BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. terutama di bidang sistem komunikasi nirkabel (wireless). Sistem wireless

1. BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan tugas akhir ini adalah: 1. Melakukan upgrading jaringan 2G/3G menuju jaringan Long Term Evolution (LTE) dengan terlebih

SIMULASI DAN ANALISIS MANAJEMEN INTERFERENSI PADA LTE FEMTOCELL BERBASIS SOFT FREQUENCY REUSE

II. TINJAUAN PUSTAKA


II. TINJAUAN PUSTAKA. (proses handover dari macrocell ke femtocell) telah dilakukan secara luas dalam

PERENCANAAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) 1800 MHz DI WILAYAH MAGELANG MENGGUNAKAN BTS EXISTING OPERATOR XYZ

ANDRIAN SULISTYONO LONG TERM EVOLUTION (LTE) MENUJU 4G. Penerbit Telekomunikasikoe

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II PEMODELAN PROPAGASI. Kondisi komunikasi seluler sulit diprediksi, karena bergerak dari satu sel

PERENCANAAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE)1800 Mhz DI WILAYAH MAGELANG MENGGUNAKAN BTS EXISTING OPERATOR XYZ

BAB I PENDAHULUAN. Code Division Multiple Access (CDMA) merupakan metode akses kanal

I. PENDAHULUAN. telekomunikasi berkisar 300 KHz 30 GHz. Alokasi rentang frekuensi ini disebut

SIMULASI LINK BUDGET PADA SEL FEMTO TEKNOLOGI TELEKOMUNIKASI LTE (LONG TERM EVOLUTION)

BAB I PENDAHULUAN. Akhir yang berjudul Discrete Fourier Transform-Spread Orthogonal Frequency Division

BAB 1 I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Powered By TeUinSuska2009.Wordpress.com. Upload By - Vj Afive -

3.6.3 X2 Handover Network Simulator Modul Jaringan LTE Pada Network Simulator BAB IV RANCANGAN PENELITIAN

MANAJEMEN INTERFERENSI PADA TRANSMISI DOWNLINK JARINGAN SELULER TWO-TIER BERBASIS 4G LTE-ADVANCED DENGAN MENGGUNAKAN METODE POWER CONTROL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi telekomunikasi yang semakin pesat dan kebutuhan akses data melahirkan salah satu jenis

DAFTAR SINGKATAN. xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. Pembahasan. reuse. Inti dari konsep selular adalah konsep frekuensi reuse.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR SISTEM KOMUNIKASI SELULER

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini membahas literatur yang mendukung penelitian di antaranya adalah Long

ANALISIS PENINGKATAN KINERJA SOFT HANDOFF TIGA BTS DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PROPAGASI OKUMURA

Gambar 1 1 Alokasi Penataan Ulang Frekuensi 1800 MHz[1]

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan informasi dan komunikasi terus

Evaluasi Kinerja Sistem Komunikasi LTE- Advanced dengan Relay Berbasis Orthogonal Resource Allocation Algorithm

Dalam hal ini jarak minimum frequency reuse dapat dicari dengan rumus pendekatan teori sel hexsagonal, yaitu : dimana :

Evaluasi Kinerja Sistem Komunikasi LTE- Advanced dengan Relay Berbasis Orthogonal Resource Allocation Algorithm

Analisis Kinerja Metode Power Control untuk Manajemen Interferensi Sistem Komunikasi Uplink LTE-Advanced dengan Femtocell

KONSEP DASAR SELULER. (DTG3G3) PRODI D3 TT Yuyun Siti Rohmah,ST.,MT

Desain dan Analisa Kinerja Femtocell LTE- Advanced Menggunakan Metode Inter Cell Interference Coordination

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Radio Resource Management dalam Multihop Cellular Network dengan menerapkan Resource Reuse Partition menuju teknologi LTE Advanced

Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Abstrak

Teknik Transmisi Seluler (DTG3G3)

TEKNIK PERANCANGAN JARINGAN AKSES SELULER

Evaluasi Kinerja Penerapan Koordinasi Interferensi pada Sistem Komunikasi LTE- Advanced dengan Relay

Teknik Transmisi Seluler (DTG3G3)

