BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Telah lebih setengah abad Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tetapi berbagai permasalahan yang sangat mendasar, terutama dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal itu terlihat dari rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) terutama jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Index (HDI) tahun 2010, Indonesia menjadi negara dengan kualitas SDM yang memprihatinkan berada diperingkat 108 dari 177 negara (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2007). Pengembangan kemampuan SDM merupakan langkah yang harus dilaksanakan dalam kaitannya dengan penyiapan SDM berkemampuan unggul. Penyiapan SDM unggul harus dimulai sejak usia dini bahkan sejak pra lahir. Rendahnya HDI (Human Depelopment Indeks) ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya status gizi dan status kesehatan penduduk. Hal ini terlihat dari tingginya angka Kematian Balita (AKABA) di Indonesia pada tahun 2007 telah mencapai 44 per 1000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2009). Angka Kematian Balita di Indonesia pada tiap daerah berbeda-beda, di Sumatera Utara diperoleh angka kematian balita (AKABA) sebesar 67 per 1000 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Sumatera Utara, 2009). Tingginya angka kesakitan bayi dan gangguan gizi yang diderita oleh bayi dan anak balita di Indonesia saat ini memengaruhi kualitas remaja, calon ibu dan bapak serta sumber daya tenaga kerja
tahun mendatang. Oleh karena itu apabila kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak tidak diprioritaskan maka kondisi bangsa dan negara Indonesia pada tahun 2010-2015 akan semakin terpuruk lagi karena buruknya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) (Depkes RI, 2004). Upaya peningkatan kualitas SDM sangat terkait dengan pembangunan kesehatan. Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin sejak masih dalam kandungan. Upaya kesehatan ibu yang dilakukan sebelum dan selama masa kehamilan hingga melahirkan, ditujukan untuk menghasilkan keturunan yang sehat dan lahir dengan selamat. Upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih di dalam kandungan sampai lima tahun pertama kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi genetiknya (Depkes RI, 2005). Menurut Fibrila yang mengutip pendapat Sularyo (1996) mengatakan bahwa kelainan atau penyimpangan apapun, apabila tidak ditangani dengan baik secara dini dan waktunya, apalagi apabila tidak terdeteksi secara nyata akan mengurangi kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dikelak kemudian hari karena sering berakhir dengan tidak tercapainya potensialnya secara optimal bahkan dapat berakhir dengan kecacatan dan kematian.
Proses pertumbuhan dan perkembangan balita sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia di masa depan. Pertumbuhan balita mempunyai kaitan erat dengan kondisi gizi balita. Namun masalah gizi di Indonesia dewasa ini semakin memprihatinkan, karena masih dijumpainya kasus BBLR 14%, anemia balita 48% dan kurang energi protein (KEP) balita 27% (Depkes RI, 2006). Sedangkan untuk kecacatan, secara keseluruhan 29,9% bayi umur kurang dari 1 tahun 32,8% anak umur 1-4 tahun dan 30,1% anak umur 5-14 tahun menderita satu jenis kecacatan atau lebih (Susenas, 2001). Pembinaan tumbuh kembang balita merupakan serangkaian kegiatan yang sifatnya berkelanjutan antara lain berupa peningkatan kesejahteraan anak pada pemenuhan kebutuhan dasar dan hak-hak anak seperti makanan, kesehatan, perlindungan, memperoleh kasih sayang, interaksi, rasa aman dan stimulasi serta kesempatan belajar (BKKBN, 2007). Pembinaan perkembangan anak yang dilaksanakan secara tepat dan terarah menjamin anak tumbuh kembang secara optimal sehingga menjadi manusia yang berkualitas, sehat, cerdas, kreatif, produktif, bertanggung jawab dan berguna bagi bangsa dan negara. Para ahli mengatakan apabila masa emas (golden period) tersebut anak balita tidak dibina secara baik, maka anak tersebut akan mengalami gangguan perkembangan emosi, sosial, mental, intelektual dan moral yang nantinya dapat memengaruhi sikap dan perilakunya dimasa yang akan datang (BKKBN, 2008). Oleh karena itu orang tua perlu menerapkan pola pengasuhan yang tepat sesuai dengan usia dan perkembangan anak.
