BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, serta aktivitas pembangunan dalam berbagai bidang tentu saja akan menyebabkan ikut meningkatnya permintaan akan lahan dalam hal ini adalah lahan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan papan. Permasalahan akan muncul manakala terjadi ketidakseimbangan kepentingan antara pemenuhan kebutuhan pangan dan kebutuhan papan tersebut. Permasalahan ini muncul karena keterbatasan sumberdaya lahan dimana untuk memenuhi seluruh pangan penduduk diperlukan lahan sawah yang luas dan untuk kebutuhan papan juga dibutuhkan lahan yang tidak sedikit, sedangkan kita tahu bahwa lahan yang tersedia jumlahnya terbatas. Persaingan penggunaan lahan pada akhirnya akan menggeser ketersediaanya untuk pertanian Lahan dapat bermakna bermacam-macam tergantung pada sudut pandang dan kepentingan terhadap lahan. Bagi petani lahan adalah tempat bercocok tanam dan sumber kehidupan, sedangkan bagi penduduk perkotaan lahan adalah ruang untuk mendirikan bangunan seperti rumah, toko dan lain sebagainya. Menurut Notohadiprowiro (2006) dalam Dwipradnyana (2014) secara spesifik lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik ketersediaan atau luasnya relatif tetap karena perubahan luas akibat proses alami (sedimentasi) dan proses artifisial (reklamasi) sangat kecil. Selain itu kesesuaian lahan dalam menampung kegiatan masyarakat juga cenderung bersifat spesifik karena lahan memiliki perbedaan sifat fisik seperti jenis batuan, kandungan mineral, topografi dan lain sebagainya. Permintaan lahan dipengaruhi oleh dua jenis permintaan yaitu direct demand (permintaan langsung) dan derived demand (pendorong permintaan). Dalam direct demand, lahan berfungsi sebagai barang konsumsi atau untuk pemukiman dan secara langsung memberikan utilitas. Melalui derived demand, peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan barang dan jasa sebagai alat pemuas kebutuhan. Untuk memproduksi barang dan jasa tersebut diperlukan lahan sebagai faktor produksi dimana lahan ini tidak memberikan
utilitas secara langsung tetapi diperoleh dari konsumsi barang dan jasa. Ketika permintaan lahan mengalami peningkatan padahal ketersediaannya semakin terbatas, yang sering dilakukan masyarakat adalah merubah penggunaan lahan dari satu penggunaan ke penggunaan yang lainnya atau yang biasa disebut konversi lahan (Dwipradnyana, 2014). Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi pada lahan pertanian produktif yang berada di kawasan perkotaan. Muncul dilema antara mempertahankan lahan pertanian tersebut dengan mengubah fungsi petanian menjadi fungsi "kota". Secara sederhana, kota merupakan kawasan dengan peruntukan non pertanian. Desakan pembangunan di kawasan kota perlahan-lahan mengancam keberadaan lahan pertanian tersebut. Bahkan di berbagai daerah di Indonesia, lahan pertanian di kawasan kota berubah menjadi kawasan komersial, industri, perkantoran dan perumahan. Jika kita melihat kesesuaian dan kemampuan lahan untuk peruntukan pertanian dan kawasan terbangun maka keduanya sebenarnya berada pada klasifikasi yang sama. Hampir semua variabel dan indikator yang menentukan kesesuaian dan kemampuan lahan antara keduanya memiliki kesamaan. Sebagai contoh sederhana adalah sawah dan kawasan terbangun sama-sama membutuhkan ketersediaan air tanah yang cukup, sama-sama berada pada kelerengan 0-15%, tidak berada pada kawasan rawan bencana, memiliki curah hujan yang tinggi. Jadi jika perencana melakukan analisis kemampuan dan kesesuaian lahan maka kedua penggunaan lahan untuk pertanian dan kawasan terbangun terletak pada lokasi yang sama. Konversi lahan adalah suatu proses perubahan penggunaan lahan dari bentuk penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain misalnya perubahan lahan pertanian menjadi non pertanian. Konversi lahan akan terjadi terus menerus yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, perkantoran, jalan raya dan infrastruktur lain untuk menunjang perkembangan masyarakat. Konversi lahan bersifat dinamis, dan perubahannya
