BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beberapa waktu terakhir, tersebar kabar mengenai jamur yang dijual secara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Monggupo Kecamatan Atinggola Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo,

Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini :

BAB III METODOLOGI. Metodologi penelitian ini meliputi penyiapan dan pengolahan sampel, uji

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kering, dengan hasil sebagai berikut: Table 2. Hasil Uji Pendahuluan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Ekstraksi Zat Warna Rhodamin B dalam Sampel

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. November Pengambilan sampel Phaeoceros laevis (L.) Prosk.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2015 Juli 2015, bertempat di

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. - Beaker glass 1000 ml Pyrex. - Erlenmeyer 1000 ml Pyrex. - Labu didih 1000 ml Buchi. - Labu rotap 1000 ml Buchi

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Dari 100 kg sampel kulit kacang tanah yang dimaserasi dengan 420 L

HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Kadar Air Hasil Ekstraksi Daun dan Buah Takokak

Noda tidak naik Minyak 35 - Noda tidak naik Minyak 39 - Noda tidak naik Minyak 43

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Hasil pemeriksaan ciri makroskopik rambut jagung adalah seperti yang terdapat pada Gambar 4.1.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang merambah di Indonesia sejak tahun 1960 adalah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kadar air = Ekstraksi

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN. Metodologi penelitian meliputi aspek- aspek yang berkaitan dengan

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Serbuk Simplisia Pengumpulan Bahan Determinasi Tanaman

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juli 2014,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan efek halusinasi yang terkenal di kalangan muda-mudi. Jamur

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Determinasi Tanaman. acuan Flora of Java: Spermatophytes only Volume 2 karangan Backer dan Van

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK KI-2051 FARMASI SEMESTER I 2011/2012 PERCOBAAN PEMISAHAN SENYAWA ORGANIK : EKSTRAKSI DAN ISOLASI KAFEIN DARI DAUN TEH

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juli 2012 di Laboratorium Kimia Fisika

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a) (b) Gambar 4 Twin trough chamber (a) dan flat bottom chamber (b)

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN. mengoksidasi lignin sehingga dapat larut dalam sistem berair. Ampas tebu dengan berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 1.

: Jamu Flu Tulang. Jamu. Jamu Metampiron. Metampiron ekstraksi. 1-bubuk. Jamu. 2-bubuk. Tabel 1 Hasil Reaksi Warna Dengan pereaksi FeCl3

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian. Lokasi pengambilan sampel bertempat di sepanjang jalan Lembang-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Muhammadiyah Semarang di Jalan Wonodri Sendang Raya 2A Semarang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

OLEH Burhanuddin Taebe Andi Reski Amalia Sartini

BAB V HASIL PENELITIAN. 5.1 Penyiapan Bahan Hasil determinasi tumbuhan yang telah dilakukan di UPT Balai

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Pengambilan sampel buah Debregeasia longifolia dilakukan di Gunung

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

PHARMACY, Vol.06 No. 02 Agustus 2009 ISSN ANALISIS KUALITATIF PARASETAMOL PADA SEDIAAN JAMU SERBUK PEGAL LINU YANG BEREDAR DI PURWOKERTO

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pemeriksaan kandungan kimia kulit batang asam kandis ( Garcinia cowa. steroid, saponin, dan fenolik.(lampiran 1, Hal.

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK (KI-2051) PERCOBAAN 3 PEMISAHAN SENYAWA ORGANIK : Ekstraksi dan Isolasi Kafein Dari Daun Teh Serta Uji Alkaloid

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS KANDUNGAN TUMBUHAN OBAT. ANALISIS Etil p-metoksi sinamat DARI RIMPANG KENCUR (Kaempferia galanga L.)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Uji KLT Ekstrak Daun Sirih Hijau

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

PEMISAHAN ZAT WARNA SECARA KROMATORAFI. A. Tujuan Memisahkan zat-zat warna yang terdapat pada suatu tumbuhan.

