V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk memudahkan pengamatan dalam mengidentifikasi penggunaan lahan pada citra Landsat digunakan kombinasi band RGB 5-4-2. Kombinasi band tersebut memiliki kekontrasan yang tinggi sehingga dalam membedakan penggunaan lahan akan semakin lebih mudah. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification). Pada analisis ini didapat nilai Kappa sebesar 82.44 %. Hasil pengamatan visual dibedakan menjadi 5 objek penggunaan lahan, yaitu hutan, pemukiman, sawah, semak belukar, tegalan/kebun campuran. Hasil analisis berupa peta penutupan/penggunaan lahan serta luas masing-masing penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 5 dan Tabel 5. Gambar 5. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2008
23 Tabel 5. Luas Masing-masing Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2008 No. Keterangan Luas (Ha) 1 Hutan 64.524 2 Pemukiman 639.889 3 Sawah 41.825 4 Semak belukar 45.592 5 Tegalan/Kebun campuran 97.545 5.2. Hubungan Antar Faktor Fisik dengan Produktivitas 5.2.1. Hubungan Antara Jenis Tanah dengan Produktivitas Hasil pengolahan data jenis tanah dapat dilihat pada Gambar 6 terlihat bahwa kabupaten Bogor didominasi oleh jenis tanah Latosol. Menurut Subagyo et al. (2004), tanah Latosol banyak dimanfaatkan untuk perladangan berpindah, pertanian lahan kering, tegalan dan kebun campuran serta tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit, bahkan kalau iklimnya memungkinkan dapat dipergunakan untuk perkebunan tebu. Lereng tanah Latosol umumnya relatif stabil dan tahan terhadap erosi. Gambar 6. Peta Jenis Tanah Kabupaten Bogor
24 Gambar 7 memperlihatkan bahwa produktivitas tertinggi berada di daerah yang berjenis tanah Aluvial, sedangkan produktivitas terendah secara umum berada pada daerah yang berjenis tanah Podsolik Merah Kuning. Produktivitas (ton/ha) 7 6 5 4 3 2 1 0 Aluvial Grumusol Latosol Podsolik Merah Kuning Jenis Tanah Gambar 7. Diagram Kotak Garis Antara Jenis Tanah dengan Produktivitas Padi Sawah Lebih tingginya produktivitas pada tanah Aluvial menunjukkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah yang cocok untuk pertanaman padi sawah. Hal ini dimungkinkan karena umumnya dekat dengan sumber air yang sangat dibutuhkan oleh tanaman padi sawah. Menurut Soepraptohardjo dan Suhardjo (1978), tanah Aluvial di Indonesia merupakan tanah yang paling banyak dan paling baik digunakan untuk persawahan. Tanah Aluvial merupakan tanah yang terbentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah, sehingga faktor air yang menjadi kunci utama dalam penanaman padi sawah selalu tersedia. Tanah aluvial berdasarkan sistem taksonomi tanah masuk kedalam ordo Entisol. Susunan kimia tanah Entisol yang berada di sekitar gunung api memperlihatkan korelasi dengan tekstur. Kadar fosfat tertinggi dikandung tanah bertekstur kasar dan berkurang dengan makin halus tekstur, sebaliknya K semakin rendah. Umumnya semakin halus tekstur tanah, semakin produktif (Rachim dan Suwardi, 1999). Tabel 6. Luas Sawah Berdasarkan Jenis Tanah No. Jenis Tanah Luas (Ha) 1 Aluvial 4.811 2 Grumusol 4.119 3 Latosol 11.632 4 Podsolik Merah Kuning 4.044 5 Tanah Lain 698
