9 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari keperluan akan dana guna menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat yang kelebihan dana, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakannya, dan di sisi lain ada kelompok masyarakat lain yang memiliki kemampuan untuk berusaha namun terhambat pada kendala oleh karena hanya memiliki sedikit bahkan tidak memiliki dana sama sekali. Untuk mempertemukan keduanya diperlukan intermediary yang akan bertindak sebagai kreditur yang menyediakan dana bagi debitur. Dalam hal ini akan menimbulkan perjanjian utang piutang ataupun pengikatan agunan yang dilakukan antara debitur dengan kreditur. Pengikatan agunan itu sendiri dapat terjadi diawali dengan adanya perjanjian kredit yang dibuat para pihak yang berkepentingan. karena pengikatan agunan yang dilakukan pihak kreditur (bank) terhadap debitur (nasabah) harus membuat suatu kesepakatan terlebih dahulu sebelum terjadinya perjanjian kredit tersebut sesuai syarat-syarat sah yang berlaku. Bank terlebih dahulu akan menilai agunan yang diberikan pihak debitur (nasabah) sebelum memberikan pinjaman yang diiginkan debitur. Sebab kadang kala terjadi keinginan pihak debitur yang menginginkan pinjaman melalui perjanjian kredit untuk kelangsungan usahanya, namun agunan yang dimiliki debitur tidak mencukupi ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Bank. Pada hal seperti inilah Bank harus lebih waspada dalam memberikan pinjaman kredit sebagai modal usaha pihak debitur. Bahkan
10 bisa saja pihak debitur melakukan wanprestasi dalam perjanjian kredit yang berkaitan dengan agunan yang diberikan debitur kepada kreditur. Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997 ternyata masih terasa dampaknya, bahkan boleh dikatakan belum pulih sepenuhnya. Beberapa pengamat ekonomi menjelaskan bahwa terjadinya krisis tidak terlepas dari buruknya kinerja di sekor perbankan saat itu dan dianggap sebagai biang kerok timbulnya krisis moneter. Ambruknya beberapa bank yang diikuti dengan penutupan dan penggabungan beberapa bank lainnya, menimbulkan dampak yang buruk bagi bank bahkan dapat menghancurkan perekonomian. 1 Perlu diketahui bahwa pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, diharapkan dapat mendukung dan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Konstruksi hukum yang berlaku saat ini mengatur mengenai pengumpulan dana masyarakat baik dalam bentuk dana jangka pendek maupun dana jangka panjang yang didistribusikan kembali kepada anggota masyarakat yang memerlukan dana dalam bentuk penyertaan jangka pendek maupun jangka panjang, serta dalam bentuk pinjaman jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam hal ini akan lebih dibahas pentingnya pengikatan agunan dalam penentuan perjanjian kredit yang dibuat antara debitur dan kreditur yang dapat menunjang perkembangan Bank dalam menghimpun dana masyarakat. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1131 bahwa salah satu bentuk collateral yang sangat dipertimbangkan adalah dalam bentuk jaminan 1 Hasil Tesis A. Donald, Tentang Perkreditan Komersial di PT. Bank Mandiri, Pascasarjana Ekonomi,, 2009, hal 8.
11 khusus diluar jaminan yang berlaku umum. Jaminan yang lahir karena undangundang, tanpa adanya perjanjian para pihak, yaitu yang diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Perdata yang menyatakan bahwa segala kebendaan milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari,akan menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. 2 Dengan demikian berarti seluruh benda debitur menjadi jaminan bagi semua kreditur. Dalam hal debitur tidak dapat memenuhi kewajiban utangnya kepada kreditur, maka kebendaan milik debitur tersebut akan dijual kepada umum, dan hasil penjualan benda tersebut di bagi antara para kreditur, seimbang dengan besar piutang masing-masing (Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Perdata). Dalam era Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, industri perbankan Indonesia sangat collateral oriented. Hal ini disebabkan oleh ketentuan dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 secara jelas menentukan bahwa Bank Umum tidak memberi kredit tanpa jaminan kepada siapapun juga. Ketentuan Pasal ini telah menciptakan orientasi bank yang bukan lebih mengutamakan feasibility dari proyek atau usaha nasabah tetapi lebih mengutamakan kecukupan agunan. Hal ini juga dimaksudkan dimana bank tidak mau mengambil resiko dalam hal memberikan pinjaman kepada nasabah atau debitur bila tidak mampu untuk melunasinya kembali terlebih tidak memiliki barang atau benda yang dapat dijadikan jaminan atau agunan. 3 2 Rachmadi Usman I, Hukum Jaminan Keperdataan, 2008. Jakarta, Sinar Grafika. hal 73. 3 Ibid, hal. 67.