Evaluasi Kinerja Penerapan Koordinasi Interferensi pada Sistem Komunikasi LTE- Advanced dengan Relay

III. METODE PENELITIAN. Teknik Elektro, Jurusan Teknik Elektro, Universitas Lampung. Tabel 3.1. Jadwal kegiatan Penelitian

BAB II TEORI DASAR. Public Switched Telephone Network (PSTN). Untuk menambah kapasitas daerah

ANALISIS COVERAGE AREA WIRELESS LOCAL AREA NETWORK (WLAN) b DENGAN MENGGUNAKAN SIMULATOR RADIO MOBILE

INTERFERENCE MITIGATION PADA JARINGAN FEMTOCELL ARAH UPLINK DENGAN ALGORITMA INTERFERENCE-FREE POWER AND RESOURCE BLOCK ALLOCATION (IFPRBA)

BAB I PENDAHULUAN. menuntut agar teknologi komunikasi terus berkembang. Dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN. masalah, batasan masalah, serta sistematika penulisan laporan penelitian.

ANALISA IMPLEMENTASI GREEN COMMUNICATIONS PADA JARINGAN LTE UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI ENERGI JARINGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II JARINGAN GSM. telekomunikasi selular untuk seluruh Eropa oleh ETSI (European

ANALISIS PERANCANGAN JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE) DI WILAYAH KOTA BANDA ACEH DENGAN FRACTIONAL FREQUENCY REUSE SEBAGAI MANAJEMEN INTERFERENSI

PERHITUNGAN PATHLOSS TEKNOLOGI 4G

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SIMULASI LINK BUDGET PADA SEL FEMTO TEKNOLOGI TELEKOMUNIKASI LTE (LONG TERM EVOLUTION)

BAB II SOFT HANDOFF. bergerak. Mobilitas menyebabkan variasi yang dinamis pada kualitas link dan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Alokasi frekuensi 2300 MHz di Indonesia [4]

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Wireless Communication Systems Modul 9 Manajemen Interferensi Seluler Faculty of Electrical Engineering Bandung 2015

MANAJEMEN INTERFERENSI PADA TRANSMISI UPLINK DENGAN METODE POWER CONTROL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LTE LOAD BALANCING DENGAN SKENARIO GAME THEORY

BAB III. IMPLEMENTASI WiFi OVER PICOCELL

fading konstan untuk setiap user dengan asumsi perpindahan mobile station relatif

Manajemen Interferensi Femtocell pada LTE- Advanced dengan Menggunakan Metode Autonomous Component Carrier Selection (ACCS)

BAB III PEMODELAN DAN SIMULASI

BAB I PENDAHULUAN. teknologi 3G yang menawarkan kecepatan data lebih cepat dibanding GSM.

ANALISIS MANAJEMEN INTERFERENSI JARINGAN UPLINK 4G-LTE DENGAN METODE INNERLOOP POWER CONTROL DI PT TELKOMSEL

Handbook Edisi Bahasa Indonesia

Analisis Pengaruh Model Propagasi dan Perubahan Tilt Antena Terhadap Coverage Area Sistem Long Term Evolution Menggunakan Software Atoll

Perancangan Jaringan LTE (Long Term Evolution) Indoor di Gedung C Fakultas Teknik Universitas Riau

BAB II JARINGAN LONG TERM EVOLUTION (LTE)

Analisis Pengaruh Penggunaan Physical Cell Identity (PCI) Pada Perancangan Jaringan 4G LTE

BAB II LANDASAN TEORI

Multiple Access. Downlink. Handoff. Uplink. Mobile Station Distributed transceivers Cells Different Frequencies or Codes

EVALUASI KINERJA ALGORITMA HISTERESIS HARD HANDOFF PADA SISTEM SELULER

BAB 2 DASAR TEORI. Sistem telekomunikasi yang cocok untuk mendukung sistem komunikasi

Traffic Offload Data antara Jaringan 3G dengan Jaringan WiFi

BAB III METODE PENELITIAN

Teknik Multiple Akses FDMA, TDMA, CDMA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II ARSITEKTUR SISTEM CDMA. depan. Code Division Multiple Access (CDMA) merupakan salah satu teknik

