BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, sinonim, nama daerah, habitat dan daerah tumbuh, morfologi tumbuhan, kandungan kimia dan khasiat. 2.1.1 Sistematika Tumbuhan Divisi Subdivisi Kelas Bangsa Suku Marga : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledoneae : Fabales : Mimosaceae : Pithecellobium Spesies : Pithecellobium lobatum Benth. (Watanabe, 1969; Pandey, 2003). 2.1.2 Sinonim Sinonim dari tumbuhan jengkol, antara lain: Zygia jiringa (Jack) Kosterm, Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King, Archidendron pauciflorum, Archidendron jiringa (Jack) Nielsen (Hutapea, 1994; Anonim, 2009; Lemmens dan Bunyapraphatsara, 2003). 2.1.3 Nama Daerah Nama daerah dari tumbuhan jengkol adalah jering (Gayo), jering, joring (Batak), jarieng (Minangkabau), jaring (Lampung), jengkol (Sunda), jengkol, jingkol, jering (Jawa), blandingan (Bali), lubi (Sulawesi Utara) (Hutapea, 1994; Heyne, 1987; Ogata, 1995).
2.1.4 Habitat dan Daerah Tumbuh Tumbuhan ini merupakan pohon yang banyak tumbuh di daerah Jawa Barat, tinggi mencapai 6-15 m (Ogata, 1995). Tumbuhan ini paling baik tumbuh di daerah dengan musim kemarau yang tidak terlalu panjang (Heyne, 1987). 2.1.5 Morfologi Tumbuhan Ciri-ciri morfologi tumbuhan jengkol sebagai berikut (Hutapea, 1994): Batang Daun : Tegak, bulat, berkayu, percabangan simpodial, coklat kotor. : Majemuk, anak daun berhadapan, lonjong, tepi rata, ujung runcing, pangkal membulat, pertulangan menyirip, hijau tua. Bunga : Majemuk, bentuk tandan, di ujung batang dan ketiak daun, kelopak bentuk mangkok, benang sari dan putik kuning, mahkota lonjong, putih kekuningan. Buah Biji Akar : Bulat pipih, coklat kehitaman. : Bulat pipih, berkeping dua, putih kekuningan. : Tunggang, coklat kotor 2.1.6 Kandungan Kimia Biji, kulit batang dan daun Pithecellobium lobatum mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Hutapea, 1994). Ekstrak air dari kulit buah jengkol mengandung senyawa alkaloid, tanin, saponin dan flavonoid (Dinata, 2009). 2.1.7 Khasiat Tumbuhan Kulit buah jengkol digunakan untuk obat borok (Hutapea, 1994), luka bakar dan pembasmi serangga (Dinata, 2009), daunnya berkhasiat sebagai obat eksim, kudis, luka dan bisul (Hutapea, 1994; Ogata, 1995), sedangkan kulit batangnya sebagai penurun kadar gula darah (Widowati, dkk., 1997).