Mengingat jumlah balita di Indonesia sangat besar yaitu sekitar 10% dari seluruh populasi, maka sebagai calon generasi penerus bangsa, kualitas tumbuh kembang balita di Indonesia perlu mendapat perhatian yang serius yaitu mendapat gizi yang baik, stimulasi yang memadai serta terjangkau oleh pelayanan kesehatan berkualitas termasuk deteksi, intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang dan pembinaan tumbuh kembang balita (Depkes RI, 2005). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengembangkan program pendidikan karakter sejak dini melalui kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB) dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan kemampuan keluarga dalam membina tumbuh kembang, melakukan perawatan bagi anak-anaknya yang langsung menyentuh keluarga-keluarga sasaran. Melalui keluarga yang mempunyai anak balita disuatu wilayah, para kader dan konselor dilapangan memberikan bimbingan dan simulasi bagaimana memberikan kasih sayang, memantau pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis anak, memerankan alat permainan edukatif (APE) dan sebagainya (BKKBN, 2008). Sebelum BKB berdiri, pemerintah lebih memperhatikan aspek pertumbuhan fisik balita, antara lain melalui berbagai usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, dan sebagainya. Oleh karena itu, BKB didirikan untuk melengkapi program yang telah ada dengan perhatian pada pertumbuhan dan perkembangan balita (BKKBN, 1992). Merujuk pada kebijakan umum pembangunan kesehatan nasional, upaya penurunan angka kematian bayi dan balita merupakan bagian penting dalam
Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang antara lain dijabarkan dalam Visi Anak Indonesia 2015 untuk menuju anak Indonesia yang sehat. Strategi nasional bagi upaya penurunan kematian bayi dan balita adalah pemberdayaan keluarga, pemberdayan masyarakat, meningkatkan kerja sama dan kordinasi lintas sektor, dan meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan anak yang komprehensif dan berkualitas (Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, 2010). Program Bina Keluarga Balita (BKB) sebagai salah satu bagian program Keluarga Berencana (KB) bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan orang tua dan anggota keluarga lainnya dalam membina tumbuh kembang balita melalui rangsangan fisik, motorik, kecerdasan, emosional dan sosial dengan sebaik-baiknya dan merupakan bagian dari upaya untuk mempersiapkan keluarga yang berkualitas yang harus dimulai sejak dini bahkan sejak di dalam kandungan (BKKBN, 2008). Program BKB ini dimulai pada tahun anggaran 1981 dengan uji coba di 3 desa lokasi perbaikan kampung, yaitu Cirebon, Semarang dan Ujung Pandang. Dalam masa ini telah pula dilakukan hal-hal yang berkaitan dengan aspek manajemen program. Selanjutnya, BKB terus dikembangkan menjadi proyek percontohan di 27 provinsi secara bertahap. Sehingga pada tanggal 25-26 Januari 1990 melalui seminar nasional tentang pengembangan BKB, tercapai kesepakatan dan menetapkan sasaran jangkauan desa per provinsi untuk Pelita V, yang keseluruhannya berjumlah 17.573 desa di seluruh Indonesia (BKKBN, 1992).
Jumlah kelompok BKB yang merupakan wahana penyuluhan pengetahuan dan cara tumbuh kembang balita sampai dengan bulan Maret 2005 tercatat sekitar 89.898 kelompok. Keluarga yang mengikuti kegiatan BKB sampai dengan Maret 2005 tercatat sebanyak 2.831.966 keluarga balita, atau sekitar 17,7% terhadap jumlah keluarga balita sebanyak 15.985.382 keluarga. Survei Indikator Program Indonesia (2003), Gambaran pengetahuan keluarga tentang cara pengasuhan dan tumbuh kembang anak dari yang berkaitan dengan perkembangan fisik badan anak pada umumnya dipahami dengan memberikan makan bergizi oleh 67,3% keluarga, dan membawa anak ke posyandu 44% keluarga. Dalam mengubah masyarakat terdapat suatu kegiatan yang dikenal dengan difusi inovasi, yaitu suatu psoses penyebarserapan ide-ide baru dalam upaya untuk merubah suatu masyarakat (Rogers, 1983). Suatu inovasi akan diterima oleh seseorang/individu apabila terdapat karakteristik inovasi, ukuran keputusan adopter, sistem sosial, saluran komunikasi dan promosi agen perubahan. Cepat atau lambatnya suatu inovasi diadopsi atau ditolak tergantung pada para anggota suatu sistem sosial menghayati lima karakteristik inovasi menurut Rogers (1983), yang meliputi: relative advantage (keuntungan relatif), compatibility (keserasian), complexity (kerumitan), triability (kemungkinan dicoba), dan observability (kemungkinan diamati), hal ini sangat menentukan tingkat suatu adopsi daripada faktor lain yaitu berkisar antara 49% sampai dengan 87%, seperti jenis keputusan, saluran komunikasi, sistem sosial dan usaha yang intensif dari agen perubahan. Faktor yang memengaruhi proses keputusan inovasi kaitannya dengan