ABSTRAK. Kata kunci : LTE-Advanced, signal level, CINR, parameter, dense urban, urban, sub urban, Atoll. ABSTRACT

SIMULASI DAN EVALUASI PACKET DATA LOSS TRANSMISI VIDEO PADA JARINGAN LTE ( LONG TERM EVOLUTION ) ABSTRAK

BAB IV ANALISA HASIL SIMULASI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi yang cenderung memerlukan data rate tinggi, hal ini terlihat dari

Sistem Komunikasi Modern Teknik Elektro Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto Yogyakarta

ANALISIS NILAI LEVEL DAYA TERIMA MENGGUNAKAN MODEL WALFISCH-IKEGAMI PADA TEKNOLOGI LONG TERM EVOLUTION (LTE) FREKUENSI 1800 MHz

BAB I PENDAHULUAN. handoff pada jaringan 3G (third generation), para pengguna sudah dapat merasakan

ANALISIS DAN IMPLEMENTASI ALGORITMA ROUND ROBIN DAN BEST CQI PADA PENJADWALAN DOWNLINK LTE

Teknologi Seluler. Pertemuan XIV

Presentasi Seminar Tugas Akhir

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi komunikasi seluler tidak lagi terbatas pada layanan suara dan pesan singkat (SMS). Teknologi seluler terus berkembang pesat dari tahun ke tahun. Layanan akses data pada perangkat seluler yang mulai dikenalkan pada tahun 1995, saat ini sudah mampu menyajikan kecepatan akses yang tinggi. Saat ini perkembangan teknologi komunikasi seluler sudah mencapai generasi ke-4 atau 4G. Teknologi 4G yang dinamakan Long Term Evolution (LTE) mampu memberikan kecapatan akses data hingga 100 Mbps [1]. Kecepatan yang tinggi dan kemudahan akses membuat teknologi seluler menjadi primadona dalam akses layanan komunikasi. Kemudahan akses yang ditawarkan teknologi seluler membuat akses data atau internet sudah bergeser melalui teknologi ini. Hal tersebut dikarenakan teknologi seluler sangat mendukung iklim akses manusia yang dituntut hidup dalam mobilitas yang tinggi. Pengguna dapat mengakses data melalui perangkat mobilenya kapanpun dan dimanapun tanpa batas. Hal tersebut membuat membuat layanan mobile data sangat diminati. Cisco Visual Networking Index melaporkan, pada tahun 2011 pengguna mobile data meningkat tiga kali lipat dibanding tahun 2008 [2]. Selain itu juga diprediksikan peningkatan ini akan mencapai 26 kali lipat pada tahun 2015. Peningkatan pengguna mobile data timbul karena adanya pergeseran pengguna dalam menggunakan layanan akses data. Pergeseran ini terjadi dari penggunaan akses data melui layanan desktop ke perangkat mobile seluler. Pergeseran pengguna akses data ini juga berdampak pada peningkatan akses pengguna dalam rungan. Lopez dkk melaporkan, saat ini 50% pengguna layanan seluler dan 80% transmisi data dilakukan di dalam rungan [3]. Besarnya akses data dari dalam ruangan mendorong evolusi pada layanan seluler. Layanan seluler konvensional menggunakan satu buah pemancar / base 1