25 Tabel 6 memperlihatkan penanaman padi sawah yang paling dominan berada pada tanah Latosol hal ini dapat terlihat dari penyebaran data, dimana diagram kotak garis untuk jenis tanah Latosol memiliki rentang garis yang lebih panjang dari jenis tanah lainnya. Faktor yang sangat mempengaruhi mengapa petani tetap menanam padi sawah di tanah Latosol adalah karena waktu yang dibutuhkan dari menanam sampai panen relatif lebih singkat jika dibandingkan dengan menanam tanaman pangan kering atau perkebunan. Sehingga modal yang dikeluarkan dapat dengan cepat kembali dan petani bisa memulai penanaman selanjutnya. Selain itu, dengan menanam padi, petani tidak perlu khawatir jika hasil produksi nanti tidak terjual secara maksimum di pasaran, karena walaupun begitu, petani dapat menggunakan hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. 5.2.2. Hubungan Antara Fisiografi dengan Produktivitas Gambar 8. Peta Fisiografi Kabupaten Bogor Hasil pengolahan data fisiografi dapat dilihat pada Gambar 8. Dari keempat fisiografi tersebut, volkan merupakan fisiografi yang paling dominan. Kabupaten Bogor didominasi fisiografi volkan dikarenakan letaknya yang berada
26 dekat dengan Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Sedangkan dibagian timur laut kabupaten Bogor, didominasi oleh fisografi volkan dan bukit lipatan. Produktivitas (Ton/Ha) 7 6 5 4 3 2 1 0 Dataran Bukit Lipatan Volkan Volkan dan bukit lipatan Fisiografi Gambar 9. Diagram Kotak Garis Antara Fisiografi dengan Produktivitas Padi Sawah Diagram kotak garis antara produktivitas dengan fisiografi menunjukkan bahwa daerah yang berfisiografi dataran cenderung memiliki nilai produktivitas yang dominan lebih tinggi jika dibandingkan dengan fisiografi lainnya, sedangkan nilai produktivitas paling rendah berada di fisiografi volkan dan bukit lipatan. Menurut Soepardi (1983), di dataran, air yang berlebihan sukar terbuang dengan cepat dan bila drainase tanah bersangkutan buruk, maka air tersebut dapat menggenang atau membasahi tanah sepanjang tahun. Ketersediaan air merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan padi. Tabel 7. Luas Sawah Berdasarkan Fisiografi No. Fisiografi Luas (Ha) 1 Bukit Lipatan 6934 2 Dataran 5592 3 Volkan 5013 4 Volkan dan Bukit Lipatan 7763 Penanaman padi sawah dominan pada daerah yang berfisiografi volkan dan bukit lipatan. Kabupaten Bogor memang didominasi oleh fisiografi volkan karena letak geografisnya yang dikelilingi oleh beberapa gunung. 5.2.3. Hubungan Antara Kemiringan Lereng dengan Produktivitas Gambar 10 merupakan hasil pengolahan kemiringan lereng yang ada di kabupaten Bogor. Pada bagian utara kabupaten Bogor didominasi oleh kemiringan lereng 15%, sedangkan pada bagian selatan, kemiringan lereng bevariasi dari 15% hingga > 50%, namun dominasi lereng adalah 15 30%.
27 Gambar 10. Peta Kelas Kemiringan Lereng Kabupaten Bogor Produktivitas (ton/ha) 7 6 5 4 3 2 1 0 0-15% 15-30% Kemiringan Lereng Gambar 11. Diagram Kotak Garis Antara Kemiringan Lereng dengan Produktivitas Padi Sawah Gambar 11 memperlihatkan produktivitas tertinggi cenderung berada pada kemiringan lereng kurang dari 15%. Garis yang menghubungkan median-median pada Gambar 11, menunjukkan pola hubungan antara produktivitas dengan kemiringan lereng memiliki tren yang negatif, semakin tinggi kemiringan lereng, nilai produktivitas padi sawah cenderung menurun.