2.2 Flavonoid Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C 15 terdiri atas dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh tiga satuan karbon (Sastrohamidjojo, 1996; Markham, 1988; Manitto, 1992). Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C 6 -C 3 -C 6. Artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C 6 disambungkan oleh rantai alifatik tiga-karbon (Robinson, 1995). Kerangka dasar flavonoid Flavonoid mempunyai cincin piran yang menghubungkan rantai tigakarbon dengan cincin benzen (Robinson, 1995). Setiap cincin diberi tanda: A, B dan C; atom karbon dinomori dengan angka biasa pada cincin A dan C, serta angka beraksen untuk cincin B (Markham, 1988). Sistem penomoran untuk turunan flavonoid adalah sebagai berikut : Struktur flavonoid dasar dengan kerangka penomoran Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida. Aglikon flavonoid mungkin saja terdapat dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida dalam satu tumbuhan, sehingga dalam menganalisis
flavonoid biasanya lebih baik bila kita memeriksa aglikon yang terdapat dalam ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis daripada mengamati bentuk glikosidanya yang rumit (Harborne, 1987). Menurut Robinson (1995), senyawa flavonoid dapat dibedakan menjadi : 1. Flavon dan Flavonol Flavon dan flavonol merupakan pigmen berwarna kuning yang tersebar secara luas pada tumbuhan tinggi (Robinson, 1995; Tyler, et al., 1976). Flavon sering terdapat sebagai glikosida. Aglikon flavonol yang umum, yaitu : kaemferol, kuersetin dan mirisetin. Flavon juga terdapat sebagai glikosida tetapi jenis glikosidanya lebih sedikit daripada jenis glikosida pada flavonol. Jenis yang paling umum, yaitu : 7-glukosida. Flavon berbeda dengan flavonol karena pada flavon tidak terdapat gugus 3-hidroksi. Hal ini mempengaruhi serapan UV, gerakan kromatografi, serta reaksi warnanya, dan karena itu, flavon dapat dibedakan dari flavonol berdasarkan ketiga sifat tersebut (Harborne, 1987). Flavon Flavonol 2. Isoflavon Isoflavon merupakan golongan flavonoid yang langka dan umumnya terdapat pada anak suku Leguminosae (Papilionoideae) (Harborne, 1987; Winarsi, 2005). Beberapa isoflavon memberikan warna biru muda cemerlang dengan sinar
UV bila diuapi amonia, tetapi kebanyakan tampak sebagai bercak lembayung pudar yang dengan amonia berubah menjadi coklat pudar (Harborne, 1987). Isoflavon 3. Flavanon dan Flavanonol Senyawa ini hanya terdapat dalam jumlah yang sedikit sekali jika dibandingkan dengan golongan flavonoid lainnya. Kedua senyawa ini tidak berwarna atau hanya kuning sedikit. Beberapa glikosida flavanon (atau dihidroflavon) yang dikenal, yaitu : hesperidin dan naringin, sedangkan flavanonol (atau dihidroflavonol) merupakan flavonoid yang paling kurang dikenal dan tidak diketahui apakah senyawa ini terdapat sebagai glikosida (Robinson, 1995). Flavanon Flavanonol 4. Antosianin Antosianin merupakan zat warna yang paling penting dan tersebar paling luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak, merah, merah senduduk, ungu dan biru dalam daun, bunga dan buah pada tumbuhan tinggi
(Harborne, 1987; Bohm, 1998). Antosianin selalu terdapat sebagai glikosida dan bila antosianin dihidrolisis dengan asam akan terbentuk antosianidin yang merupakan aglikon dari antosianin (Robinson, 1995; Salisbury and Ross, 1995). Antosianin yang paling umum, yaitu sianidin yang berwarna merah lembayung (Harborne, 1987). Antosianidin 5. Auron dan Kalkon Auron dan kalkon merupakan pigmen kuning yang bila dideteksi dengan uap amonia akan menghasilkan warna jingga atau merah. Salah satu kalkon yang umum, yaitu : butein, dan salah satu auron yang umum, yaitu : aureusidin. Keduanya terdapat di alam sebagai glikosida dan terdapat khas dalam suku Compositae (Harborne, 1987). Auron Kalkon 2.3 Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa
aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan daun mudah diserap oleh pelarut, karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar susah diserap oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus (Ditjen POM, 2000). Metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) ada beberapa cara, yaitu: maserasi, perkolasi, refluks, sokletasi, digesti, infus dan dekok. 1. Maserasi Maserasi adalah suatu cara penyarian simplisia dengan cara merendam simplisia tersebut dalam pelarut (Syamsuni, 2006) dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi adalah pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000). Keuntungan metode maserasi adalah prosedur dan peralatannya sederhana (Agoes, 2007; Depkes, 1986). 2. Perkolasi Perkolasi adalah suatu cara penyarian simplisia menggunakan perkolator dimana simplisianya terendam dalam pelarut yang selalu baru (Syamsuni, 2006) dan umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Ditjen POM, 2000).