BAB III METODE PENELITIAN

Lampiran 3. Identifikasi golongan senyawa metabolit sekunder dari miselium dan filtrat kultur empat isolat L. edodes

BAB III METODE PENELITIAN

Bab III Metodologi Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ORGANIK (KI2051) PERCOBAAN 03 PEMISAHAN SENYAWA ORGANIK: EKSTRAKSI DAN ISOLASI KAFEIN DARI DAUN TEH SERTA UJI ALKALOID

HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan dan Ekstraksi Sampel Uji Aktivitas dan Pemilihan Ekstrak Terbaik Buah Andaliman

PEMISAHAN SALAH SATU ALKALOID DARI BUNGA TAPAK DARA MERAH (VINCA ROSEA LINN) Rosminik

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan 3.2 Alat 3.3 Penyiapan Simplisia 3.4 Karakterisasi Simplisia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB 3 METODE PENELITIAN

LAPORAN BIOKIMIA KI 3161 Percobaan 1 REAKSI UJI TERHADAP ASAM AMINO DAN PROTEIN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian ini telah berhasil diisolasi senyawa flavonoid murni dari kayu akar

III. METODE PENELITIAN di Laboratorium Biomassa Terpadu Universitas Lampung.

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan sampel bertempat di daerah Cihideung Lembang Kab

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

OLIMPIADE SAINS NASIONAL Medan, 1-7 Agustus 2010 BIDANG KIMIA. Ujian Praktikum KIMIA ORGANIK. Waktu 150 menit. Kementerian Pendidikan Nasional

ANALISIS PEWARNA RHODAMIN B DALAM ARUM MANIS SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS DAN SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis DI DAERAH SUKOHARJO DAN SURAKARTA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. lalapan karena memiliki cita rasa yang khas. Daun muda pohpohan memiliki

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MINYAK ATSIRI DARI SIMPLISIA BASAH DAN SIMPLISIA KERING DAUN SIRIH MERAH (Piper crocatum) Tiara Mega Kusuma, Nurul Uswatun

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daun pohon suren (Toona sinensis

HASIL DAN PEMBAHASAN. Persentase inhibisi = K ( S1 K

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kandungan rhodamin

Potensi Tumbuhan Tembelekan (Lantana camara Linn) Sebagai Sumber Bahan Farmasi Potensial ABSTRAK

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

KROMATOGRAFI. Adelya Desi Kurniawati, STP., MP., M.Sc.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tumbuhan yang akan diteliti dideterminasi di Jurusan Pendidikan Biologi

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keragaman hayati.

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA AMAMI IDENTIFIKASI DIAZEPAM METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sampel Akar tumbuhan akar wangi sebanyak 3 kg yang dibeli dari pasar

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. identitas tanaman tersebut, apakah tanaman tersebut benar-benar tanaman yang

IDENTIFIKASI SENYAWA ALKALOID DAGING BUAH MAJA (Aegle marmelos) ASAL BATU BESSI KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN. H. Ismail Ibrahim *), Rusdiaman *)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Serbuk halus daun tumbuhan jeringau sebanyak 400 g diekstraksi dengan

Asam Amino dan Protein

BAB III METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel, Waktu dan Tempat Penelitian

PERCOBAAN 04 KROMATOGRAFI KOLOM DAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS : ISOLASI KURKUMIN DARI KUNYIT (Curcuma longa L.) DAN PEMISAHAN ZAT (KI- 2051)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia dan Laboratorium Kimia Instrumen

Zat Urine Rambut Darah. Alkohol 6-24 jam Hingga 90 hari jam. Amfetamin (kecuali met) 1-3 hari Hingga 90 hari 12 jam

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa waktu terakhir, tersebar kabar mengenai jamur yang dijual secara sembunyi-sembunyi di sekitar Pantai Parangtritis. Jamur tersebut sering dikonsumsi dengan tujuan untuk mendapatkan efek tertentu. Efek yang ditimbulkan berupa ekspresi emosi yang tidak terkontrol, seperti tertawa tanpa sebab yang jelas, menangis atau sedih yang berlebihan, berpikir sesuatu yang tidak sejalan dengan kenyataan atau berhalusinasi, merasa rileks dan sebagainya. Jamur tersebut dikenal sebagai jamur tlethong karena tumbuh di kotoran sapi, kerbau, atau hewan pemamah biak lainnya. Masyarakat luas sering menyebutnya sebagai magic mushroom karena efeknya yang dapat menimbulkan halusinasi. Awalnya, jamur yang dapat menyebabkan halusinasi ditemukan di daerah Amerika sekitar pertengahan abad 16-17. Jamur tersebut digunakan oleh suku Aztec untuk dikonsumsi saat upacara keagamaan, sebagai salah satu ritual untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Namun, lambat laun jamur tersebut banyak digunakan oleh masyarakat dengan tujuan non-medis sebagai penghilang stres atau hanya sebatas untuk menikmati efek yang ditimbulkan (Barceloux, 2012). Seorang narasumber yang pernah membeli jamur tlethong mengungkapkan bahwa di Indonesia jamur tersebut banyak beredar di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bali dan Yogyakarta. Informasi mengenai jamur tlethong di wilayah Pantai Parangtritis diperoleh dari Kepala Peternakan Dusun Grogol IX, Desa Parangtritis. Beliau 1