28 Tabel 8. Luas Sawah Berdasarkan Kemiringan Lereng No. Kemiringan Lereng Luas (Ha) 1 15% 21.526 2 15%-30% 3.704 3 30%-50% 44 4 > 50% 30 Tabel diatas menunjukkan penanaman padi paling dominan barada pada kemiringan lereng kurang dari 15%. Penanaman padi sawah membutuhkan teras yang relatif datar, sehingga sangat dibatasi oleh kecuraman lereng. Menurut Sarwono dan Widiatmaka (2007), lahan yang memiliki lereng yang masuk kategori sesuai untuk pertanaman padi sawah berkisar antara 0-15%. Lahan yang masuk kategori sangat sesuai untuk pertanian padi sawah memiliki kisaran lereng 0-3%, sedangkan yang cukup sesuai memiliki kisaran lereng 3-8%, dan lahan yang sesuai marginal berada pada kisaran lereng 8-15%. 5.2.4 Hubungan Antara Elevasi dengan Produktivitas Kabupaten Bogor memiliki elevasi yang bervariasi dari 25 2250 meter diatas permukaan laut. Hal tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 12. Dari hasil pengolahan data yang didapat, bagian utara kabupaten Bogor didominasi oleh elevasi 25 250 meter diatas permukaan laut, sedangkan bagian selatan memiliki elevasinya semakin meningkat dan daerah yang paling selatan merupakan daerah yang memiliki elevasi paling tinggi yaitu 1500 meter diatas permukaan laut. Gambar 13 menjelaskan hubungan elevasi terhadap produktivitas padi sawah. Pada diagram ini terlihat tren dimana semakin meningkat elevasi, nilai produktivitas padi sawah cenderung semakin menurun. Dominan penanaman padi sawah juga berada pada daerah elevasi tersebut (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena suhu udara pada masing-masing rentang elevasi memiliki perbedaan suhu yang nyata. Menurut Nasir (2003), ketinggian tempat merupakan salah satu faktor pengendali iklim yang berpengaruh kuat terhadap suhu udara. Suhu udara berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme terutama fotosintesis dan respirasi tanaman.
29 Gambar 12. Peta Elevasi Kabupaten Bogor Terdapat pencilan nilai produktivitas maksimum di rentang elevasi 500 750 yaitu sebesar 6.5 ton/ha. Berdasarkan hasil wawancara, petani contoh pada lokasi tersebut mampu melakukan pemeliharaan secara intensif. 7 Produktivitas (ton/ha) 6 5 4 3 2 1 0 < 500 m 500-750 m > 750 m Elevasi (m) Gambar 13. Diagram Kotak Garis Antara Elevasi dengan Produktivitas Padi Sawah Disamping itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingginya produktivitas di daerah tersebut adalah karena aksesbilitas yang sangat mudah, sehingga memudahkan petani untuk medapatkan input yang dibutuhkan dalam pengelolaan.
30 Tabel 9. Luas Sawah Berdasarkan Elevasi No. Elevasi (m) Luas (Ha) 1 25-250 18.836 2 250-500 4.428 3 500-750 1.592 4 750-1000 364 5 1000-1250 83 5.2.5 Hubungan Antara Curah Hujan dengan Produktivitas Supaya bisa mengetahui secara jelas hubungan antara curah hujan dengan produktivitas padi sawah, kesembilan data curah hujan yang telah didapat, dimasukkan kedalam kriteria curah hujan yang telah dibuat, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan penelitian Yusmandhany (2004), yang menyebutkan bahwa curah hujan rata-rata kabupaten Bogor berkisar 3000-4000 mm/tahun, maka dalam penelitian ini dibuat kriteria curah hujan sedang yaitu antara 3000-4000 mm/tahun. Sedangkan kriteria rendah yaitu curah hujan kurang dari 3000 mm/tahun dan kriteria tinggi yaitu curah hujan lebih dari 4000 mm/tahun. Peta curah hujan dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Peta Curah Hujan Kabupaten Bogor
