TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Iklim Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ) dan nitrogen oksida (N 2 O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem. Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian (Hairiah dan Rahayu 2007). Pada saat tumbuhan atau satwa hutan mati, akan terjadi proses dekomposisi oleh bakteri dan mikroba yang juga melepaskan CO 2 ke atmosfer. Di hutan alam akan banyak terjadi mortalitas akibat usia, persaingan tempat tumbuh maupun akibat penyebab lain seperti hama, penyakit maupun bencana alam. Mortalitas tumbuhan juga secara alami selalu diimbangi dengan proses regenerasi, sehingga terjadi keseimbangan ekologis termasuk keseimbangan karbon atau yang dikenal dengan istilah carbon neutral. Namun pada saat unsur antropogenik terlibat secara berlebihan dalam ekologi hutan, maka akan terjadi proses percepatan pelepasan emisi akibat dekomposisi. Dan pada kenyataannya, pelepasan emisi antropogenik tersebut tidak dapat diimbangi oleh laju penyerapan 4
karbon oleh hutan. Sehingga luas dan kualitas hutan semakin menyusut (Manuri dkk, 2011). Muhdi (2008) menyatakan jumlah karbon di atmosfer dipengaruhi oleh besarnya hasil fotosintesis, respirasi tegakan, respirasi serasah, dan respirasi tanah. Tumbuhan memerlukan sinar matahari, karbon dioksida yang diserap dari udara, serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, karbon dioksida oleh tanaman diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya disimpan dalam organ tumbuhan seperti daun, batang, ranting, bunga, dan buah (Hairiah dan Rahayu, 2007). Biomassa Brown (1997) menyatakan biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa dinyatakan dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam satuan gram, atau dalam kalori. Oleh karena kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka biomassa diukur berdasarkan berat kering. Unit satuan biomassa adalah gr per m2 atau ton per ha. Biomassa juga didefenisikan sebagai total berat kering dari bahan organik dinyatakan dalam satuan kilogram atau ton (Krisnawati dkk. 2012 dalam Sitorus, 2013). Pengukuran biomassa hutan mencakup seluruh biomassa hidup yang ada di atas dan di bawah permukaan dari pepohonan, semak, palem, anakan pohon, dan tumbuhan bawah lainnya, tumbuhan menjalar, liana, epifit dan sebagainya ditambah dengan biomassa dari tumbuhan mati seperti kayu dan serasah. Pohon 5
(dan organisme fototrof lainnya) melalui proses fotosintesis menyerap CO 2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon organik (karbohidrat) dan menyimpannya dalam biomassa tubuhnya seperti dalam batang, daun, akar, umbi buah dan-lain-lain. Keseluruhan hasil dari proses fotosintesis ini sering disebut juga dengan produktifitas primer. Dalam aktifitas respirasi, sebagian CO 2 yang sudah terikat akan dilepaskan kembali dalam bentuk CO 2 ke atmosfer. Selain melalui respirasi, sebagian dari produktifitas primer akan hilang melalui berbagai proses, misalnya dekomposisi. Sebagian dari biomassa mungkin akan berpindah atau keluar dari ekosistem karena terbawa aliran air atau agen pemindah lainnya (Sutaryo, 2009). Di permukaan bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang terdapat dalam hutan berbentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan sampah hutan (serasah), hewan dan jasad renik. Biomassa ini merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa, lignin, gula, bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol, dan senyawa lainnya (Arief 1994 dalam Sitorus, 2013). Menurut Sutaryo (2009) biomassa dapat dihitung dengan 4 cara, yaitu : 1. Sampling dengan pemanenan (Destructive Sampling) secara in situ. Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk akarnya, mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya. 2. Sampling tanpa pemanenan (Non Destructive Sampling) dengan data pendataan hutan secara in situ Metode ini merupakan cara sampling dengan melakukan pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi 6
atau diameter pohon dan menggunakan persamaan alometrik untuk mengekstrapolasi biomassa. 3. Pendugaan melalui penginderaan jauh Penggunaan teknologi penginderaan jauh umumnya tidak dianjurkan terutama untuk proyek-proyek dengan skala kecil. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik memerlukan hasil penginderaan jauh dengan resolusi yang tinggi, tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar. 4. Pembuatan model. Model digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengan frekuensi dan intensitas pengamatan in situ atau penginderaan jauh yang terbatas Umumnya, model empiris ini didasarkan pada jaringan dari sampel plot yang diukur berulang, yang mempunyai estimasi biomassa yang sudah menyatu atau melalui persamaan alometrik yang mengkonversi volume menjadi biomassa. Cadangan Karbon Karbon merupakan salah satu unsur alam yang memiliki lambang C dengan nilai atom sebesar 12. Karbon juga merupakan salah satu unsur utama pembentuk bahan organik termasuk makhluk hidup. Hampir setengah dari organisme hidup merupakan karbon. Karenanya secara alami karbon banyak tersimpan di bumi (darat dan laut) dari pada di atmosfir. Karbon tersimpan dalam daratan bumi dalam bentuk makhluk hidup (tumbuhan dan hewan), bahan organik mati ataupun sediment seperti fosil tumbuhan dan hewan. Sebagian besar jumlah karbon yang berasal dari makhluk hidup bersumber dari hutan. Seiring terjadinya 7
kerusakan hutan, maka pelepasan karbon ke atmosfir juga terjadi sebanyak tingkat kerusakan hutan yang terjadi (Manuri dkk, 2011). Hariah dkk (2011) menyebutkan bahwa cadangan karbon atau karbon tersimpan pada ekosistem daratan disimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu: 1. Bagian hidup (biomassa) Massa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu batang, ranting, dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. 2. Bagian mati (nekromassa) Massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk. 3. Tanah (bahan organik tanah) Bahan organik tanah adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya < 2 mm. Wibowo (2010) menyebutkan terdapat lima sumber karbon (carbon pools), yaitu : 1. Karbon di atas permukaan tanah a. Biomasa pohon. Karbon pohon merupakan salah satu sumber karbon yang sangat penting pada ekosistem hutan karena sebagian besar karbon hutan berasal dari biomasa pohon. Pohon merupakan proporsi terbesar penyimpanan C di daratan. 8
b. Biomasa tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. 2. Karbon di dalam tanah Biomasa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. 3. Nekromassa Merupakan batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah yang merupakan komponen penting dari C. 4. Serasah Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah. 5. Bahan organik tanah Sisa tanaman, hewan, dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah, dimana sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah. Tumbuhan Bawah Vegetasi merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan dalam arti luasnya. Pada umumnya, tumbuhan terdiri dari beberapa golongan antara lain pohon yaitu berupa tegakan dengan ciri-ciri tertentu. Kemudian dapat diketemukan semak belukar dan lain-lain tergantung dari ekosistem yang diamati. Tumbuhan bawah merupakan tumbuhan yang termasuk bukan tegakan atau pohon namun berada di bawah tegakan atau pohon. Tumbuhan bawah merupakan tumbuhan bukan pohon yang tumbuh di lantai hutan, misalnya rumput, herba dan semak belukar atau 9
liana. Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban sehingga proses dekomposisi yang cepat dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok (Sutaryo, 2009). Tumbuhan bawah merupakan vegetasi dasar yang secara alami tumbuh dibawah tegakan pohon atau lantai hutan yaitu meliputi semak, herba, rumput,paku-pakuan dan lainnya. Tumbuhan bawah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekosistem hutan alam. Di dalam stratifikasi hutan hujan tropika, tumbuhan bawah menempati dua strata yaitu strata keempat (semak belukar) danstrata kelima (penutup tanah). Dengan demikian selain berfungsi sebagai penahan pukulan air hujan, juga berfungsi sebagai penahan aliran permukaan sekaligus meningkatkan infiltrasi air (Sekarini, 2010). Tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat di bawah tegakan selain permudaan pohon hutan, yang meliputi rerumputan dan vegetasi semak belukar. Jenis-jenis pohon kecil (perdu), semak-semak, dan tumbuhan bawah serta liana perlu dipelajari juga karena merupakan indikator tempat tumbuh, merupakan pengganggu bagi pertumbuhan permudaan pohon-pohon penting, penting sebagai penutup tanah, dan penting dalam pencampuran serasah dan pembentukan bunga tanah. Sebagai bagian dari suatu komunitas, tumbuhan bawah mempunyai korelasi yang nyata dengan tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan, dan dominansinya (Soerianegara dan Indrawan 2008 dalam Pananjung 2013). Keberadaan tumbuhan bawah di lantai hutan dapat berfungsi sebagai penahan pukulan air hujan dan aliran permukaan sehingga meminimalkan bahaya erosi. Selain itu, tumbuhan bawah juga sering dijadikan sebagai indikator 10
kesuburan tanah dan penghasil serasah dalam meningkatkan kesuburan tanah. Selain fungsi ekologi, beberapa jenis tumbuhan bawah telah diidentifikasi sebagai tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, tumbuhan obat, dan sebagai sumber energi alternatif. Namun tidak jarang juga tumbuhan bawah dapat berperan sebagai gulma yang menghambat pertumbuhan permudaan pohon khususnya pada tanaman monokultur yang dibudidayakan (Hilwan dkk., 2013). Terbentuknya pola keanekaragaman dan struktur spesies vegetasi hutan merupakan proses yang dinamis, erat hubungannya dengan kondisi lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Salah satu komponen dalam masyarakat tumbuhtumbuhan adalah tumbuhan bawah. Meskipun mempunyai pengaruh negatif karena dapat menjadí pesaing bagí tanaman pokok, tumbuhan bawah berperan penting dalam ekosistem hutan. Dalam stratifikasi hutan hujan tropika, tumbuhan bawah menempati stratum D yakni lapisan perdu, semak dan lapisan tumbuhan penutup tanah pada stratum E, sehingga tumbuhan bawah juga dapat berfungsi sebagai pencegah erosi (Soerianegara dan Indrawan 2008 dalam Sihaloho, 2014). Penelitian Sekarini (2010) di Wilayah KPH Malang menunjukkan kandungan karbon tumbuhan bawah untuk pinus tua sebesar 7,822 ton/ha sedangkan kandungan karbon tumbuhan bawah untuk pinus muda hanya sebesar 4,410 ton/ha. Sama halnya dengan tegakan pinus, pada tegakan jati pun total kandungan karbon serasah dan tumbuhan bawah tertinggi dimiliki oleh tegakan jati tua (tanaman 1993) yakni sebesar 3,5289 ton/ha sedangkan jati muda (tanaman 2006) kandungan karbon tumbuhan bawahnya hanya sebesar 3,1629 ton/ha. Perbedaan jumlah karbon tersimpan tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanah serta cara pengelolaannya. 11
Hasil penelitian Sihaloho (2014) di Arboretum USU karbon tersimpan pada tumbuhan bawah yaitu 1,08 ton/ha dimana pada tegakan Mindi sebesar 1,59 ton/ha dan pada tegakan Mahoni sebesar 0,57 ton/ha. Perbedaan cadangan karbon ini dikarenakan tutupan tajuk, intensitas cahaya matahari, banyaknya serasah dan tingginya kadar air tumbuhan bawah Kawasan Hutan Desa Simorangkir Julu Provinsi sumatera utara yang memiliki banyak potensi hutan baik berupa hutan pegunungan, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi dan hutan mangrove. Provinsi Sumatera Utara mempunyai 33 kabupaten salah satunya Kabupaten Tapanuli Utara. Tiap kabupaten memiliki tipe hutan yang berbedabeda seperti di kabupaten Asahan, Karo, Toba Samosir, Samosir dan lain- lain. Salah satu kecamatan dikabupaten Tapanuli Utara adalah Kecamatan Siatas Barita. Kecamatan ini berada dikawasan wisata rohani Salib Kasih. Hutan di Desa Simorangkir Julu merupakan kawasan Hutan Produksi Terbatas Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson Desa Simorangkir Julu termasuk ke dalam klasifikasi type B dengan curah hujan rata-rata pertahun 2.000 s/d 4.000 mm. Suhu udara minimum 15 0 C dan maksimum 30 0 C dengan kelembaban rata-rata berkisar antara 90-100%. Keadaan vegetasi di hutan Desa Simorangkir Julu merupakan tipe hutan tropis dengan didominasi oleh tumbuhan jenis pohon antara lain jenis Tusam. Beberapa jenis satwa yang dapat dijumpai antara lain Kera, Siamang, Ayam hutan dan beberapa jenis burung. Di samping keadaan alamnya sendiri yang potensial sebagai tempat wisata juga keindahan alam sekitar Salib Kasih. Beberapa kegiatan wisata yang dapat dilakukan antara 12
lain : lintas alam, berkemah, dan rekreasi santai. Sarana kemudahan dan pelayanan yang tersedia pada saat ini antara lain jalan setapak. Untuk mencapai lokasi Desa Simorangkir Julu melalui rute : Medan - Tebing Tinggi - Pemantang Siantar - Tarutung - lokasi, 450 km (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, 2014). 13