2 mengungkapkan bahwa saat ini jamur tlethong tidak dapat dijual secara bebas karena statusnya telah dinyatakan ilegal oleh pihak kepolisian. Informasi tersebut didukung oleh artikel yang dipublikasikan dalam situs media Tribun Jogja yang dipublikasikan pada tanggal 28 November 2015. Media menyatakan bahwa senyawa pada jamur kotoran sapi telah dimasukkan ke dalam jenis narkotika alami golongan I oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) pada undang-undang narkotika nomor 35 tahun 2009. Namun, penjual jamur dan beberapa mahasiswa yang pernah mengkonsumsi jamur tersebut menyatakan bahwa masih banyak turis dan mahasiswa yang sering membeli jamur tlethong di sekitar Pantai Parangtritis. Seorang mahasiswa yang pernah mengkonsumsi jamur tlethong di Pantai Parangtritis mengungkapkan bahwa, ia dan teman-temannya mengkonsumsi jamur tersebut untuk menghilangkan stres atau hanya untuk bersenang-senang. Narasumber lain bernama Ahmad Syaifuddin mengatakan bahwa setelah mengkonsumsi jamur yang dicampurkan ke dalam omelet, ototnya terasa ringan, mabuk, merasa senang, dan rileks. Kondisi seperti yang dialami Ahmad sering disebut oleh masyarakat dengan istilah ngefly. Berdasarkan informasi tersebut, muncul dugaan bahwa terjadi penyalahgunaan dalam pengonsumsian jamur yang diperjualbelikan di sekitar Pantai Parangtritis. Selain itu, muncul dugaan lain bahwa jamur tersebut berasal dari genus Psilocybe dengan kandungan alkaloid indol, berupa psilosibin dan psilosin (Stamets, 1996; Dewick, 2002). Identifikasi jamur yang diperjualbelikan dan kandungan alkaloid indolnya perlu diketahui secara ilmiah, sehingga dilakukan penelitian ini. Jamur yang digunakan pada penelitian adalah jamur yang dibeli secara sembunyi-sembunyi dari

3 penjual jamur tlethong di sekitar Pantai Parangtritis. Pembanding menggunakan jamur hasil budidaya menggunakan media kotoran sapi, karena sebagian besar jamur bergenus Psilocybe yang bersifat halusinogen sering ditemukan pada kotoran hewan pemamah biak (Stamets, 1996). B. Perumusan Masalah 1. Apakah jamur yang diperjualbelikan secara sembunyi-sembunyi dan jamur hasil budidaya di sekitar pantai Parangtritis memiliki ciri morfologi dan genus yang sama? 2. Apakah jamur yang diperjualbelikan secara sembunyi-sembunyi dan jamur hasil budidaya di sekitar pantai Parangtritis mengandung alkaloid indol? 3. Bagaimana profil kromatografi lapis tipis jamur yang diperjualbelikan secara sembunyi-sembunyi dan jamur hasil budidaya di sekitar pantai Parangtritis? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui ciri morfologi dan genus jamur yang diperjualbelikan secara sembunyi-sembunyi dan jamur hasil budidaya di sekitar pantai Parangtritis 2. Mengetahui apakah pada jamur yang diperjualbelikan secara sembunyisembunyi dan jamur hasil budidaya di sekitar pantai Parangtritis mengandung alkaloid indol 3. Mengetahui profil kromatografi lapis tipis antara jamur yang diperjualbelikan secara sembunyi-sembunyi dan jamur hasil budidaya di sekitar pantai Parangtritis

4 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jamur yang diperjualbelikan secara sembunyi-sembunyi di sekitar Pantai Parangtritis, sehingga dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah untuk penelitian selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka 1. Uraian Tumbuhan a) Sejarah Jamur Pada awalnya, jamur yang sering digunakan untuk halusiniasi ditemukan di daerah Amerika sekitar pertengahan abad 16-17, digunakan oleh suku Aztec dan suku-suku yang berada di sekitarnya untuk dikonsumsi saat upacara keagamaan. Jamur ini digunakan dalam ritual untuk menghubungkan komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Bahkan, Suku Maya sudah membuat patung batu yang berbentuk jamur. Hal ini menunjukkan bahwa jamur tersebut sudah ditemukan dan digunakan sejak sebelum masehi (Barceloux, 2012) Dijelaskan dalam buku Medical Toxicology of Drug Abuse mengenai sejarah ditemukannya kembali jamur tersebut pada akhir tahun 1950-an, di daerah Meksiko. Jamur tersebut akhirnya disebut sebagai Psilocybe mexicana. Komponen yang terdapat pada beberapa spesies jamur tersebut bersifat halusinogenik. Selanjutnya, pada tahun 1958 komponen halusinogenik jamur tersebut diisolasi dan ditemukan kandungan psilosibin dan psilosin dari jamur yang digunkan oleh suku Aztec Indian dalam upacara keagamaan. Tahun 1960, jamur bergenus Psilocybe mulai populer di Amerika Barat, Australia, Inggris dan seluruh Eropa dan akhirnya

