TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio : Dycotiledonae Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Genus : Chrysanthemum Spesies :.Chrysanthemum morifolium Perakaran tanaman krisan menyebar ke semua arah pada kedalaman 30-40 cm. Akarnya mudah mengalami kerusakan akibat pengaruh lingkungan yang kurang baik, misalnya keadaan drainase yang jelek, kandungan unsur Al dan Mn dalam tanah yang tinggi serta tanah yang selalu masam (ph rendah) (Rukmana dan Mulyana, 1997). Batang tanaman krisan tumbuh tegak, struktur lunak dan berwarna hijau. Bila dibiarkan tumbuh terus, batang akan menjadi keras (berkayu) dan berwarna hijau kecoklatan. Penampilan visual sosok tanaman krisan mirip dengan aster (Rukmana dan Mulyana, 1997). Ciri khas tanama krisan dapat diamati pada bentuk daun, yaitu bagian tepi bercelah atau bergerigi, tersusun secara berselang-seling pada cabang atau batang (Rukmana dan Mulyana, 1997).
Bunga krisan tumbuh tegak pada ujung tanaman dan tersusun dalam tangkai berukuran pendek sampai panjang. Bentuk bunga krisan yang biasanya dipakai sebagai bunga potong, dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Tunggal Pada setiap tangkai hanya terdapat 1 kuntum bunga, piringan dasr atau mata bunga lebih sempit dan susunan mahkota bunga hanya satu lapis. 2. Anemone Bentuk anemone sama dengan bunga tungal, tetapi piringan dasar bunganya lebar dan tebal. 3. Pompon Bentuk bunga pompon adalah bulat seperti bola, mahkota bunga menyebar kesemua arah, dan piringan dasar bunganya tidak tampak. 4. Dekoratif Bentuk bunga dekoratif adalah bunga berbentuk bulat mirip pompon, tetapi mahkota bunganya bertumpuk rapat, ditengah pendek dan bagian tepi memanjang. 5. Besar Bentuk bunga golongan ini adalah pada tangkai terdapat 1 kuntum bunga, berukuran besar dengan diameter lebih dari 10 cm. Piringan dasar tidak tampak, mahkota bunganya memiliki banyak variasi, antara lain melekuk kedalam atau keluar, pipih, panjang, berbentuk sendok dan lain-lainya (Hasim dan Reza, 1995).
Kultur Jaringan Tumbuhan memiliki sifat totipotency, artinya tidak hanya dari sel telur atau sperma (yang merupakan sel perkembangbiakan), tapi dari sel-sel akar, daun, batang, dan sel tubuh tumbuhan lainnya pun, keseluruhan individu tumbuhan tersebut dapat ditumbuhkan kembali, atau dibiakkan dengan mudah, Contoh yang paling ekstrim adalah dengan hanya memakai sebuah sel yang terpisah sekalipun, badan tumbuhan keseluruhannya dapat ditumbuhkan kembali. Karena adanya sifat inilah, dengan teknik-teknik yang telah lama dikenal seperti setek, okulasi, cangkok, serta dengan metode baru seperti kultur jaringan tanpa bakteri, perbanyakan klon tumbuhan dapat dilakukan tanpa batas. Sementara itu, dengan kemajuan teknik rekayasa genetika dan rekayasa hayati lainnya, teknik kultur jaringan menjadi salah satu teknik dasar yang diterapkan di bioteknologi tumbuhan, mulai dari riset dasar sampai aplikasi (Sano, 2001). Menurut Yusnita (2003) dibanding dengan perbanyakan tanaman secara konvensional, perbanyakan secara kultur jaringan mempunyai beberapa kelebihan sebagai berikut: untuk memperbanyak tanaman tertentu yang sulit atau sangat lambat diperbanyak secara konvensional, menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis, tidak memerlukan tempat yang luas, dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa tergantung musim, bibit yang dihasilkan lebih sehat. Akan tetapi tidak semua sel pada tumbuhan mampu melaksanakan pembesaran dan pembelahan. Kegiatan pembesaran dan pembelahan sel dilaksanakan pada jaringan tertentu yang terbatas pada jaringan meristem seperti
pucuk, ujung akar atau buku-buku pada tumbuhan monokotil (Sastramihardja dan Siregar, 1994). Perbanyakan tanaman krisan dengan kultur jaringan dilakukan untuk mendapatkan bibit dalam jumlah banayak dengan waktu yang singkat dan menyediakan bibit berkualitas prima serta bebas organisme penyakit terutama virus. Disamping itu secara kultur jaringan bermanfaat untuk mencegah penurunan kualitas hasil bunga akibat proses degregasi. Tanaman hasil kultur jaringan pada dasarnya sama dengan perbanyakan secara konvensional. Perbedaan hasil kultur jaringan adalah sistem perakaran dan tunasnya memerlukan adaptasi terhadap kondisi lingkungan alami (Rukmana dan Mulyana, 1997). Eksplan Eksplan adalah bagian kecil jaringan atau organ yang dipisahkan dari tanaman induk dan kemudian dikulturkan. Keberhasilan pengkulturan eksplan tergantung pada faktor yang meliputi genotif eksplan, umur fisiologis juga sumber jaringan (Hughes, 1982). Dalam pemilihan bagian tanaman, perlu juga dipertimbangkan tujuan dari kulturnya. Bagian-bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah kromosom maupun variasi dalam beberapa gen. Endosperm hanya digunakan untuk mendapatkan kultur yang triploid. Selain bagian tanaman, genotipe atau varietas yang digunakan juga ikut menentukan keberhasilan regenerasi (Gunawan, 1995).