12 Seringkali proyek atau usaha-usaha yang terjamin dapat dilaksanakan (feasible) ditolak permohonan kreditnya hanya karena calon nasabah debitur tidak menyediakan agunan (tambahan) yang cukup. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, ingin mengubah orientasi bank ini. Bahkan memberikan kelonggaran kepada nasabah dalam hubungannya dengan kesulitan untuk dapat menyerahkan agunan. Dalam hal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tidak lagi collateral oriented, namun praktik perbankan tampaknya masih belum mengubah orientasinya. 4 Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan : Dengan memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syahriah,Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam hal ini, perlu diketahui benda atau barang apa yang dapat diagunkan, yang terbagi atas : benda bergerak (Pasal 509 sampai Pasal 518 Bagian Keempat Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan benda tidak bergerak (Pasal 506 hingga Pasal 508 Bagian Ketiga Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Salah satu hal yang paling mencolok dalam lapangan Hukum Benda adalah masih sering terjadinya berbagai macam pengertian tentang kebendaan bergerak dan kebendaan tidak bergerak, terutama dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, dimana secara tegas dalam 4 Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan Undang-Undang Hak Tanggungan Bagi Perbankan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.21-22.
13 Diktum Pertama dari Undang-Undang Pokok Agraria telah dinyatakan hapus berbagai aturan dasar yang mengatur mengenai tanah (sebagai bagian dari kebendaan tidak bergerak yang diatur berdasarkan sistem hukum Romawi). 5 Di samping itu, bank juga harus meneliti tentang keahlian calon nasabah debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank berkeyakinan bahwa usaha yang akan dibiayainya akan dikelola oleh orang yang tepat. Sehingga calon nasabah debiturnya dalam jangka waktu yang relatif tidak terlalu lama sudah mampu untuk melunasi atau mengembalikan pinjaman atau kreditnya. Bila kemampuan bisnisnya kecil atau kinerja bisnisnya menurun, maka tidak layak diberikan kredit dalam skala besar, bahkan bisa saja kredit tidak diberikan. Kecuali jika penurunan itu karena kekurangan biaya, sehingga dapat diantisipasi dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit, maka kinerja bisnisnya tersebut dipastikan akan semakin membaik. 6 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut yang telah dikemukakan diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana prosedur pengikatan dan pelepasan agunan PT. Bank Mandiri (Persero)Tbk? 2. Apakah yang menjadi kelebihan dan kelemahan agunan dalam perjanjian kredit di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk? 5 Rachmadi Usman II, Hukum Jaminan Keperdataan, Op.Cit, hal 47. 6 Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 23.
14 3. Bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi pada debitur terhadap bank bila tidak mampu melunasi utangnya? C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulis membahas penyelesaian sengketa dalam pengikatan agunan di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui prosedur dan pelepasan pengikatan agunan di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. 2. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan pengikatan agunan dalam perjanjian kredit di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. 3. Untuk mengetahui prosedur penyelesaian sengketa apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan penilaian agunan pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Pada dasarnya, suatu penulisan yang dibuat diharapkan dapat memberikan manfaat baik untuk penulis sendiri maupun bagi siapa saja yang membacanya, begitu juga yang diharapkan dari penulisan skripsi ini. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Dengan adanya penulisan skripsi ini dapat menambah dan memperkaya wawasan ilmiah baik secara umum maupun secara khusus sehingga menumbuhkan sikap kritis terhadap pengikatan agunan di PT.Bank Mandiri (Persero) Tbk. 2. Penulisan skripsi ini juga dapat memberikan penjelasan mengenai sikap tanggung jawab baik sebagai debitur maupun sebagai kreditur dalam hal pengikatan agunan di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
15 3. Dengan adanya penulisan skripsi ini dapat mengetahui penyelesaian sengketa yang terjadi serta menambah pengetahuan untuk lebih menjaga agar tidak terjadi kelalaian dalam pengikatan agunan di PT.Bank Mandiri (Persero) Tbk. D. Keaslian Penulisan Penulisan skripsi ini berdasarkan pada ide, gagasan maupun pemikiran penulis secara pribadi dimulai dari awal hingga akhir penyelesaiannya. Hal ini dapat tumbuh dan dipaparkan tertulis dalam skripsi ini berdasarkan perkembangan pengikatan agunan yang memiliki prosedur semakin baik terutama di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk serta permasalahan yang timbul di dalamnya. Artinya tulisan ini bukanlah hasil penggandaan atau hasil ciplakan dari hasil karya tulisan orang lain, sehingga keaslian penulisan ini terjamin adanya. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut sangat dibutuhkan sebagai faktor pendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini terlebih dalam penyempurnaannya. E. Tinjauan Kepustakaan Dalam perspektif hukum perbankan, istilah agunan ini dibedakan dengan istilah jaminan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan, tidak dikenal istilah agunan, yang ada istilah jaminan. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998,
16 memberikan pengertian yang tidak sama dengan istilah jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967. Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah agunan atau tanggungan, sedangkan jaminan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain, yaitu keyakinan atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan diperjanjikan. 7 Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie, yaitu : kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya. Di samping itu istilah agunan, ketentuan dalam Pasal 1 angka 23 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diartikan sebagai berikut : Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Djuhaendah Hasan mengemukakan, bahwa : 7 Sutan Remy Syahdeini, Op.Cit, hal. 66.