station (BS) yang melayani satu daerah sampai radius 1000 meter menjadi tidak efektif untuk diterapkan. Hal ini diakibatkan banyaknya penghalang dan tebalnya dinding bangunan yang menghalangi antara BS dengan pengguna di dalam rungan. Belum lagi ditambah dengan kondisi bangunan daerah urban saat ini yang cenderung menjulang tinggi menyebabkan halangan ini menjadi sangat banyak dan sulit dijangkau dengan teknologi BS konvensional. Pengguna dalam ruangan mengalami penurunan kualitas layanan secara drastis karena banyaknya penghalang tersebut [4]. Banyak teknologi dikembangkan untuk meningkatkan kualitas layanan pengguna dalam ruangan. Salah satu teknologi yang banyak digunakan dan diaplikasikan adalah penerapan pemancar-pemancar yang lebih kecil dan lebih banyak di daerah urban. Dengan penerapan pemancar yang lebih kecil, jumlah layanan dalam suatu area dapat ditingkatkan. Akan tetapi penggunaan pemancarpemancar kecil atau picocell ini masih belum berdampak signifikan pada peningkatan kualitas layanan pengguna dalam ruangan [5]. Pada tahun 2002, ilmuwan Motorolla mengemukakan ide untuk membangun base station dalam ruangan layaknya access point pada WiFi. Teknologi ini terus berkembang pesat hingga pada tahun 2009 3GPP mempublikasikan standar resmi BS ini dengan nama femtocell atau Home NoteB (HNB). Perkembangan femtocell berlangsung dengan cepat karena pengguna yang mengakses data dari dalam rungan terus meningkat, dan femtocell menjadi fundamental dalam mengatasi permasalahan tersebut [6]. Femtocell adalah BS kecil dengan daya rendah (10-100 mw) yang menggunakan broadband sebagai backhaul koneksi [7]. Femtocell menggunakan jaringan dan frekuensi yang sama dengan base station (enodeb) dan tidak memiliki alokasi kanal yang terpisah [8]. Femtocell juga dapat mengurangi biaya dari operator dalam pengembangan layanan karena femtocell umumnya dikembangkan sendiri oleh pengguna [9]. Femtocell dapat dipasang secara bebas oleh pengguna dan umumnya tanpa perencanaan. Operator selaku penyedia layanan juga tidak dapat mengontrol secara langsung pertumbuhan femtocell. Hal ini menyebabkan adanya permasalahan baru 2

dalam pertumbuhannya [10]. Interferensi adalah salah satu masalah utama yang timbul. Interferensi pada jaringan komunikasi seluler dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas layanan bahkan berpotensi terjadi putusnya sambungan komunikasi. Interferensi yang disebabkan oleh pertumbuhan femtocell dikatagorikan menjadi dua jenis interferensi, yaitu co-tier interferensi dan crosstier interferensi [11]. Co-tier interferensi adalah interferensi antara femtocell dengan femtocell lainnya. Interferensi ini berakibat pada penurunan kualitas layanan dari femtocell tersebut. Sedangkan cross-tier interferensi adalah interferensi yang terjadi antara femtocell dengan macrocell yang melayani pada area tersebut. Cross-tier interferensi berdampak langsung pada fungsi macrocell sebagai pemberi layanan utama kepada pengguna [12]. Cross-tier interferensi terjadi pada area sekitar femtocell. Hal ini disebabkan karena besarnya daya yang dipancarkan FAP yang menjadi sumber interferensi bagi User Equipment (UE). Oleh karenanya diperlukan suatu skema khusus untuk mengatasi hal tersebut. Beberapa skema pengendalian cross-tier interferensi pada area ini banyak diteliti sebelumnya pada [8][11][12]. Pengendalian interferensi yang telah dilakukan sebelumnya berfokus pada pengendalian diri dalam femtocell tersebut. Proses pengendalian ini dapat berdampak pada penurunan kualitas layanan dari femtocell tersebut apabila terdapat kesalahan dalam proses pengendaliannya. Penurunan kualitas layanan ini menyebabkan pemakaian femtocell yang diharapkan untuk meningkatkan kualitas layanan untuk pengguna dalam ruangan menjadi tidak efektif. Oleh karena itu perlu untuk diteliti proses pengendalian interferensi pada femtocell ini dengan skema yang berbeda. Area multi-tier yang muncul pada sekitar femtocell memiliki karakteristik yang sama pada perbatasan macrocell. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan skema handover seperti pada macrocell. Handover merupakan salah satu skema pengendalian interferensi yang umumnya dilakukan pada area perbatasan macrocell. Karakteristik dan arsitektur femtocell yang berbeda dengan macrocell membuat proses handover pada femtocell berbeda dengan macrocell. Handover antar macrocell diproses langsung pada Mobility Management Entity (MME). Sedangkan 3

