BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Seiring dengan bertambahnya usia seseorang, proses penuaan tidak dapat dihindari. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 Pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut Depkes, pengklasifikasian lansia terdiri dari lansia dini berusia 55-64 tahun, lansia berusia 65 tahun dan lansia risiko tinggi berusia 70 tahun ke atas. 1 Proporsi jumlah lansia terus meningkat di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Secara global, jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas mencapai 600 juta dan angka ini akan menjadi 2 kali lipat pada tahun 2025. Pada tahun 2050 akan menjadi 2 milyar dan 80% diantaranya bermukim di negara berkembang. 2 Indonesia termasuk negara berstruktur tua, hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk manula pada tahun 2008, 2009 dan 2012 telah mencapai 7% dari keseluruhan penduduk. Pada tahun 2012, Provinsi Sumatera Utara menduduki posisi ke-17 dengan persentase penduduk manula sebanyak 5,9%. 3 Menurut Kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA), jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 23,9 juta atau 9,77% dan usia harapan hidup adalah sekitar 67,4 tahun. Pada 2020 perkiraan penduduk lansia di Indonesia mencapai 28,8 juta atau 11,34% dengan usia harapan hidup sekitar 71,1 tahun. Perkembangan lansia yang sangat pesat merupakan fenomena global yang menimbulkan tantangan dalam meningkatkan kesehatan fisik maupun mental. Tingginya angka penduduk lanjut usia tersebut diikuti oleh tingginya angka permasalahan kesehatan, khususnya masalah kesehatan gigi dan mulut dengan kehilangan gigi yang disebabkan oleh penurunan kondisi fisik lanjut usia. 4 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, persentase penduduk yang mempunyai masalah gigi dan mulut dalam 12 bulan terakhir adalah
25,9% dan dari jumlah tersebut, yang menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga kesehatan adalah 31,1%, sementara 68,9% lainnya tidak dilakukan perawatan. Provinsi Sumatera Utara memiliki angka prevalensi penduduk yang bermasalah gigi dan mulut sebanyak 19,4% dan yang menerima perawatan atau pengobatan hanya sebanyak 25,3%. 5 Hasil riset ini menunjukkan bahwa prevalensi penduduk yang menerima perawatan atau pengobatan yang rendah dapat meningkatkan prevalensi penduduk yang mengalami kehilangan gigi. Kehilangan gigi dapat menyebabkan berbagai reaksi pada pasien seperti kurang percaya diri, sadar akan penampilan dan merahasiakan kehilangan gigi. Kehilangan gigi juga dapat berpengaruh terhadap aktivitas sosial. 6 Hal ini selaras dengan pendapat McGrath dan Bedi yang dikutip oleh Emini (2013) bahwa kehilangan gigi dapat mempengaruhi keadaan fisik seperti penampilan estetik, terganggunya sistem mastikasi dan mempengaruhi kenyamanan bicara, serta hasil penelitian Wong MCM (2013) menyatakan bahwa kehilangan gigi geligi dapat mempengaruhi keadaan fisik dan psikologis, seperti kurangnya percaya diri dan keterbatasan aktivitas sosial. 4 Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Davis dkk (2000), menunjukkan bahwa terdapat efek emosional yang signifikan sebagai konsekuensi kehilangan gigi, 45% dari pasien edentulus di London sulit untuk menerima kehilangan gigi. Pada pasien ini, mereka mengekspresikan emosi yang lebih kompleks seperti merasa sedih dan depresi, kehilangan bagian dari diri mereka, merasa tua, pasrah, kurang percaya diri. Selain itu, yang lebih parah lagi terjadi pembatasan aktivitas fungsional yaitu 76% tertekan dalam pemilihan makanan dan kurang menikmati makanan, 67% menghindari makan di depan umum, 62% menghindari tertawa di depan umum, 34% menghindari bepergian dan 52% menghindari bersosialiasasi. 6 Dalam pandangan ini, edentulus secara nyata berdampak terhadap keseluruhan kualitas hidup, yaitu respons individu dalam kehidupannya sehari-hari. Gigi tiruan penuh (GTP) konvensional merupakan salah satu perawatan yang sering dipilih untuk kasus kehilangan seluruh gigi. Penelitian Adam dkk (2006), menyatakan bahwa penggunaan gigi tiruan penuh dapat meningkatkan kualitas hidup