5 pada tahun 1990-an jamur ini mulai berkembang pesat untuk dikonsumsi oleh murid sekolah. Di Indonesia sendiri, jamur yang sering digunakan untuk mendapatkan efek halusinasi merupakan jamur dengan genus Psilocybe. Jamur tersebut sudah sering beredar di kota-kota besar terutama Bali, Yogyakarta dan Jakarta. Jamur tersebut tumbuh di kotoran sapi, baik yang liar maupun di peternakan. Di Bali dan Yogyakarta, jamur genus Psilocybe masih sering diperdagangkan dalam bentuk makanan misalnya omelet (Soemardji & Supradja, 2003). b) Nama Lain Jamur penyebab halusinasi sering disebut sebagai boomer, magic mushroom, Jamur tahi sapi atau jamur tlethong, golden tops, cubes, gold caps, liberty caps dan sebagainya (Stamets, 1996). Sebutan yang dimiliki jamur berasal dari efek yang dihasilkan, bentuk tubuh jamur, bahkan habitat tumbuh jamur. c) Habitat Jamur Beberapa genus jamur yang mengandung senyawa psilosibin yang dapat menimbulkan efek halusinasi antara lain Psilocybe, Panaeolus, dan Gymnopilus (Gry, et al., 2008; Gartz, 1995). Psilocybe merupakan genus jamur penyebab halusinasi yang paling banyak jumlahnya, tersebar di wilayah Amerika selatan dan tengah, India, Asia tenggara, dan Australia Barat (Barceloux, 2012). Jamur genus Psilocybe memiliki habibat yang cukup spesifik (Stamets, 1996), diantaranya: 1) Padang rumput

6 Padang rumput dengan tanah humus yang lembab, serta tinggi kandungan dimetiltriptamin. Terlebih jika pada permukaan tanah untuk penggembalaan domba, sapi, kerbau, kuda, bison, dan hewan pemamah biak lainnya sangat mendukung pertumbuhan jamur. Jamur pada habitat ini antara lain P. strictipes, P. liniformans, P. semilanceata, P. mexicana, dan P. samuiensis. Produksi triptamin yang terdapat pada rerumputan memiliki efek potensial untuk memproduksi psilosibin dan psilosin (Gartz & Muller, 1989; Stamets, 1996). 2) Lapisan Kotoran Hewan Kotoran hewan pemamah biak merupakan pendukung yang baik untuk kehidupan jamur. Jamur genus Psilocybe yang sering ditemukan pada kotoran hewan ini antara lain P. cubensis, P. coprophila, Panaecolus cyanescens dan Panaeolus subbalteatus. 3) Tepi sungai, habitat yang rusak, dan kebun Habitat ini muncul secara tiba-tiba, biasanya karena bencana alam. Beberapa jamur langka ditemukan di habitat ini. (a) Tepi Sungai : P. asmecens dan P. quebensis. (b) Habitat yang rusak : P. caerulescens. Jamur ini sering disebut sebagai jamur tanah longsor. (c) Kebun : Merupakan lingkungan yang banyak menghasilkan jamur genus Psilocybe. Tanah kebun cenderung terawat dan memiliki nutrisi yang mendukung untuk tumbuhnya jamur. 4) Tanah hutan : Jamur genus Psilocybe cenderung mudah tumbuh pada