31 Hubungan antara curah hujan dengan produktivitas dapat dilihat pada Gambar 15 diagram tersebut menunjukkan hubungan antara curah hujan dengan produktivitas padi sawah cenderung memiliki tren yang negatif. Semakin meningkatnya curah hujan, produktivitas padi sawah semakin menurun. Meskipun faktor utama dalam penanaman padi sawah adalah ketersediaan air, tetapi dengan tingginya curah hujan di suatu daerah, tidak dapat dipastikan produktivitas di daerah tersebut juga tinggi. Terdapat faktor pembatas yang berkaitan erat dengan curah hujan yaitu suhu. Daerah yang memiliki curah hujan tinggi (>4000 mm) umumnya terletak pada elevasi yang tinggi dan memiliki suhu udara yang rendah, sehingga menurunnya produktivitas padi sawah pada daerah yang memiliki curah hujan tinggi bukan disebabkan oleh curah hujan tersebut, melainkan karena faktor suhu yang tidak menunjang untuk dilakukan penanaman padi sawah. Produktivitas (ton/ha) 7 6 5 4 3 2 1 0 Rendah Sedang Tinggi Curah Hujan Gambar 15. Diagram Kotak Garis Antara Curah Hujan dengan Produktivitas Padi Sawah Selain itu terdapat data pencilan yang merupakan nilai produktivitas paling tinggi pada selang tersebut. Penyebab tingginya nilai produktivitas pada lokasi tersebut ketika dilakukan wawancara lapang adalah karena petani mampu melakukan pemeliharaan secara intensif. Tabel 10. Luas Sawah Berdasarkan Curah Hujan No. Curah Hujan Luas (Ha) 1 Rendah 6.406 2 Sedang 15.476 3 Tinggi 3.421 Tabel 10 menunjukkan penanaman padi sawah paling dominan berada pada selang 3000 4000 mm, hal tersebut dikarenakan pada umumnya daerah yang memiliki curah hujan < 3000 mm relatif berada pada lereng datar, dimana
32 pada lereng tersebut konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian banyak terjadi. Sehingga terjadi pergeseran lokasi penanaman sawah menjadi dominan di curah hujan 3000 4000 mm. 5.2.6. Hubungan Antara Luas Area dengan Produktivitas Produktivitas 7 6 5 4 3 2 1 0 < 2000 2000-5000 > 5000 Luas Area (m 2 ) Gambar 16. Diagram Kotak Garis Antara Luas Area dengan Produktivitas Padi Sawah Gambar 16 memperlihatkan bahwa produktivitas tinggi justru didapat pada luas area < 2000 m 2. Salah satu penyebabnya adalah karena pada luas area < 2000m 2, petani lebih intensif dalam merawat tanaman padinya dibandingkan dengan yang memiliki luas area yang lebih besar karena input yang harus diberikan agar hasil produksi bisa maksimum tidak terlalu mahal. Dari hasil pengamatan selama di lapang, hampir sebagian besar petani memiliki kesulitan terhadap modal dalam menanam padi, sehingga jika semakin besar luasan yang digarap, maka modal yang digunakan juga akan semakin besar. Selain itu, terdapat faktor luar yang menganggu proses pertanaman padi, yaitu hama dan penyakit. Semakin besar luas area sawah yang digarap, petani masih belum mampu melakukan pengendalian hama dan penyakit secara intensif. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, diketahui bahwa luas area antara 2000 5000 m 2 memiliki ragam data yang paling lebar. Ketika dilakukan wawancara lapangan didapat penyebab dari luas area sawah yang digarap semakin sempit adalah tanah yang dimiliki saat ini merupakan tanah warisan dari orang tua, masing-masing pewaris mendapat hak tanahnya, dan menggunakannya sesuai dengan keperluannya. Disisi lain, menurut Ilham et al., (2003) berkurangnya luas area persawahan adalah karena pertumbuhan perekonomian yang menuntut pembangunan infrastruktur. Dengan kondisi demikian, permintaan terhadap lahan
33 untuk penggunaan hal tersebut semakin meningkat. Akibatnya banyak lahan sawah, mengalami alih fungsi ke penggunaan tersebut. Nilai jual yang diterima petani terhadap konversi lahan ini tentu akan lebih tinggi sehingga membuat petani befikir akan lebih mudah jika dijual atau dibuat ruang terbangun jika dibandingkan dengan menanam padi tetapi hasil yang didapatkan kurang memuaskan. 