lansia yang telah mengalami kehilangan gigi. Tingkat kepuasan gigi tiruan berkaitan erat dengan Oral Health Related Quality of Life (OHRQoL) dan penggunaan gigi tiruan penuh yang baru meningkatkan OHRQoL pada pasien tersebut. 7 Adapun hasil penelitian yang dikutip oleh Emini (2013), yaitu penelitian oleh Sinta Winarso (2010), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada kualitas hidup sebelum dan sesudah pemakaian gigi tiruan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa lansia yang menggunakan gigi tiruan dapat mempengaruhi kualitas hidup. 4 Pemakaian gigi tiruan menjadi solusi untuk menggantikan gigi yang hilang. Gigi tiruan bertujuan untuk memperbaiki fungsi pengucapan, pengunyahan, estetis, mencegah kerusakan dari struktur organ dan menjaga kesehatan jaringan rongga mulut. 8 Menurut Berg (1993), konstruksi GTP yang baik tergantung pada aspek teknis, biologis, dan interaksi fisiologis antara pasien dengan dokter gigi. 9 Selain itu, prosedur pembuatan GTP juga dapat mempengaruhi konstruksi gigi tiruan dimana tehnik dan prosedur pembuatan GTP yang dibuat oleh mahasiswa kepaniteraan klinik mungkin berbeda dengan yang dibuat di praktek dokter gigi. Kebanyakan pasien yang mendapatkan perawatan GTP di praktek dokter gigi kemungkinan GTP dibuat oleh tehniker gigi. Maka, hasil yang diperoleh juga mungkin berbeda. Penelitian Hana (2011) menyatakan persentase tingkat kepuasan pasien yang dicatat dari seluruh aspek kepuasan, penampilan, retensi, kenyamanan, bicara dan pengunyahan, pembersihan dan lama waktu pemakaian. 10-12 Menurut Bhat VS dkk (2014), bagi dokter gigi, pengunyahan yang efisien, estetik yang baik, kenyamanan ketika berbicara dan saat pemakaian gigi tiruan menjadi perhatian utama. Untuk memenuhi kedua hubungan dokter gigi pasien dan hasil pengobatan dapat dicapai dengan penilaian psikologis yang terkait dengan kepuasan. Ellis J dkk (2007), dalam pilot study yang dilakukannya melaporkan bahwa terdapat peningkatan kepuasan pasien terhadap perbaikan estetik. 12 Laurina (2006) menyatakan gigi tiruan yang terbaik pun tidak mampu mengoptimalkan fungsi bicara, mengunyah, dan bersosialisasi. 13 Hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Penilaian kepuasan pasien terhadap perawatan GTP dilakukan dengan berbagai metode seperti wawancara, pemeriksaan langsung dan kuesioner yang digunakan dalam mengumpulkan dan menilai semua faktor yang mempengaruhi, seperti jumlah koreksi setelah pemasangan, karakteristik psikologikal pasien, evaluasi diri yang mempengaruhi kualitas hidup, faktor demografi dan sosioekonomi (misalnya umur, jenis kelamin, tahap pendidikan, tingkat pendapatan, perbedaan budaya), harapan pasien terhadap gigi tiruan, kualitas konstruksi gigi tiruan, oklusi, dan faktor yang berhubungan dengan karakteristik anatomi dan fisiologis dari rongga mulut pasien (misalnya derajat resorpsi linggir alveolar, kualitas saliva, hipertrofi lidah dan status mukosa oral). Menurut Celebic dkk (2003), untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien dapat menggunakan 5 pertanyaan tentang kepuasan yaitu pengunyahan, penampilan, retensi gigi tiruan rahang atas dan/atau rahang bawah, kemampuan bicara, dan kenyamanan saat memakai gigi tiruan rahang atas dan/atau rahang bawah. 9 Menurut Pocztaruk dkk (2006 dan 2009), melaporkan dalam penelitian mereka menggunakan tingkat kepuasan berdasarkan kemampuan untuk memotong jenis makanan menggunakan gigi tiruan. 14,15 Peneliti lain seperti Mardan (2013) menggunakan 7 pertanyaan tentang kepuasan memakai GTP yaitu mastikasi, stabilitas, estetika, fraktur, fonetik, sakit dan rasa mual. 16 Proses degeneratif secara alami pada lansia dapat menyebabkan penurunan fungsi dan perubahan fisik termasuk perubahan pada kondisi mulut sehingga dapat mengurangkan kapasitas adaptif dan menurunkan status kesehatan mulut khususnya resorpsi tulang yang mengurangi volume tulang yang masih tersisa dan hal ini menyebabkan terjadinya resorpsi dan perubahan pada linggir alveolar sehingga terjadi kesulitan dalam pemakaian gigi tiruan. 13,17,18 Kesulitan ini membuat pasien mengeluh ketidakpuasan memakai gigi tiruan karena kehilangan retensi khususnya ketika makan dan diikuti keluhan iritasi mukosa akibat dari pemakaian gigi tiruan yang longgar. Hal ini mungkin disebabkan oleh atrofi tulang yang berkelanjutan akibat durasi edentulus yang lama. Gangguan ini dapat menyebabkan ulserasi dan hilangnya retensi sehingga dapat mengurangi kepuasan pasien pemakai gigi tiruan. 9