Keuntungan metode perkolasi adalah proses penarikan zat berkhasiat dari tumbuhan lebih sempurna, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang lama dan peralatan yang digunakan mahal (Agoes, 2007). 3. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya dalam jangka waktu tertentu (Ditjen POM, 2000) dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu (Mayo, et al., 1955; Landgrebe, 1982). 4. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet (Ditjen POM, 2000), dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel dan mengisi bagian tengah alat soklet. Tabung sifon juga terisi dengan larutan ekstraksi dan ketika mencapai bagian atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke dalam labu (Mayo, et al., 1955; Landgrebe, 1982). 5. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar (Ditjen POM, 2000), umumnya dilakukan pada suhu 40-60 o C (Syamsuni, 2006). 6. Infundasi Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 90 o C selama 15-20 menit (Ditjen POM, 2000; Syamsuni, 2006; Anief, 2000).
7. Dekoktasi Dekoktasi adalah ekstraksi pada suhu 90 o C- 98 o C menggunakan pelarut air selama 30 menit (Ditjen POM, 2000; Agoes, 2007). 2.4 Kromatografi Kertas Kromatografi kertas merupakan metode KCC (kromatografi cair-cair) dengan fase diam cair, biasanya air yang berada pada serabut kertas (Gritter, et al., 1991). Metode ini merupakan jenis dari sistem partisi dimana fase gerak biasanya merupakan campuran dari satu atau lebih pelarut-pelarut organik dan air. Kertas yang digunakan pada percobaan awal adalah kertas Whatmann No.1, sedangkan kertas Whatmann No.3 biasanya digunakan untuk pemisahan pada jumlah yang lebih besar karena dapat menampung lebih banyak cuplikan (Sastrohamidjojo, 1985a). Jenis-jenis fase gerak yang biasa digunakan pada analisis flavonoid antara lain : BAW (n-butanol : asam asetat : air = 4 : 1 : 5), Forestal (asam asetat : air : asam klorida = 30 : 10 : 3), asam format (asam formiat : air : asam klorida = 5 : 3 : 2), Bu/HCl (n-butanol : asam klorida 2 N = 1 : 1), asam klorida 1%, fenol (4 g) : air (1 ml) (Markham, 1988; Harborne, 1987), TBA (t-butanol : asam asetat : air = 3 : 1 : 1), KAA (kloroform : asam asetat : air = 30 : 15 : 2), BEA (n-butanol : etanol : air = 4 : 1 : 2,2), benzen : asam asetat : air (125 : 72 : 3), EPAA (etil asetat : piridin : asam asetat : air = 36 : 36 : 7 : 21), air, asam asetat 5%, asam asetat 15%, asam asetat 50% dan BBPA (n-butanol : benzen : piridin : air = 5 : 1 : 3 : 3) (Markham, 1988).
Adapun jenis penyemprot yang dapat digunakan pada analisis flavonoid antara lain : larutan aluminium klorida 5% dalam metanol, larutan kompleks difenil-asam borat-etanolamin 1% dalam metanol, asam sulfanilat yang terdiazotasi, vanilin-asam klorida (Markham, 1988), uap amonia dan larutan besi (III) klorida 1% dalam air (Harborne, 1987). Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pemisahan dengan kromatografi kertas (Sastrohamidjojo, 1985a) : 1. Metode pemisahan (penaikan, penurunan atau mendatar). 2. Macam dari kertas. 3. Pemilihan dan pembuatan pelarut (fase gerak). 4. Kesetimbangan dalam bejana yang dipilih. 5. Pembuatan cuplikan. 6. Waktu pengembangan. 7. Metode deteksi dan identifikasi Kromatografi kertas dapat dikembangkan dengan cara menaik, menurun, dan mendatar. 1. Menaik Pada kromatografi kertas menaik, ujung bawah kertas dicelupkan ke dalam fase gerak hingga fase gerak merambat naik pada kertas (Depkes, 1979a). Kertas digantungkan pada bagian tutup bejana kromatografi dan fase gerak diletakkan di bagian bawah bejana (Sastrohamidjojo, 1985a; Gritter, et al., 1991). 2. Menurun Pemisahan zat dengan cara kromatografi kertas menurun dilakukan dengan membiarkan fase gerak merambat turun pada kertas kromatografi (Depkes, 1979a).