cenderung mengarah kepada penggunaan lahan yang memberikan surplus lahan yang lebih tinggi. Konversi lahan merupakan ancaman serius terhadap ketahanan pangan karena dampak dari konversi lahan bersifat permanen. Lahan sawah yang telah dikonversi ke penggunaan lain sangat kecil peluangnya untuk berubah kembali menjadi lahan sawah. Substansi masalah konversi lahan bukan hanya terletak pada boleh atau tidaknya suatu lahan dikonversi tetapi lebih banyak menyangkut kepada kesesuaian dengan tata ruang, dampak dan manfaat ekonomi dan lingkungan dalam jangka panjang dan alternatif lain yang dapat ditempuh agar manfaatnya lebih besar daripada dampaknya (Dwipradnyana, 2014). Konversi lahan dapat terjadi karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Konversi lahan dari pertanian ke non pertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi kepada investor (Widjanarko, dkk, 2006 dalam Dwipradnyana, 2014). Terjadinya konversi lahan juga dapat disebabkan oleh nilai tukar petani. Nilai tukar petani yang rendah menyebabkan tidak ada insentif bagi petani untuk terus hidup dari usaha pertaniannya, sehingga mereka cenderung untuk mengkonversi lahan sawahnya (Ashari, 2003 dalam Dwipradnyana, 2014). Faktor yang berperan penting yang menyebabkan proses konversi lahan pertanian ke non pertanian menurut Nasoetion dkk, (2000) dalam Dwipradnyana (2014) adalah perkembangan standar tuntutan hidup, fluktuasi harga pertanian, struktur biaya produksi pertanian, teknologi, aksesibilitas, resiko dan ketidakpastian dalam pertanian. Lahan pertanian dapat memberikan banyak manfaat seperti dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Namun, akibat konversi lahan tersebut sehingga menjadikan semakin sempitnya lahan pertanian akan mempengaruhi segi ekonomi, sosial, dan lingkungan tersebut. Jika konversi lahan pertanian ke non pertanian ini terus dilakukan dan tidak terkendali, maka hal ini tidak hanya menjadi masalah bagi petani di daerah, tetapi hal ini bisa menjadi masalah nasional bangsa Indonesia. Konversi lahan pertanian akan sangat berkaitan
dengan kesejahteraan petani karena lahan merupakan sumber kehidupan para petani. Dari tahun ke tahun luas lahan sawah di Kota Payakumbuh mengalami penurunan. Tren konversi yang terjadi di Kota Payakumbuh, pada tahun 2007 pola penggunaan lahan Kota Payakumbuh didominasi oleh penggunaan lahan sawah dan perkebunan (masing-masing seluas 2.771 Ha atau 34,45% dan 1.639,65 Ha atau 20,39%). Namun kondisi tahun 2015 secara spatial mengalami pengurangan luas sawah menjadi 2.751 Ha atau 34,45% dan perkebunan 1.456 Ha atau 20,39%. Dari data terlihat bahwa terjadi penurunan luas penggunaan lahan untuk sawah sebesar 0,72% dan kebun sebesar 11,2%. Selain itu juga terjadi pengurangan penggunaan kolam sebesar 92,8% dan padang rumput sebesar 74,5%. (Kota Payakumbuh Dalam Angka, 2016). Tabel 1. Kecenderungan Pola Penggunaan Lahan Kota Payakumbuh Tahun 2007 dan 2015. Luas (ha) Persentase Selisih No Jenis Lahan 2007 2015 2007 2015 Luas % 1 Sawah 2.771 2.751 34.45 34.20-20 -0.72 2 Tanah Untuk Bangunan dan Sekitarnya 2.034 2.902 25.29 36.08 868 42.67 3 Kebun/ Ladang 1.640 1.456 20.39 18.10-184 -11.20 4 Kolam/ Tebat 194 14 2.41 0.17-180 -92.80 5 Hutan Rakyat 365 354 4.53 4.40-11 -2.88 6 Padang Rumput 43 11 0.54 0.14-32 -74.50 7 Lainnya 997 555 12.39 6.90-442 -44.30 Sumber: Payakumbuh Dalam Angka 2008 dan 2016 Hal ini menunjukkan bahwa praktek konversi lahan pertanian ke kegiatan non pertanian terus terjadi. Karena itu dibutuhkan pengetahuan mengenai perkembangan dan pola konversi lahan pertanian dan atribut sosial ekonomi dalam konversi lahan pertanian tersebut.
Terkait dengan ilmu Pembangunan Wilayah dan Pedesaan dan pembangunan Kota Payakumbuh penting untuk dilakukan penelitian ini untuk melihat gambaran perkembangan konversi lahan yang terjadi di Kota Payakumbuh dan atribut ekonomi dan sosial yang berperan serta sehingga dapat dilakukan langkah langkah yang akan dilakukan sebagai solusi dalam rangka pengendalian konversi lahan pertanian yang mungkin akan terus terjadi karena jika konversi lahan terus berlanjut tanpa pengendalian dikhawatirkan akan berpengaruh pada ketersediaan lahan pertanian dan juga akan berdampak pada kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas memunculkan research problem sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan konversi lahan pertanian yang terjadi di Kota Payakumbuh? 2. Apa sajakah atribut sosial dan ekonomi dalam konversi lahan pertanian di Kota Payakumbuh? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mendeskripsikan perkembangan konversi lahan pertanian di Kota Payakumbuh. 2. Mendeskripsikan atribut sosial dan ekonomi dalam konversi lahan pertanian di Kota Payakumbuh. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis a. Bagi masyarakat sebagai tambahan pengetahuan untuk pertimbangan dalam melakukan konversi lahannya. b. Bagi pemerintah sebagai masukan untuk mengevaluasi kebijakan terkait dengan pengendalian konversi lahan pertanian di Kota Payakumbuh, untuk menyusun pedoman yang jelas dari segi teknisnya sesuai dengan kondisi lahan dan memetakan lahan yang aman untuk di konversi.
2. Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pembangunan wilayah terkait dengan konversi lahan pada Program Studi Pembangunan Wilayah dan Pedesaan.