Selain keterampilan dokter gigi, banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi retensi dan stabilitas yang optimal pada GTP, seperti adhesi dan kohesi, viskositas dan laju aliran saliva, bentuk dan arah dari resorpsi tulang alveolar, kualitas dan kuantitas tulang alveolar, hubungan antara linggir alveolar rahang atas dan rahang bawah, koordinasi neuromuskular, status mukosa oral, kedalaman sulkus vestibular, dan ada atau tidaknya pembesaran lidah, namun yang menjadi perhatian utama dalam penelitian Celebic dkk (2003), adalah resorpsi linggir alveolar, kualitas saliva, pembesaran lidah dan status mukosa oral. 9 Penelitian Pocztaruk dkk (2006), mengenai tingkat kepuasan dan kapasitas mastikasi pasien edentulus memakai GTP konvesional menyatakan pasien edentulus dengan resorpsi tulang mandibular mengalami kesulitan adaptasi pengunyahan dan sering mengeluhkan ketidakpuasan dengan gigi tiruan mereka. 14 Selain itu, hiposalivasi dapat menyebabkan berkurangnya retensi gigi tiruan sehingga menyebabkan ketidaknyamanan pasien dalam menggunakan GTP. 19 1.2 Permasalahan Dengan adanya peningkatan kebutuhan perawatan GTP dan perlunya perhatian bahwa keberhasilan perawatan GTP tidak hanya dipengaruhi kondisi fisik saja, tetapi juga penerimaan pasien, maka diperlukan penelitian terhadap tingkat kepuasan pasien setelah menerima perawatan GTP di Klinik Prostodonsia RSGMP FKG USU berdasarkan karakteristik umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pernah atau tidak memakai GTP sebelumnya dan dihubungkan juga dengan kondisi klinis rongga mulut pasien lansia. Peneliti merasa perlu melakukan penelitian pada lansia pemakai GTP untuk mengobservasi tingkat kepuasan pasien lansia pemakai GTP yang dilakukan oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Prostodonsia karena tidak semua lansia akan merasa nyaman saat memakai GTP walaupun GTP tersebut telah memenuhi persyaratan klinis. Lansia pemakai GTP buatan mahasiswa kepaniteraan Klinik Prostodonsia RSGMP FKG USU dipilih sebagai populasi penelitian untuk diobservasi tingkat kepuasan mereka berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pernah atau tidak memakai GTP sebelumnya dengan kondisi klinis
rongga mulut pasien. Pengukuran kepuasan pasien pemakai GTP menggunakan kuesioner menurut Celebic yang terdiri dari pertanyaan mengenai estetika, kenyamanan, pengunyahan, retensi GTP rahang atas dan bawah dan berbicara. 1.3 Rumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik pasien lanjut usia pemakai gigi tiruan penuh berdasarkan faktor sosiodemografi? 2. Bagaimana karakteristik pasien lanjut usia pemakai gigi tiruan penuh berdasarkan kondisi klinis rongga mulut? 3. Apakah ada hubungan antara tingkat kepuasan pasien lanjut usia pemakai gigi tiruan penuh dengan faktor sosiodemografi? 4. Apakah ada hubungan antara tingkat kepuasan pasien lanjut usia pemakai gigi tiruan penuh dengan kondisi klinis rongga mulut? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui karakteristik pasien lanjut usia pemakai gigi tiruan penuh berdasarkan faktor sosiodemografi. 2. Untuk mengetahui karakteristik pasien lanjut usia pemakai gigi tiruan penuh berdasarkan kondisi klinis rongga mulut. 3. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepuasan pasien lanjut usia pemakai gigi tiruan penuh dengan faktor sosiodemografi. 4. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepuasan pasien lanjut usia pemakai gigi tiruan penuh dengan kondisi klinis rongga mulut. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Praktis 1. Untuk memperoleh data mengenai kepuasan pasien memakai gigi tiruan penuh yang dibuat mahasiswa kepaniteraan Klinik Prostodonsia RSGMP FKG USU.
2. Sebagai masukan bagi Departemen Prostodonsia untuk menghasilkan gigi tiruan penuh yang lebih memuaskan dengan tetap memperhatikan faktor sosiodemografi dan kondisi klinis rongga mulut pasien. 3. Agar masyarakat lebih menyadari bahwa kegunaan pemakaian gigi tiruan penuh dapat meningkatkan kualitas hidup. 1.5.2 Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian ini dapat memberikan konstribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan kepada instansi kesehatan khususnya bagi Departemen Prostodonsia Fakultas Kedokteran Gigi mengenai kepuasan pemakai gigi tiruan penuh. 2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut.