BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesenian ketoprak atau dalam bahasa Jawa sering disebut kethoprak adalah sebuah kesenian rakyat yang menceritakan tentang kisah-kisah kehidupan yang merupakan kisah legenda yang ada di dalam masyarakat dengan latar belakang kehidupan kerajaan Jawa. Kesenian kethoprak juga merupakan teater rakyat yang mengangkat kisah kepahlawanan dan perjalanan hidup keluarga kerajaan (Lisbijanto, 2013: 1). Karya sastra mempunyai tiga genre utama, yaitu puisi, prosa, dan drama. Dari ketiga unsur tersebut, dramalah yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur kehidupan yang terjadi pada masyarakat (Ratna, 2004: 335). Bagian penting dalam drama yang membedakan dengan puisi dan prosa secara lahiriah adalah adanya sebuah dialog. Dialog adalah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara tokoh satu dengan tokoh lainnya dan merupakan perkembangan dari sebuah cerita. Ada tiga elemen penting dalam drama, yaitu adegan (action), perwatakan (character), dan latar (setting), dan kesemuanya harus hadir dalam sebuah naskah drama. Unsur-unsur yang membangun setiap naskah drama adalah dialog, tokoh, alur, latar, dan tema. Selain unsur-unsur tersebut, konflik adalah bagian yang penting dan merupakan hal dasar yang harus ada dalam naskah drama. Konflik berfungsi sebagai penyebab munculnya situasi dramatik yang menggerakkan sebuah cerita. Situasi-situasi tersebut selanjutnya akan membentuk konflik-konflik yang lebih besar. Hal tersebut menunjukkan bahwa konflik merupakan unsur 1
dasar cerita yang berfungsi sebagai pemeran utama dalam menghidupkan peristiwa-peristiwa yang membentuk alur, serta secara umum berfungsi sebagai penyampai tema (Milner, 1992: 3). Peranan dan fungsi kesenian kethoprak dalam kehidupan masyarakat sangat terasa dan dapat diterima oleh masyarakat, hal ini menyebabkan kesenian kethoprak tetap hidup dan berkembang sampai saat ini dan berkembang sesuai dengan zamannya. Kethoprak merupakan sarana komunikasi maupun informasi yang tradisional dalam penyampaiannya di masyarakat (Lisbijanto, 2013: 36). Karya sastra yang akan dibahas dalam penelitian ini merupakan naskah kethoprak berjudul Sirnaning Angkara yang merupakan salah satu hasil karya naskah kethoprak dari Bondan Nusantara. Dalam kamus Baoesastra Djawa, kata sirna berarti rusak, lebur, atau hilang (Poerwadarminta, 1939: 566). Kata sirna yang mendapat imbuhan ing artinya menjadi sama seperti mendapat imbuhan e yakni hilangnya, dan kata angkara berarti kejahatan (Poerwadarminta, 1939: 15). Judul naskah yang merupakan gabungan dari dua kata tersebut, yakni Sirnaning Angkara memiliki arti hilangnya kejahatan. Naskah kethoprak ini mengisahkan adanya politik adu domba pada saat pembagian wilayah Mataram, dibagi menjadi Demak, Jipang, dan Mataram. Kyai Balun abdi Pangeran Benawa di Jipang yang haus terhadap kekuasaan, berniat memecah belah Mataram, Demak, dan Jipang. Kyai Balun didukung oleh Pangeran Harya Pangiri suami dari Ratu Kencana. Mataram pada akhirnya mengetahui bahwa ada rencana busuk, sehingga Panembahan Senapati memerintah Pangeran Rama dan Ki Juru Mertani untuk melihat dan mengawasi kegiatan pemerintahan di Jipang. Pada saat Pangeran 2
Rama dan prajurit Mataram ingin memasuki Jipang dihalangi oleh warga desa. Kyai Balun pada saat itu menjabat sebagai lurah di Randhublatung, sehingga mudah untuk menghasut warga desa. Pangeran Rama dan prajuritnya kemudian berhenti dan mendirikan kemah di Randhublatung. Melihat Pangeran Rama dan prajurit mendirikan kemah di Randhublatung, maka Kyai Balun didukung oleh warga desa melaporkan kejadian tersebut kepada Pangeran Benawa. Kyai Balun menghasut warga desa untuk menyampaikan protes bahwa warga Jipang tidak senang terhadap orang-orang Mataram. Dari tipu daya dan kelicikan Kyai Balun tersebut, melahirkan kemarahan Pangeran Benawa kepada Pangeran Rama dan akhirnya menjatuhkan hukuman