5.2.7. Hubungan Antara Aksesibilitas dengan Produktivitas Produktivitas (ton/ha) 7 6 5 4 3 2 1 0 Mudah Sedang Sulit Aksesbilitas Gambar 17. Diagram Kotak Garis Antara Produktivitas Padi Sawah dengan Aksesbilitas Gambar 17 menunjukkan produktivitas maksimum cenderung berada pada aksesibilitas mudah. Tetapi, pola yang terlihat menunjukkan hubungan antara produktivitas padi sawah dengan aksesibilitas tidak sederhana, karena pada daerah yang memiliki aksesibilitas sulit, nilai produktivitasnya juga relatif tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh garis median yang tidak begitu jauh antara masing-masing kriteria aksesibilitas. Garis yang menghubungkan antar median pada menunjukkan pola hubungan yang lebih jelas. Semakin sulit aksesibilitas menuju lahan sawah, produktivitas padi sawah semakin menurun. Alasan mengapa produktivitas menurun dengan semakin sulitnya aksesibilitas karena dengan semakin sulitnya akses, pengadaan input seperti pupuk dan pestisida dalam penanaman padi sawah akan semakin sulit. Agar dapat memenuhi input yang dibutuhkan biaya yang lebih besar untuk bisa mendapatkan input tersebut. 5.3 Faktor yang Paling Berpengaruh Terhadap Produktivitas Hasil analisis metode Hayashi I didapatkan nilai R 2 sebesar 0.34. Nilai tesebut menunjukkan bahwa data yang diambil belum mampu menjelaskan mengenai tinggi-rendahnya produktivitas. Kecilnya nilai koefisien korelasi
34 disebabkan masih banyak faktor lain yang berpengaruh yang tidak terukur pada penelitian ini. Selain itu, mungkin dapat disebabkan juga oleh data yang diambil terlalu sedikit. Hubungan antara produktivitas dengan faktor-faktor fisik (peubah penjelas) dapat dilihat dari nilai skor kategori yang telah dijelaskan sebelumnya (Tabel 3). Apabila nilai skor kategori peubah penjelas bernilai negatif maka menunjukkan bahwa peubah penjelas tersebut berkorelasi negatif terhadap produktivitas padi sawah. Sebaliknya, apabila nilai skor kategori peubah penjelas bernilai positif maka peubah penjelas tersebut berkorelasi positif terhadap produktivitas padi sawah dan mengindikasikan bahwa peubah penjelas tersebut memiliki pengaruh yang paling besar terhadap produktivitas. Nilai skor setiap kategori dari peubahpeubah penjelas terhadap produktivitas disajikan pada Lampiran 3. Faktor-faktor fisik yang memiliki pengaruh paling besar terhadap produktivitas yang secara statistik nyata pada α=0.05 adalah Fisiografi, Luas Area Garapan, dan Aksesibilitas. Seluruh peubah tersebut memiliki nilai kolerasi parsial lebih tinggi dari nilai kritis yaitu sebesar 0.28. Faktor aksesibilitas memiliki nilai korelasi parsial paling tinggi dibandingkan dengan faktor lainnya. Hal ini mengindikasikan faktor aksesibilitas memiliki pengaruh paling besar terhadap produktivitas padi sawah. Aksesibilitas mudah dan sedang berkorelasi positif terhadap tinggi-rendahnya produktivitas padi sawah. Sedangkan aksesibilitas sulit berkorelasi negatif terhadap produktivitas padi sawah. Mudahnya aksesibilitas membuat pengangkutan input yang dibutuhkan lebih murah sedangkan jika aksesibilitasnya sulit pengangkutan input akan lebih mahal, sehingga dibutuhkan perbaikan aksesibilitas supaya petani bisa lebih mudah dan lebih murah dalam pengangkutan input yang dibutuhkan dalam penanaman padi sawah. Selain aksesibilitas, fisiografi dan luas area juga memiliki nilai korelasi parsial tinggi. Fisiografi dataran dan bukit lipatan berkorelasi positif terhadap produktivitas padi sawah, sedangkan fisiografi volkan serta fisiografi volkan dan bukit lipatan, berkorelasi negatif terhadap produktivitas. Meskipun dominan penanaman padi sawah paling banyak berada pada fisiografi volkan, hal ini
35 menunjukkan bahwa berfisiografi volkan memang tidak sesuai untuk pertanaman padi sawah. Luas area yang kurang dari 2000 m 2 berkorelasi positif terhadap produktivitas padi sawah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa mayoritas petani di kabupaten Bogor memiliki keterbatasan modal, sehingga dengan kecilnya luas area yang digarap oleh petani, pemeliharaan dapat dilakukan secara lebih intensif.