pada jaringan femtocell akan dilakukan pada Femtocell Gate Way (FGW) [13]. FGW adalah perangkat yang akan mengatur alokasi layanan dan frekuensi yang digunakan oleh femtocell. Setiap pengguna yang dilayani oleh femtocell akan terhubung dengan FGW karena FGW merupakan gateway sentral yang mengatur semua data yang masuk melalui femtocell. FGW terhubung secara langsung pada MME untuk meneruskan semua komunikasi data yang datang melalui femtocell. Kondisi femtocell yang umumnya berdekatan satu dengan yang lainnya membuat proses handover ke femtocell harus dilakukan secara efektif dan tepat sasaran. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah mekanisme tertentu untuk memilih satu femtocell terbaik sebagai target handover dan mengefektifkan trigger atau pemicu proses handover. Mekanisme pemicu handover antar Envolved Node B (enodeb) berdasarkan pada perbandingan kekuatan sinyal yang diterima. UE akan melakukan permintaan handover ke enodeb terdekat apabila sinyal yang diterima dari satu enodeb melemah dan melewati ambang batas yang diijinkan [14]. Pelemahan ini disebabkan karena posisi UE yang berada sangat jauh dari enodeb yang melayaninya. Sedangkan pada kondisi ketika UE harus di-handover karena interferensi dari Femtocell Access Point (FAP) hal tersebut tidak dapat langsung diterapkan. Hal ini disebabkan pada saat menerima interfensi yang besar dari FAP posisi UE tidak selalu berada di daerah yang jauh dari enodeb yang mengakibatkan adanya pelemahan sinyal yang diterima. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait dengan proses handover pada femtocell. Penelitian untuk menguji efektivitas dari proses handover sebagai salah salah satu alternatif mitigasi interferensi pada UE yang berada di sekitar FAP. 4

1.2 Perumusan masalah Handover adalah proses perpindahan pelayanan pada UE dari satu BS ke BS lainnya. Perpindahan ini umumnya dilakukan pada area perbatasan pada area perbatasan macrocell. Pada area ini UE harus dilakukan handover karena sinyal yang diterima dari BS pelayan sangat kecil sedangkan terdapat BS lain yang dapat memberikan sinyal yang lebih baik. Area multi-tier yang muncul pada sekitar femtocell memiliki karakteristik yang sama pada perbatasan macrocell. Hal ini memungkinkan handover untuk dapat diterapkan sebagai salah satu alternatif pengendalian cross-tier interferensi yang terjadi antara macrocell dan femtocell. Akan tetapi arsitektur femtocell yang berbeda dengan macrocell membuat penelitian mengenai hal tersebut perlu dilakukan. Proses handover pada jaringan femtocell dilakukan melalui FGW [13][15]. Hal ini dikarenakan semua hal yang menyangkut dengan pemberian alokasi resource, pengaturan transmisi pada femtocell bersifat independen dan tidak bergantung pada macrocell. FGW adalah sebuah perangkat gateway yang akan terhubung dengan MME dan core network. Sebuah FGW dapat melayani ribuan femtocell dan biasanya terdapat banyak femtocell yang berdekatan. Banyaknya femtocell yang berdekatan satu dengan yang lainnya membuat proses handover ke femtocell harus dilakukan secara efektif dan tepat sasaran tepat. Oleh karena itu dibutuhkan suatu mekanisme tertentu untuk memilih satu femtocell terbaik sebagai target handover dan mengefektifkan trigger atau pemicu handover. Pemilihan target femtocell yang tepat serta pemicu proses handover merupakan hal yang sangat penting dalam proses handover. Hal ini yang akan menentukan apakah proses handover dapat berjalan dengan baik dan efisien atau justru menjadi tidak efektif. Efektivitas dari proses pengendalian cross-tier interferensi dengan menggunakan skema handover perlu untuk diuji dan diselesaikan dalam penelitian ini. Selain itu skema pemilihan target dan pemicu handover yang tepat juga perlu diteliti dan dikembangkan sehingga proses handover dapat terjadi dengan efektif dan efisien. 5