larak, yakni ditarik atau diseret secara paksa (Poerwadarminta, 1939: 262) kepada Pangeran Rama. Melihat situasi yang tidak berperikemanusiaan itu, Pangeran Rangga datang dan menyelamatkan Pangeran Rama. Upaya balas dendam Pangeran Rangga yang awalnya menduga bahwa Pangeran Benawa yang menyebabkan Pangeran Rama dijatuhi hukuman, berbalik arah setelah menerima penjelasan Ratu Kencana bahwa yang membuat situasi menjadi ricuh dan telah menghasut Pangeran Benawa adalah Kyai Balun. Kyai Balun akhirnya terbunuh oleh Pangeran Rangga dengan memukulkan kendhi, yakni wadah atau tempat air yang terbuat dari tanah liat atau gerabah (Poerwadarminta, 1939: 208) pada kepala Kyai Balun. Pemilihan naskah kethoprak Sirnaning Angkara untuk penelitian ini dimotivasi oleh beberapa hal. Pertama, penulis naskah kethoprak Sirnaning Angkara adalah Bondan Nusantara, sosok seniman yang telah banyak meraih penghargaan dan telah menjadi penulis naskah ketoprak selama 30 tahun lebih, 3
sumber tersebut didapat dari novel Rembulan Ungu karya Bondan Nusantara pada bagian belakang tentang penulis, halaman 509-510. Kedua, penulis ingin mengetahui makna yang tersirat pada konflik-konflik yang terjadi di naskah kethoprak Sirnaning Angkara. I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana struktur tokoh, penokohan, alur, dan latar cerita dari naskah kethoprak Sirnaning Angkara? 2. Apakah penyebab dan akibat konflik dalam naskah kethoprak Sirnaning Angkara? I.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pemaparan yang telah dituliskan di dalam latar belakang dan rumusan masalah yang akan dikaji, dapat diuraikan tujuan penelitian dengan objek naskah kethoprak berjudul Sirnaning Angkara. Tujuan penelitian naskah kethoprak Sirnaning Angkara yaitu untuk mengetahui gambaran unsur-unsur pembentuk cerita di dalam naskah kethoprak yang meliputi tokoh, penokohan, alur, dan latar sehingga dapat diperoleh pemahaman ilmiah mengenai unsur-unsur pembentuk cerita tersebut dan selain itu, untuk mengetahui penyebab dan akibat konflik yang terjadi. 4
I.4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian hanya difokuskan pada karya sastra tulis berbentuk naskah kethoprak dengan judul Sirnaning Angkara karya Bondan Nusantara. Penelitian ini akan difokuskan pada konflik-konflik yang terjadi di dalam naskah, sehingga dapat diketahui penyebab dan akibat konflik tersebut, serta analisis tokoh, penokohan, alur dan latar cerita. I.5 Tinjauan Pustaka Penelitian naskah kethoprak sudah dilakukan sebelumnya, tetapi penelitian untuk judul Sirnaning Angkara karya Bondan Nusantara belum pernah dilakukan. Adapun penelitian sebelumnya yang menggunakan naskah kethoprak dengan menggunakan analisis struktural dapat ditemui dalam penelitian dengan judul skripsi Analisis Struktural Naskah Kethoprak Pedhut Jatisrana Karya Bondan Nusantara oleh Indah Rahayu Anggraini pada tahun 2014. Skripsi ini mendeskripsikan unsur-unsur struktural yang terdapat dalam cerita naskah tersebut. Skripsi Anggrie Pramesti yang berjudul Analisis Struktural Piwulang Sunan Kalijaga pada tahun 2008 menerapkan konsep konsep dasar strukturalisme dengan objek berupa teks ajaran Sunan Kalijaga kepada Jaka Tingkir dalam naskah Piwulang Sunan Kalijaga, yakni dengan memahami dan mendeskripsikan konvensi struktural kelisanan yang berupa unsur unsur yang membentuk atau membangun struktur tekstual teks ajaran Sunan Kalijaga kepada Jaka Tingkir dalam naskah Piwulang Sunan Kalijaga. 5
