2009). Akibat yang ditimbulkan oleh gangguan tersebut dapat berakibat fatal karena berisiko tinggi untuk merugikan dan merusak diri pasien sendiri, orang lain
disekitarnya dan juga lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995). Gangguan ini biasanya berdampak pada kemampuan kognitif dan psikomotor pasien. Terkait dengan tingginya prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi maka sangat dibutuhkan pemberian standar asuhan keperawatan yang tepat dan benar serta maksimal kepada masing-masing pasien gangguan persepsi: halusinasi untuk menghadapi masalahnya dan meminimalkan resiko yang terjadi (Purba, Eka, Mahnum, Hardiyah, 2009). Menurut Carpenito (1996) dikutip oleh Keliat (2006), pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Asuhan keperawatan juga menggunakan pendekatan proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian menentukan masalah atau diagnosa, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi dan evaluasi. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah yang terjadi pada pasien perlu dikaji lebih lanjut tentang gangguan persepsi sensori: halusinasi pada pasien. Seperti, perawat perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang dialami oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadi halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi. Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi (Yosep, 2009). Hal ini menunjukan bahwa pengaruh pelaksanaan standar Asuhan Keperawatan halusinasi akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan psikomotorik pasien dalam mengontrol halusinasinya.
Adapun yang menjadi gambaran umum terhadap kemampuan kognitif pasien gangguan persepsi halusinasi adalah pasien mampu mengenali halusinasinya, sedangkan pada kemampuan psikomotor pasien yaitu pasien dapat mengontrol halusinasinya dan pasien dapat mengikuti program pengobatan secara optimal. Telah banyak penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang berhubungan dengan gangguan persepsi halusinasi, tetapi penelitian tentang pengaruh pelaksanaan standar asuhan keperawatan halusinasi terhadap kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam mengontrol halusinasi belum pernah dilakukan (Wawancara dengan Bagian Diklat Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, 2010) Sebagaimana telah diketahui bahwa kebanyakan pasien gangguan jiwa mengalami halusinasi yang merupakan manifestasi dari ketidakmampuan pasien beradaptasi dalam kehidupan dan lingkungan, diakibatkan oleh terjadinya gangguan pada kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam mengontrol halusinasinya. Sementara itu dari informasi yang didapatkan melalui wawancara dengan Pihak Diklat Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara (2010), bahwasanya Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara belum memiliki prosedur tetap (PROTAP) dan melaksanakan standar asuhan keperawatan halusinasi ini. Sehingga timbul keinginan peneliti untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan standar asuhan keperawatan halusinasi terhadap kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam mengontrol halusinasi di Ruangan Pusuk Buhit Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara
2. Pertanyaan Penelitian Bagaimana pengaruh pelaksanaan standar asuhan keperawatan halusinasi terhadap kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam mengontrol halusinasi? 3. Tujuan Penelitian 3.1 Tujuan Umum Mengetahui bagaimana pengaruh pelaksanaan standar asuhan keperawatan halusinasi terhadap kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam mengontrol halusinasi. 3.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui karakteristik pasien. b. Mengetahui kemampuan kognitif dan psikomotor pasien sebelum dilakukan asuhan keperawatan halusinasi. c. Mengetahui kemampuan kognitif dan psikomotor pasien setelah dilakukan asuhan keperawatan halusinasi. d. Melihat pengaruh pelaksanaan standar asuhan keperawatan halusinasi terhadap kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam mengontrol halusinasi.
4. Manfaat Penelitian 4.1 Praktek Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan perawat dalam pelaksanaan standar asuhan keperawatan halusinasi terhadap kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam mengontrol halusinasi. 4.2 Pendidikan Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti dasar yang dipergunakan dalam wahana pembelajaran keperawatan jiwa, khususnya materi tentang pelaksanaan standar asuhan keperawatan halusinasi terhadap kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam mengontrol halusinasi. 4.3 Penelitian Keperawatan Hasil penelitian ini digunakan sebagai data tambahan untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan pengaruh pelaksanaan standar asuhan keperawatan halusinasi terhadap kemampuan kognitif dan psikomotor pasien dalam mengontrol halusinasinya.