sistem sosial adalah struktur sosial, norma sistem, peran pemimpin dan agen perubahan, tipe keputusan inovasi dan konsekuensi inovasi. Pada penelitian Tanjung (2010), dikemukakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara inovasi dan sistem sosial dengan pemanfaatan perangkap telur nyamuk sederhana (ovitrap) oleh ibu rumah tangga. Berdasarkan penelitian Andayuni (2009), mengatakan bahwa karakteristik inovasi (kelebihan relatif) memengaruhi adopter dalam menggunakan larutan pemurni air rahmat yang efektif untuk menghilangkan mikroorganisme yang biasa mencemari air dan menyebabkan beberapa penyakit seperti diare, kolera, disentri dan demam tifus. Kabupaten Langkat merupakan salah satu dari 25 kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara, jumlah penduduk di Kabupaten ini adalah 1.057.768 jiwa. Terdapat 23 kecamatan di Kabupaten ini, salah satunya Kecamatan Stabat. Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan tahun 2010 dapat dilihat bahwa di Kabupaten Langkat, Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita masih dibawah yang diharapkan hanya mencapai 13,89% dari jumlah balita 93.268 sedangkan dilihat dari standard nasional pada indikator deteksi dini tumbuh kembang balita sebesar 90% dan status gizi balita di Kabupaten Langkat dengan prevalensi Bawah Garis Merah (BGM) sebesar 2,88% dan gizi buruk sebesar 0,35% (Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, 2010) Hasil pencatatan dan pelaporan BKKBN Februari 2011 menunjukkan bahwa di Kabupaten Langkat jumlah keluarga peserta BKB berjumlah 7.427 dengan persentase pencapaian jumlah keluarga balita yang menjadi anggota BKB aktif
masih 49,4% dibandingkan target nasional yaitu 90%. Dari laporan tersebut terlihat bahwa partisipasi keluarga dalam mengikuti program BKB masih rendah (BKKBN, 2011). Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas BKB Kabupaten Langkat, berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan peran serta ibu antara lain dengan melakukan kegiatan penyuluhan. Berdasarkan survei pendahuluan diketahui masih banyak ibu yang tidak ikut serta dalam program BKB. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan ibu akan pentingnya manfaat program BKB untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan balita serta adanya asumsi ibu bahwa program BKB tidak begitu penting. Aspek lain yang menyebabkan kurangnya partisipasi ibu dalam program BKB karena kurangnya dukungan keluarga. Bagi masyarakat Kelurahan Kwala Bingai program penyuluhan BKB ini kurang menarik, masyarakat berasumsi bahwa informasi mengenai pendidikan dan pembelajaran anak dapat mereka peroleh melalui sumber-sumber yang berbeda. Pandangan masyarakat sendiri tentang pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dilakukan di rumah saja tanpa harus mengikuti program BKB dan masyarakat menganggap bahwa para orang tua mereka sendiri sebagai tempat untuk bertanya karena telah berpengalaman dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka yang tercermin pada diri mereka sendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh karakteristik inovasi dan sistem sosial terhadap adopsi inovasi program Bina Keluarga Balita (BKB) di Kelurahan Kwala Bingai Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat.
1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh karakteristik inovasi dan sistem sosial terhadap adopsi inovasi program Bina Keluarga Balita (BKB) di Kelurahan Kwala Bingai Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Tahun 2011. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh karakteristik inovasi dan sistem sosial terhadap adopsi inovasi program Bina Keluarga Balita (BKB) di Kelurahan Kwala Bingai Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Tahun 2011. 1.4. Hipotesis Ada pengaruh karakteristik inovasi (keuntungan relatif, keserasian, kerumitan, dapat dicoba, dapat dilihat) dan sistem sosial (struktur sosial, norma sistem, peran pemimpin, agen perubahan) terhadap adopsi inovasi program Bina Keluarga Balita (BKB) di Kelurahan Kwala Bingai Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat Tahun 2011. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Untuk memberikan informasi dan intervensi lintas program dan lintas sektoral Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan dengan Pemerintah Kabupaten Langkat terhadap Program Bina Keluarga Balita (BKB)
2. Sebagai bahan masukan bagi Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam program Bina Keluarga Balita (BKB) 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengaruh karakteristik inovasi dan sistem sosial terhadap adopsi inovasi program BKB.