BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang amat subur sehingga sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Indonesia memiliki iklim tropis basah, dimana iklim tropis basah tersebut dipengaruhi oleh angin muson barat dan angin muson timur. Iklim inilah yang menyebabkan Indonesia hanya memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Pertanian merupakan sektor andalan pembangunan nasional, sejalan dengan meningkatnya kebutuhan pangan nasional, peningkatan produksi pertanian harus terus diupayakan. Upaya peningkatan produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di suatu wilayah. Anasir iklim yang paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah hujan. Pola distribusi hujan serta besarnya curah hujan sangat menentukan tipikal aktivitas pertanian. Keteraturan pola dan distribusi hujan di suatu wilayah merupakan jaminan berlangsungnya aktivitas pertanian. Selain itu, hujan juga memegang peranan penting dalam siklus hidrologi. Di Indonesia, kejadian anomali iklim berdampak langsung terhadap sistem pertanian termasuk padi, jagung, dan kedelai. Salah satu sasaran strategis yang ingin dicapai Kementerian Pertanian dalam Rencana Strategis Tahun 2015-2019 adalah swasembada padi, jagung, dan kedelai (Anonim, 2015). Produksi padi tahun 2014 sebesar 70,61 juta ton GKG, atau menurun 0,94% dibanding tahun 2013. Penurunan 1
ini terjadi karena adanya penurunan luas panen 66,93 ribu ha dan penurunan produktivitas 0,24 ku/ha. Dengan produksi sebesar ini sebenarnya Indonesia sudah mampu mencapai swasembada beras. Persoalannya adalah distribusi, kemampuan stok/penyangga oleh Bulog, dan pihak-pihak yang berburu rente dengan impor beras, maka tingkat aman surplus beras sebaiknya adalah 10 juta ton. Untuk mewujudkan angka tersebut dalam tiga tahun ke depan tidaklah sulit (Tapari, 2015). Produksi jagung tahun 2014 sebesar 19,13 juta ton pipilan kering, atau meningkat 3,33% dibanding tahun 2013. Peningkatan terjadi karena peningkatan luas panen 58,72 ribu ha dan peningkatan produktivas 0,85 ku/ha. Untuk komoditas jagung, kita masih impor sebesar 2,5 3 juta ton pertahun, terutama untuk kebutuhan pabrik pakan ternak. Adapun produksi kedelai sebesar 921,34 ribu ton biji kering, atau meningkat 15,34% dibanding tahun 2013. Peningkatan ini terjadi karena adanya peningkatan luas panen 61,01 ribu ha dan peningkatan produktivitas 0,90 ku/ha. Yang cukup berat untuk berswasembada adalah kedelai. Produksi kedelai tahun 2014 sebesar 921,34 ribu ton, sedangkan kebutuhan dalam negeri 2,4 juta ton/tahun, sehingga kita masih mengimpor kedelai 1,5 juta ton/tahun, atau sekitar 60% dari kebutuhan dalam negeri (Tapari, 2015). Selain itu, Presiden RI Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa Indonesia harus mampu mewujudkan swasembada padi, jagung dan kedelai pada tahun 2017. Dalam rangka mendukung tekad Presiden tersebut, Provinsi Jawa Tengah melalui Pola Upaya Khusus (Upsus) telah 2
menetapkan sasaran produksi tahun 2015, yaitu untuk padi sebesar 11.136.967 ton GKG (Gabah Kering Giling), jagung 3.166.504 ton pipilan kering, dan kedelai 139.900 ton biji kering. Secara khusus, Kabupaten Banjarnegara ditargetkan untuk mencapai sasaran produksi padi sebear 174.463 ton, jagung sebesar 331.787 ton, dan kedelai sebesar 484 ton (Tapari, 2015). Secara umum, sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar bagi PDRB Kabupaten Banjarnegara karena mencapai 35,85%; disusul sektor jasa sebesar 20,03%; industri pengolahan sebesar 13,15%; serta perdagangan/hotel/restoran sebesar 12,68% (Jatengprov, 2014). Potensi pertanian tersebut didominasi oleh tanaman jagung, salak, durian, ubi kayu, dan jamur tiram. Namun terdapat juga tanaman padi dan jagung yang belum ditingkatkan potensinya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan agar pemerintah di Kabupaten Banjarnegara dapat menerapkan strategi yang tepat guna mengembangkan potensi padi, jagung, dan kedelai. Ancaman dan krisis pangan dunia beberapa tahun terakhir memiliki kaitan yang sangat erat dengan perubahan iklim global. Dampak perubahan iklim global adalah perubahan pola dan intensitas curah hujan, yang ditandai dengan makin sering terjadinya fenomena iklim ekstrim El Nino dan La Nina yang dapat mengakibatkan kekeringan dan banjir, kenaikan suhu udara dan permukaan laut, serta peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam. Bagi sektor pertanian, dampak lanjutan dari perubahan iklim adalah bergesernya pola dan kalender tanam, perubahan keanekaragaman hayati, eksplosi hama 3