1.3 Batasan Masalah Pada penelitian ini dibuat batasan-batasan agar lebih terarah dalam penerapanya. Batasan-batasan tersebut antara lain: a. Skema yang diusulkan merupakan kajian matematis berdasarkan model yang diusulkan, sehingga diasumsikan tidak terjadi permasalahan teknis, utamanya yang berkaitan dengan paket-paket data yang dikirimkan seperti yang mungkin terjadi pada kondisi di lapangan. b. Seluruh parameter yang disimulasikan didasarkan pada asumsi parameter yang terdapat pada 3GPP R4-092042 [16] dengan kondisi lingkungan urban development dengan jaringan makro-femto. c. Penelitian difokuskan pada transmisi downlink jaringan karena dimaksudkan untuk melihat efek terhadap transmisi pelayanan macrocell. d. Antena yang digunakan pada semua BS adalah jenis omnidirectional dan seluruh alokasi spektrum antara macrocell dan femtocell menggunakan skema spektrum sharing reuse -1 atau tanpa pembagian khusus. e. Jenis akses yang digunakan pada femtocell adalah tipe akses terbuka atau open access, hal ini dimaksudkan agar seluruh proses handover dapat dilakukan. f. Jumlah femtocell dalam setiap bangunan dibatasi hanya 3 buah saja dan user pada tiap femtocell dibatasi hingga maksimal 5 user per femtocell. 1.4 Keaslian penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya bahwa crosstier interferensi merupakan salah satu masalah yang timbul akibat banyaknya penerapan aplikasi femtocell. Beberapa pengendalian cross-tier interferensi pernah diteliti dan diklasifikasikan dalam penelitian sebelumnya [8][11][12]. Akan tetapi pengendalian cross-tier interferensi yang telah dilakukan fokus pada pengendalian 6

diri dari femtocell tersebut. Hal ini dapat berakibat pada penurunan kualitas layanan dari femtocell itu sendiri apabila pengendalian ini tidak maksimal. Oleh karenanya diperlukan suatu alternatif lain yang dapat dilakukan untuk proses mitigasi crosstier interferensi. Kondisi multi-tier yang timbul pada daerah sekitar pemasangan femtocell memungkinkan untuk dapat dilakukan proses handover. Proses handover dapat dijadikan salah satu alternatif metode mitigasi cross-tier interferensi. Hal ini dikarenakan apabila UE dilayani oleh femtocell maka keberadaan femtocell tersebut tidak lagi menjadi penyebab interferensi namun justru menjadi pemberi layanan bagi UE. Dengan demikian handover dapat dijadikan sebuah alternatif untuk mitigasi cross-tier interferensi. Akan tetapi karakteristik dan arsitektur femtocell yang berbeda dengan macrocell membuat proses handover pada femtocell berbeda dengan macrocell. Beberapa penelitian terkait dengan proses handover pada jaringan femtocell telah dilakukan sebelumnya. Chowdury dkk pada penelitiannya [13][15] mengemukakan bahwa proses handover pada jaringan femtocell akan dilakukan pada FGW. Salah satu proses penting dalam handover adalah proses awal atau tahap prehandover. Pada tahap ini akan dilakukan pengukuran, pembandingan dan pembuatan keputusan apakah akan dilakukan handover atau tidak. Tahapan ini terjadi pada UE yang diperankan sebagai perangkat radio kognitif. Proses pengambilan keputusan yang terlalu lama atau salah dalam prehandover ini dapat mengakibatkan putusnya sambungan komunikasi. Liu dkk pada peneliatannya [17] mengusulkan pengambilan keputusan proses handover dengan memprediksi jarak dan menentukan jarak terdekat. Jarak terdekat diukur dari UE dengan target BS terdekat. Pada penentuan jarak ini UE tidak mempertimbangkan jenis dari BS yang ada, apakah enodeb atau FAP. Ketika UE menemukan BS terdekat dengan kalkulasi prediksi lokasi maka UE akan melakukan permintaan handover kepada MME. Proses handover dengan pemicu jarak terdekat membuat proses penentuan keputusan untuk dilakukan handover dapat terjadi lebih cepat dan mudah. Akan tetapi karena hanya mempertimbangkan 7