Ukuran eksplan sangat menentukan dalam pengkulturan. Konsep yang umum diketahuin bahwa bagian tanaman yang di kerat masih mengandung suplai makanan serta hormon untuk potongan tanaman itu sendiri, sehinggaa makin besar keratan, makin besar kemampuan untuk di rangsang tumbuh dan beregenerasi. Ukuran eksplan yang paling baik adalah 0,5 1 cm. Namun dapat bervariasi tergantung pada material serta jenis tanaman yang di pakai (Katuk, 1989). Media Kultur Jaringan Media yang digunakan secara luas adalah media MS yang dikembangkan pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan ½ dari konsentrasi dari garam-garam makro yang digunakan (1/2 MS) atau menggunakan komposisi garam makro berdasarkan MS tetapi mikro dan vitamin berdasarkan komposisi Heller. Zat pengatur tumbuh yang akan digunakan disesuaikan untuk inisiasi kultur (Gunawan, 1995). Médium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang selanjutnya diinduksi membentuk tanaman yang lengkap (planlet), sedangkan médium cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Médium yang di gunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dan suplemen organik (Yuwono, 2008).
Lingkungan In-Vitro Lingkungan tumbuh yang dapat mempengaruhi regenerasi tanaman meliputi temperatur, penyinaran (panjang penyinaran), intensitas penyinaran dan kualitas sinar serta ukuran wadah kultur (Gunawan, 1995) Kultur jaringan tumbuh pada umumnya tumbuh di bawah tabung fluorscens pada intensitas 1000-5000 lux selama 26 jam (Yeoman, 1986). Dimana menurut Gunawan (1995), cahaya berperan didalam perkembangan dan pertumbuhan tanaman yang disebut fotomorfogenesis yang artinya cahaya dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bagian-bagian tanaman, misalnya tunas, pucuk dan lain-lain. Cahaya meliputi kualitas, intensitas cahaya dan lama penyinaran. Temperatur didalam ruang kultur jaringan diharapkan dapat diatur. Banyak laporan mengatakan bahwa temperatur yang baik untuk pertumbuhan tanaman dalam in-vitro antara 25 28 o c yang merupakan suhu ruangan normal. Suhu ruangan untuk negara tropis dapat di turunkan dengan pemasangan AC. Pemakaian AC mutlak karena ruang kultur merupakan ruangan tertutp yang sedikit sekali mempunyai aliran udara bebas (Gunawan, 1987). Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin memegang peranan penting. Auksin dan sitokinin tidak hanya menentukan tumbuhnya jaringan yang dikulturkan, tetapi bagaimana jaringan itu tumbuh. Penggunaan taraf sitokinin
relatif tinggi terhadap auksin akan merangsang inisiasi tunas, sedangkan keadaan sebaliknya akan merangsang inisiasi akar. Auksin dan kadang-kadang sitokinin dibutuhkan untuk merangsang pembelahan sel dan pembentukan kalus. Untuk merangsang terbentuknya embrio somatik, umumnya digunakan auksin kuat, seperti 2,4-D, picloram atau NAA (Yusnita, 2003). Dari golongan auksin, 2,4-D merupakan auksin kuat. Artinya, auksin ini tidak dapat diuraikan di dalam tubuh tanaman. Zat pengatur tumbuh ini biasanya digunakan dalam konsentrasi rendah dan dalam masa induksi yang singkat, antara 2-4 minggu. Penggunaan zat pengatur tumbuh dalam masa panjang dapat menimbulkan mutasi sel (Gunawan, 1995). Pemberian sitokinin ke dalam médium kultur jaringan penting untuk menginduksi perkembangan dan pertumbuhan eksplan. Senyawa tersebut dapat meningkatkan pembelahan sel, proliferasi pucuk, dan morfogénesis pucuk. Apabila ketersediaan sitokinin di dalam médium kultur sangat terbatas maka pembelahan sel pad jaringan yang dikulturkan akan terhambat. Akan tetapi, apabila jaringan tersebut disubkulturkan pada médium dengan kandungan sitokinin yang memadai maka pembelahan sel akan berlangsung secara sinkron (Zulkarnain,2009). Perbanyakan tanaman krisan secara konvensional melalui stek batang dan stek pucuk telah biasa dilakukan, akan tetapi kurang dapat diharapkan untuk memperoleh bibit secara besar besaran. Sejak diketahuinya peranan zat pengatur tumbuh telah banyak ahli tumbuhan mempelajari pengaruh dan peranan zat tumbuh tersebut dalam perbanyakan tanaman, khususnya kultur in-vitro (Haryanto, 1991).