7 daerah hutan tropis. 5) Tanah berlumut : P. atrobrunnea, P. montana, dan P. corneips. 6) Tanah terbakar : P. strictpes. d) Morfologi Jamur Jamur yang bersifat psikoaktif, memiliki ciri khas yaitu tubuhnya akan berwarna kebiruan atau menghitam ketika di cabut atau ada bagian tubuhnya yang rusak (Ghouled, 1972). Warna biru mengindikasikan adanya psilosin hasil defosforilasi psilosibin yang terdapat pada jamur (Nicholas & Ogame, 2006; Davis, et al., 2012). Intensitas warna biru yang muncul berkorelasi dengan jumlah keberadaan psilosibin pada jamur (Spoerke & Rumack, 1994). Secara umum, jamur genus Psilocybe memiliki tudung berbentuk bulat menyerupai kepala dengan permukaan yang mulus ada yang sedikit mengkerucut, ada pula yang melebar ke atas, berwarna kuning pucat, permukaan tubuh kering, dan batang yang tebal (Barceloux, 2012). Jamur penyebab halusinasi yang tumbuh di Indonesia biasanya diperoleh dari kotoran sapi dengan spesies P. cubensis, P. coprophila, Panaecolus cyanescens dan Panaeolus subbalteatus (Stamets, 1996). Ciri-ciri makroskopis dari jamur yang tumbuh di kotoran sapi bermacam-macam (Smolinske, 1994), antara lain : 1) P. cubensis, memiliki lebar tudung 1,5 8 cm, berbentuk loncengkerucut, kadang dengan sedikit tonjolan diatasnya yang menjadi cembung dan datar. Berwarna coklat-kemerahan saat masih muda dan menjadi kuning pucat hingga putih saat dewasa dengan tonjolan

8 berwarna kecoklatan. Permukaannya lembut, basah dan akan menjadi kebiruan. Panjang batang 4-15 cm dengan lebar 5-15 mm. Batang berwarna putih kekuningan, akan menjadi kebiruan ketika mengalami kerusakan. Bagian bawah tudung berwarna abu-abu saat masih muda dan menjadi ungu tua bahkan kehitaman saat dewasa. Pada batang terdapat annulus atau cincin yang akan berubah menjadi keunguan. 2) P. coprophila, memiliki tudung berbentuk cembung dengan ukuran permukaan 1-3 cm, berwarna jingga-kecoklatan atau merah-kecoklatan. Permukaan tubuhnya halus dan licin ketika gelatin permukaan terpisah. Batang jamur memiliki panjang 2-6 cm dengan warna kuning hingga kuning kecoklatan, kadang berubah kebiruan di sekitar bagian bawah tudung. 3) Panaeolus cyanescens, memiliki tudung berukuran 1,3-3,5 cm, berbentuk setengah bulat, pada saat dewasa menjadi seperti lonceng dan cembung. Tubuh tembus cahaya jika dalam keadaan basah, saat muda akan membengkok dan akan menjadi buram serta lurus ketika dewasa. Berwarna coklat muda dan menjadi abu-abu mendekati putih keseluruhannya dan berwarna kecoklatan ditengahnya yang lama kelamaan akan menghilang. Bagian bawah tudung akan berwarna keabuan saat dewasa. Ukuran panjang batang 8,5-11,5 cm dengan ketebalan 1,5 3 mm. Berwarna keabuan kemudian semua bagian menjadi kuning pucat, dan akan menjadi kebiruan ketika dicabut. 4) Panaeolus subbalteatus, memiliki ukuran tudung 4-5 cm, berbentuk

9 cembung hingga kerucut, atau cembung melebar mendekati rata dengan tonjolan diatasnya. Berwarna coklat hingga jingga-kecoklatan, terdapat warna coklat tua denga mengelilingi tudung dipinggirnya. Daerah dibawah tudung berwarna kecoklatan. Batangnya memiliki panjang 5-6 cm dengan ketebalan 2-4 mm. Batang rapuh, berongga dan berserat berwarna kemerahan dan semakin gelap kebawah. Gambar 1. Variasi Bentuk Tudung Jamur genus Psilocybe (Ghouled, 1972) e) Kandungan Kimia Jamur penyebab halusinasi terutama pada genus Psilocybe merupakan jamur yang memiliki kandungan senyawa utama berupa alkaloid indol (Ghouled, 1972). Alkaloid indol yang berada pada jamur genus Psilocybe adalah indolamin terfosforilasi atau psilosibin (Gambar 2) dan psilosin (Gambar 3) yang merupakan hasil defosforilasi psilosibin, yang bersifat halusinogenik (Anonim, 1989; Passie, et al., 2002).