jarak proses ini kurang efektif. Hal ini dikarenakan FAP terdekat belum tentu memberikan daya yang lebih besar. Sementara itu pada peneliatannya [18], Moon dan Cho menggunakan Receive Signal Strength (RSS) sebagai pemicu permintaan handover. Pada penelitian ini permintaan handover dilakukan dengan terlebih dahulu membandingkan RSS yang diterima oleh UE dari femtocell. Permintaan handover dengan membandingkan RSS juga kemudian disempurnakan oleh Munoz dkk pada [19] dengan penerapan Time to Triger (TTT) dan Handover Margin (HOM). Penerapan ini mampu mengeliminasi proses handover yang tidak diinginkan karena perubahan daya yang diterima saat UE bergerak. Akan tetapi pada kedua penelitian ini pemodelan RSS yang digunakan tidak mempertimbangkan redaman wall loss. Tidak dipertimbangkannya wall loss mengakibatkan pemodelan menjadi kurang efektif karena pada kondisi nyata femtocell akan dipasang di dalam ruangan. Kondisi femtocell yang dipasang di dalam ruangan akan memberikan pemodelan perhitungan yang berbeda pada masing-masing UE yang berada di dalam maupun di luar ruangan. Hal ini karena adanya dinding penghalang yang menghalangi UE dengan masing-masing BS. Selain itu pemodelan handover terbatas pada satu femtocell yang berada di suatu lokasi saja. Padahal pada umunya femtocell dipasang lebih dari satu buah pada suatu lokasi dan berdekatan satu sama lain. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang berfokus pada proses handover. Penelitian yang penulis kerjakan berfokus pada penggunaan handover sebagai mitigasi cross-tier interferensi. Selain itu penulis juga mengusulkan pemodelan RSS untuk pemicu permintaan handover dengan mempertimbangkan wall loss. Pemodelan ini dilakukan dengan menginisiasi posisi UE apakah berada di dalam atau di luar ruangan. Hal ini digunakan untuk menentukan pemodelan yang tepat apakah ada dinding penghalang antara UE dan BS yang diukur RSS-nya. Pada penelitian ini juga diusulkan skema pemilihan femtocell dengan RSS terbaik sebagai target handover dari beberapa femtocell yang berada pada suatu lokasi. 8

A distance-based handover scheme for femtocell and macrocell overlaid networks Tabel 1.1 Perbandingan keaslian penelitian Judul Penulis Metode Hasil Liu, Cai Pembuatan keputusan Wei, Jiaolong handover didasarkan pada Huang, Shuanglin jarak minimum atau Cao, Yang coverage area Posisi femtocell terdekat belum tentu memiliki daya yang lebih baik karena banyaknya faktor redaman yang ada Novel handoff decision algorithm in hierarchical macro/femto-cell networks Moon, Jung M. Cho, Dong H. Pembuatan keputusan handover dengan mempertimbangkan Receive Signal Strength (RSS) terbesar yang diterima Pemodelan terbatas pada satu femtocell dalam suatu lokasi dan RSS tidak mempertimbangkan faktor wall loss serta efektivitas terhadap SINR tidak dikaji On the potential of handover parameter optimization for selforganizing networks Munoz, Pablo Barco, Raquel De La Bandera, Isabel Pembuatan keputusan handover menggunakan RSS terbesar dan melibatkan Handover Margin (HOM) dan Time to Triger (TTT) Pemodelan terbatas pada satu femtocell dalam suatu lokasi dan RSS tidak mempertimbangkan faktor wall loss serta efektivitas terhadap SINR tidak dikaji 9

1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan diantaranya: a. Memodelkan skema handover pada jaringan makro-femto dengan menggunakan pendekatan dengan kondisi lingkungan urban development. b. Menguji skema handover pada jaringan makro-femto untuk digunakan sebagai salah satu metode mitigasi cross-tier interferensi. c. Mengusulkan pemodelan Receive Signal Strength (RSS) pada pembuatan keputusan handover dengan mempertimbangkan wall loss. d. Mengusulkan skema pemilihan femtocell dengan RSS terbaik sebagai target handover dari beberapa femtocell yang berada pada suatu lokasi. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah: a. Cross-tier interferensi yang dapat mengganggu fungsi macrocell melayani UE pada area layanannya dapat dihindari. Sehingga UE tidak dirugikan dengan banyaknya femtocell yang dipasang pada suatu lokasi. b. Proses handover yang tidak perlu yang justru berakibat pada menurunya kualitas layanan dapat dihindari karena proses handover dapat berjalan dengan efektif dan efisien. 10