17 Adanya pertimbangan dan penilaian terhadap unsur character, capital, capacity, condition of economy debitur tanpa memberikan tekanan kepada collateral memang dapat membantu para pengusaha yang menjalankan usaha dengan prospek usaha yang baik dan dalam kondisi perusahaannya yang sehat dan berjalan baik, tetapi akan menjadi masalah bagi pihak bank, apabila dalam perusahaan debitur tersebut tidak berjalan mulus sebagaimana yang telah dinilai semula oleh pihak bank. 8 Ini merupakan satu dilema, di sisi yang satu bank harus membantu golongan ekonomi lemah, namun pada sisi lain juga melindungi pihak bank sebagai kreditur. Begitu tingginya risiko yang harus dihadapi pihak bank sebagai kreditur, oleh karena itu perlu pernyataan kembali ketentuan peraturan tentang jaminan dalam perjanjian kredit yang lebih menjadi kepastian kembalinya kredit yang disalurkan. Sebagai salah satu tindakan preventif, akan lebih baik apabila dalam penilaian bagi perjanjian kredit tertentu (misalnya proyek debitur kurang meyakinkan), maka bank sebagai kreditur selain melakukan tindakan pengawasan terhadap jalannya proyek dan penggunaan kredit yang diterima debitur. Dalam kaitan jaminannya, pihak bank selain meminta jaminan pokok, juga dapat meminta jaminan tambahan kepada calon debiturnya. 9 adalah : Mariam Darus Badrulzaman menyatakan : Jaminan sebagai suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan/atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan. 10 Menurut Hartono Hadisoeprapto, yang juga merumuskan bahwa jaminan 8 Djuhaendah Hasan, Hak Tanggungan Atas Tanah dan Implikasinya terhadap Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 210-211. 9 Ibid, hal. 210-211. 10 Mariam Darus Badrulzaman I, Benda-Benda yang Dapat Diletakkan Sebagai Objek Hak Tanggungan, Citra Aditya, Bandung, 1996, hal. 12.
18 Sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. 11 Berdasarkan pengertian jaminan di atas, dapat disimpulkan bahwa jaminan itu merupakan suatu tanggungan yang dapat dinilai dengan uang, yaitu berupa kebendaan tertentu yang dapat diserahkan debitur kepada kreditur sebagai akibat dari suatu hubungan perjanjian utang piutang ataupun perjanjian lain. Kebendaan yang diserahkan debitur kepada kreditur menjadi tanggungan atas pinjaman atau fasilitas kredit yang diberikan kreditur kepada debitur sampai debitur melunasi pinjamannya tersebut. Perlunya penyediaan sejumlah uang atau tagihan yang disamakan dengan itu adalah merupakan kewajiban bank sebagai pemberi kredit atau pinjaman terhadap nasabah sebagai debitur dengan berpedoman kepada perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian ini paling tidak mengatur atau berisi : jumlah agunan yang disetujui, barang atau benda yang diagunkan baik benda berwujud atau benda tidak berwujud sama halnya dengan kebendaan bergerak atau kebendaan tidak bergerak, suku bunga kredit, jangka waktu pengikatan agunan dan pelepasan agunan, syarat penarikan agunan kredit. Dalam hal ini pun dapat terjadi wanprestasi yang dilakukan debitur. Sehingga apabila terjadi wanprestasi, kebendaan tersebut akan dinilai dengan uang, dan selanjutnya akan dipergunakan untuk pelunasan seluruh atau sebagian dari pinjaman atau utang debitur kepada krediturnya. Dalam hal ini fungsi jaminan semakin erat sebagai sarana atau 11 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perdata dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hal. 50.