10 f) Status Legalitas Jamur Genus Psilocybe di Indonesia Disebutkan dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika dan peraturan Menteri kesehatan nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan penggolongan narkotika, bahwa senyawa yang terdapat pada jamur genus Psilocybe yaitu psilosin dan psilosibin masuk ke dalam daftar narkotika golongan I. Narkotika Golongan I merupakan narotika yang dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dinyatakan pula dalam undang-undang tersebut, bahwa narkotika golongan I dapat digunakan dalam jumlah terbatas. Penggunaanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2. Senyawa Alkaloid Indol Sebagian besar jamur penyebab halusiniasi di Indonesia bergenus Psilocybe, yang memiliki metabolit utama berupa alkaloid indol, yaitu psilosibin (4-phosphoriloxy-N,N-dimethyltryptamine) (Gambar 2) dan psilosin (4-hydroxy- N,N-dimethyltryptamine) (Gambar 3) (Ghouled, 1972; Anonim, 1989). Alkaloid indol pada jamur genus Psilocybe bersifat neuroaktif karena strukturnya yang mirip neurotransmitter, sehingga dapat berikatan dengan neurotransmitter yang menyebabkan hilangnya kontrol kesadaran (Hanson, 2003; Dewick, 2002). Psilosin dari jamur genus Psilocybe akan memberikan afinitas tinggi terhadap reseptor serotonin, yang menghalangi pelepasan neurotransmitter sehingga dapat memunculkan efek halusinasi (Anastos, et al., 2006). Psilosibin bisa dikatakan

11 memiliki efek farmakologi yang sama dengan LSD (Andersson, et al., 2009). Psilosibin bersifat termostabil, sehingga tidak hilang jika dilakukan pemanasan, namun tidak pada psilosin yang bersifat tidak stabil (Ballesteros, et al., 2006). Namun menurut Orden, 2008, kestabilan psilosibin dipengaruhi oleh suhu, terutama ketika psilosibin telah telah berubah menjadi psilosin. Gambar 2. Struktur kimia psilosibin (Anonim, 1989) Nama : Psilosibin (4-phosphoriloxy-N,N-dimethyltryptamine) Mr : 284,3 Titik leleh Bentuk Kelarutan : 185 0-195 0 C : Kristal tidak berwarna : Air panas (1:20) (Andersson, et al., 2009), Metanol (Andersson, et al., 2009; Orden, 2008), etil asetat (Orden, 2008), asam asetat (Anonim, 1989). Gambar 3. Struktur kimia psilosin (Anonim, 1989)

12 Nama : Psilosin (4-hydroxy-N,N-dimethyltryptamine) Mr : 204,3 Bentuk Kelarutan : Kristal putih pada metanol, tidak stabil dalam bentuk larutan : Air (1:20) (Andersson, et al., 2009), Metanol (Andersson, et al., 2009; Orden, 2008), etil asetat (Orden, 2008), asam asetat (Anonim, 1989). Alkaloid indol psilosibin dan psilosin terbentuk melalui jalur sikimat dengan bahan dasar asam amino triptofan dan melalui intermediet triptamin (Dewick, 2002). Secara umum, alkaloid meliputi hampir semua jenis metabolit sekunder yang mengandung nitrogen (Roberts & Wink, 1999). Dengan kata lain, semua alkaloid memiliki gugus nitrogen di dalam strukturnya. Gugus nitrogen membuat alkaloid bersifat basa dan akan membentuk garam jika dicampur dengan asam dan membentuk kompleks pada logam (Hanson, 2003). Sifat basa juga menyebabkan alkaloid memiliki rasa yang pahit, sehingga jamur genus Psilocybe umumnya memiliki rasa pahit (Roberts & Wink, 1998; Woo & Keatinge, 2016). 3. Metode Ekstraksi Alkaloid pada umumnya diekstraksi dari tumbuhan menggunakan metanol atau asam lemah (HCl 1M atau 10% asam asetat) (Harborne, 1998). Metanol merupakan pelarut yang paling umum untuk direkomendasikan untuk mengekstraksi kandungan jamur genus Psilocybe (Orden, 2008). Alkaloid pada jamur genus Psilocybe akan lebih baik jika diekstraksi dari sampel kering menggunakan pelarut metanol dengan bantuan sonikasi (Anonim, 1989). Sonikasi

13 merupakan proses penghantaran energi ultrasonik untuk meningkatkan kelarutan dan difusibilitas analit dengan mendukung penetrasi dari suatu senyawa masuk ke dalam pelarut (Anastassiades & Scherbaum, 2005; Anonim, 2000). Beberapa proses pengujian alkaloid indol direkomendasikan menggunakan ekstrak yang telah dipartisi untuk memisahkan senyawa alkaloid dari senyawa bukan basa lainnya (Baht, et al., 2006; Petruczynik, 2011). Partisi ekstrak adalah suatu usaha yang dilakukan untuk memisahkan komponen kimia dari ekstrak menggunakan pelarut yang berbeda kepolarannya. Proses partisi ekstrak yang paling banyak dilakukan adalah metode ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair merupakan proses pemisahan suatu zat yang terbagi dalam dua pelarut yang tidak bercampur. Ekstraksi cair-cair menggunakan prinsip like dissolves like yang berarti bahwa senyawa polar akan mudah larut ke dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan larut ke dalam pelrut non polar (Harborne, 1987). 4. Identifikasi Senyawa Alkaloid Pengujian kualitatif untuk menentukan keberadaan senyawa alkaloid indol dalam suatu tumbuhan dapat digunakan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu dengan cara: a) Identifikasi Alkaloid Umum 1) Uji Tabung Uji tabung yang sering digunakan untuk deteksi alkaloid adalah dengan metode Wall. Metode ini merupakan metode awal untuk mengetahui apakah suatu ekstrak terkandung senyawa alkaloid. Metode ini dilakukan dengan memberikan