Analisis Struktural Lèvi-Strauss Naskah Drama Rol Karya Bambang widoyo Sp pada tahun 2005 yang ditulis oleh Susanto mengungkap struktur cerita dan nalar manusia (human mind) Jawa dalam naskah drama Rol dengan menggunakan analisis struktural Lèvi-Strauss. Skripsi ini menemukan akar permasalahan dalam sistem patronase atau perlindungan kesenian tradisional di Jawa. Analisis Struktural Levi-Strauss Dalam Naskah Drama Leng Karya Bambang Widoyo Sp pada tahun 2014 yang ditulis oleh Abimanyu Harsadosastra mengungkap atau mengenali struktur cerita dan nalar manusia (human mind) yang tercermin dalam naskah drama Leng melalui kajian akademis yang menggunakan teori struktural Lévi-Strauss. Skripsi ini menyimpulkan hubungan struktur dalam dengan nalar manusia (human mind) agar mengetahui realitas yang nyata yang tercermin dalam naskah. Melalui penelitian yang sudah ditunjukkan di atas, maka dalam penelitian ini peneliti ingin menunjukkan bahwa naskah kethoprak Sirnaning Angkara karya Bondan Nusantara belum pernah diteliti sebelumnya sehingga dapat dilakukan proses penelitian dengan analisis struktural untuk mengetahui unsur-unsur pembentuk atau pembangun naskah dan hubungan diantaranya. 1.6 Landasan Teori Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi dan prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri, yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, panggung, kostum dan sebagainya. Jika dibandingkan antara naskah dan pentas, maka pentas 6
lebih dominan daripada naskah. Unsur action, pagelaran, dan acting merupakan faktor yang paling dominan. Watak-watak manusia yang dipotret dalam panggung itu adalah watak yang saling bertikai atau konflik. Konflik manusia ini merupakan dasar lakon, baik yang dituliskan maupun dipagelarkan. Konflik manusia itu diwujudkan dalam dialog dan dalam pagelaran drama, konflik itu diwujudkan dalam bahasa tutur (Waluyo, 2001: 2-3). Nurgiyantoro (1995: 58) memaparkan bahwa yang dimaksud dengan teks drama adalah semua teks yang bersifat dialog dan isinya membentangkan sebuah alur. Oleh karena itulah, seorang pembaca yang membaca teks drama tanpa menyaksikan pementasannya mau tak mau harus membayangkan alur peristiwa di atas panggung. Dalam naskah drama terdapat beberapa unsur yang terdiri dari: a. Plot Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi lain. Hal itu disebabkan karena plot bagian dari kejelasan tentang kaitan antar peristiwa yang dikisahkan dan akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang ditampilkan. Peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan plot. Agar menjadi sebuah plot, peristiwaperistiwa itu haruslah diolah dan disiasati secara kreatif, sehingga hasil pengolahan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik. Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dimengerti (Nurgiyantoro, 1995: 110-111). 7
b. Penokohan Sama halnya dengan unsur plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam sebuah karya fiksi. Pembicaraan mengenai tokoh dengan segala perwatakan dengan berbagai citra jati dirinya, dalam banyak hal, lebih menarik perhatian orang daripada berurusan dengan pemplotannya. Namun, hal itu tidak berarti unsur plot dapat diabaikan begitu saja karena kejelasan mengenai tokoh dan penokohan dalam banyak hal tergantung pada pemplotannya (Nurgiyantoro, 1995: 164). Penokohan dalam sebuah drama dibagi menjadi beberapa jenis. Pertama, The foil merupakan tokoh yang kontras dengan tokoh lainnya, dan menjadi minor character yang berfungsi sebagai pembantu saja, atau memerankan suatu bagian penting dalam lakon itu, tetapi secara insidental bertindak sebagai pembantu. Kedua, The type character merupakan tokoh yang dapat berperan dengan tepat dan tangkas. Dapat berperan sebagai orang kampung atau seorang yang berkedudukan. Kemampuan tokoh yang serba bisa, serba all round inilah yang membuat tokoh individual yang sebenarnya itu semakin menjadi luar biasa, semakin menarik hati. Ketiga, the static character merupakan tokoh yang tetap saja keadaannya, baik awal maupun akhir suatu lakon. Dengan kata lain, tokoh tidak mengalami perubahan. Keempat, the character who develops in the course of the play merupakan tokoh yang mengalami perkembangan selama pertunjukan (Tarigan, 1985: 76-77). Dari beberapa teori dapat disimpulkan bahwa penokohan sangat berperan penting dalam sebuah cerita drama. Tokoh dapat dibagi menjadi beberapa jenis 8