19 menjamin pemenuhan pinjaman atau utang debitur bila wanprestasi sebelum sampai jatuh tempo pinjaman atau utangnya berakhir. Oleh karena itu, pemberian dana atau uang kepada debitur yang akan diikuti kewajibannya atas pembayaran bunga kredit dan pengembalian utang pokok di masa yang akan datang, berarti fasilitas kredit merupakan sumber pendapatan bagi bank yaitu: berupa bunga kredit. Namun karena sifatnya di masa yang akan datang, tentu akan membawa risiko ketidakpastian bagi bank. Bunga kredit merupakan pendapatan utama bank yang diterima dari debitur atas kredit yang dinikmatinya. Dalam hal ini, jelas bahwa peranan perkreditan sangat dominan dalam menentukan performance, keuntungan dan pengembangan masa depan sebuah bank. 12 Pendapatan bunga yang mungkin diterima bank tentu tergantung pada dana yang diberikan kepada debitur, yang tatkala untuk kelancaran usahanya serta barang atau benda yang dijadikan agunan. Bahkan lokasi usahanya pun dapat dijadikan agunan atau sebagai jaminan pinjaman debitur terhadap bank. Semakin besar dana yang diberikan kepada debitur dan dengan suku bunga tertentu, maka semakin besar juga pendapatan bunga yang diterima bank. Selanjutnya ini juga menentukan arah pengembangan bank tersebut di masa yang akan datang. Perlu diingat, besarnya kredit atau pinjaman yang diberikan bank kepada debitur atau nasabah merupakan salah satu unsur dalam penentu baik, yang dikenal dalam istilah Loan to Deposit Ratio (LDR), dan memiliki limit kredit atau batas pinjaman terhadap satu group perusahaan Batas Maksimum Pemberian 12 Wisnhu Arief Pramono, Quality Control Menjamin Kualitas, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, 2008, hal 20.
20 Kredit (BMPK). Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa kredit atau pinjaman yang diberikan kepada debitur merupakan nyawa dan perkembangan hidup perbankan. Sehingga bank akan memberikan kredit semaksimal mungkin atau sebanyak-banyaknya dengan kualitas yang baik, dan menghindari kredit yang kurang lancar, diragukan ataupun macet, agar tidak menjadi beban atau biaya yang akan mengurangi pendapatan. Dengan demikian jelas barang atau benda ataupun usaha yang akan dijadikan agunan oleh debitur perlu diteliti oleh bank sebagai pihak kreditur sebelum memberikan kredit atau pinjaman agar tidak mengalami sengketa dalam pengikatan agunan tersebut. 13 F. Metode Pengumpulan Data Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan : 1. Metode penelitian kepustakaan (library research). Metode ini merupakan pengumpulan data yang dilakukan melalaui literatur atau dari sumber bacaan berupa buku-buku, peraturan perundangundangan dan bahan bacaan lain yang terkait dengan penulisan skripsi ini untuk digunakan sebagai dasar ilmiah pembahasan materi. 2. Metode penelitian pengumpulan data (Field research) Merupakan jenis pengumpulan data mengenai penyelesaian sengketa mengenai pengikatan agunan di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk kantor wilayah I Kota Medan melalui penelitian yang diperoleh PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk, Balai Kota Medan dengan salah satu pegawai yaitu 13 H. Ali Mashyud, Manajemen Risiko: Strategi Perbankan dan Dunia Usaha Menghadapi Tantangan Global Bisnis, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 10.
21 Bapak Syamsuri Abdullah selaku manager Regional Credit Operations Medan. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini memiliki hubungan yang erat satu sama lainnya, karena pada dasarnya isi dari penulisan ini adalah merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Melalui sistematika penulisan ini, penulis membuat gambaran isi dari skripsi yang terdiri dari 5 (lima) bab dan beberapa sub bab, sebagai berikut : BAB I : Bagian ini adalah merupakan pendahuluan dari konsep materi yang akan dibahas. Bagian ini terdiri dari : latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian judul, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Pada bagian ini diuraikan tinjauan umum mengenai PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk dengan sub bahasan sebagai berikut: sejarah singkat Bank Mandiri, macam-macam produk Bank Mandiri, dan jenis-jenis agunan di Bank Mandiri. BAB III : Dalam bab ini, penulis menguraikan tinjauan umum mengenai agunan menurut hukum perdata, yang terdiri atas beberapa sub bahasan sebagai berikut : pengertian agunan secara umum, bentuk-bentuk agunan, pihak-pihak yang terkait dalam agunan. BAB IV : Dalam bab ini akan diuraikan lebih jauh mengenai penyelesaian sengketa pengikatan agunan di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk
22 dari segi hukum perdata yang merupakan bahasan dari judul skripsi ini, dan terdiri dari sub bahasan sebagai berikut: bentuk penyelesaian sengketa pengikatan agunan di PT. Bank Mandiri, (Persero) Tbk, mekanisme penyelesaian sengketa pengikatan agunan di Bank Mandiri, dan akibat hukum penyelesaian sengketa pengikatan agunan di Bank Mandiri. BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini. Di dalam bab ini memuat mengenai kesimpulan dan saran dari skripsi ini yang berkaitan dengan permasalahan dan pembahasan sebelumnya. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI AGUNAN DAN PERJANJIAN KREDIT