14 pereaksi Mayer atau siklotungstat pada ekstrak sampel yang telah diberi larutan asam. Larutan asam akan membuat alkaloid membentuk garamnya dan akan berikatan dengan logam yang ada pada pereaksi, sehingga terbentuk endapan. Jika terbentuk endapan, perlu dilakukan konfirmasi dengan cara memberi basa pada larutan ekstrak hingga bersifat basa. Senyawa lain dipisahkan menggunakan pelarut organik non polar dan diekstraksi kembali dengan larutan asam. Hasil positif bila terjadi pengendapan berwarna putih atau krem pada lapisan air setelah diberi pereaksi Mayer atau siklotungstat (Wall, et al., 1954; Harborne, 1987). 2) Uji Warna Uji warna merupakan teknik yang direkomendasikan untuk menentukan keberadaan senyawa alkaloid indol pada ekstrak sampel yang diuji (Harborne, 1973; Macek, 1972). Pengujian warna dilakukan dengan menambahkan pereaksi warna pada sampel di atas piring tetes dan diamati perubahan warna yang timbul (Anonim, 1989). Pereaksi warna yang dapat digunakan antara lain : i. Perekasi Dragendorff Pereaksi yang digunakan untuk deteksi alkaloid dan senyawa lain yang mengandung nitrogen (Benedict, et al., 1967). Hasil uji positif bila terbentuk endapan berwarna merah-kecoklatan (Kokate, et al., 2008). ii. Pereaksi Bouchardat Pereaksi ini digunakan untuk deteksi alkaloid. Larutan iodin dapat mengendapkan alkaloid menjadi granul yang berwarna jingga hingga merah bata. Endapan cenderung terbentuk sebelum larut ke dalam pereaksi dengan selang waktu yang singkat (James, 1950). Dengan kata lain, pereaksi

15 Bouchardat mendeteksi alkaloid dengan menimbulkan endapan berwarna kemerahan (Hashimoto, et al., 1990) b) Identifikasi Alkaloid Indol 1) Uji Warna Pengujian warna spesifik pada alkaloid indol dapat dilakukan dengan menggunakan pereaksi khusus yaitu : i. Ninhidrin Merupakan pereaksi warna yang direkomendasikan untuk amin heterosiklik dan turunan triptmin (Clarke, 1967). Pereaksi Ninhidrin yang digunakan untuk menguji adanya senyawa amin heterosiklik atau turunan triptamin adalah campuran antara ninhidrin dan kadmium asetat dalam aseton yang akan membentuk warna kuning-jingga pada sampel yang diteteskan pereaksi (Jepson, 1969; Clarke, 1967). ii. Pereaksi Ehrlich Merupakan pereaksi warna yang direkomendasikan untuk alkaloid indol pada jamur (Ballesteros, et al., 2006) dan sensitif terhadap deteksi alkaloid indol maupun turunan indol (Macek, 1972; Jepson, 1969). Terbuat dari para-dimetilaminobenzaldehid yang memberikan hasil positif terhadap senyawa indol dengan membentuk warna ungu (Anonim, 1989; Spoerke & Rumack, 1994).

16 5. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan teknik pemisahan yang pemisahannya terjadi pada lapisan datar yang dapat menyerap ditempatkan pada kaca atau lempeng alumunium atau lembaran kertas. Mekanisme pemisahannya terjadi dengan berbagai cara seperti adsorpsi, pemisahan antara fase diam dan fase gerak, pertukaran ion, dan berdasarkan penyerapan alami (Komsta, et al., 2014). Identifikasi dari senyawa yang dipisahkan pada lapisan tipis ini, digunakan harga Rf (Stahl, 1969) yang didefinisikan sebagai : R f = Jarak yang ditempuh bercak dari titik awal jarak yang ditempuh pelarut dari titik awal Penghitungan nilai Rf dapat dilakukan dengan rumus pemisahan pada pengembangan ganda (Wichtl, 1971), yang dinyatakan sebagai: nrf = 1 (1 - Rf) n n = jumlah pengembangan yang dilakukan. Visualisasi pada pemisahan menggunakan KLT dapat dilakukan dengan deteksi penyerapan menggunakan lampu UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Pengamatan dibawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm memberikan bercak meredam dengan latar belakang berpendar. Sedangkan pada panjang gelombang 366 nm bercak akan berpendar (Anonim, 1989). Visualisasi juga dapat dilakukan bantuan pereaksi semprot yang sesuai (Stahl, 1985). Pereaksi semprot yang dapat digunakan antara lain: i. Pereaksi Ninhidrin Ninhidrin dapat mendeteksi secara spesifik pada amin heterosikllik dan triptamin maupun turunannya setelah dilakukan penyemprotan pada KLT