antara lain, tokoh protagonis, antagonis, dan peran pembantu. Kesemua jenis tokoh yang satu dengan yang lainnya mempunyai tugas dan tanggung jawab penuh untuk mengemban tugas sesuai dengan tema atau tujuan dari cerita yang ingin dicapai. c. Latar Dengan latar cerita yang baik, pembaca akan mudah memahami isi cerita dan merasakan seolah-olah sungguh terjadi. Latar merupakan tempat dimana sebuah potongan cerita berlangsung. Latar bisa dijelaskan secara langsung atau melalui dialog para tokoh. Latar dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu. Tahap awal suatu karya pada umumnya berupa pengenalan, pelukisan, atau penunjuk latar. Namun, hal itu tak berarti bahwa pelukisan dan penunjuk latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. Pelukis dan penunjuk latar dapat saja berada pada berbagai tahap yang lain, pada berbagai suasana dan adegan dan bersifat koherensif dengan unsur-unsur struktural fiksi yang lain (Nurgiyantoro, 1995: 217). Dengan demikian setting atau latar merupakan sebuah petunjuk, keterangan, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam sebuah naskah drama. Hal tersebut dapat memberi gambaran kepada pembaca naskah drama untuk berimajinasi bagaimana cerita tersebut tanpa harus menyaksikan pementasannya. d. Dialog Suatu drama mempunyai ciri khas berupa naskah itu berbentuk percakapan atau dialog. Dalam menyusun dialog, pengarang harus memperhatikan 9
pembicaraan tokoh. Ragam bahasa dalam dialog tokoh drama adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis, maka diksi hendaknya dipilih sesuai dengan dramatic-action dari plot yang ada. Dialog harus bersifat estetis, artinya harus memiliki keindahan bahasa, bersifat filosofi dan mampu memengaruhi keindahan (Waluyo, 2001: 20-21). Menurut Tarigan (1985: 71), dialog berhubungan dengan latar dan perbuatan. Sebuah latar dapat dilihat dari munculnya dialog-dialog para tokoh serta segala gerak-gerik diperlihatkan secara langsung maupun tidak langsung. Dalam dialog tidak hanya terjadi pembicaraan mengenai suatu kejadian, melainkan suatu kejadian itu sendiri dan berarti telah menggerakkan roda-roda peristiwa atau disebut dengan alur. Dari kedua teori dapat ditarik kesimpulan bahwa dialog merupakan inti dari sebuah naskah drama. Dialog bukan hanya sebuah percakapan antar tokoh saja, namun dialog merupakan pencerminan tentang pikiran dan perasaan para tokoh yang berperan dalam sebuah cerita drama. 1.7 Metode Penelitian Sumber data dalam penelitian ini berupa naskah kethoprak yang berjudul Sirnaning Angkara karya Bondan Nusantara. Naskah ini didapat di Perpustakaan Taman Budaya Yogyakarta. Data yang diperoleh dengan melakukan pembacaan cermat dan teliti kemudian dicatat untuk diketik menggunakan komputer. Peneliti membaca berulang-ulang objek penelitian dan mencatat setiap data dan hasil pengamatan yang diperoleh agar diperoleh data yang konsisten dan akurat. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yang pertama menentukan 10
objek penelitian, yaitu naskah kethoprak Sirnaning Angkara. Kedua, menetapkan masalah pokok penelitian. Ketiga, melakukan studi pustaka dengan cara mencari dan mengumpulkan bahan-bahan yang mendukung penelitian. Keempat, menganalisis naskah kethoprak Sirnaning Angkara dengan analisis struktural. Kelima, menarik kesimpulan akhir dari penelitian yang sudah dilakukan. 1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penulisan penelitian ini diulas setiap bab dengan rincian sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Kemudian Bab II Rangkuman cerita naskah kethoprak Sirnaning Angkara dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya Bab III Analisis struktural meliputi, tokoh, penokohan, alur, latar serta faktor penyebab dan akibat konflik. Terakhir pada Bab IV Penutup berupa ringkasan dari hasil penelitian atau merupakan kesimpulan dari penulisan ini. 11