Bejana yang digunakan berukuran lebih besar (Gritter, et al., 1991), terbuat dari gelas, platina atau logam tahan karat yang ditutup bagian atasnya untuk mencegah penguapan dari pelarut (Sastrohamidjojo, 1985a), juga dilengkapi dengan wadah pelarut yang dipasang pada penopang (Gritter, et al., 1991). Kertas kromatografi dicelupkan ke dalam pelarut dan diberi penahan dari batang gelas agar tidak terlepas (Sastrohamidjojo, 1985a). 3. Mendatar Pada metode ini, kertas dibentuk bulat dan di tengahnya diberi lubang sebagai tempat untuk meletakkan sumbu yang terbuat baik dari gulungan kertas atau benang. Fase gerak akan naik, membasahi kertas dan merambat melingkar membawa senyawa yang dipisahkan (Sastrohamidjojo, 1985a). Keuntungan dari kromatografi kertas adalah peralatan yang digunakan sederhana dan mudah dalam pelaksanaan pemisahan (Harborne, 1987; Sastrohamidjojo, 1985a). Selain itu, keterulangan Rf (retordation factor) merupakan parameter yang berharga dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru (Harborne, 1987). Harga Rf = (Sastrohamidjojo, 1985a) Bilangan Rf diperoleh dengan mengukur jarak antara titik awal dan pusat bercak yang dihasilkan senyawa dibagi dengan jarak antara titik awal dan garis batas pengembang. Bilangan ini terletak antara 0,01 dan 0,99 (Harborne, 1987).
2.5 Spektrofotometri Ultraviolet Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi serapan terhadap intensitas serapan (transmitasi atau absorbansi) (Sastrohamidjojo, 1985b). Apabila suatu molekul menyerap radiasi ultraviolet, di dalam molekul tersebut terjadi perpindahan tingkat energi elektron-elektron ikatan pada orbital molekul paling luar dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang lebih tinggi (Noerdin, 1985). Spektrum ultraviolet senyawa biasanya diperoleh dengan melewatkan cahaya berpanjang gelombang tertentu melalui larutan encer senyawa tersebut dalam pelarut yang tidak menyerap, misalnya air, etanol dan heksana (Creswell, et al., 1982). Beberapa istilah dalam spektrofotometri ultraviolet menurut Noerdin (1985) dan Silverstein, et al. (1981) antara lain : 1. Khromofor didefinisikan sebagai gugus fungsi yang menyerap radiasi di daerah ultraviolet dekat dan daerah tampak, contoh : C=C, C C, C=O, NO 2. 2. Auksokrom didefinisikan sebagai gugus fungsi yang mempunyai elektron tidak berpasangan, tidak menyerap radiasi pada panjang gelombang lebih besar dari 200 nm, dan bila terikat dengan gugus khromofor akan mengubah panjang gelombang dan intensitas penyerapan, contoh: OH, NH 2, Cl. 3. Efek batokromik (pergeseran merah) adalah suatu pergeseran pita serapan ke panjang gelombang yang lebih panjang akibat terikat dengan gugus khromofor atau efek pelarut.
4. Efek hipsokromik (pergeseran biru) adalah suatu pergeseran pita serapan ke panjang gelombang yang lebih pendek akibat terikat dengan gugus khromofor atau efek pelarut. 5. Efek hiperkromik adalah peningkatan intensitas penyerapan. 6. Efek hipokromik adalah penurunan intensitas penyerapan. Spektroskopi ultraviolet merupakan cara yang paling berguna untuk menganalisis struktur flavonoid. Cara tersebut digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola oksigenasi. Selain itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi untuk menentukan kedudukan gula atau metil yang terikat pada salah satu gugus hidroksil fenol. Keuntungan utama cara ini adalah jumlah flavonoid yang diperlukan untuk analisis sangat sedikit (biasanya sekitar 0,1 mg). Spektrum senyawa flavonoid terdiri atas dua pita absorpsi maksimum, yaitu pita I pada rentang 300-550 nm dan pita II pada 240-285 nm (Markham, 1988).