17 dan dipanaskan pada suhu 100 0 C selama 5 menit (Clarke, 1967). Hasil dinyatakan positif jika terbentuk warna merah muda-kecoklatan pada lempeng KLT (Jepson, 1969). ii. Pereaksi Ehrlich Merupakan pereaksi warna yang spesifik digunakan untuk deteksi senyawa turunan indol (Macek, 1972; Jepson, 1969). Hasil positif dengan membentuk warna biru dan atau ungu pada lempeng KLT setelah didiamkan pada suhu ruangan beberapa saat (Anonim, 1989; Spoerke & Rumack, 1994). iii. Perekasi Dragendorff Dragendorff akan memberikan hasil warna jingga hingga merah bahkan kehitaman pada lempeng KLT setelah disemprot (Kokate, et al., 2008) Analisis alkaloid indol terutama pada jamur genus Psilocybe secara KLT direkomendasikan menggunakan pengembangan dengan fase diam silika gel 60 F254 dan fase gerak n-butanol:asam asetat:air (BAA) (20:10:10) (Anonim, 1989). BAA merupakan pelarut yang baik untuk memisahkan indol (Jepson, 1969). Hasil pemisahan dengan menggunakan KLT dapat dilengkapi dengan melihat spektra UV menggunakan densitometer. Panjang gelombang maksimal pada alkaloid indolnya yaitu psilosibin: 220,267,290 (nm) (O'Neil, 2001) dan psilosin: 293, 282, 267 dan 260 (Saupe, 1981).

18 F. Landasan Teori Jamur bergenus Psilocybe merupakan jamur psikoaktif yang bersifat halusinogenik karena mengandung senyawa alkaloid indol berupa psilosibin dan psilosin (Dewick, 2002; Ghouled, 1972). Psilosibin dan psilosin merupakan senyawa turunan triptamin yang dapat mempengaruhi kinerja neurotransmitter di otak, sehingga dapat menimbulkan halusinasi (Anastos, et al., 2006; Andersson, et al., 2009). Psilosibin dikatakan memiliki efek farmakologi yang sama dengan LSD (Andersson, et al., 2009), sehingga di Indonesia, senyawa psilosibin dimasukkan kedalam narkotika golongan I pada undang-undang narkotika nomor 35 tahun 2009. Narkotika golongan I merupakan senyawa narkotika yang hanya digunakan terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Secara umum, jamur genus Psilocybe memiliki ciri morfologi berupa permukaan tudung bulat menyerupai kepala dengan permukaan yang mulus, dan beberapa spesiesnya memiliki cincin pada batang (Barceloux, 2012; Stamets, 1996). Secara spesifik, jamur bergenus Psilocybe yang bersifat psikoaktif memiliki ciri khas berupa perubahan warna tubuh menjadi biru hingga kehitaman setelah dicabut atau ada bagian tubuhnya yang rusak (Ghouled, 1972; Nicholas & Ogame, 2006). Jamur tersebut terkadang memiliki rasa yang pahit (Roberts & Wink, 1998; Woo & Keatinge, 2016). Jamur genus Psilocybe sering ditemukan di padang rumput atau pada kotoran hewan pemamah biak (Stamets, 1996).

19 G. Hipotesis 1. Sampel jamur yang dijual secara sembunyi-sembunyi dan jamur hasil budidaya di sekitar Pantai Parangtritis memiliki ciri morfologi yang sama dan berasal dari genus Psilocybe. 2. Sampel jamur yang dijual secara sembunyi-sembunyi dan jamur hasil budidaya di sekitar Pantai Parangtritis mengandung alkaloid indol. H. Keterangan Empiris Keterangan empiris yang ingin diketahui dari penelitian ini adalah profil kromatografi lapis tipis dari sampel jamur yang diperjualbelikan secara sembunyisembunyi dan sampel jamur hasil budidaya di sekitar Pantai Parangtritis.