dan penyakit tanaman dan hewan, serta pada akhirnya adalah penurunan produksi pertanian (Anonim, 2015). Anomali iklim dapat menyebabkan kekeringan yang merupakan akibat gejala El Nino yang berkepanjangan tanpa hujan dan dapat pula menyebabkan musim hujan berkepanjangan tanpa kemarau yang merupakan akibat gejala La Nina. Kedua anomali ini tidak menguntungkan bagi produksi pertanian. El Nino dapat menimbulkan kegagalan panen akibat kekeringan sedangkan La Nina dapat menimbulkan banjir dan menyebabkan organisme pengganggu tanaman berkembang pesat (IPCC, 2001). Sejak tahun 1898 telah terjadi kenaikan suhu yang mencapai 1 o C sehingga diprediksi akan terjadi lebih banyak curah hujan dengan perubahan 2-3 % per tahun. Dalam 5 tahun terakhir rata-rata luas lahan sawah yang terkena banjir dan kekeringan masing-masing sebesar 29.743 Ha (11.043 Ha diantaranya puso karena banjir) dan 82.472 Ha terkena kekeringan (8.497 Ha diantaranya puso karena kekeringan). Kondisi ini cenderung akan terus meningkat pada tahun-tahun ke depan. Tantangan ke depan dalam menyikapi dampak perubahan iklim global adalah bagaimana meningkatkan kemampuan petani dan petugas lapangan dalam melakukan prakiraan iklim serta melakukan upaya adaptasi dan mitigasi yang diperlukan (Anonim, 2015). Sebagai negara kepulauan yang berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu permukaan laut di sekelilingnya. Perubahan di perairan Indonesia yang dapat mempengaruhi curah hujan di Indonesia antara lain 4
meningkatnya nilai DMI dan meningkatnya Anomaly of Sea Surface Temperature (ASST). Perubahan-perubahan ini tidak sama setiap tahunnya. Akibatnya, terjadi pergeseran pola curah hujan menyebabkan terjadinya pergeseran pola musim yang berdampak pada perubahan pola dan kalender tanam. Cuaca yang tidak menentu sering mengakibatkan petani sulit memperkirakan waktu untuk mengolah lahan dan memanen. Akibat perubahan iklim, tidak kurang dari 50 % wilayah pertanian di Indonesia menghadapi musim hujan yang cenderung mundur dan musim kemarau yang cenderung maju, sehingga musim tanam menjadi pendek. Kondisi ini akan sangat berdampak buruk terhadap intensitas tanam jika tidak ada terobosan inovasi dan teknologi yang mampu memecahkan masalah tersebut (Anonim, 2015). Berdasarkan hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor tanaman pangan di Provinsi Jawa Tengah sebesar 3.288.292 rumah tangga dan di Kabupaten Banjarnegara sendiri terdapat 156.652 rumah tangga. Dibandingkan tahun 2003, total jumlah tersebut mengalami penurunan sebanyak 189.481 rumah tangga atau sebesar 5,76%. Berdasarkan data tersebut maka penelitian ini penting dilakukan agar dapat dijadikan bahan evaluasi untuk membantu masyarakat maupun Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah khususnya Kabupaten Banjarnegara dalam merencanakan usaha-usaha peningkatan produktivitas pertanian khususnya tanaman pangan seperti perbaikan pola tanam, jaringan irigasi, dll. 5
1.2. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh iklim global terhadap curah hujan wilayah. 2. Mengetahui pengaruh curah hujan terhadap produktivitas pertanian. 1.3. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini ialah dapat menjadi dasar penentuan usaha-usaha yang akan dilakukan untuk beberapa tahun ke depan dalam rangka meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai. 1.4. Batasan Masalah Agar data dan hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian maka diperlukan beberapa batasan masalah. Adapun batasan-batasan masalah yang tercakup di antaranya adalah : 1. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. 2. Data yang digunakan meliputi data curah hujan dan data produksi padi, jagung, dan kedelai di beberapa kecamatan; data Anomaly of Sea Surface Temperature (ASST) serta data Dipole Mode Index (DMI). 6